يَا رَبَّنَا بِجَاهِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ ï وَجَاهِ حَامِلِ لِوَاءِ الْوَاصِلِيْنَ

Ya Allah, Ya Tuhan kami dengan pangkat kebesaran pemilik mahkota ahli ma'rifah dan pangkat pemegang bendera kelompok manusia yang telah wushul (sampai ke puncak keyakinan)


قُدْوَتِنَا وَشَيْخِنَا التِّجَانِي ï قَائِدِنَا لِمَنْهَجِ الْعَدْنَانِي

Panutan dan guru kami yakni Syekh Ahmad Tijani, seorang pemandu yang menyampaikan kami kepada tuntunan Nabi Muhammad

يَا رَبِّ ثَبِّتْنَا عَلَى اْلإِيْمَانِ ï وَاحْفَظْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْكُفْرَانِ

Ya Tuhanku tetapkan kami atas iman dan jaga hati kami dari segala bentuk kekufuran

وَاحْمِ جَمِيْعَنَا مِنَ الشَّيْطَانِ ï وَحِزْبِهِ مِنْ إِنْسٍ أَوْ مِنْ جَانِّ

Lindungi kami dari kejahatan syetan dan kelompoknya dari bangsa manusia dan jin


نَسْأَلُكَ التَّوْبَةَ وَالتَّوْفِيْقَ ï وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ وَالتَّحْقِيْقَ

Kami mohon kepada-Mu taubat dan mendapat kekuatan untuk melakukan kebaikan, ilmu dan pengamalan serta ketepatan dalam segala hal


وَالصَّبْرَ وَالنَّصْرَ عَلَى اْلأَعْدَاءِ ï وَالْجَمْعَ فِي الذِّكْرِ عَلَى الْوِلاَءِ

Berikan kami kesabaran dan kemenangan atas musuh-musuh. Dan jadikan kami selalu berkumpul bersama dalam melakukan dzikir


وَالْفَوْزَ بِالنَّعِيْمِ فِي الْجِنَانِ ï مَعَ النَّبِيّ وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Mendapat kesuksesan dengan mendapat ni'mat di surga bersama Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani


مَا لَنَا فِي الْكَوْنِ سِوَى الرَّحْمَانِ ï وَالْمُصْطَفَى وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Kami tidak memiliki harapan apa-apa di alam ini melainkan kepada-Mu Ya Allah (Yang Maha Pengasih), manusia terpilih Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani

هَذِي هَدِيَّةٌ بِفَضْلِ اللهِ ï مِنَّا إِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Dzikir ini merupakan hadiah untukmu Ya Rasulullah dari kami yang semata-mata merupakan pemberian Allah


هَدِيَّةً لِلْمُصْطَفَى الْعَدْنَانِي ï نِيَابَةً عَنْ شَيْخِنَا التِّجَانِي

Hadiah penghormatan buat manusia terpilih Nabi Muhammad keturunan Adnan juga sebagai mandate dari guru kami syekh Ahmad Tijani

آميْنَ آميْنَ اسْتَجِبْ دُعَانَا ï وَلاَ تُخَيِّبْ سَيِّدِي رَجَانَا

Terimalah, terimalah dan kabulkan Ya Allah, doa-doa kami. Jangan Kau kecewakan segala harapan kami

Doa ini merupakan Qashidah tawassul kepada Syekh Ahmad Tijani Radhiyallahu Anhu. qashidah ini biasanya dibaca setelah selesai membaca wirid lazimah dan wazhifah.

Dikutip dari kitab Ghayatul Muna Wal Murad Fima Littijaniy Minal Aurad halaman 27.

Kamis, 28 Maret 2013

MARI BERSIHKAN KERAK HATI

MARI BERSIHKAN KERAK HATI


"Hati itu ibarat cermin. Semua benda di sekelilingnya memberi pengaruh padanya. Pengaruh-pengaruh yang terpuji meningkatkan kilauan, cahaya dan kecemerlangan cermin hati.

Pengaruh-pengaruh tercela tak ubahnya seperti asap gelap yg membumbung ke atas pada cermin hati. Asap itu terus membumbung di atasnya hingga hati menjadi gelap dan hitam.

Sepenuhnya tertutup dari Tuhan. Lalu Tuhan menyebut ini sebagai "penutup" dan "kerak".

--Imam Al-Ghazali

DAJJAL TIDAK DAPAT MASUK KE MASJID YANG ADA KUBURAN RASULULLAH SAW

DAJJAL TIDAK DAPAT MASUK KE MASJID YANG
ADA KUBURAN RASULULLAH SAW

Rasul Saw berkata maka akan berguncang
Madinah dengan 3 kali gempa. Madinah tidak
pernah gempa, sepanjang Rasul Saw masuk
ke Madinah Al Munawwarah di hari hijrah
sampai akhir zaman Madinah tidak pernah
gempa terkecuali saat itu, saat datangnya
dajjal ke depan Madinah Al Munawwarah.

Disaat itu Madinah gempa dengan 3 kali
guncangan maka keluarlah semua orang kafir
dan munafik.
Maka berkata Imam Ibn Hajar di dalam
kitabnya Fathul Baari bi Syarah Shahih
Bukhari bahwa di saat itu semua Rasul
mengatakan munafik, fasiq, kafir, semua
keluar dari Madinah kecuali orang – orang
mukhlisin, orang – orang yang mencintai
Rasul Saw tidak bergeming dari Madinah Al
Munawwarah.

Sebagaimana kita ketahui, sampai saat ini
banyak orang musyrik, fasiq, ada di Madinah
dan mereka akan keluar di saat guncangan 3
kali sehingga mereka keluar diikuti dajjal,

kata Sang Nabi Saw dan disaat itulah Rasul
Saw berkata “itu dajjal bawa pasukannya
mengepung Madinah Al Munawwarah”.
Imam Ibn Hajar menukil salah satu hadits
dalam kitabnya Fathul Baari bi Syarah Shahih
Bukhari dengan sanad yang shahih bahwa
Rasul Saw menjelaskan dajjal itu berkata “itu
masjid Muhammad, itu masjid Nabawiy yang
harus kita kuasai”.

Itu masjid Muhammad, dari kejauhan dajjal
sudah menunjuknya, kubah hijau masjidnya
Rasul Saw telah ditunjuk oleh dajjal dan
berkata “itu masjid Muhammad itu masjid
Muhammad, kita harus sampai kesana”.
Lantas Rasul Saw bersabda sebagaimana
riwayat Shahih Bukhari disaat itu Madinah
mempunyai 7 pintu, lalu siapa yang memberi
beliau pengetahuan Madinah akan modern
seperti sekarang ini sampai ada 7 pintu.

Beliau berkata 7 pintu Madinah Al Munawwar
dan disetiap pintunya dijaga oleh 2 malaikat
sehingga dajjal tidak bisa masuk ke
dalamnya.

“Allahumma shalli wa sallim ‘ala Sayyidina
Muhammad nuuri-kas saari wa madaadikal
jaari wajma’nii bihi fi kulli athwaari wa ‘ala
alihi wa shahbihi yannuur

ADAB SEORANG MURID DI HADAPAN SYEKH/GURU

ADAB SEORANG MURID DI HADAPAN SYEKH/GURU




1. Seorang murid tidak boleh memiliki anggapan bahwa seorang Syeikh bersifat maksum(bebas
dari dosa) dan tidak boleh menganggap bahwa Syehkh mencapai martabat kenabian. Namun
seorang murid harus meyakini bahwa Syeikh adalah seorang "pewaris Nabi''.



2. Hubungan seorang murid dengan Syeikh jangan di dasari oleh urusan duniawi.

3. Jangan meninggikan suara di hadapan Syeikh.

4. Sesama murid jangan saling berbicara di hadapan Syeikh,kecuali ada hal yang sangat penting.

5. Jangan tertawa di hadapan Syeikh,Lebih baik tersenyum.

6. Suci dari hadas dan bersih ketika duduk di dekat Syeikh.

7. Jangan memotmg pembicaraan Syeikh dan jika akan bertanya maka boleh sesudah Syeikh
berhenti bicara.

8. Duduk dihadapan Syeikh seperti duduk dalam sholat dan jangan memandang wajah Syeikh
secara langsung.

9. Jangan berseteru dengan sahabat-sahabat Syeikh.

10. Ikut membantu urusan Syeikh dan juga memperhtikan kedudukan Syeikh dalam keluarga dan rumah tangga Syeikh.

11. Membantu urusan Syeikh baik ketika ada Syeikh maupun tidak ada.

12. Menghormati benda-benda milik Syeikh seperti :jangan sekali-kali memakai tutup kepala,sorban atau sandal Syeikh,jangan duduk di sajadahnya atau minum dari gelasnya.

13. Murid agar mengedepankan Syeikh di banding keluarga,anak dan kekayaanya.

14. Murid senantiasa mengerjakan perintah,nasehat dan saran Syeikh dan meyakini bahwa perintah Syeikh adalah untuk kepentingan murid.

15. Jangan hanya memikirkan pendapat dan perencanaan diri sendiri namun dengarkan baik2
nasehat Syeikh.

16. jangan mengamalkan suatt amalan sampai Syeikh mengajarkan dan mengizinkan sendiri kpd
murid.

17. Jangan menyatakan keyakinan(sombong)di hadapan Syeikh krn akan merusak hubungan dgn Syeikh.





18. Yakinilah bahwa Syeikh tersebut ada bersama Hadrah Muhammadiyyah.





Demikianlah adab

terhadap Syeikh salah satu terjemah kitab susunan Sayyidi Ali Harazim ra berjudul




"RISALAT AL- FADL WAL IMTINAN ILA KAFFAT AL- ASHAB WAL IKHWAN"

Tujuan Tasawuf adalah Mengenal Allah

Tujuan Tasawuf adalah Mengenal Allah

Abdur Rauf Al Singkil
Sebagai seorang Salik, ia tidak menjauh dari kehidupan sosial-masyarakat dan menyepi di bukit-bukit. gunung-gunung, dan di hutan-hutan tapi meleburkan dlri dalam aktivitas sehari-hari bersama masyarakat.

Masih banyak masyarakat yang salah dan keliru dalam melihat tasawuf. Sehingga dalam benak mereka tasawuf itu lebih identik dengan keterbelakangan, kumuh. lusuh, miskin dan semacamnya. Itu karena tasawuf hanya dipahaminya sebatas dzikir, wiridan. puasa, 'uzlah, mistis, dan irrasional. Berbeda dengan pandangan tasawuf yang dikembangkan oleh Abd Rauf al-Sinkili, yang tidak hanya berupa dan berhubungan dengan hal-hal yang kumuh tersebut. Justru tasawuf yang benar adalah yang rasional, tidak kumuh, dan penuh optimisme dalam kehidupan.
Seorang sufi, kata Abd Rauf al-Sinkili, tidak harus menjauh dari kehidupan sosial-masyarakat dan menyepi di bukit-bukit gunung-gunung, dan di hutan-hutan, tapi seharusnya meleburkan diri dalam aktivitas sehari-hari bersama masyarakat. Mengatasi problema-problema yang dihadapi masyarakat baik yang bersifat sosial, politik, budaya, ekonomi maupun agama. Seorang sufi juga tidak hams lepas dari syari'at, tapi setiap gerak gerik dan perbuatan seorang salik harus sesuai dengan syari'at yang telah ditentukan dalam al-Qur'an dan hadis.

Nama lengkapnya adalah Abd Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili. la adalah seorang ulama besar Indonesia pada abad ke-17. Syaikh Abdul Rauf dilahirkan di Kabupaten Singkel, di wilayah pantai barat-laut Aceh. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, tapi menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, yang mengutip dari Ringkes, setelah mengadakan kalkulasi ke masa lalu saat kembalinya Abd Rauf dari tanah Arab, Madinah, bahwa Abd Rauf al-Sinkili dilahirkan sekitar 1024 H/1615 M., lebih 100 tahun setelah kejatuhan Malaka dari tangan Portugis.

Al-Sinkili mendapatkan pendidikan pertama-nya langsung dari ayahnya, Syaikh Ali (al-Fansuri), seorang ulama yang mempunyai madrasah di Aceh. Di Serambi Makkah ini ia juga berguru kepada beberapa ulama besarseperti Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1040 H./1630 M.).
Sementara untuk memperluas wawasan keilmuan dan pengetahuannya, al-Sinkili meninggalkan Aceh menuju Arabia seperti Yaman, Jeddah, Mekkah dan Madinah, pada 1052 H./ 1642 M. Selama 19 tahun di Arabia, ia belajar berbagai disiplin ilmu seperti syari'at fiqih. hadis, ilmu kalam dan tasawuf, tidak kurang dari 19 guru dan 27 ulama lainnya ia berguru kepada mereka yang mempunyai kontak dan hubungan pribadi. Di antara gurunya yang paling penting adalah Ibrahim ibn Abd Allah ibn Jam'an (w. 1083 H./1672 M). Kepadanya al-Sinkili mempelajari apa yang dinamakan ilmu ai-zhahir ( pengetahuan eksoteris), seperti hadis dan fiqih dan subyek-subyek lain yang terkait di Yaman.

Setelah menyelesaikan belajar di Yaman, al-Sinkili melanjutkan perjalanannya ke Jeddah, yartu ke Makkah dan terakhir ke Madinah. Di Madinah-lah al-Sinkili mendapatkan ilmu-ilmu bathin (pengetahuan esoteris). Dan, guru utamanya yang sangat mempengaruhi perjalanan spiritualnya adalah Syaikh Ahmad al-Qusyasyi. Diakuinya. bahwa karena berkat gurunya itulah dia kemudian boleh berbuat khidmat kepada tapak wali Allah yang kamil (sempuma) lagi mukamal (menyem-purnakan) (Azra.1999). Bahkan al-Qusyasyi kemudian mempercayai al-Sinkili sebagai pimpinan {khalifah) Tarekat Syathariyyah dan Qadiriyyah.

Setelah 19 tahun berada di Arabia, ia lalu memutuskan kembali ke Aceh sekitar 1661 M., yaitu setahun setelah al-Qusyasyi meninggal, dan mengajar di madrasahnya di Aceh. Banyak orang dari seluruh nusantara yang datang untuk berguru kepadanya. Di antara murid-muridnya yang menjadi ulama terkenal ialah Syaikh Burhanuddin Wafan dari Minangkabau, Abd al-Muhyi dari jawa Barat, Dawud al-Jawi al-Fansuri dan Ismail Agha Mushthafa Agha 'Ali al-Rumi dari Turki.
Sebagai ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu keagamaan, Abd Rauf telah menghasilkan berbagai karyatulis (kitab) yang cukup besar di bidang agama, antara lain: fiqih, hadis, tasawuf, dan tafsir. Sedangkan di antara karya yang dihubungkan dengan al-Sinkili dalam bidang fiqih adalah Mir 'ah at-Tullab fi TashilMa 'rifah al-Ahkam asy-Syar 'iyyah Hal-Malikal-Wahhab (Cermin para Penuntut Ilmu, untuk Memudahkan Mengetahui Hukum-hukum Syari'at Tuhan) dalam bahasa Melayu. Karya ini ditulis atas permintaan Sultan Safiyyat al-Din, yang diselesaikan pada 1074 H./ 1663 M. Isi karya ini mengungkapkan tentang aspek muamalat, fiqih, termasuk sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan umat Islam.

Prestasi lain dari al-Sinkili sebagai ulama besar, ternyata bukan hanya menulis untuk kaum Muslim awam mengenai ilmu-ilmu zahir (ibadah sehari-hari), tetapi juga untuk kalangan elit (al-khawwash) mengenai topik-topik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu batin seperti kalam dan tasawuf. Dalam bidang terakhir inilah al-Sinkili lebih dikenal luas di kawasan Melayu.
Karya-karya al-Sinkili dalam bidang tasawuf adalah lebih banyak dibandingkan dengan karya-karya yang lain. Oman Fathurrahman mencatat sebanyak23 karya khusus dalam bidang tasawuf. Di antaranya adalah Umdah al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufarridin (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf) dalam bahasa Melayu, Tanbih al-Masi afMansub ila Tariq al-Qusyasyiyy (Pedoman bagi Orang yang Menem¬puh Tarekat al-Qusyasyiyy) dalam bahasa Arab, dan Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwah-hidin al-Qa ilin bi Wahdat al-Wujud (Bekal bagi Orang-orang yang Membutuhkan Minuman Ahli Tauhid Penganut Wahdatuf Wujud), juga dalam bahasa Melayu.

Dalam kitab Kifayat al-Muhtajib ini, af-Sinkil banyak berkomentar dan menjelaskan mengenai konsep wahdat al wujud telah diperdebatkan oleh ulama-ulama sebelumnya. Dalam konteks ini al-Sinkili mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya dan menolak pendapat Wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya.
la berargumen, sebelum Tuhan menciptakan alam raya, Dia selalu memikirkan tentang diri-Nya sendiri, yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad. Dan dari Nur Muhammad itulah Tuhan menciptakan pola-pofa dasar permanen (al-a'yun al-tsabitah), potensi alam raya. yang menjadi sumber pola-pola dasar (al-a’yubn-al-kharijiyyah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. Al-Sinkili menyimpulkan, meskipun a'yun al-kharijiyyah merupakan pancaran-bayangan dari Wujud Mutlak, untuk masalah ini mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri.

Wujud Yang Esa
Ajaran dan wajah tasawuf al-Sinkili berpijak pada konsep ke-Esa-an Tuhan atau Wahdat al-Wujud. Dalam pandangannyabahwasatu-satunya wujud adalah Allah {la ilaha ilia Allah), tidak ada wujud selain wujud Allah. Dengan kata lain, wujud dalam pengertian hakiki hanya al-Haq, segala sesuatu selain a/-Haqt\6ak memiliki wujud. Wujud selain al-Haq, yaitu alam raya dan isinya ini misalnya, hanyalah bayangan dari al-Haq, atau bayangan dari bayangan-Nya, bukan wujud-Nya.
Dengan demikian al-Sinkili menegaskan transendensi Tuhan atas makhluk-Nya. Transen-densi di sini menurutnya, bahwa alam -termasuk manusia di dalamnya - tidak memiliki wujud tersendiri, karena ia hanya merupakan bayangan Tuhan. Kehadiran bayangan itu tergantung pada ada dan tidak adanya bayangan. Oleh sebab itu, wujud hakiki yang sebenarnya adalah sumber bayangan tersebut berikut segala sifat yang melekat padanya. Menurut al-Sinkili yang juga mengutip perkataan Ibnu 'Arabi bahwa hakikat manusia adalah bayangan Allah, tidak lain dari itu (waa'yunina finafsial¬am ri dzilluhu la ghairuhu).

Dengan pandangannya bahwa alam adalah bayangan Allah, al-Sinkili menegas¬kan jika alam ini bukan benar-benar Dzat al-Haq, karena anggapan tersebut akan mem-batalkan status al-Haq sebagai Pencipta Alam Raya. Oleh sebab itu, al-Sinkili menyatakan sangat tidak mungkin jika Sang Pencipta menciptakan Dzat-Nya sendiri secara utuh.
Pandangan al-Sinkili bahwa alam merupakan bayangan Tuhan, secara implisit merupakan jawaban atas panda¬ngan kontroversial Hamzah Fansuri yang menganut konsep wujudiyyah. dan menekankan sisi persamaan dan penyatuan antara bayangan dengan benda aslinya. Menurut Hamzah Fansuri bahwa dirinya Itu, sungguh pun mendapatkan nama dan rupa, hakikat rupa dan namanya tidak ada. Seperti bayang-bayang dalam cermin, rupanya dan namanya ada, tapi hakikatnya tidak ada. Oleh karena itu, dirinya bersama-sama dengan Tuhannya, karena dirinya tidak terpisah dengan Tuhannya, dan Tuhan pun tidak terpisah dengan hamba-Nya.

Alasan al-Sinkili atas ketidaksetujuannya terhadap pandangan Hamzah Fansuri tersebut adalah berdasarkan ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan bahwa tidak sekali pun Allah menciptakan Dzat-Nya sendiri. Melalui Nabi Muhammad SAW, Allah berkata: Qui Allahu khaliqukullisya'in (Katakanlah Hai Muhammad! Allah itu Pencipta segala sesuatu). Allah tidak mengatakan, misalnya, Qui Allahu khaliqu 'ainihi (Katakanlah! Allah adalah Pencipta Dzat-Nya sendiri).
Kalaupun ada, menurut al-Sinkili, orangyang mengatakan bahwa alam dan segala sesuatu itu adalah Dzat al-Haq, hal itu hanya berlaku pada zaman azali. Pada zaman azali itu segala sesuatu dihubungkan dengan wujud Allah, sehingga ia dapat dikatakan sebagai wujud, tapi bukan wujud
hakiki. karenayang hakiki di zaman azali pun hanya wujud Allah, yang lain hanya berada pada tingkat imkan al-wujud. yaitu kemungkinan wujud. Dengan demikian jika manusia. yang notabene bagian dari alam, benar-benar merupakan sama dan menyatu dengan Dzat Allah, seharusnya ia dapat mewujudkan apa saja yang dikehendaki dan dapat dilakukan dalam sekejap. seperti yang Allah tegaskan dalam al-Qur'an, Idza arada sya'an an yaqula lahukun fayakun (Apabila Allah menghen daki sesuatu. hanya berkata kepadanya. jadilah! Maka jadilah itu). Tapi kenyataannya manusia tidak mampu melaksanakan hal tersebut, karena kehendaknya tidak selalu seiring dengan kehendak Allah. Hal ini menjadi bukti bahwaalam, manusia, atau makhluk tidak identik dengan Allah atau al-Haq secara mutlak.

Meski begitu sebagai wujud yang tidak berdiri sendiri dan diciptakan melalui proses pemancaran (emanasi) dari Dzat Allah, maka keberadaan alam tidak berbeda secara mutlak juga dengan-Nya, karena alam bukan wujud keduayang benar-benar terpisah dari-Nya.
Al-hasil, menurutal-Sinkil, bahwa wujud alam ini tidak benar-benar berdiri sendiri, melainkah terjadi melalui pancaran, dan yang dimaksud dengan memancar adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar Dzat al-Haq - karena ia merupakan wujud baru, alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Manusia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah. Alam juga bukan Dzat al-Haq secara mutlak, melainkan sekadar bayangan-Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah Dzat Yang Esa, tidak sesuatu yang menyertai-Nya, meskipun la menyertai segala sesuatu Menuju Yang Esa.

Cara untuk menuju kepada Sang Wujud sebagai satu-satunya Wujud, menurut al-Sinkili, adalah melalui jalan tarekat. Dalam konteks tasawuf, tarekat adalah jalan bagi orang yang melakukan jalan mistis (tasawuf), jalan yang ditempuh para sufi sebagai jalan yang berpangkal dari syari'at Karena antara syari'at dan hakikat ada keterkaitan yang sangat kuat. Syari'at adalah aturan atau hukum, sedangkan tarekat merupakan cara untuk melaksanakan aturan dan hukum Allah, tempat berpijak bagi setiap Muslim.

Sedangkan tujuan akhir bagi seorang sufi atau orang yang melakukan jalan mistis adalah mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya, memperoleh cita makrifat pada alam ghaib dan mendapatkan penghayatan langsung pada Dzat Allah. Jadi, makrifat merupakan tahap akhir bagi seorang salik setelah syari'at, tarekat, dan hakikat.
Tarekat yang dipraktikkan al-Sinkili dapat dikelompokkan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah penyucian hati. Penyucian hati, sebagai tahap pertama, menurutal-Sinkili, harus ditempuh melalui sepuluh martabat, yang dalam setiap martabatnya terdiri atas sepuluh martabat, sehingga seluruhnya berjumlah seratus martabat. Seluruh martabat dimaksud pada dasarnya mengandungajaran untuk mawasdiri, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu, membersihkan hati dari ikatan dan pengaruh duniawi, serta penyera-han diri secara total kepada Allah SWT.
Dalam tahap pertama ini, al-Sinkili menekankan agar mereka yang menempuh jalan mistis menjalankan seluruh martabat tersebut, mulai dari martabat pertama, al-yaqzan (bangun atau sadar) hingga martabat terakhir, yakni martabat tawhid (mengesakan Allah). Dalam pelaksanaannya, para pelaku mistis dianjurkan untuk selalu memohon kepada Allah agar mampu melewati jalan yang sangat berat tersebut. Dan yang paling penting adalah agar mereka tidak berpaling kepada selain Allah selama menjalaninya, karena hal tersebut akan menjadi penghalang (hijab) untuk mencapai tujuan akhir yaitu makrifat.

Tahap kedua jenjang tarekat adalah konsentrasi dalam dzikir, yaitu memusatkan seluruh kesadaran dan pikiran dalam merenungkan keindahan wajah Tuhan dengan penuh kerinduan. Menurut al-Sinkili, dzikir merupakan cara paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah, paling mudah dilakukan, dan paling baik di hadapan Allah. Dzikir dianggap sebagai pintu gerbang utama untuk mencapai penghayatan makrifat pada al-Haq. Untuk itu dalam ajaran tasawuf. terutama setelah munculnya berbagai tarekat. tata cara dzikir beserta aturan-aturan wiridnya memegang peranan sentral dan menjadi ciri pembeda antara satu tarekat dengan tarekat-tarekat yang lain.
Bacaan dzikiryangdianjurkan al-Sinkili selama menjalankan jalan mistis adalah bacaan tahlil, la ilaha ilia Allah, Tidak ada Tuhan selain Allah. Bacaan ini agar diamalkan secara kontinyu dan menenggelamkan hati di dalamnya hingga merasakan manfaat dan buahnya yang tak terbatas.
Salah satu manfaat dari mengamalkan dzikir secara kontinyu, menurut al-Sinkili, adalah dapat membentuk akhlak atau moral yang baik dan menimbulkan kemuliaan. Dari manfaat yang pertama, akan lahir sifat zuhud, yakni hilangnya kecenderungan hati terhadap materi sebagai sesuatu yang bersifat nisbi, dan lenyapnya ketergantungan kepada selain Allah. Sedangkan manfaat yang kedua, akan diberkatinya berbagai kebutuhan, seperti makanan, pakaian dan lain sebagainya, sehingga yang sedikit dan sederhana pun akan selalu menjadi cukup dan penuh keberkahan dalam hidup ini.
Sedangkan tujuan tertinggi dari dzikir, menurut al-Sinkili, adalah dapat diperoleh keyakinan mutlak akan ke-Esaan Allah dan tenggelam dalam diri-Nya, sehingga wujud hamba menjadi hilang dan kembali menjadi tiada. Maka tibalah saatnya penghalang (hi/'ab) yang terbentang antara hamba dengan-Nya menjadi hilang.

Jika seorang hamba telah mampu mencapai tingkat ini, berarti ia telah sampai kepada akhir perjalanannya kepada Allah, karena berarti ia telah sampai kepada tawhid, Dzat yang merupakan tawhidtertlngg\ di antara em pat tingkatan tawhid, yaitu tawhid uluhiyyah (mengesakan ketuhanan Allah), tawhid af'aliyah (mengesakan perbuatan Allah), tawhidsifaX (mengesakan sifat-sifat Allah), dan tawhid Dzatiyah (mengesakan Dzat Allah).
Tahap yangterakhir dan merupakan tingkatan tarekat peleburan diri {fana) ke dalam Allah, yaitu proses terbentuknya tabir penyekat alam ghaib, atau proses mendapat penerangan dari yang ghaib sebagai hasil meditasi atau dzikir. Peleburan diri tersebut, menurut al-Sinkili, adalah terdiri atas beberapa tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi adalah ketika dzikir yang diucapkan telah menetap dalam hati, telah hilang dan samar, serta hamba yang mengucapkan dzikir pun tidak ingat lagi akan dzikirnya bahkan tidak ingat akan hatinya sendiri, maka itulah yang dinamakan fana'dalam arti sesungguhnya. Dalam tingkatan ini, seseorang telah benar-benar fana'dari dirinya, ia tidak merasakan lagi seluruh lahiriyah dan batiniyah panca inderanya, serta tidak merasakan segala sesuatu di sekelilingnya. la pergi menuju Tuhannya, dan kemudian berada di dalam-Nya.
Lebih jauh, al-Sinkili mengatakan bahwa fana' dalam arti sesungguhnya adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah berada pada segala sesuatu. Fana' adalah martabat penggabungan yang tertinggi, di dalamnya tidak ada nama, tulisan, ungkapan maupun isyarat. Fana' adalah martabat orang yang mampu mendengardan memandang melalui al-Haq. Dan, fana 'tertinggi sekalipun hanya merupakan sarana dan langkah pertama menuju Allah SWT, karena setelah itu ada yang lebih diharapkan, yakni petunjuk-Nya.
Al-Sinkili meninggal dunia pada tahun 1693 di usia 73 tahun. Beliau dimakamkan di samping makam Teungku Ajong yang dianggap paling karamat di Aceh, dekat Kuala Sungai Aceh. Di Aceh ia dikenal dengan sebutan Teungku di Kuala. Berkat kemasyhurannya itu nama Abd Rauf al-Sinkili kemu-dian diabadikan menjadi sebuah nama perguruan tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala.

Wallahu a'lam bi al-shawab

Perbuatan zahir dan suasana hati

Perbuatan zahir dan suasana hati

Sebagian dari tanda bersandar kepada amal (perbuatan Zahir) adalah berkurang harapanya (suasana hati) tatkala berlaku padanya kesalahan .

Imam Ibnu Athaillah memulai Kalam Hikmat beliau dengan mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal boleh dibagikan pada dua jenis yaitu perbuatan zahir dan perbuatan hati atau suasana hati yang berhubung dengan perbuatan zahir itu.
Beberapa orang melakukan perbuatan zahir yang serupa tetapi suasana hati berhubungan dengan perbuatan zahir itu tidak sama. Kesan amalan zahir kepada hati berbeda antara seorang dengan seorang yang lain.

Jika amalan zahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan zahir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun itu adalah amalan batin. Hati yang bebas daripada bersandar kepada amal degnan amal zahir atau amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan meletakkan pergantungan kepada-Nya tanpa membawa sebarang amal, zahir atau batin, serta menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa sebarang takwil atau tuntutan. Hati yang demikian tidak menjadikan amalnya, zahir dan batin, walau berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar menawar dengan Tuhan bagi mendapatkan sesuatu. Amalan tidak menjadi perantaraan di antaranya dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk tunduk kepada perbuatan manusia. Allah s.w.t Yang Maha Berdiri Dengan Sendiri berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh siapapun dan sesuatu. Apa saja yang mengenai Allah s.w.t adalah mutlak, tiada batas. Oleh karana itu orang arif tidak menjadikan amalan sebagai sempadan yang mengongkong ketuhanan Allah s.w.t atau ‘memaksa’ Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk. Perbuatan Allah s.w.t berada di hadapan dan perbuatan makhluk di belakang. Tidak pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu.

Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang berhubung rapat dengan amalan dirinya, baik yang zahir mahu pun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan zahir adalah mereka yang mencari faedah keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat. Kedua jenis manusia tersebut berkepercayaan bahawa amalannya menentukan apa yang mereka akan perolehi baik di dunia dan juga di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia hilang atau kurang pergantungan dengan Tuhan. Pergantungan mereka hanyalah kepada amalan semata-mata ataupun jika mereka bergantung kepada Allah s.w.t, pergantungan itu bercampur dengan keraguan. Seseorang manusia bisa memeriksa diri sendiri apakah kuat atau lemah pergantungannya kepada Allah s.w.t.

Kalam Hikmat 1 yang dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah memberi petunjuk mengenai hal tersebut. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa daripada rahmat dan pertolongan Allah s.w.t itu tandanya pergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. Firman-Nya:
“Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin), dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ”. ( Ayat 87 : Surah Yusuf )

Ayat di atas menceritakan bahawa orang yang beriman kepada Allah s.w.t meletakkan pergantungan kepada-Nya walau dalam keadaan bagaimana sekali pun. Pergantungan kepada Allah s.w.t membuat hati tidak berputus asa dalam menghadapi dugaan hidup. Kadang-kadang apa yang diingini, dirancangkan dan diusahakan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diingini bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah s.w.t. Selagi seseorang itu beriman dan bergantung kepada-Nya selagi itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan memperolehi apa yang dihajatkan bukan bermakna tidak mendapat rahmat Allah s.w.t. Apa juga yang Allah s.w.t lakukan kepada orang yang beriman pasti terdapat rahmat-Nya, walaupun dalam soal tidak menyampaikan hajatnya. Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi ujian hidup, tidak sekali-kali berputus asa. Mereka yakin bahawa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada Allah s.w.t, maka apa juga amal kebaikan yang mereka lakukan tidak akan menjadi sia-sia.

Orang yang tidak beriman kepada Allah s.w.t berada dalam situasi yang berbeda. Pergantungan mereka hanya tertuju kepada amalan mereka, yang terkandung di dalamnya ilmu dan usaha. Apabila mereka mengadakan sesuatu usaha berdasarkan kebolehan dan pengetahuan yang mereka ada, mereka mengharapkan akan mendapat hasil yang setimpal. Jika ilmu dan usaha (termasuklah pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang berputus asa. Mereka tidak dapat melihat hikmat kebijaksanaan Allah s.w.t mengatur perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat rahmat dari-Nya.

Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah s.w.t dan mudah berputus asa, di kalangan sebahagian orang Islam juga ada yang demikian, bergantung setakat mana sifatnya menyerupai sifat orang kafir. Orang yang seperti ini melakukan amalan kerana kepentingan diri sendiri, bukan kerana Allah s.w.t. Orang ini mungkin mengharapkan dengan amalannya itu dia dapat mengecapi kemakmuran hidup di dunia.Dia mengharapkan semoga amal kebajikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya, kedudukannya atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan daripada bala penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya bertambah besarlah harapan dan keyakinannya tentang kesejahteraan hidupnya.

Sebahagian kaum muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga, juga bagi menjauhkan azab api neraka. Kerohanian orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutamanya mereka yang mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. Mereka tidak tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidup mereka sentiasa selesa dan segala-segalanya berjalan menurut apa yang dirancangkan. Apabila sesuatu itu berlaku di luar jangkaan, mereka cepat naik panik dan gelisah. Bala bencana membuat mereka merasakan yang merekalah manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Bila berjaya memperoleh sesuatu kebaikan, mereka merasakan kejayaan itu disebabkan kepandaian dan kebolehan mereka sendiri. Mereka mudah menjadi ego serta suka menyombong.

Apabila rohani seseorang bertambah teguh dia melihat amal itu sebagai jalan untuknya mendekatkan diri dengan Tuhan. Hatinya tidak lagi cenderung kepada faedah duniawi dan ukhrawi tetapi dia berharap untuk mendapatkan kurniaan Allah s.w.t seperti terbuka hijab-hijab yang menutupi hatinya. Orang ini merasakan amalnya yang membawanya kepada Tuhan. Dia sering mengaitkan pencapaiannya dalam bidang kerohanian dengan amal yang banyak dilakukannya seperti berzikir, bersembahyang sunat, berpuasa dan lain-lain. Bila dia tertinggal melakukan sesuatu amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia berasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah orang yang pada peringkat permulaan mendekatkan dirinya dengan Tuhan melalui amalan tarekat tasauf.

Jadi, ada golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan ada pula golongan yang bersandar kepada Tuhan melalui amal. Kedua-dua golongan tersebut berpegang kepada keberkesanan amal dalam mendapatkan sesuatu. Golongan pertama kuat berpegang kepada amal zahir, iaitu perbuatan zahir yang dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika mereka tersalah memilih ikhtiar, hilanglah harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka hajatkan. Ahli tarekat yang masih diperingkat permulaan pula kuat bersandar kepada amalan batin seperti sembahyang dan berzikir. Jika mereka tertinggal melakukan sesuatu amalan yang biasa mereka lakukan, akan berkurangan harapan mereka untuk mendapatkan anugerah dari Allah s.w.t. Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, akan putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah s.w.t.

Dalam perkara bersandar kepada amal ini, termasuklah juga bersandar kepada ilmu, sama ada ilmu zahir atau ilmu batin. Ilmu zahir adalah ilmu pentadbiran dan pengurusan sesuatu perkara menurut kekuatan akal. Ilmu batin pula adalah ilmu yang menggunakan kekuatan dalaman bagi menyampaikan hajat. Ia termasuklah penggunaan ayat-ayat al-Quran dan jampi. Kebanyakan orang meletakkan keberkesanan kepada ayat, jampi dan usaha, hinggakan mereka lupa kepada Allah s.w.t yang meletakkan keberkesanan kepada tiap sesuatu itu.

Seterusnya, sekiranya Tuhan izinkan, kerohanian seseorang meningkat kepada makam yang lebih tinggi. Nyata di dalam hatinya maksud kalimat:

Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah.
“Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!” ( Ayat 96 : Surah as- Saaffaat )

Orang yang di dalam makam ini tidak lagi melihat kepada amalnya, walaupun banyak amal yang dilakukannya namun, hatinya tetap melihat bahawa semua amalan tersebut adalah kurniaan Allah s.w.t kepadanya. Jika tidak kerana taufik dan hidayat dari Allah s.w.t tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya. Allah s.w.t berfirman:
“Ini ialah dari limpah kurnia Tuhanku, untuk mengujiku adakah aku bersyukur atau aku tidak mengenangkan nikmat pemberian-Nya. Dan (sebenarnya) sesiapa yang bersyukur maka faedah syukurnya itu hanyalah terpulang kepada dirinya sendiri, dan sesiapa yang tidak bersyukur (maka tidaklah menjadi masalah kepada Allah), kerana sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha Pemurah”. ( Ayat 40 : Surah an-Naml )
Dan tiadalah kamu berkemahuan (melakukan sesuatu perkara) melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana (mengaturkan sebarang perkara yang dikehendaki-Nya). Ia memasukkan sesiapa yang kehendaki-Nya (menurut aturan yang ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan ditempatkan-Nya di dalam syurga); dan orang-orang yang zalim, Ia menyediakan untuk mereka azab seksa yang tidak terperi sakitnya. ( Ayat 30 & 31 : Surah al-Insaan )

Segala-galanya adalah kurniaan Allah s.w.t dan menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang Allah s.w.t tentukan, tidak terlihat olehnya keberkesanan perbuatan makhluk termasuklah perbuatan dirinya sendiri. Makam ini dinamakan makam ariffin iaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Golongan ini tidak lagi bersandar kepada amal namun, merekalah yang paling kuat mengerjakan amal ibadat.

Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, reda dengan segala yang ditentukan Allah s.w.t, akan sentiasa tenang, tidak berdukacita bila kehilangan atau ketiadaan sesuatu. Mereka tidak melihat makhluk sebagai penyebab atau pengeluar kesan.

Di awal perjalanan menuju Allah s.w.t, seseorang itu kuat beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan itu sebagai kenderaan yang boleh membawanya hampir dengan Allah s.w.t. Semakin kuat dia beramal semakin besarlah harapannya untuk berjaya dalam perjalanannya. Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap amal mula berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau penyebab. Pandangannya beralih kepada kurniaan Allah s.w.t. Dia melihat semua amalannya adalah kurniaan Allah s.w.t kepadanya dan kehampirannya dengan Allah s.w.t juga kurniaan-Nya. Seterusnya terbuka hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya dan mengenali Tuhannya. Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, jahil, serba kekurangan dan faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan Sempurna dalam segala segi. Bila dia sudah mengenali dirinya dan Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Kudrat dan Iradat Allah s.w.t yang menerajui segala sesuatu dalam alam maya ini. Jadilah dia seorang arif yang sentiasa memandang kepada Allah s.w.t, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah s.w.t yang faqir.

Hati Sumber Cahaya

Hati Sumber Cahaya

Dalam tulisannya mengenai hati, Syaikh Ahmad Ibn'Athaillah mengatakan bahwa "Tempat terbitnya berbagai cahaya itu adalah hati dan rahasia-rahasianya".

Cahaya ilmu, cahaya ma'rifat dan cahaya tauhid tempat terbit dan memancarnya ada di dalam hati orang-orang yang ma'rifat dan di dalam rahasia-rahasia mereka (di dalam jiwa mereka). Cahaya-cahaya ini merupakan cahaya yang hakiki karena lebih kuat daya pancarnya daripada cahaya yang terpancar dari berbagai macam bintang.

Rasulullah saw. telah bersabda di dalam menceritakan firman Allah :
"Tidak akan memuat Aku bumi-Ku dan langit-Ku, dan bisa memuat Aku hati hamba-Ku yang beriman".

Sebagian orang-orang ma'rifat berkata : "Seandainya Allah menyingkap tempat terbit cahaya hati orang-orang yang menjadi kekasih-Nya, niscaya terlipatlah cahaya matahari dan bulan karena kuatnya cahaya hati mereka".

Asy Syadzili berkata : "Seandainya disingkap cahaya orang mukmin yang maksiat, pasti akan memenuhi seluruh langit dan bumi. Maka bagaimanakah perkiraanmu mengenai cahaya orang mukmin yang ta'at ?". Ketahuilah bahwa cahaya bulan dan matahari masih bisa terkena gerhana dan bisa terbenam. Akan tetapi cahaya hati kekasih Allah tidak mengenal adanya gerhana dan terbenam.Oleh sebab itu Syaikh Ahmad bin 'Athaillah selanjutnya berkata :
"Cahaya yang tersimpan di dalam hati sumbernya dari cahaya yang dating langsung dari berbagai gudang kegaiban".

Cahaya keyakinan yang tersimpan di dalam hati terus bertambah-tambah sinarnya yang bersumber dari cahaya yang datang dari perbendaharaan gaib.
Yaitu berupa cahaya sifat=sifat azali. Apabila Allah telah membuka sifat-sifatNya, maka bertambah-tambahlah cahaya itu yang dihasilkan dari hati para kekasih Allah. Yang demikian itu merupakan suatu petunjuk bahwa Allah telah memberi pertolongan kepada mereka.

Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata:

"Cahaya yang diperoleh dengan panca indera bisa membuka kepadamu akan semua keadaan yang terjadi (benda-benda di alam ini), sedang cahaya yang tersimpan di dalam hati bisa membuka kepadamu akan sifat-sifat Allah yang azali".

Cahaya itu ada dua macam, yaitu :

1. Cahaya yang diperoleh dengan panca indera dengan adanya sinar matahari. Maka cahaya ini bisa memperlihatkan barang-barang yang ada di alam raya dan bermacam-macam kedaan manusia. Cahaya ini bukan yang menjadi perhatian orang-orang ahli hakekat, melainkan hanya sebagai petunjuk adanya Allah Yang Maha Pencipta.

2. Cahaya yang tersimpan dalam hati yang disebut sebagai cahaya keyakinan. Cahaya inilah yang bisa membuka sifat-sifat Allah yang azali sehingga menjadi nyata dan terang. Dengan cahaya hati ini
benar-benar oarng menjadi ma'rifat kepada Allah.
Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :
"Terkadang hati terhenti bersama-sama dengan cahaya, sebagaimana terhalangnya nafsu sebab tebalnya benda-benda (syahwat)".

Penghalang hati untuk menuju kepada Allah itu ada dua macam, yaitu :

1. Nurani, yang berupa bermacam-macam ilmu dan ma'rifat. Apabila hati berhenti padanya dan cenderung kepadanya sehingga ilmu dan ma'rifat itu dijadikan pokok tujuannya, maka dia akan terhalang untuk menuju kepada Allah.

2. Zhulmani (kegelapan), yang berupa bermacam-macam keinginan nafsu dan kebiasaan-kebiasaanya. Karena hati masih terpengaruh oleh keinginan-keinginan nafsu inilah maka dia menjadi terhalang untuk
menuju kepada Allah.

Maka hati bisa terhalang oleh berbagai macam cahaya sebagaimana nafsu bias terhalang oleh berbagai kegelapan. Sedang Allah berda di belakang itu semua.

Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :

"Allah menutupi cahaya hati dengan bermacam-macam keadaan lahiriyah karena memuliakannya untuk (tidak) diberikan secara terang atau (khawatir) untuk dipanggil atasannya dengan lisan kemasyhuran".

Allah menutup hati para kekasih-Nya (para wali) sebagai rahmat-Nya kepada sekalian orang-orang yang beriman. Sebab jikalau rahasia kewalian itu terbuka kepada seseorang, pasti akan mewajibkan orang yang sudah terlahir kewaliannya.

---------------------------------------------------------------------
Syaikh Ahmad Ibn' Atahaillah dalam "Al-Hikam" Al -Ustadz Mahfudli Shaly

Hikmah Kesengsaraan

Hikmah Kesengsaraan

Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat- loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan :
merintih terus-menerus tiada henti.

"Mengapa engkau letakkan api di bawahku ?
Engkau membeliku: Mengapa kini kausiksa aku seperti ini ?"
Sang isteri memukulnya dengan penyendok
"Sekarang," katanya "jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.

Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencianku ;
sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup; kesengsaraan bukanlah penghinaan
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air
minum itu demi api ini.

Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada kemurkaan-Nya, tujuannya bahwa dengan
kasih-Nya engkau dapat menderita kesengsaraan.

Kasih-Nya yang mendahului kemurkaan-Nya itu
supaya sumber penghidupan, yang ada, dapat dihasilkan;
Bahkan kemudian Tuhan Yang Maha Agung membenarkannya, berfirman, "Sekarang
engkau telah tercuci bersih dan keluarlah dari sungai."
Teruslah, wahai buncis, terebus dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun diri
tak tersisa padamu lagi.

Jika engkau telah terputus dari taman bumi, engkau akan menjadi makanan
dalam mulut dan masuk ke kehidupan.

Jadilah gizi, energi, dan pikiran ! Engkau menjadi air bersusu : Kini
jadilah singa hutan !
Awalnya engkau tumbuh dari Sifat-sifat Tuhan;
kembalilah kepada Sifat-sifat-Nya !
Engkau menjadi bagian dari awan, matahari dan bintang-bintang ; Engkau 'kan
menjadi jiwa, perbuatan, perkataan, dan pikiran.
Kehidupan binatang muncul dari kematian tetumbuhan: maka perintah, 'bunuhlah
aku, wahai para teman setia', adalah benar.

Lantaran kemenangan menanti setelah mati, kata- kata, 'Lihatlah, karena
dibunuh aku hidup,' adalah benar."

Mengirim Pahala dan Bacaan Kepada Mayyit

Mengirim Pahala dan Bacaan Kepada Mayyit







1.Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan

نيملسملا نيب فلخ لب اهب عفتنيو تيملا ىلا لصت ةقدصلا ناف امهنع قدصتيلف هيدلاو رب دارأ نمهيقفلا ىرصبلا ىدرواملا نسحلا وبأ ةاضقلا ىضقأ هاكح ام امأو باوصلا وه اذهوبهذم وهف باوث هتوم دعب هقحلي ل تيملا نأ نم ملكلا باحصأ ضعب نع ىواحلا هباتك ىف ىعفاشلاهيلع جيرعت لو هيلا تافتلا لف ةملا عامجاو ةنسلاو باتكلا صوصنل فلاخم نيب أطخو ايعطق لطابناك اذا لا تيملا ىلا اهباوث لصي ل هنأ ءاملعلا ريهامجو ىعفاشلا بهذمف موصلاولصلا امأو
هنع امهرهشأ ىعفاشلل نيلوق هيف ناف يلولا هل نذأ نم وأ هيلو هنع هاضقف تيملىلع ابجاو موصلانا مايصلا باتك ىف ةلأسملا ىتأتسو حصي هنأ هباحصأ ىرخأتم ىققحم مث امهحصأوحلصي ل هنألاقو تيملا ىلا اهباوث لصي ل هنأ ىعفاشلا بهذم نم روهشملاف نآرقلا ةءارق امأوىلاعت للا ءاشعيمج باوث تيملا ىلا لصي هنأ ىلا ءاملعلا نم تاعامج بهذو تيملا ىلا اهباوث لصيهباحصأ ضعبرذن هيلعو تام نم باب ىف ىراخبلا حيحص ىفو كلذ ريغو ةءارقلاو موصلاو ةلصلا نم تادابعلانب ءاطع نع ىواحلا بحاص ىكحو اهنع ىلصت نأ ةلص اهيلعو اهمأ تتام نم رمأ رمع نبا نأنب للا دبع دعس وبأ خيشلا لاقو تيملا نع ةلصلا زاوجب لاق امهنأ هيوهار نب قاحساو حابر ىبألاقو اذه رايتخا ىلا راصتنلا هباتك ىف نيرخأتملا انباحصأ نم نورصع ىبأ نب للا ةبه نب دمحمماعط نم دم ةلص لك نع معطي نأ دعبي ل بيذهتلا هباتك ىف انباحصأ نم ىوغبلا دمحم وبأ ماملا
لصت اهناف جحلاو ةقدصلاو ءاعدلا ىلع سايقلا مهليلدو لامك هنذإ هذه لك

Berkata Imam Nawawi : “Barangsiapa yang ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada
ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa – apa yang diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yang hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yang mengingkari nash – nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.

Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yang wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yang diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yang lebih masyhur hal ini tak sampai, namun pendapat kedua yang lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari sahabat sahabat Syafii yang mengatakannya sampai, dan sebagian besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yang lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yang wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yang wafat ibunya yang masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar (meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit, Telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yang muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yang tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist - hadits shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yang sepakat para ulama. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal90)
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat,dan yang lebih masyhur adalah yang mengatakan tak sampai, namun yang lebih shahih mengatakannya sampai, tentunya kita mesti memilih yang lebih shahih, bukan yang lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yang shahih adalah yang mengatakan sampai, walaupun yang masyhur mengatakan tak sampai, berarti yang masyhur itu dhoif,dan yang shahih adalah yang mengatakan sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa sebagian besar ulama mengatakan semua amal apahal sampai.
Inilah liciknya orang – orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambal”, merekamenggunting – gunting ucapan para Imam lalu ditampilkan di web – web, inilah bukti kelicikan mereka, Saya akan buktikan kelicikan mereka:

Lalu berkata pula Imam Nawawi
:لوصو ىلع اوعمجأ اذكو ءاملعلا عامجاب كلذك وهو اهباوث هلصيو تيملا عفنت تيملا نع ةقدصلا نأاذكو ملسلا جح ناك اذا تيملا نع جحلا حصيو عيمجلا يف ةدراولا صوصنلاب نيدلا ءاضقو ءاعدلاحجارلاف موص هيلعو تام اذا موصل يف ءاملعلا فلتخاو اندنع حصلأا ىلع عوطتلا جحب ىصو اذالاقو اهباوث هلصي ل نآرقلا ةءارق نأ انبهذم يف روهشملاو ،هيف ةحيحصلا ثيداحلأل هنع هزاوجبنح نب دمحأ لاق هبو اهباوث هلصي انباحصأ نم ةعامج

“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit
dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para
ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa – doa, dan pembayaran
hutang (untuk mayyit) dengan nash – nash yang teriwayatkan masing masing, dan sah
pula haji untuk mayyit bila haji muslim,

Demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yang sunnah, demikianpendapat yang lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat paraulama mengenai puasa, dan yang lebih benar adalah yang membolehkannya sebagaimana hadits – hadits shahih yang menjelaskannya, dan yang masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yang membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 7 hal 90).

Dan dijelaskan pula dalam Almughniy

:ثلثو يسركلا ةيآ اوؤرقا رباقملا متلخد اذإ لاق هنأدمحأ نع يور دقو ربقلا مث ةءارقلاب سأب لومث ةءارقلا لاق هنأ هنع يورو ،رباقملا لهلأ هلضف نإ مهللا لاق مث صلخلا دحأ للا وه لق رارمنع هب نابأ اعوجر عجر مث ةعامج دمحأ نع كلذ لقن ركب وبأ لاق ميشه نع كلذ يورو ةعدب ربقلاهل لاقف ةعدب ربقلا مث ةءارقلا نإ هل لاقو ربقلا مث أرقي نأ اريرض ىهن دمحأ نأ ةعامج ىورف هسفنهيبأ نع رشبم ينربخأف لاق ةقث لاق اذهلف رشبم يف لوقت ام للا دبع ابأ اي يرهوجلا ةمادق نب دمحمدمحأ لاق كلذب يصوي رمع نبا تعمس لاقو اهتمتاخو ةرقبلا ةحتافب هدنع أرقي نفد اذإ ىصوأ هنأرقي لجرلل لقف عجراف لبنح نب
“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari
Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat Alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalukatakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.

Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai AbuAbdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya),
maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku
dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan
bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakan pada
orang yang tadi ku larang membaca Alqur’an dikuburan agar ia terus membacanya
lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225)

Dan dikatakan dalam Syarh Al Kanz :
وأ ةقدص وأ اجح وأ اموص وأ ناك ةلص هريغل هلمع باوث لعجي نأ ناسنلإل نإ زنكلا حرش يف لاقوروهشملاو ىهتنا ةنسلا لهأ مث هعفنيو ،تيملا ىلإ كلذ لصيو ربلا عاونأ عيمج نم كلذ نآرق ةءارقنب دمحأ بهذو نآرقلا ةءارق باوث تيملا ىلإ لصي ل هنأ هباحصأ نم ةعامجو يعفاشلا بهذم نمراكذلأا يف يوونلا هركذ اذك لصي هنأ ىلإ يعفاشلا باحصأ نم ةعامجو ءاملعلا نم ةعامجو لبنحراتخملاو روهشملا ىلع ةءارقلا باوث اندنع تيملا ىلإ لصي ل يوحنلا نبل جاهنملا حرش يفوامب تيملل ءاعدلا زاج اذإف ءاعد هنلأ هب مزجلا يغبنيو هتءارق باوث لاصيإ للا لأس اذإ لوصولاىنعملا اذهو ءاعدلا ةباجتسا ىلع افوقوم هيف رملأا ىقبيو ىلوأ هل وه امب زوجي نلأف يعادلل سيليحلاو تيملا عفني هنأ هيلع قفتم ءاعدلا نأ رهاظلاو لامعلأا رئاس يف يرجي لب ةءارقلاب صتخي لريثك ثيداحأ كلذ ىلعو اهريغو ةيصوب ديعبلاو بيرقلا

“dijelaskan pada syarah Al Kanz, Sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala
amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan
Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah
disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.

Namun hal yang terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala
pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin Hanbal, dan kelompok
besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya
sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
Dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan
Alqur’an dalam pendapat kami yang masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
Dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa
tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal
yang lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal, dan doa itu sudah Muttafaq alaih (takada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yang hidup,keluarga dekat atau yang jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini denganhadits yang sangat banyak”.(Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil ImamNawawiy Juz 15 hal 522).

Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yang mengatakan pengiriman
amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yang mengatakan bahwa pengiriman
bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah
untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.

Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maaqaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa – apa
yang kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan
seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yang mengingkarinya dan tak adapula yang
mengatakannya tak sampai.

Kita ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari, saya
mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari. Bila saya berbicara fatwa Imam Nawawi,
saya mempunyai sanad guru kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara fatwa Imam Syafii,
maka saya mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii.

Demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita tidak bersanad kepada buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja dibantu oleh buku – buku, namun acuan utama adalah pada guru yang mempunyai sanad.Kasihan mereka mereka yang keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku, agama mereka sebatas buku – buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah pada buku – buku.

Jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam Nawawi, Imam Nawawi
bertawassul pada Nabi saw, Imam Nawawi mengagungkan Rasul saw, beliau membuat shalawat yg dipenuhi salam pada Nabi Muhammad saw, ia memperbolehkan tabarruk dan
ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah waljamaah.

Sabda Rasulullah saw : “Sungguh sebesar - besar kejahatan muslimin pada muslimin
lainnya, adalah yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas mereka karena pertanyaannya” (Shahih Muslim hadits No.2358, dan juga teriwayatkan pada Shahih Bukhari).

Mestikah Manusia Bertasawuf?

Mestikah Manusia Bertasawuf?

Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat (Imam Malik)

Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal.

Pertanyaannya adalah mestikah manusia bertasawuf? Kalau itu mesti, mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer? Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini hanya tren sesaat?
Apa itu tasawuf?
Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi.

Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi.

Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya.

Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam?
Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat.

Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat.

Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan, termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual, tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam.

Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf.

Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang.

Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam.

Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya.

Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah?
Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM.

Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan.

Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama.

Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual atau tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang setiap hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka sangat percaya dunia eskatologis, kehidupan setelah mati.

Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka.

Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah.

Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka.

Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity.

Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih.

Haruskan bertasawuf?
Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipetentangkan.

Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib.

Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf , kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern.

Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits.

Tabaruk

Tabaruk

Berikut adalah tabaruk dengan Tempat Salat Nabi saw, tabaruk dengan Makam Nabi, tabaruk dengan Jubah Nabi , Benda-Benda, Tempat, dan Orang-Orang yang Pernah Disentuh Nabi saw, Tangan dan Kaki Nabi, Tempat-Tempat yang Dikunjungi Nabi,Makanan Nabi saw, terompah nabi.

1. Tabaruk dengan Tempat Salat Nabi saw.
Selanjutnya, ada beberapa riwayat tentang bertabaruk meialui tempat salat (mushalla) Nabi saw. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Utbah ibn Mali, scorang sahabat yang ikut Perang Badr, keitika matanya tak bisa melihat, berkata kepada Nabi saw., "Aku berharap kiranya engkau salat di rumahku agar aku dapat salat di tempat engkau salat." Nabi saw. datang ke rumahnya dan bertanya di mana beliau harus salat. Utbah menunjukkan tempat kepada Nabi saw. dan beliau salat di tempat itu. Dalam riwayat Muslim disebutkan, "Aku (Utbah) mengirim pesan kepada Nabi saw.: 'Datanglah dan berikan kepadaku tempat untuk beribadah, Imam al-Nawawi berkata, "Artinya, buatlah tanda bagiku yang dapat kujadikan sebagai tempat beribadah untuk mendapatkan keberkahan karena engkau pernah berada di tempat itu. Dalam hadis ini terdapat dalil untuk mencari keberkahan melalui benda-benda peninggalan para wali (al-tabarruk bi atsar al-shalihin)"

Karena takut akan menumbuhkan kemusyrikan, Umar menebang pohon baya'h yang sering dipergunakan sebagai tempat salat. Tetapi, diketahui bahwa Ibn Umar mencari keberkahan bahkan dengan berjalan menyusuri tempat yang pernah dilewati Nabi saw. serta mendirikan salat persis di tempat Nabi saw. salat di Ka'bah dan di tengah perjalanan beliau. Bahkan, dikisahkan bahwa ia pun menyirami bebcrapa pohon yang di bawahnya Nabi saw. pernah mendirikan salat agar pohon itu lidak mati.

2. Tabaruk dengan Makam Nabi saw.
Dawud ibn Shalih berkata, "(Khalifah} Marwan (ibn al-Hakam) suatu hari melihat seorang pria meletakkan wajahnya di atas makam Nabi saw. Ia berkata, "Tahukah kau, apa yang tengah kaulakukan?" Ketika didekali, ternyata orang itu adalah Abu Ayub al-Anshari, yang kemudian menjawab, "Ya, aku datang kepada Nabi saw., bukan kepada sebuah batu."'
Dan diriwayatkan bahwa Mu'adz ibn Jaba! dan Bilal juga pernah mendatangi makam Nabi saw., lalu menangis di sana. Bahkan Bilal membenamkan wajahnya di atas makam mulia itu.
Hafiz al-Dzahabi menulis dalam catatannya tentang guru-guru nya:
Ahmad ibn al-Mun'im meriwayatkan kepada kami ... dari Umar bahwa Umar tidak suka menyentuh makam Nabi saw. Aku berkata, "la tidak menyukainya karena ia menganggapnya sebagai sikap yang tidak sopan." Ketika Ahmad ibn Hanbal ditanya tentang (hukum) menyentuh dan mencium makam Nabi saw., ia menja¬wab bahwa tak ada salahnya dengan hal itu. Putranya Abdullah meriwatkan ini darinya.

Al-Dzahabi melanjutkan,
Jika dikatakan, "Mengapa para sahabat tidak melakukan ini?" Jawablah, "Karena mereka meiihat Nabi saw. langsung pada masa hidupnya, merasakan keberadaannya, mencium tangannya, sering berebut sisa air wudunya, berbagi rambutnya yang suci ketika be-
liau melaksanakan ibadah haji besar. Dan ketika beliau membasuh wajahnya, tak ada air yang jatuh ke tanah karena orang-orang berebut menadahnya dan membasuhkannya ke wajah mereka. Karena kami tidak mengalami kesempatan mulia seperti itu, kami
menyandarkan diri kami ke makamnya, bahkan menciumnya sebbagai tanda keteguhan, kecintaan, dan penerimaan. Tak tahukah engkau apa yang dilakukan Tsabit al-Bunani ketika ia mencium tangan Anas ibn Malik dan meletakkannya di atas wajahnya seraya
berkata, 'Inilah tangan yang pernah menyentuh tangan Rasulullah saw.'? Kaum muslim tidak meiakukan ini kecuali karena rasa cinta mereka yang luar biasa kepada Nabi saw. Sebab, mereka diwajibkan mencintai Allah dan Nabi saw. melebihi cinta mereka kepada nyawa mereka sendiri, anak-anak mereka, semua manusia, kekayaan mereka, juga kepada surga dan bidadari-bidadarinya. Bahkan, ada beberapa kaum beriman yang mencintai Abu Bakar dan Umar melebihi kecintaan mereka kepada diri mereka sendiri ...."
Tak tahukah engkau bahwa para sahabat, karena cinta mereka yang luar biasa kepada Nabi saw., bertanya kepada beliau, "Haruskah kami bersujud kepadamu?" dan beliau menjawab tidak. Ketahuilah, seandainya beliau mengizinkan, niscaya mereka akan bersujud sebagai tanda penghormatan dan penghargaan, bukan sebagai tanda penyembahan, seperti halnya saudara-saudara Nabi Yusuf a.s., bersujud kepada Yusuf a.s. Sama halnya, kaum musli-min bersujud di hadapan makam Nabi saw. dengan niat untuk menghormati dan menghargainya. Tak layak seseorang disebut kafir (Id yukaffaru ashla) lantaran meiakukan tindakan seperti itu. Namun, ia dapat dianggap telah menyimpang (dari perintah Nabi saw. kepada para sahabat). Karena itu, sampaikanlah kepadanya bahwa tindakan seperti itu terlarang sama seperti orang yang salat dengan menghadap ke makam Nabi saw.

Putra Imam Ahmad, Abdullah, mengatakan bahwa ia per-nah bertanya kepada ayahnya tentang orang yang menyentuh dan mencium mimbar Nabi saw. atau makam beliau untuk mencari keberkahan. Imam Ahmad menjawab, "Tak ada yang salah mengenai hal itu." Abdullah juga bertanya kepada Imam Ahmad tentang orang yang menyentuh dan mencium mimbar Nabi saw. untuk mendapatkan keberkahan, dan yang berbuat serupa terhadap makam Nabi saw., atau sesuatu yang seperti itu, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam Ahmad menjawab, "Tak ada yang salah mengenai hal itu."
Sebagaimana telah disebutkan, ada sebuah riwayat autentik yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Umar, terjadi kekeringan yang membuat Bilal ibn al-Harits mendatangi makam Nabi saw. dan berkata, "Ya Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah demi umatmu."
Kami pun telah mengutip sebuah riwayat bahwa Aisyah pernah memerintahkan agar atap di atas makam Nabi SAW dibuka pada musim kekeringan, dan hujan pun turun.
Umar pernah bertanya kepada Aisyah, "Apakah engkau mengizinkan jika aku dimakamkan di dekat dua orang sahabat-ku (Nabi saw. dan Abu Bakar)?" Ia menjawab, "Ya, demi Allah," padahal untuk para sahabat yang lain, dengan tegas ia menolak permintaan seperti itu.

3. Tabaruk dengan Jubah Nabi saw.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abdullah, budak yang telah dimerdekakan oleh Asma (putri Abu Bakar), paman dari Pihak ibu Ibn Atha', berkata, "Asma mengutusku kepada Abdullah ibn Umar dengan pesan: 'Telah sampai kabar kepadaku bahwa engkau melarang tiga hal: mengenakan pakaian tipis, memakai Penutup pelana yang terbuat dari sutra merah, dan berpuasa sebulan penuh di bulan Rajab. Abdullah menjawab, 'Adapun
tentang berpuasa di bulan Rajab, bagaimana pendapatmu tentang orang yang berpuasa terus-menerus? l-alu mengenai pakaian tipis, aku pernah mendengar Umar ibn al-Khaththab berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa mengenakan sutra, ia tak akan mendapatkan bagiannya (di Hari KiamaT)." Aku khawatir bahwa pakaian tipis ilu tErmasuk sulra. Adapun mengenai penutup pelana berwarna merah, inilah penutup pelana Abdullah, dan warnanya merah.' Aku kembali kepada Asma dan memb3ritahukan jawaban Abdullah. Asma kemudian berkata, 'Di sini ada jubah Rasulullah saw.,' dan ia mengeluarkan jubah yang terbuat dari kain Persia dengan keliman brokat (suTra), dan lengan baju dirajut dengan brokat (sutra). Ia berkata, 'Inilah jubah Rasulullah saw. yang disimpan Aisyah hingga ia wafat, kemudian aku mewarisinya. Rasulullah saw. pernah mengenakan-nya, dan kami mencucinya untuk orang-orang yang sakit agar mereka sembuh."'
Muslim meriwayatkan ini pada bab pertama kitab tentang pakaian. Al-Nawawi menjelaskan, "Hadis ini mengandung dalil dianjurkannya mencari keberkahan melalui benda-benda dan pakaian peninggalan orang saleh".

4. Benda-Benda, Tempat, dan Orang-Orang yang Pernah Disentuh Nabi saw.
Suwaid ibn Ghafalah meriwayatkan: "Aku melihat Umar mencium Hajar Aswad dan memegangnya erat-erat, seraya berkata, 'Aku melihat Rasulullah saw sangat mencintaimu."' Hadis ini diriwayatkan dari Sufyan dengan sanad yang sama (begitu pun matannya), "Ia (Umar) berkata, 'Aku tahu, engkau hanyalah sebongkah batu, aku sama sEkali tidak menaruh rasa hormat kepadamu seandainya tidak melihat Abu al-Qasim yang begitu mencintaimu."' Dan ia tidak menyebutkan bahwa Umar memegangnya erat-erat.

Al-Tabrani dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Handzalah Ibn Hudzaim yang pernah dibawa kakeknya, Hudzaim, menghadap Nabi saw. Hudzaim berkata kepada Rasulullah saw., "Aku punya anak laki-laki dan cucu laki-laki, sebagian mereka tetah beranjak remaja dan sebagian lainnya masih kecil." Seraya mengehampiri anak kecil yang berada di dekatnya, ia berkata, "Inilah si bungsu." Nabi saw. mendekatkan anak kecil yang bernama Handzalah kepadanya, mengusap kepalanya, dan berkata, "barakallahu fik semoga Allah memberkatimu."
Setelah peristiwa itu, orang-orang mendatangi Handzalah sambil membawa orang yang bengkak wajahnya atau kambing yang sakit. Handzalah akan meletakkan tangannya di bagian kepalanya yang pernah diusap Nabi saw. lalu menyentuh bagian yang sakit itu sambil mengucapkan bismill&h. Dan serta-merta bagian yang sakit itu pun sembuh."

Dari Ibn Abi Syaibah bahwa Yazid ibn Abdul Malik ibn Qu-syat dan al-Utbi meriwayatkan kebiasaan para sahabat di masjid Nabi saw meletakkan tangan mereka di atas pegangan (rumma-nah) mimbar Nabi saw., tempat Nabi saw. pernah meletakkan tangannya. Mereka melakukan itu sambil menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah agar Dia mengabulkan doa mereka karena mereka meletakkan tangan mereka di tempat Nabi saw. pernah meletakkan tangannya saat berdoa. Abu Maududah berkata, "Aku melihat Yazid ibn Abdul Malik melakukan hal serupa."

Kebiasaan para sahabat ini menjelaskan dua hal. Pertama, di-bolehkannya memohon segala sesuatu kepada Allah dengan ber-tawasul kepada Nabi saw. setelah beliau wafat, dan para sahabat benar-benar mempraktikkannya. Demikian pula, boleh hukumnya memohon segala sesuatu kepada Allah dengan bertawasul kepada orang-orang saleh. Kedua, boleh hukumnya mencari keberkahan (barakah) dari benda-benda yang pernah disentuh Nabi saw."

Seorang tabiin, Tsabit al-Bunani mengatakan bahwa ia pcr-nah mengunjungi Anas Ibn Malik, mencium tangannya seraya berkata, "Inilah tangan yang pernah menyentuh Nabi saw." Ia mencium matanya dan berkata, "Inilah mata yang pernah melihat Nabi saw."

Menurut al-Bukhari, Abdurrahman ibn Razin meriwayat-kan bahwa salah seorang sahabat Nabi saw., Salamah ibn al-Aku, mengangkat tangannya di hadapan sekelompok orang dan berkata, "Dengan tangan ini aku telah bersumpah setia (baiat) kepada Rasulullah saw." Mendengar ucapannya itu, semua yang hadir bangkit dan mencium tangannya. Versi lain hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad.
Abu Malik al-Asyja'i mengatakan bahwa suatu ketika ia ber-kata kepada sahabat Nabi saw. yang pernah bersumpah setia di bawah pohon, yaitu Ibn Abi Aufa, "Ulurkan kepadaku tanganmu yang pernah bersumpah setia kepada Rasulullah saw. agar aku dapat menciumnya.,' Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn al-Muqri.
Al-Bukhari juga meriwayatkan bahwa Suhaib melihat Sayidina Ali mencium tangan dan kaki paman Nabi saw., al-Abbas, dan bahwa Tsabit mencium tangan Anas karena tangan itu pernah menyentuh tangan Nabi saw.
Al-Syurunbali al-Hanafi, dalam karyanya tentang Fiqh yang berjudul Nur al-'Iddah, berkata:
Disunahkan masuk ke Ka'bah. Orang yang memasukinya harus mencari tempat Nabi saw. mendirikan salat. Tempat itu berada di depannya ketika ia membelakangi pintu sampai antara dirinya dan pintu berjarak kira-kira tiga depa. Dirikantah salat di sana dan berdoalah kepada Allah untuk memohon ampunan dan memuji-Nya."

5. Tangan dan Kaki Nabi saw.
Hadis pertama Imam Ahmad yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik dalam karyanya, Musnad Anas adalah, "Seluruh warga Madinah pernah memegang tangan Nabi saw. dan mereka segera mendapatkan apa yang mereka butuhkan.
Aisyah, Ummul Mukminin, meriwayatkan: "Ketika menderita sakit, Rasulullah saw. akan membaca tiga surah terakhir Alquran dan meniupkannya kepada dirinya sendiri." Aisyah melanjut-kan, "Jika sakiinya parah, aku akan membacakan tiga surah itu kepadanya dan mengusapnya dengan tangan kanannya seraya mengharapkan keberkahan."
Usamah meriwayatkan, "Aku menghadap Nabi saw. yang tengah bersama para sahabat, dan mereka terlihat setenang burung-burung yang merundukkan kepalanya. Aku ucapkan salam kepada Nabi saw. dan kemudian duduk. Lalu orang-orang Arab badui datang dan mengajukan beberapa pertanyaan yang dijawab Nabi saw. .... Setelah itu, Nabi saw. berdiri dan orang-orang pun berdiri. Mereka mulai mencium tangannya. Aku pun mencium tangannya dan meletakkannya di wajahku. Aku merasakannya lebih harum dari minyak kesturi dan lebih sejuk dari air manisan."

Abdullah ibn Umar meriwayatkan:
Ibn Umar diutus bersama sekelompok pasukan oleh Rasulullah saw. Orang-orang berbalik melarikan diri. la berkata, "Aku termasuk orang yang berbalik melarikan diri. Ketika berhenti, kami berkata, 'Apa yang harus kita lakukan? Kita telah melarikan diri dari pertempuran dan akan mendapalkan murka Allah.' Lalu kami berkata, 'Mari kita masuk ke Madinah, diam di sana, dan pergi ke sana tanpa diketahui siapa pun.' Maka kami memasuki kota itu dan berpikir, 'Jika kami datang kehadapan Rasuiullah saw., dan jika ada kesempalan bertobat bagi kami, kami akan tinggal; jika yang terjadi sebaliknya, kami akan pergi.' Maka kami duduk menunggu Rasulullah saw. sebelum salat Subuh. Ketika beliau keluar, kami berdiri dan berkata, 'Kami termasuk orang yang melarikan diri.' Beliau menoleh ke arah kami dan berkata, Tidak, kamu sekalian adalah orang yang kembali unluk berperang setelah melarikan diri.' Kami kemudian menghampirinya dan mencium tangannya. Beliau bersabda, 'Akulah pemimpin kaum muslim.'""
Ibn Umar bercerita dan berkata, "Kami kemudian mendekati Nabi saw dan mencium tangannya." Diriwayatkan dalam karya Ibn Majah, Sunan, dalam Suuan Abu Dawud, dan dalam Mushatinaf karya Ibn Abu Syaibah dari dua sanad yang berbeda.
Ummu Aban, anak perempuan al-Wazi ibn Zari, meriwayat-kan bahwa kakeknya, Zari al-Abdi, salah seorang utusan Abdul Qais, berkata, "Ketika kami tiba di Madinah, kami berlomba menjadi yang pertama turun dari kuda dan mencium tangan serta kaki Rasuiullah saw. ... (hingga akhir hadis)."*
Al-Bukhari meriwayatkan darinya hadis serupa dalam kar-yanya, Adb al-Mufrad: Kami tengah berjalan, ketika seseorang berkata, "Ada Rasuiullah saw." maka kami segera meraih tangan dan kakinya, lalu menciumnya.
Buraidah meriwayatkan bahwa seorang Arab badui datang kepada Nabi saw. dan berkata, "Ya Rasuiullah saw., izinkan aku mencium kepala dan tanganmu" dan beliau mengizinkannya. Dalam versi yang lain, ia meminta izin untuk mencium tangan dan kaki.
Shafwan ibn Ashal al-Muradi meriwayatkan: "Salah seorang dari dua orang Yahudi berkata kepada sahabat Nabi saw., 'Antarkan kami kepada Nabi saw. agar kami dapat menanyakannya tentang sepuluh tanda tanda musa... (nabi menjawab semuanya dan kemudian) mereka mencium tangan dan kakunya lalu ebrkata, " Kami bersaksi, engkau adalah seorang nabi...

6. Kulit Nabi SAW
Usaid ibn Hudzair meriwayatkan:
Abdurahman ibn Abi Laila, mengutip Usaid ibn Hudzair seorang anshar, berkata bahwa ketika ia tengah bercanda dan membuat para sahabat lain tertawa, Nabi SAW memikulnya dengan ranting kayu sambil bergurau. Usaid berkata Izinkahlah aku membalas," Beliau menjawab, "balaslah". Ia berkata,"Namun engkau menegnakan baju sedangkan aku tidak. " Nabi sAW melepas bajunya dan orang itu memeluknya serta mencium pinggang beliau. lalu ebrkata "inilah yang kuinginkan ya RAsulullah.."

Abi Abdil Barr meriwayatkan bahwa Nabi SAW telah mengharamkan dua atau tiga kali penggunaan khaluq (sejenis minyak wangi yang dicampur kunyit), melihat sawad ibn Amr al Qari memakainya NAbi SAW memukul perutnya dengan batang daun kurma (jaridah) sehingga menimbulkan goresan luka kecil. Sawad meminia izin untuk membalas, dan ketika Nabi saw. memperlihatkan bagian perut beliau, liba-tiba ia lompat dan mencium perut Nabi saw.
Sementara versi Ibn Ishaq dalam Sirah menyebutkan bahwa Sawad termasuk sahabat yang ikut Perang Badar. Nabi saw. tengah menyusun strategi mempergunakan ranting {miqran), dan beliau memukulkan ranting itu ke perut Sawad sehingga menimbulkan luka gores kecil. Nabi saw. berkata, "Jauhkan dirimu dari yang lain." Sawad berkata, "Ya Rasulullah saw., engkau telah melukaiku, izinkan aku membalas." Nabi saw. menyerahkan kepadanya ranting kayu itu dan berkata, "Balaslah." Sawad mendekati beliau dan mencium perut beliau. Nabi saw. bersabda, "Apa yang membuatmu melakukan itu, wahai Sawad?" Ia menjawab, "Ya Rasulullah saw., saatnya telah tiba bagi apa yang engkau lihat, dan aku ingin agar perbuatan terakhirku di dunia ini adalah menyentuhmu."
Buhaisa al-Fazariyah meriwayatkan, "Ayahku meminta izin kepada Nabi saw. Lalu ia mendekati dan membuka baju beliau, mulai menciumnya, dan memeluknya karena cintanya kepada beliau.""

7. Tempat-Tempat yang Dikunjungi Nabi saw.
Abu Burdah meriwayatkan: Ketika tiba di Madinah, aku bertemu dengan Abdullah ibn Salam. Ia berkata, "Maukah kau berkunjung kepadaku agar aku dapat menyediakan sawiq (tepung barley) dan kurma untukmu, serta mengajakmu memasuki rumah (diberkati) yang pernah dimasuki Nabi saw.?"

8. Makanan Nabi saw.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. tinggal di rumah Abu Ayub hingga masjid dan tempat tinggalnya dibangun. Kemudian beliau pindah ke rumahnya sendiri. Yazid ibn Abu Habib dari Martsad ibn Abdullah al-Yazani dari Abu Ruhm al-Sama'i berkata kepadaku bahwa Abu Ayub bercerita kepadanya, "Ketika Rasulullah saw. tinggal di rumahku, beliau tidur di atas lantai tanah, sedangkan aku dan Ummu Ayub di atas tempat lidur. Aku berkata kepada beliau, "Ya Rasulullah saw., aku telah menganggapmu sebagai orangtuaku sendiri, dan aku sedih ka-rena aku tidur di atas sedangkan engkau di bawahku. Marilah bertukar tempat." Beliau menjawab, "Hai Abu Ayub, lebih menye-nangkan bagiku dan tamu-tamuku berada di atas lantai tanah." Akhirnya kami menyerah. Suatu ketika kami memecahkan sebuah kendi air. Aku dan Ummu Ayub mengambil salah satu pakaian kami untuk mengeringkan air ilu karena takut akan membasahi Nabi saw. Kami tak lagi punya pakaian yang bisa kami kenakan. Kami biasa menyediakan makan malam beliau dan mengantar-kannya kepada beliau. Ketika beliau mengembalikan sisanya, aku dan Ummu Ayub biasa menyentuh tempat yang pernah disentuh oleh tangan beliau dan makan darinya berharap mendapatkan berkah.

9. Panah Nabi saw.
Ibn Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi saw. memerintahkan pasukan untuk berpindah ke sebelah kanan melewati belukar jalan al-Murar ke lereng al-Hudaibiyah di bawah Mekah. Mereka melakukan perintahnya, dan ketika pasukan berkuda Quraisy melihat kepulan debu pasukan yang menjauhi jalan mereka, tergesa-gesa mereka kembali ke pasukan inti Quraisy. Nabi saw. pergi menempuh jalan al-Murar dan ketika untanya berlutut, orang-orang berkata, "Unta itu tidak akan bangkit lagi." Beliau berkata, "Biasanya ia tidak membandel dan itu bukanlah sifatnya, tetapi Yang Maha Esa, yang mengusir pasukan bergajah dari Mekah, menahan unta ini. Hari ini, apa pun syarat yang diminta kaum Quraisy kepadaku akan kukabulkan untuk menunjukkan itikad baikku kepada keluarga." Kemudian beliau memerintahkan orang-orang untuk turun dari kuda. Mereka keberatan karena di tempat itu tidak ada sumber air. Kemudian Nabi saw. mengambil anak panah dari sarung anak panahnya dan memberikannya kepada seorang sahabat. Sahabat itu menusukkan anak panah tadi ke tengah sebuah lubang air, dan serta-merta air memancar hingga unta-unta pasukan minum sepuasnya dan mereka dapat beristirahat di sana.

10. Terompah Nabi saw.
Al-Bukhari dan al-Tirmidzi meriwayatkan dari Qatadah: "Aku meminta Anas untuk bercerita tentang terompah Rasu-lullah saw. dan ia menjawab, 'Ada dua tali pengikat pada setiap terompahnya.'" Dan Isa ibn Tahman berkata, "Anas mengambil sepasang sepatu dan memperlihatkannya kepada kami. Sepatu itu tidak berbulu.""

Al-Bukhari, Malik, dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa Ubaid ibn Jarih berkata kepada Abdullah ibn Umar, "Kulihat engkau memakai terompah dari kulit yang disamak." Ia menjawab, "Aku pernah melihat Nabi saw. mengenakan terompah tak berbulu dan berwudu tanpa melepaskannya. Karena itulah aku suka memakainya."
Al-Qasthallani berkata bahwa Ibn Mas'ud, salah seorang pelayan Nabi saw., terbiasa membawakan kepada Nabi saw. bantal (wisAdah), sikat gigi (siwak), terompah {na'layn), dan air untuk berwudu. Ketika Nabi saw. bangun dari tidur, ia akan meletak-kan terompah itu dekat beliau. Ketika beliau duduk, ia akan memegang terompah beliau dengan tangannya hingga beliau berdiri.

Semoga Allah terus memberikan kita keberkahan dengan mencontohkan tabaruk dengan benda2 orang solihin.. Amien

Minggu, 24 Maret 2013

TAHUKAH ANTUM ?

TAHUKAH ANTUM ? Ternyata Yang Melakukan Tahlilan Lebih Melimpah Mengamalkan Sunnah Dan Memperoleh Fadlilah
----------------------------------------
Selama ini mungkin telah bertebaran persepsi yang terbalik, serampangan juga salah , dari segelintir kalangan pembenci tahlilan yakni bahwa kaum Muslimin yang melakukan tahlilan adalah pelaku bid’ah sesat dan mematikan sunnah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Seakan-akan yang melakukan tahlilan telah meninggalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Sesungguhnya tudingan semacam ini benar-benar keliru. Sebab kalau dicermati secara seksama dan terperinci, maka sesungguhnya pengamal tahlilan lah yang lebih banyak dan giat melakukan sunnah dan memotivasi kaum Muslimin untuk melakukan sunnah. Masyarakat digiring untuk melakukan sunnah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersama-sama sehingga tercipta sikap kepedulian hingga persatuan kaum Muslimin. Misalnya ketika mengadakan kegiatan tahlilan yang telah menjadi kebiasaan di masyarakat Muslim maka sesungguhnya mereka telah membiasakan diri dengan sunnah-sunnah sebagai berikut :

1. Masyarakat berkumpul dalam sebuah majelis dzikir, perhatikan bukankah ini memang sunnah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam ?. Banyak hadits yang masyhur tentang hal ini, misalnya :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ
“Sesungguhnya Nabi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda : apabila kalian berjalan ke taman surga maka bergabunglah kalian”, para sahabat bertanya : “apa itu taman surga (riyadlul jannah) ?”, Nabi menjawab : “perkumpulan dzikir”. [1]
لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah sekelompok orang berkumpul dan berdzikir kepada Allah kecuali mereka dikelilingi oleh para Malaikat, diliputi rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah sebut mereka di kalangan para Malaikat yang mulia”. [2]

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ اللهَ، لَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلَّا وَجْهَهُ، إِلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ، قَدْ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ
“tidaklah sebuah qaum berkumpul berdzikir kepada Allah, karena mereka tiada menginginkan dengan hal itu kecuali keridlaan Allah, maka malaikat akan menyeru dari langit, bahwa berdirilah kalian dengan pengampunan bagi kalian, sungguh keburukan kalian telah digantikan dengan kebaikan”. [3]

Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman ;

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ
“(yaitu) orang-orang yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (QS. Ali Imran : 3)

Ayat ini berkorelasi dengan hadits sebelumnya,[4] yakni juga bermakna majelis dzikir. Itu karena frasa “yadzkuruuna atau mereka berdzikir” adalah dengan lafadz jama’. Artinya berdzikir bersama-sama.

2. Membaca al-Qur’an

Membaca al-Qur’an merupakan amaliyah yang bisa di baca kapan saja juga termasuk daripada dzikir, dan ini lah yang juga dibiasakan dibaca ketika tahlilan. Masyarakat digiring untuk bersama-sama membaca al-Qur’an, lebih itu masyarakat juga di ajarkan kepedualian terhadap yang meninggal dengan menghadiahkan pahalanya kepada orang mati. Hal ini, disamping di tuntut keikhlasan dari yang membaca, juga bagi yang mengajaknya terdapat pahala tersendiri, sebab tiada yang sia-sia ketika mengajak kepada kebaikan.

Surah-surah yang dibaca adalah surah-surah yang memang mudah untuk dibaca oleh masyarakat awam sekalipun sehingga tidak memberatkan atau memudahkan mereka. Misalnya membaca beberapa ayat pada surah al-Baqarah, al-Ikhlas, an-Nas, al-Falaq, Yasiin, dan lain sebagainya. Semua ayat-ayat ini mudah dibaca, sedangkan Allah berfirman :

فَاقْرَؤُا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“maka bacalah oleh kalian apa yang mudah dari al-Qur’an” (QS. Al-Muzammil : 20)

Disamping itu banyak fadlilah membaca al-Qur’an, diantaranya sebagaiman yang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sabdakan :

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ، اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ، وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ، تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ، وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ
“bacalah oleh kalian al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat kepada pembaca-pembacanya. Bacalah oleh kalian Az-Zahrawayn yakni Surah al-Baqarah dan surah Ali Imran, karena sungguh keduanya akan datang pada hari Qiamat laksana dua gumpalan awan atau laksana dua cahaya yang menyinari atau laknna dua kelompok burung yang (saling) membentangnya sayapnya dimana akan menjadi pembela bagi pembaca keduanya, bacalah surah al-Baqarah karena mengambilnya merupakan keberkahan, dan meninggalkannya mendapat penyesalan, sedangkan para tukang sihir tidak akan mempan dengannya”. [5]

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda :

مثل المؤمن الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ: كَالأُتْرُجَّةِ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ، وَالمُؤْمِنُ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ، وَيَعْمَلُ بِهِ: كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلاَ رِيحَ لَهَا، وَمَثَلُ المُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ القُرْآنَ: كَالرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ، وَمَثَلُ المُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ القُرْآنَ: كَالحَنْظَلَةِ، طَعْمُهَا مُرٌّ - أَوْ خَبِيثٌ - وَرِيحُهَا مُرٌّ
“perumpamaan orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan al-Qur’an, seperti buah Utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca al-Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak”.[6]

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ إِذَا دَخَلَ الْجَنَّةَ اقْرَأْ وَاصْعَدْ، فَيَقْرَأُ وَيَصْعَدُ بِكُلِّ آيَةٍ دَرَجَةً حَتَّى يَقْرَأَ آخِرَ شَيْءٍ مَعَهُ
“kelak akan dikatakan kepada shahibul Qur’an (pembaca al-Qur’an) ketika memasuki surga, bacalah kemudian naiklah (derajat), maka kemudian ia membacanya dan naiklah derajatnya dengan tiap-tiap ayat hingga sampai ayat terakhir yang ia baca” [7]

Selain banyaknya fadlilah berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam diatas, juga masing-masing surah dalam al-Qur’an memiliki fadliyah tertentu, seperti surah al-Fatihah yang juga dibaca pada kegiatan tahlilan, dimana diantara fadlilahnya adalah :

قُلْتُ لَهُ: «أَلَمْ تَقُلْ لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعْظَمُ سُورَةٍ فِي القُرْآنِ ، قَالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ المَثَانِي، وَالقُرْآنُ العَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
“Aku (Abu Sa’ad al-Mu’alla) bertanya (kembali) kepada Rasulullah : “bukankah tadi engkau berkata : aku akan mengajarkan kamu surah yang paling agung didalam al-Qur’an ?, Rasulullah bersabda : “al-Hamdulillahi Rabbil ‘alamiin (al-Fatihah), ia adalah As-Sab’u al-Matsani dan al-Qur’an yang agung yang telah diberikan”. [8]

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda :

قَالَ: " أَلَا أُخْبِرُكَ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ جَابِرٍ بِخَيْرِ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ؟ " قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: " اقْرَأِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حَتَّى تَخْتِمَهَا
“Maukah engkau aku khabarkan wahai Abdullah bin Jabir tentang surah yang paling bagus didalam al-Qur’an ?, aku (Jabir) berkata : “Iya wahai Rasulullah”, kemudian Rasulullah bersada : “bacalah al-Hamdulillahi rabbil ‘alamii hingga selesai (al-Fatihah)”. [9]

Kemudian juga sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang juga terkait dengan surah al-Baqarah :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: بَيْنَمَا جِبْرِيلُ قَاعِدٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَمِعَ نَقِيضًا مِنْ فَوْقِهِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: " هَذَا بَابٌ مِنَ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ، فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ، فَقَالَ: هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ، فَسَلَّمَ، وَقَالَ: أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ: فَاتِحَةُ الْكِتَابِ، وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
“dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : “ketika Jibril duduk di samping Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, mendengar suara dari atasnya, seraya mengangkat kepalanya, kemudian berkata : “pintu ini berasal dari langit yang dibuka pada hari ini yang belum pernah di buka kecuali hari ini, kemudian seorang malaikat turun dari pintu itu, dan berkata Jibaril : “malaikat ini turun ke bumi yang tidak pernah turun kecuali hari ini, maka mengucapkan salam dan berkata : “bergemberilah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu yang tidak pernah diberikan kepada Nabi sebelum engkau, yakni Fatihatul Kitab (al-Fatihah) dan ayat-ayat penutup surah al-Baqarah, tidaklah engkau membaca satu huruf dari kedua surah tersebut kecuali engkau akan diberi karunia” . [10]

Sebagaimana diketahui bahwa akhir surah al-Baqarah adalah ayat-ayat yang dibaca ketika tahlilan. Disamping itu juga Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda bahwa setan meninggalkan rumah yang dibacakan surah al-Baqarah :

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“janganlah jadikan rumah kalian sebagai kuburan, karena sesungguhnya syaithan meninggalkan rumah yang dibacakan didalam surah al-Baqarah” [11]

لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، وَإِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي يُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ، لَا يَدْخُلُهُ الشَّيْطَانُ
“sesungguhnya rumah yang dibacakan didalam surah al-Baqarah, niscaya tidak akan dimasuki oleh syaithan” [12]

Ayat Kursiy juga merupakan ayat al-Qur’an yang dibaca ketika tahlilan :

قَالَ: يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ . قَالَ: فَضَرَبَ فِي صَدْرِي، وَقَالَ: «وَاللهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “wahai Abul Mundzir, tahukah engkau sebuah ayat dari Kitabullah (al-Qur’an) yang paling agung ?, Abul Munzir berkata : “aku berkata : Allahu Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyum Qayyum (al-Baqarah : 255)”, kemudian Rasulullah menepuk pundakku”, dan beliau bersabda : “semoga Allah mempermudahkan ilmu bagimu wahai Abul Mundzir”. [13]

Didalam Tahlilan juga ada surah al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas :

قَالُوا: وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
“Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : tidakkah salah satu dari kalian mampu membaca pada malam hari seperti tiga al-Qur’an ? sahabat berkata : bagaimana membaca sepertiga al-Qur’an ? Rasulullah menjawab : “Qul Huwallahu Ahad (al-Ikhlas) setara dengan sepertiga al-Qur’an.” [14]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: أَقْبَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ . قُلْتُ: مَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: الجَنَّةُ
“Dari Abub Hurairah, ia berkata : aku datang bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, kemudian mendengar seorang laki-laki membaca Qul Huwallahu Ahad (surah al-Ikhlas), maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “wajib”, aku berkata ; “wajib apa ?”, Rasulullah bersabda : “Surga”. [15]

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ: بَيْنَا أَنَا أَقُودُ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاحِلَتَهُ فِي غَزْوَةٍ إِذْ قَالَ: «يَا عُقْبَةُ، قُلْ فَاسْتَمَعْتُ» ، ثُمَّ قَالَ: «يَا عُقْبَةُ، قُلْ فَاسْتَمَعْتُ» ، فَقَالَهَا الثَّالِثَةَ، فَقُلْتُ: مَا أَقُولُ؟، فَقَالَ: «قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ» فَقَرَأَ السُّورَةَ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَرَأَ: «قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ» وَقَرَأْتُ مَعَهُ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَرَأَ «قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ» فَقَرَأْتُ مَعَهُ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَالَ: «مَا تَعَوَّذَ بِمِثْلِهِنَّ أَحَدٌ»
“dari Uqbah bin Amir al-Juhani, ia berkata : ketika aku menuntun kendaraan Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa sallam dalam sebuah peperangan, tiba-tiba beliau berkata: "Wahai Uqbah, ucapkanlah," aku pun mendengarkan, kemudian beliau berkata (lagi): "Wahai Uqbah, ucapkanlah," aku pun mendengarkan. Dan beliau mengatakannya sampai tiga kali, lalu aku bertanya: "Apa yang aku ucapkan ?" Beliau pun bersabda : “ucapkanlah Qul Huwallahu Ahad (al-Ikhlas), kemudian membacanya sampai akhir , kemudian membaca Qul A’udu bi-Rabill Falaq (al-Falaq), , kemudian membacanya sampai akhir, kemudian membacanya Qul A’udzu bi-Rabbin Nass (an-Nas), kemudian aku membacanya sampai selesai, kemudian beliau bersabda : “tidak ada seorang pun yang berlindung seumpama orang yang berlindung dengannya”. [16]

Dan masih banyak lagi bacaan-bacaan yang terkait al-Qur’an yakni surah al-Qur’an ataupun ayat al-Qur’an yang ada pada tahlilan dimana masing-masing memiliki keutamaan tersendiri. Tentunya tidak mungkin disebutkan dalam tulisan singkat ini.

3. Membaca Shalawat

Membaca shalawat sangat dianjurkan, apalagi pada sebuah majelis dzikir seperti tahlilan, dan banyaknya fadliyah yang terkandung didalamnya, seperti misalnya sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ
“barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali niscaya Allah bershalawat kepadanya 10 kali, digugurkan sepuluh kesalahan-kesalahannya, dan di angkat sebanyak 10 derajat baginya” [17]

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا ثُمَّ تَفَرَّقُوا عَنْ غَيْرِ صَلَاةٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا تَفَرَّقُوا عَلَى أَنْتَنِ مِنْ رِيحِ الْجِيفَةِ
“tidaklah duduk sebuah qaum kemudian mereka perpisah tanpa bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam kecuali mereka berpisah membawa yang lebih buruk dari bangkai” [18]

أوْلى النَّاسِ بي يَوْمَ القِيامَةَ أَكْثَرُهُمْ عَليَّ صَلاةً
Nabi bersabda : “manusia yang paling utama pada hari qiyamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku”. [19]

لا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيداً وَصَلُّوا عليَّ، فإنَّ صَلاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
“janganlah kalian jadikan kuburku sebagai ‘ied dan bershalawatlah kepadaku, sebab sungguh shalawat kalian sampai kepadaku seketika kalian berada” . [20]

3. Membaca Do’a.

Membaca doa sangat dianjurkan, apalagi berdo’a kebaikan untuk saudaranya baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Ditambah lagi dilakukan secara bersama-sama maka itu lebih dekat di ijabah. Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Ak-Mu’miin : 60)

وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr : 10)

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal” (QS. Muhammad : 19)

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (QS. Ibrahim : 41)

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.” [21]

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, “Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu” [22]

عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، قَالَ: إِنَّ دَعْوَةَ الْأَخِ فِي اللَّهِ تُسْتَجَابُ
“dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, ia berkata : sungguh mendo’akan saudaranya karena Allah adalah mustajab” [23]

4. Membaca Dzikir –Dzikir yang lain.

Dzikir-dzikir lainnya semisal tasybih, tahmid, tahlil, takbir, dan lain sebagainya. Telah banyak tersebar mengenai faidah-faidanya. Inilah juga yang dibiasakan didalam tahlilan, maka betapa banyak faidah yang didapat oleh mereka yang senantiasa membacanya apalagi dilakukan bersama-sama. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: " مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ، غُرِسَتْ لَهُ نَخْلَةٌ فِي الجَنَّةِ
“barangsiapa yang mengucapkan : “Subhanallahil ‘Adhim wa Bihamdih” ditanamkan baginya sebatang pohon kurma di surga”. [24]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ قَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ
“barangsiapa yang mengucapkan “Subhanallah wa bi-Hamdih” didalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya dihapuas seratus kali kesalahan walaupun laksana buih di lautan”. [25]
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي المِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ
“dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda : “dua kalian yang ringan di lisan (diucapkan), keduanya berat di timbangan dihadapan Yang Maha Penyayang, yakni Subhanallahil ‘Adhim, Subhanallahi wa bi-Hamdihi”. [26]
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي المِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ، سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ العَظِيمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “dua kalian yang ringan di lisan (diucapkan), keduanya berat di timbangan serta dicintai oleh Yang Maha Penyayang, yakni Subhanallahi wa bi-Hamdihi, Subhanallaahil ‘Adhim”. [27]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : sungguh jika aku mengucapkan Subhanallah wal Hamdulillah wa Laa Ilaaha Illalla wa Allahu Akbar, lebih disukai bagiku daripada disinari oleh terbitnya mentari”. [28]
مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، عَشْرَ مِرَارٍ كَانَ كَمَنْ أَعْتَقَ أَرْبَعَةَ أَنْفُسٍ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ
“barangsiapa yang mengucapkan : “laa ilaaha ilallaahu wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kullli syay-in qadiir”, sebanyak sepuluh kali maka ia seperti orang yang memerdekakan budak empat jiwa seperti keturunan Nabi Ismail” [29]
قَالَ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ: أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ، فَقُلْتُ: بَلَى، يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: " قُلْ: لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, wahai Abdullah bin Qays, mau engkau ku tunjukkan pembendaharaan surga ?, maka aku (Ibnu Qays) berkata : iya wahai Rasulullah”, kemudian Rasulullah berkata : “katakanlah, “Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billaah”. [30]
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ؛ أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ، فِي الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ: أَنَّهَا قَوْلُ الْعَبْدِ: اللهُ أَكْبَرُ. وَسُبْحَانَاللهِ. وَالْحَمْدُ للهِ. وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
“kalimat-kalimat yang bagus yakni ucapan seorang hamba : “Subhanallah, al-Hamdulillah, laa ilaaha illaa Allah, laa hawla wa laa quwwata ilaa billah”. [31]

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «اسْتَكْثِرُوا مِنَ الْبَاقِيَاتِ الصَّالِحَاتِ» قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الْمِلَّةُ» ، قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الْمِلَّةُ» ، قِيلَ: وَمَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: التَّكْبِيرُ، وَالتَّهْلِيلُ، وَالتَّسْبِيحُ، وَالتَّحْمِيدُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : perbanyaklah kalian dengan kalimat-kalimat yang baik, dikatakan “apa itu wahai Rasulullah ?, beliau menjawab “al-Millah”, dikatakan lagi “apa itu wahai Rasulullah ?”, beliau menjawab : “al-Millah”, dikatakan lagi : “apa itu wahai Rasulullah ?”, beliau menjawab : “Takbir, Tahlil, Tasbih, Tahmid, dan Laa Hawlaa wa laa Qawwata ilaa billaah”. [32]
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَحَبُّ الْكَلَامِ إِلَى اللهِ أَرْبَعٌ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ. لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ
“perkataan yang paling dicintai oleh Allah adalah empat yakni “Subhanallah wal Hamdulillah wa Laa Ilaaha Illallaahu wa Allahu Akbar”, tidak masalah bagimu memulai dari yang mana saja”. [33]

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: عَلِّمْنِي كَلَامًا أَقُولُهُ، قَالَ: " قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ " قَالَ: فَهَؤُلَاءِ لِرَبِّي، فَمَا لِي؟ قَالَ: قُلْ: اللهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي
“dari Mush’ab bi Sa’d, dari ayahnya, ia berkata : seorang arab datang kepada Rasulullah seraya berkata : “ajarkanlah kepadaku ucapakan untuk aku baca”, Rasulullah bersabda : katakanlah “laa ilaaha illaLlaah wahdahu laa syariyka lah, Allahu Akbar Kabiiran, wal Hamdulillahi Katsiran, Subhanallahi Rabbil ‘Alamiin, Laa Hawla wa laa Quwwata illaa bil-Laahil ‘Azizil Hakiim”, seorang Arab tersebut berkata : semua itu untuk Rabb-ku, namun mana untukku ?”, Rasullah bersabda : “katakanlah “Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, berilah petunjuk kepadaku dan limpahkanlah rizki kepadaku”. [34]
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الحَمْدُ لِلَّهِ
“dzikir yang utama adalah Laa ilaaha Ilallahu, sedangkan do’a yang paling utama adalah al-Hamdulillah”. [35]

5. Mempererat Shilaturahim.

Disamping mengamalkan berbagai macam bacaan diatas, didalam tahlilan juga sebagai sarana shilaturahim antara kaum muslimin, baik kerabat atau pun tetangga, sehingga tercipta ikatan yang lebih erat, disamping rasa kepedulian sesama muslimin. Allah subhanahu wa Ta’alaa berfirman :

وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisaa’ : 1)
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk." (QS Ar-Ra’d : 21).
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“barangsiapa yang menginginkan diperluas rizkinya dan dimakmurkan usianya, maka sambunglah shilaturahim” [36]
قَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ، وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Rasulullah bersabda : wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah kasih sayang (lakukanlah shilaturahim), shalatlah dimalam hari dimana manusia sedang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat”. [37]

6. Persatuan – Persaudaraan Sesama Muslim.

Dengan senantiasa bershilaturahim apalagi bersama-sama dengan masyarakat muslim, maka akan dengan mudah tercipta persatuan diantara kaum muslimin. Hal itu dikarenakan efek dari kebaikan, rasa solidaritas, serta kerelaan seorang muslim untuk mendo’akan saudaranya muslim lainnya, juga shilaturahim yang dilakukan. Berbuat demikian, akan semakin menampakkan rasa persaudaraan sesama Muslim, dimana berulang kali ditegaskan bahwa sesama muslim adalah bersaudara :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat : 10)
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“orang mukmin bagi mukmi lainnya seperti sebuah bagunan dimana sebagiannya menguatkan bagian lainnya” [38]
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang mukmin didalam hal kasih sayang, rahmat dan kelemah lembutan laksana satu tubuh jika salah satu bagian tubuh merasa sakit maka seluruh tubuh ikut merasakannya dengan panas dan demam”. [39]
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“seorang muslim adalah orang yang memberikan rasa selamat kepada muslim lainnya dari lisannya dan tangannya”. [40]

Dengan menyadari hal ini, maka tidak akan mudah menyakiti sesama muslim dengan berbagai tuduhan-tudahan yang mengiris hati saudaranya.

7. Sebagai sarana syiar Islam

Tahlilan juga sebagai sarana penyebaran Islam yang sangat ampuh, disamping juga dalam menampakkan syiar Islam, sehingga masyarakat muslim terlihat jelas dengan kebiasaan yang ada dilingkungannya. Syiar seperti inilah yang telah dilakukan oleh para nenek moyang seperti walisongo dan yang lainnya. Itulah bentuk ketakwaan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’alaa nyatakan didalam al-Qur’an :

وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah , maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. al-Hajj : 32)

9. Shadaqah (menggalakkan shadaqah bagi yang mampu).

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. an-Anfaal : 3)
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran : 92)
وَالصَّلَاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“shalat adalah nur, shadaqah adalah bukti (burhan), shabar adalah sinar, dan al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau terhadapmu”. [41]

10. Terkait dengan memulyakan tamu (ikramudl dlaif) : dalam rangka memulyakan (menghormati) tamu yang hadir, biasanya tuan rumah menghidangkan beberapa makanan ringan, motivasi seperti ini merupakan anjuran sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ،
“barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka mulyakanlah tamunya”. [42]

11. Niat baik dan ucapan yang baik : tujuan-tujuan melakukan tahlilan tentunya tidak lepas dari niat shalih, baik dari sisi tuan rumah seperti dalam rangka mengajak kaum muslimin untuk mendo’akan saduaranya yang meninggal dunia, menghormati tamu, menshadaqahkan hartanya sendiri yang pahalanya dihadiahkan untuk keluarganya yang meninggal dan lain sebagainya. Ataupun dari sisi kaum muslimin yang hadir, juga dalam rangka mendo’akan saudaranya yang telah meninggal, memenuhi undangan, menghibur keluarga almarhum dan lain sebagainya. Niat baik inilah yang dinilai serta apa yang diucapkan tidak akan pernah sia-sia, sebagaimana sabda Nabi shallalllahu ‘alayhi wa sallam :

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“sesungguhnya amal-amal tergantung dengan niatnya” [43]

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً
“Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan, kemudian menjelakan yang demikian, maka barangsiapa yang berkeinginan melakukan kebaikan namun tidak sampai melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, maka jika ia berkeinginan dengannya kemudian melakukannya niscaya Allah akan mencatatkan untuknya sepuluh macam kebaikan sampai 700 kali lipat kemudian hingga berlipat-lipat yang banyak ; barangsiapa yang berkeinginan melakukan keburukan namun ia tidak mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya kebaikan yang sempurna, namun jika ia mengerjakannya niscaya Allah mencatatkan untuknya satu macam keburukan”. [44]

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. al-Qaaf : 18)

مَن كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعاً إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. al-Fathir : 10)

12. Dan lain sebagainya, yang tentunya tidak ada habis-habisnya kalau satu persatu dirinci keutamaannya, maka cukup ini saja sebagai petunjuk tentang banyaknya amalan sunnah yang diamalkan oleh kaum Muslimin yang melakukan tahlilan, maka jika boleh dipribahasakan adalah :

“SEKALI MENDAYUNG BERIBU-RIBU PULAU TERLAMPAU”

Semoga tulisan ini bermanfaat, dan jangan sampai kita meninggalkan kebiasaan yang baik seperti ini, apalagi menyesatkan yang mengamalkan seluruhnya, na’udzubillah.

Wallahu A’lam []
Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan).

Catatan Kaki :
[1] Sunan at-Turmidzi no. 3510 ; hadits ini dinilai hasan.
[2] Shahih Muslim no. 2700 ; Musnad Ahmad no. 11875
[3] Musnad Ahmad no. 12453
[4] Lihat : Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil lil-Imam al-Baidlawi [2/54]
[5] Shahih Muslim no. 804
[6] Shahih Bukhari no. 5059 & 5427 ; Shahih Muslim no. 797 ; Sunan At-Turmidzi no. 2865.
[7] Sunan Ibnu Majah no. 3780, hadits ini shahih.
[8] Shahih Bukhari no. 4474
[9] Musnad Ahmad no. 17597
[10] Shahih Muslim no. 806 ;
[11] Shahih Muslim no. 780 ;
[12] Musnad Ahmad no. 8914.
[13] Shahih Muslim no. 810 ; Sunan Abi Daud no. 1460 ;
[14] Shahih Muslim no. 811
[15] Sunan At-Turmidzi no. 2897, Hadits hasan shahih.
[16] Sunan an-Nasaa’i no. 5430 , hadits ini shahih.
[17] Sunan an-Nasaa’i no. 1297, shahih
[18] As-Sunan al-Kubra an-Nasaai no. 10172 ;
[19] Sunan at-Turmidzi no. 484, hadits hasan ; Shahih Ibnu Hibban no. 911.
[20] Sunan Abi Daud no. 2042, hadits shahih.
[21] Shahih Muslim no. 2732.
[22] Shahih Muslim no. 2733.
[23] Al-Jami’ fil Hadits li-Ibni Wahab no. 161 ; Adabul Mufrad [624]
[24] Sunan at-Turmidzi no. 3464, hadits hasan shahih.
[25] Shahih Bukhari no. 6405
[26] Shahih Bukhari no. 6406
[27] Shahih Bukhari no. 6682 ; Muslim no. 2694
[28] Shahih Muslim no. 2695 ; Sunan At-Turmidzi no. 3597
[29] Shahih Muslim no. 2693
[30] Shahih Muslim no. 2704
[31] Muwatha’ Malik no. 715
[32] Musnad Ahmad no. 11713
[33] Shahih Muslim no. 2137
[34] Shahih Muslim no. 2696
[35] Sunan at-Turmidzi no. 3383, Hadits hasan.
[36] Shahih Bukhari no. 5986
[37] Sunan Ibni Majah no. 3251, hadits shahih
[38] Shahih Muslim no. 2585
[39] Shahih Muslim no. 2586
[40] Shahih Bukhari no. 10
[41] Shahih Muslim no. 223
[42] Shahih Bukhari no. 6018
[43] Shahih Bukhari no. 1
[44] Shahih Bukhari no. 6491