يَا رَبَّنَا بِجَاهِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ ï وَجَاهِ حَامِلِ لِوَاءِ الْوَاصِلِيْنَ

Ya Allah, Ya Tuhan kami dengan pangkat kebesaran pemilik mahkota ahli ma'rifah dan pangkat pemegang bendera kelompok manusia yang telah wushul (sampai ke puncak keyakinan)


قُدْوَتِنَا وَشَيْخِنَا التِّجَانِي ï قَائِدِنَا لِمَنْهَجِ الْعَدْنَانِي

Panutan dan guru kami yakni Syekh Ahmad Tijani, seorang pemandu yang menyampaikan kami kepada tuntunan Nabi Muhammad

يَا رَبِّ ثَبِّتْنَا عَلَى اْلإِيْمَانِ ï وَاحْفَظْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْكُفْرَانِ

Ya Tuhanku tetapkan kami atas iman dan jaga hati kami dari segala bentuk kekufuran

وَاحْمِ جَمِيْعَنَا مِنَ الشَّيْطَانِ ï وَحِزْبِهِ مِنْ إِنْسٍ أَوْ مِنْ جَانِّ

Lindungi kami dari kejahatan syetan dan kelompoknya dari bangsa manusia dan jin


نَسْأَلُكَ التَّوْبَةَ وَالتَّوْفِيْقَ ï وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ وَالتَّحْقِيْقَ

Kami mohon kepada-Mu taubat dan mendapat kekuatan untuk melakukan kebaikan, ilmu dan pengamalan serta ketepatan dalam segala hal


وَالصَّبْرَ وَالنَّصْرَ عَلَى اْلأَعْدَاءِ ï وَالْجَمْعَ فِي الذِّكْرِ عَلَى الْوِلاَءِ

Berikan kami kesabaran dan kemenangan atas musuh-musuh. Dan jadikan kami selalu berkumpul bersama dalam melakukan dzikir


وَالْفَوْزَ بِالنَّعِيْمِ فِي الْجِنَانِ ï مَعَ النَّبِيّ وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Mendapat kesuksesan dengan mendapat ni'mat di surga bersama Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani


مَا لَنَا فِي الْكَوْنِ سِوَى الرَّحْمَانِ ï وَالْمُصْطَفَى وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Kami tidak memiliki harapan apa-apa di alam ini melainkan kepada-Mu Ya Allah (Yang Maha Pengasih), manusia terpilih Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani

هَذِي هَدِيَّةٌ بِفَضْلِ اللهِ ï مِنَّا إِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Dzikir ini merupakan hadiah untukmu Ya Rasulullah dari kami yang semata-mata merupakan pemberian Allah


هَدِيَّةً لِلْمُصْطَفَى الْعَدْنَانِي ï نِيَابَةً عَنْ شَيْخِنَا التِّجَانِي

Hadiah penghormatan buat manusia terpilih Nabi Muhammad keturunan Adnan juga sebagai mandate dari guru kami syekh Ahmad Tijani

آميْنَ آميْنَ اسْتَجِبْ دُعَانَا ï وَلاَ تُخَيِّبْ سَيِّدِي رَجَانَا

Terimalah, terimalah dan kabulkan Ya Allah, doa-doa kami. Jangan Kau kecewakan segala harapan kami

Doa ini merupakan Qashidah tawassul kepada Syekh Ahmad Tijani Radhiyallahu Anhu. qashidah ini biasanya dibaca setelah selesai membaca wirid lazimah dan wazhifah.

Dikutip dari kitab Ghayatul Muna Wal Murad Fima Littijaniy Minal Aurad halaman 27.

Minggu, 24 Maret 2013

MENANGGAPI PERTANYAAN BODOH "APAKAH ADA DALILNYA PERAYAAN MAULID NABI???

MENANGGAPI PERTANYAAN BODOH "APAKAH ADA DALILNYA PERAYAAN MAULID NABI???

Pertanyaan ini sering kali dilontarkan oleh orang-orang yang menobatkan dirinya sebagai Manhaj Salaf dan anti bid'ah. Perlu diketahui, bahwa PERAYAAN Maulid Nabi itu adalah sebuah adat/kebiasaan bukan sebuah Syari'at, ingat : "PERAYAAN"nya itu adalah sebuah ADAT/KEBIASAAN bukan sebuah SYARI'AT !" karena tidak ada dalil khusus perintahnya pada perayaan tersebut, dan juga tidak ada dalil khusus akan larangannya dari Syara'. Maka karena Perayaan itu sebuah adat, maka berlaku padanya qo'idah ilmu ushul fiqh :

الأصل في العبادات المنع إلا إذا ورد بها الشرع والأصل في العادات الإباحة

(Al Ashlu fil 'ibaadati Al Man'u, illa idza waroda biha Asysyar'u, wal Ashlu fil 'aadaati al ibaahah)

"Asal hukum ibadah adalah dilarang, sehingga datang perintah dari Syara' (Agama) untuk melakukannya. Sedangkan hukum 'adat/kebiasaan itu adalah dibolehkan".

الإباحة اصطلاحا هو ما لا حرج على المكلف في فعله ولا تركه لذاته ، أو هو ما خير بين فعله وتركه من غير تخصيص أحدهما بثواب ولا عقاب

(Al Ibaahatu Ishthilaahan, hua maa laa haroja 'alal mukallafi fi fi'lihi, walaa tarkihi lidzaatihi, ao hua maa khoerun baina fi'lihi wa tarkihi min ghoiri takhshiishi ahadihimaa bi tsawaabin walaa 'iqoobin)

"Boleh" menurut istilah (secara Syari'at) ialah perbuatan yang tidak jadi dosa bagi orang MUKALLAF (Orang yang sudah tertuntut oleh hukum Syari'at), baik didalam mengerjakannya atau meninggalkannya. Atau bisa jadi diantara mengerjakan dan meninggalkannya itu lebih baik dengan tanpa harus menentukan salah satu dari keduanya itu dengan pahala atau siksa.

يكون المباح حراماً إذا اختلط بمحرم أو كان وسيلة له

(Yakuunu Al Mubaahu harooman, idza ikhtalatho bimuharromin, ao kaana wasiilatan lahu).

"Sesuatu yg dibolehkan bisa berubah jadi haram, jika di campuri dengan perkara yg di haramkan. Atau ia menjadi sebuah wasilah/perantara untuk perkara yg diharamkan".

المباح قد ينقلب مندوباً أو واجباً أو حراماً أو مكروهاً بالنية أو لكونه وسيلة, أن للوسائل حكم المقاصد, ويتغير الحكم بتغير القصد

(Al mubaahu qod yanqolibu manduuban ao waajiban ao harooman ao makruuhan binniyyati, ao likaonihi wasiilatan، anna lil wasaaili hukmul maqooshidi, wa yataghoyyarul hukmu bitaghoyyuril qoshdi)

"Al MUBAAH" (Perkara yg dibolehkan), sewaktu2 bisa berubah hukumnya menjadi sunat, wajib, haram dan makruh, tergantung bagaimana NIATnya atau karena keadaannya merupakan suatu wasilah/perantara saja, maka untuk segala perkara yang hanya merupakan perantara itu berlaku padanya Hukum Niatnya. Dan hukumnya itu bisa berubah, dengan berubahnya tujuan/niat itu sendiri".

Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari qidah-qaidah ushul diatas :

1. Kita tidak boleh melakukan suatu ibadah yang tidak ada dalil perintahnya dari agama sama sekali, karena melakukan suatu amalan ibadah itu nunggu/membutuhkan adanya perintah ! Adat boleh dilakukan selama tidak ada dalil larangannya dari agama sama sekali.

Jadi kita harus bisa bedakan antara ibadah dan adat. Kalau ibadah harus selalu ada dalil perintahnya untuk mengerjakannya. Maka pantaslah seseorang menanyakan dalil perintah atau anjurannya suatu perkara dari agama, jika memang perkara itu adalah perkara ibadah.
NAMUN SUNGGUH TIDAK PANTAS MELAINKAN SANGAT LUCU JIKA SESEORANG BERSIKERAS MENANYAKAN DALIL PERINTAH/ANJURAN ATAS SUATU ADAT/KEBIASAAN ! Karena adat bukanlah ibadah, adat tidak membutuhkan atau harus menunggu perintah dulu untuk melakukannya. Misalnya seseorang punbya adat/kebiasaan dalam sholatnya setiap ia selesai membaca Al Fatihah dan Surat lainnya dalam tiap rokaat, ia selalu mengakhirinya bacaannya dengan membaca surat Al Ikhlas (Qul Huwa Allohu Ahadun), hingga menimbulkan protes dari sahabat lainnya karena merasa kelamaan ketika bermakmum pada sahabat tersebut, lalu mengadukannya pada Rosululloh (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama), Rosul (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama) tidak serta merta menyalahkan sahabat yang diadukan tersebut sekalipun hal kebiasaan sahabat tersebut itu tidak pernah Rosul contohkan atau anjurkan, dengan bijak Rosul bertanya, "Apa alasannya?" Sahabat tersebut menjawab, bahwa itu karena kecintaannya saja terhadap surat Al-Ikhlash, hingga ia selalu ingin mengakhiri tiap bacaan Surat Al-Quran dalam sholatnya itu dengan Surat Al-Ikhlash. Lalu Rosul berkata padanya :

حبك إياها يدخلك الجنة

Hubbuka iyyaahaa, Yudkhiluka Al Jannah

"Sebab kecintaanmu padanya (Surat Al-Ikhlas) itu, yang akan membuatmu masuk sorga!"

Nahhh ??? Rosul (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama) ternyata tidak menyalahkan atau memarahi sahabat tersebut ? Padahal sahabat tersebut, padahal itu sahabat membiasakan dirinya pada hal yang tidak pernah Rosul contohkan atau perintahkan sama sekali !
Jadi tidak benar semua hal yg tidak pernah Rosul kerjakan atau perintahkan itu dilarang oleh agama, jika demikian, maka itu jelas bertentangan dengan firman Alloh Ta'ala :

وما أتاكم الرسول فخذوه ، وما نهاكم عنه فانتهوه

“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.­­(al-Hasyr:7)

Dalam firman Allah Ta'ala di atas disebutkan “Apa yang dilarang oleh Rasulullah atas kalian, maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini berarti bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rosulullah bukan sesuatu yang ditinggalkannya yang diharamkan. Sesuatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rosulullah (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama) . Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.

Jadi sangat lucu jika ada yang melarang atau mengharamkan suatu perkara lebih-lebih adat/kebiasaan dengan dalih Rosululloh tidak pernah mengerjakan dan mengajarkannya, sungguh lancang sekali orang semacam itu, ia sudah berani membuat hukum yang sama sekali agama tidak menghukuminya, ini merupakan suatu kedustaan dalam agama, ia telah berdusta atas nama Rosululloh (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama) bahkan tak jarang dalam dustanya itu mengatasnamakan para Sahabat dan Ulama juga.

Termasuk pada masalah Perayaan Maulid Nabi, ini merupakan suatu adat, maka hanya orang dungu yang akan menanyakan dalil perintah atas suatu adat !

Sebaliknya bagi yang membenci perayaan maulid Nabi dan bahkan berani melarangnya, apakah anda punya dalil larangannya ? Anda berani melarang dan mengharamkan pada suatu hal yang dibolehkan sesuai kaidah hukum agama ! Mana dalil larangannya ?

Selanjutnya, saya akan mencoba menuqil tentang hal-hal yang berkaitan dengan Perayaan Maulid Nabi, juga pengertiannya,

Perayaan Maulid Nabi (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama).

Secara bahasa maulud adalah waktu kelahiran. Secara istilah diartikan: mengagungkan sebagai rasa syukur dan gembira atas kelahiran Rasul SAW yang biasanya dilakukan pada bulan rabi’ul awal atau Mulud.

Dalil-dalil anjuran dasar unutuk mengagungkan Maulid Nabi (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama) :

Walaupun dalam kenyataannya tata cara mengagungkan Maulid Nabi SAW berbeda-beda, Namun pada hakikatnya dari peringatan Maulid Itu sama saja, yaitu Marasa gembira dan bersyukur atas kelhiran Rasululloh SAW yang mana kelahiran Rasululloh SAW adalah sebuah anugerah Alloh kepada kita yang harus disyukuri, sebagaimana firman Alloh SWT:

قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا(يونس:١٥٨)

“Katakanlah (Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Alloh (kepada kalian), maka bergembiralah mereka.”(QS.Yunus:58)

Maka adakah anugerah dan rahmat Alloh yang lebih istimewa dari Rosululloh (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama) bagi umatnya ? Apakah kita sebagai umat tidak boleh bergembira sesuai ayat diatas ? Padahal kita adalah umat yang di anugerahi dan dirahmati dengan dijadikannya kita sebagai umat Nabiyyur Romat !

1. Dalam sebuah hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa Rasululloh SAW mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:

عَنْ أَبِي قَتَادَتَ اْلاَنْصَارِيِّ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ ولُدِتْ ُوَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ(رواه مسلم، ١٩٧٧)

“Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasululloh pernah ditanya tentang puasa senin, maka beliau menjawab:” Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.”(HR.Muslim:1977)

2. Dalil Kedua,

وَقَالَ اْلاُسْتَاذُ اْلاِمَامُ الْحَافِظُ اْلمُسْنَدُ الذُّكْتُوْرُ اْلحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبْدِ اْلقَادِرِ بَافَقِيْهِ بِأَنَّ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ مَارَوَاهَ ابْنُ عَسَاكِرَ فِى التَّاريْخِ فِى الْجُزْءِ اْلاَوَّلِ صَحِيْفَةُ سِتَّيْنِ وَقَالَ الذَّهَبِى صَحِيْحٌ اِسْنَادُهُ.

Ustadz Imam al-Hafidz al-Musnid DR. Habib Abdullah Bafaqih mengatakan bahwa hadis “man ‘azhzhama maulidy kuntu syafingan lahu yaum al-qiyamati” seperti diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Kitab Tarikh, juz 1,hlm 60, menurut Imam Dzaraby sahih sanadnya.

3. Dalil ketiga dalam kitab Madarij Ash-shu’ud Syarah al-Barzanji, hlm 15:

قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ.

Rosululloh bersabda: "Siapa menhormati hari lahirku, tentu aku akan memberikan syafa’at kepadanya dihari Kiamat".

4. Dalil keempat dalam Madarij as-Shu’ud, hlm.16

وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِ النَّبِي صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ اَحْيَا الْاِسْلَامَ.

Umar Ra, mengatakan: siapa mengagungkan hari lahirnya Rosululloh sama artinya ia telah menghidupkan Islam.

5. Sekitar lima abad yang lalu Imam Jalaluddin al-Shuyuthi (849-910 H/1445-1505 M) pernah menjawb polemik tentang perayaan Maulid Nabi SAW. . Beliau mengatakan di dalam risalahnya “Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan seperti berikut:

“عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ”.

Artinya:
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, merupakan kumpulan orang-orang beserta bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) yang melakukannya akan memperolehi pahala. Kerana perkara seperti itu merupakan perbuatan mengagungkan tentang kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakkan (menzahirkan) akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya (rasulullah) yang mulia. Orang yang pertama kali melakukan peringatan maulid ini adalah pemerintah Irbil, Sultan al-Muzhaffar Abu Sa`id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami` al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.

6. Bahkan hal ini juga diakui oleh Ibnu Taimiyyah, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al – Maliki:

"وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام، وإما محبة للنبي وتعظيما له، والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع، وأكثر هؤلاء الناس الذين تجدونهم حرصاء على أمثال هذه البدع، مع ما لهم فيها من حسن المقصد والاجتهاد الذي يرجى لهم به المثوبة، تجدونهم فاترين في أمر الرسول عما أمروا بالنشاط فيه. واعلم أن من الأعمال ما يكون فيه خير لاشتماله على أنواع من المشروع، وفيه أيضا شر من بدعة وغيرها، فيكون ذلك العمل شرا بالنسبة إلى الإعراض عن الدين بالكلية، كحال المنافقين والفاسقين.. تعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس، ويكون له فيه أجر عظيم، لحسن قصده، وتعظيمه لرسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ أنه يحسن من بعض الناس ما يستقبح من المؤمن المسدد."

“Ibnu Taimiyyah berkata,”Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAW, akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS, dan ada kalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.”(Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush Bain al-Nadzhariyyah wa al-Tathbiq, hal 399).

Selama ini Ibnu Taimiyah dijadikan panutan bagi kelompok – kelompok yang mengingkari, bahkan mengatakan bahwa tradisi dan Amaliah – amaliah Aswaja itu bid’ah(Sesat).

7. Fatwa al-Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffadzh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-`Asqalani. Beliau menyatakan :

“أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”. وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ”.

Artinya:
“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukilkan daripada (ulama’) al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi meskipun demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barang siapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al Hafidzh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas akan adanya dalil yang tsabit (Sahih).

8. Fatwa al-Imam al-Hafizh al-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “al-Ajwibah al-Mardliyyah”, seperti berikut:

“لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ “بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ”.

Artinya:
“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar sentiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai-bagai sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian al-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling sahih adalah malam senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh kerananya tidak mengapa melakukan kebaikan bila pun pada siang hari dan waktu malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada siang hari dan waktu malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya”

9. Ibnu Katsir sangat memuliakan dan memuji malam kelahiran Nabi (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama) :
Ibnu Hajar Al 'Asqolani mengisahkan tentang Ibnu Katsir dalam Kitab "Durorul Kaminah"nya, bahwa sesungguhnya Ibnu Katsir pernah bercerita kalau ia tengah menyusun sebuah kitab yg berjudul "Maulidu Rosuulillah (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama) dan kitab ini amat masyhur. Kitab ini membahas tuntas akan fadlilah dan keutamaan dalam merayakan kelahirannya Nabi (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama) , didalam Hal 19 dalam kitab tersebut Ibnu Katsir juga menjelaskan :

"إن ليلة مولد النبي صلى الله عليه وسلم كانت ليلة شريفة عظيمة مباركة سعيدة على المؤمنين، طاهرة، ظاهرة الأنوار جليلة المقدار".

Sesungguhnya malam Maulidnya Nabi (Sallallohu 'alaihi wa 'ala aalihi wa shohbihi wa sallama) itu merupakan malam yg mulia dan agung, malam yg diberkahkan dan penuh kebahagiaan bagi orang2 mukmin, malam yg suci, cahayanya memancar dan agung kedudukannya disisi Alloh.

Wallohu a'lamu wa ahkamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar