يَا رَبَّنَا بِجَاهِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ ï وَجَاهِ حَامِلِ لِوَاءِ الْوَاصِلِيْنَ

Ya Allah, Ya Tuhan kami dengan pangkat kebesaran pemilik mahkota ahli ma'rifah dan pangkat pemegang bendera kelompok manusia yang telah wushul (sampai ke puncak keyakinan)


قُدْوَتِنَا وَشَيْخِنَا التِّجَانِي ï قَائِدِنَا لِمَنْهَجِ الْعَدْنَانِي

Panutan dan guru kami yakni Syekh Ahmad Tijani, seorang pemandu yang menyampaikan kami kepada tuntunan Nabi Muhammad

يَا رَبِّ ثَبِّتْنَا عَلَى اْلإِيْمَانِ ï وَاحْفَظْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْكُفْرَانِ

Ya Tuhanku tetapkan kami atas iman dan jaga hati kami dari segala bentuk kekufuran

وَاحْمِ جَمِيْعَنَا مِنَ الشَّيْطَانِ ï وَحِزْبِهِ مِنْ إِنْسٍ أَوْ مِنْ جَانِّ

Lindungi kami dari kejahatan syetan dan kelompoknya dari bangsa manusia dan jin


نَسْأَلُكَ التَّوْبَةَ وَالتَّوْفِيْقَ ï وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ وَالتَّحْقِيْقَ

Kami mohon kepada-Mu taubat dan mendapat kekuatan untuk melakukan kebaikan, ilmu dan pengamalan serta ketepatan dalam segala hal


وَالصَّبْرَ وَالنَّصْرَ عَلَى اْلأَعْدَاءِ ï وَالْجَمْعَ فِي الذِّكْرِ عَلَى الْوِلاَءِ

Berikan kami kesabaran dan kemenangan atas musuh-musuh. Dan jadikan kami selalu berkumpul bersama dalam melakukan dzikir


وَالْفَوْزَ بِالنَّعِيْمِ فِي الْجِنَانِ ï مَعَ النَّبِيّ وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Mendapat kesuksesan dengan mendapat ni'mat di surga bersama Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani


مَا لَنَا فِي الْكَوْنِ سِوَى الرَّحْمَانِ ï وَالْمُصْطَفَى وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Kami tidak memiliki harapan apa-apa di alam ini melainkan kepada-Mu Ya Allah (Yang Maha Pengasih), manusia terpilih Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani

هَذِي هَدِيَّةٌ بِفَضْلِ اللهِ ï مِنَّا إِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Dzikir ini merupakan hadiah untukmu Ya Rasulullah dari kami yang semata-mata merupakan pemberian Allah


هَدِيَّةً لِلْمُصْطَفَى الْعَدْنَانِي ï نِيَابَةً عَنْ شَيْخِنَا التِّجَانِي

Hadiah penghormatan buat manusia terpilih Nabi Muhammad keturunan Adnan juga sebagai mandate dari guru kami syekh Ahmad Tijani

آميْنَ آميْنَ اسْتَجِبْ دُعَانَا ï وَلاَ تُخَيِّبْ سَيِّدِي رَجَانَا

Terimalah, terimalah dan kabulkan Ya Allah, doa-doa kami. Jangan Kau kecewakan segala harapan kami

Doa ini merupakan Qashidah tawassul kepada Syekh Ahmad Tijani Radhiyallahu Anhu. qashidah ini biasanya dibaca setelah selesai membaca wirid lazimah dan wazhifah.

Dikutip dari kitab Ghayatul Muna Wal Murad Fima Littijaniy Minal Aurad halaman 27.

Jumat, 11 Januari 2013

NGALAP BAROKAH

NGALAP BAROKAH

Dialog Publik di Masjidil Haram

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di
Saudi Arabia yang sangat populer dan kharismatik-, mempunyai seorang guru
yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh
Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia
memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya
yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir
setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di
kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum
Sunni Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem. Namun
demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari
manapun kebenaran itu datangnya.

Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda al-
Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil
Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain
serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama
anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam
ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas
Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya
sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu.
Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas
Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari
saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang
Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan
mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka,
dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.

Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang
sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan
mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur
kesyirikan dan menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap
barokah dari air itu. Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri
kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada mereka yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Hai
orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan
syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi pamong praja kerajaan
Wahhabi itu.

Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun
segera membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar
murid-muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin. Kepada beliau,
mereka menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang
mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan
bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya.

Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan mereka, akhirnya
untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju
saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh
darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan ketika
para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang
Hijaz itu menjawab, “Kami tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi
berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi
Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka.
Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air
hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi
Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil
selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi.
Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi.
Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua
ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh
dua ulama besar itu.

Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh
Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda
berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di
Ka’bah itu ada berkahnya?”
Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar.
Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata:
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam
Kitab-Nya tentang air hujan:
“Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 : 9).

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah:
“Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 : 96).

Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki
dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada
Baitullah ini.”

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum
kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu
Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan
kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana
kami bisa lalai dari kedua ayat ini.”
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan
meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata
kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat
para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin
dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu
sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan dan
mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang seperti
Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju
saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu,
sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.”

Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit
menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun
mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya.
Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi
meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat
(kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan
termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.
Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang
tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya di luar kepala dengan bahasa yang sangat
bagus dan mudah dimengerti. Akan tetapi sayang, ideologi Wahhabi yang
diikutinya berpengaruh terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi
sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya.

Ngalap Berkah

Berkah (barokah) diartikan dengan tambahnya kebaikan (ziyadah al-khair).
Sedangkan tabarruk bermakna mencari tambahnya kebaikan atau ngalap
barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.
Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh
dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn
Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-
Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata,
hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)

Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut
mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang
besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa
dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orangorang
saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.
Dalam sebuah diskusi di Masjid At-Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta yang
bertanya, “Bagaimana Islam menanggapi orang-orang yang melakukan ziarah ke
makam para wali dengan tujuan mencari berkah?”
Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa
ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut
dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena
tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud
tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan
cara berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah
tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak
menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa
ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik
dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh
Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:
“Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah
suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu
kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”
Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:
“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh
untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah
menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu pada makam yang
sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat
tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
(Tharh al-Tatsrib, [3/303]).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya. Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dulu aku melarang kamu
ziarah kubur. Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim). Dalam satu riwayat,
“Barangsiapa yang henda ziarah kubur maka ziarahlah, karena hal tersebut
dapat mengingatkan kita pada akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab 66]).

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya
ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi,
tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa
ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu
meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih
hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya
orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah
subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam
kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-
Anbiya’, [1]).

Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat,
dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:
“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku
dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku
wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat
amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat
sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar,
[1925]).

Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum
salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi
wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu
masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan
bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut
ini: “Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa
yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari
makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga
Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa
sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya
benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih
serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah
apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi
shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau
pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu
alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab
agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk
kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang
kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri
banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’
al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).

Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas,
telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid
terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah.
Beliau berkata: “Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya
mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-
A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin
al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa
Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani)
mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan:
“Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena
sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi
bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata
kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan
akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).

Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami
bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang
ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan
tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada
Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak
menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada
laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke
makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan
beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti
bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam
mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar