يَا رَبَّنَا بِجَاهِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ ï وَجَاهِ حَامِلِ لِوَاءِ الْوَاصِلِيْنَ

Ya Allah, Ya Tuhan kami dengan pangkat kebesaran pemilik mahkota ahli ma'rifah dan pangkat pemegang bendera kelompok manusia yang telah wushul (sampai ke puncak keyakinan)


قُدْوَتِنَا وَشَيْخِنَا التِّجَانِي ï قَائِدِنَا لِمَنْهَجِ الْعَدْنَانِي

Panutan dan guru kami yakni Syekh Ahmad Tijani, seorang pemandu yang menyampaikan kami kepada tuntunan Nabi Muhammad

يَا رَبِّ ثَبِّتْنَا عَلَى اْلإِيْمَانِ ï وَاحْفَظْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْكُفْرَانِ

Ya Tuhanku tetapkan kami atas iman dan jaga hati kami dari segala bentuk kekufuran

وَاحْمِ جَمِيْعَنَا مِنَ الشَّيْطَانِ ï وَحِزْبِهِ مِنْ إِنْسٍ أَوْ مِنْ جَانِّ

Lindungi kami dari kejahatan syetan dan kelompoknya dari bangsa manusia dan jin


نَسْأَلُكَ التَّوْبَةَ وَالتَّوْفِيْقَ ï وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ وَالتَّحْقِيْقَ

Kami mohon kepada-Mu taubat dan mendapat kekuatan untuk melakukan kebaikan, ilmu dan pengamalan serta ketepatan dalam segala hal


وَالصَّبْرَ وَالنَّصْرَ عَلَى اْلأَعْدَاءِ ï وَالْجَمْعَ فِي الذِّكْرِ عَلَى الْوِلاَءِ

Berikan kami kesabaran dan kemenangan atas musuh-musuh. Dan jadikan kami selalu berkumpul bersama dalam melakukan dzikir


وَالْفَوْزَ بِالنَّعِيْمِ فِي الْجِنَانِ ï مَعَ النَّبِيّ وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Mendapat kesuksesan dengan mendapat ni'mat di surga bersama Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani


مَا لَنَا فِي الْكَوْنِ سِوَى الرَّحْمَانِ ï وَالْمُصْطَفَى وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Kami tidak memiliki harapan apa-apa di alam ini melainkan kepada-Mu Ya Allah (Yang Maha Pengasih), manusia terpilih Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani

هَذِي هَدِيَّةٌ بِفَضْلِ اللهِ ï مِنَّا إِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Dzikir ini merupakan hadiah untukmu Ya Rasulullah dari kami yang semata-mata merupakan pemberian Allah


هَدِيَّةً لِلْمُصْطَفَى الْعَدْنَانِي ï نِيَابَةً عَنْ شَيْخِنَا التِّجَانِي

Hadiah penghormatan buat manusia terpilih Nabi Muhammad keturunan Adnan juga sebagai mandate dari guru kami syekh Ahmad Tijani

آميْنَ آميْنَ اسْتَجِبْ دُعَانَا ï وَلاَ تُخَيِّبْ سَيِّدِي رَجَانَا

Terimalah, terimalah dan kabulkan Ya Allah, doa-doa kami. Jangan Kau kecewakan segala harapan kami

Doa ini merupakan Qashidah tawassul kepada Syekh Ahmad Tijani Radhiyallahu Anhu. qashidah ini biasanya dibaca setelah selesai membaca wirid lazimah dan wazhifah.

Dikutip dari kitab Ghayatul Muna Wal Murad Fima Littijaniy Minal Aurad halaman 27.

Minggu, 24 Maret 2013

TAHLILAN DAN SODAQOH UNTUK MAYIT

TAHLILAN DAN SODAQOH UNTUK MAYIT

Sahabat Jarir bin Abdullah berkata :

كُنَّا نَرَى الاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ.

“Kami menganggap berkumpul di rumah ahli mayyit dan membuat makanan untuknya bagian daripada ratapan” (HR Ibnu Majah) (1)

Al Imam Syafi`i berkata :

وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن ويكلف المؤنة

Aku membenci mat`am yaitu perkumpulan (kematian) meskipun disitu tidak ada tangisan, karena hal itu dapat memperbaharui kesedihan dan memaksakan biaya (Al Umm)(2)

Mereka berkata

Perkataan Sahabat Jarir bin Abdullah كُنَّا نَرَى (kami menganggap) merupakan ungkapan untuk menceritakan kesepakatan para sahabat mengenai larangan berkumpul di kediaman mayyit untuk menyantap hidangan disana, atau iqrar (diamnya) Rasulullah atas pendapat ini(3). Atsar di atas merupakan hujjah mengenai kelirunya adat yang berlangsung di kalangan muslimin, yaitu acara tahlilan yang biasanya dilakukan selama tujuh hari sejak wafatnya mayit seperti adat orang-orang kafir. Acara ini diisi dengan dzikir tertentu yang pahalanya dihadiahkan kepada mayit dan diakhiri dengan hidangan dari keluarga mayit. Ini merupakan bid`ah yang tercela yang tak pernah diajarkan baik oleh Rasulullah, sahabat maupun para tabi`in bahkan termasuk bentuk ratapan yang dilarang sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi`i.

Kami menjawab

Jika kita cermati, tahlilan Lazimnya berisi pembacaan ayat-ayat Quran, macam-macam zikir, shalawat serta do`a yang pahalanya dihadiahlan bagi si mayit. Semua ini tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadits, bahkan merupakan perbuatan-perbuatan yang dianjurkan syariat dan bermanfaat, baik bagi yang menghadirinya mau pun bagi si mayit(4).

Mengenai sampainya zikir yang dihadiahkan kepada mayit, Syaikh Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam fatawanya :

يصل إلى الميت قراءة أهله وتسبيحهم وتكبيرهم وسائر ذكرهم لله تعالى إذا أهدوه إلى الميت وصل إليه والله أعلم

Sampai kepada Mayit pahala qiro`ah dari keluarganya. Sedangkan tasbih, takbir dan semua bentuk dzikir kepada Allah jika mereka menghadiahkannya kepada mayit maka pahala itu sampai kepadanya. Wallahu `alam.(5)

Sedangkan mengenai bilangan tahlil (ucapan lailaha illallah), Ibnu Taimiyah mengatakan :

إذا هلل الإنسان هكذا : سبعون ألفا أو أقل أو أكثر وأهديت إليه نفعه الله بذلك وليس هذا حديثا صحيحا ولا ضعيفا والله أعلم

“Jika seseorang bertahlil seperti itu, tujuh puluh ribu atau lebih sedikit atau lebih banyak dan dihadiahkan pahalanya bagi mayit maka Allah akan memberikan manfaat baginya dengan bacaan tersebut, dan ini (perkataan mengenaitahlil tujuh puluh ribu kali) bukan merupakan hadits, baik shohih maupun dhaif” (6)

Termasuk dalam kategori zikir adalah pembacaan alqur`an. Sebenarnya masalah sampainya amalan badaniah kepada mayit merupakan masalah khilafiyah di kalangan ulama fiqh. Menurut madzhab Hanafi, Hanbali, sebagian kecil Madzhab syafi`i dan Maliki pahala tersebut sampai kepada mayit, sedangkan menurut yang masyhur dari madzhab Syafi`i dan Maliki tidak sampai(7). Perselisihan dalam masalah furu`iyah semacam ini, tak layak untuk dijadikan sumber perpecahan umat muslim. Yang jelas, Mereka yang meyakini sampainya pahala ibadah badaniyah kepada mayit dan mengadakan tahlilan sebagai implementasi keyakinannya tersebut, memiliki basis yang kuat berupa ulama-ulama besar yang sependapat mengenai sampainya pahala amalan tersebut, diantaranya adalah Ibnu Taimiyyah.

Masalah Penghidangan makanan

Masalah penghidangan makanan yang disediakan oleh keluarga mayit termasuk masalah yang cukup rumit. Terdapat dalil yang jika dilihat sepintas seolah melarang untuk melakukannya secara mutlak, tetapi jika kita lebih cermat banyak pula dalil yang secara sepintas seolah mengizinkan hal tersebut.

Mengenai dalil yang melarang, telah berlalu atsar dari sahabat Jabir di atas, sedangkan mengenai dalil yang seolah mengizinkan adalah perbuatan Rasulullah saw sendiri. Diceritakan bahwa Rasulullah saw bersama para sahabat pernah menghadiri undangan makan dari keluarga mayit setelah berlalunya proses penguburan. Imam Abu Dawud menceritakan kisah tersebut berdasarkan riwayat salah satu sahabat Anshor :

فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه و سلم يلوك لقمة في فمه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها

Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang dihidangkan dihadapan Rasulullah, kemudian dihidangkan juga bagi kaum (sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah SAW makan dengan suapan, dan bersabda: “aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”..(HR Abu Dawud)(8)

Dalam hadits ini diceritakan Rasulullah dan sahabatnya memakan makanan yang disediakan keluarga mayit, sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membolehkan acara jamuan dari keluarga mayit yang diselenggarakan setelah kematian mayyit dengan syarat tidak diambil dari harta ahli warits yang masih kecil.(9)

Dalam atsar yang lain diceritakan :

عن أحنف بن قيس: كنت أسمع عمر يقول لايدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتي طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلى بالناس ثلاثا وأمر بأن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي همّ فيه فجاء العباس بن عبد المطلب فقال: ياأيها الناس قد مات رسول الله صلي الله عليه وسلم فأكلنا بعده وشربنا ومات أبوبكر فأكلنا بعده وشربنا أيها الناس كلوا من هذا الطعام فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا فعرفت تأويل قوله

Dari Ahnaf Bin Qays: Aku mendengar Umar ra berkata: Tidak lah masuk seseorang dari kaum Quraisy dari pintu kecuali orang-orang akan ikut masuk bersamanya. Aku tidak mengerti maksud ucapannya sehingga umar ditikam, kemudian dia memerintahkan Shuhaib untuk mengimami sholat tiga kali dan memerintahkan untuk menghidangkan makanan, Tatkala mereka kembali dari jenazah mereka datang dan telah disiapkan berbagai hidangan, tetapi kesedihan yang menimpa mereka menahan mereka untuk memakan hidangan tersebu. Kemudian datanglah Abbas Bin Abdul Mutholib seraya berkata: “Wahai manusia Rasulullah SAW telah wafat dan kita makan dan minum setelahnya, dan telah meninggal Abu Bakar RA. Dan kita makan dan minum sesudahnya, wahai manusia makanlah dari makanan makanan ini, maka dia mengulurkan tangannya dan mereka pun mengulurkan tangan tangan mereka, kemudian mereka makan dan saya tahu apa arti dari ucapan umar tersebut (HR Thabrani)(10)

Atsar di atas menunjukkan bahwa para sahabat menyantap hidangan yang telah diwasiatkan Umar untuk disantap setelah wafatnya.

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa larangan berkumpul untuk menyantap hidangan tidaklah berlaku secara mutlak. Para ulama sendiri sangat berhati-hati dalam menyikapi hal ini. Dan memang sebaiknya kita mengikuti langkah mereka mengenainya.

Para ulama sepakat mengenai kesunahan penyediaan makanan yang dilakukan oleh tetangga mayit untuk keluarga mayit selama satu hari satu malam berdasarkan sabda Nabi ketika wafatnya sahabat Ja`far :

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

“Buatlah makanan untuk keluarga Jakfar, karena mereka sedang menghadapi urusan mereka (musibah)”(HR Abu Dawud)

Sedangkan mengenai penyediaan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit, para ulama melakukan perincian hukum sebagai berikut :

Haram, jika makanan tersebut diperuntukan bagi para peratap atau ditujukan untuk meratapi kepergian mayit, karena perbuatan ini merupakan adat jahiliyah, Imam Qurtubhi berkata :

الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام والمبيت عندهم كل ذلك من فعل الجاهلية قال ونحو منه الطعام الذي يصطنعه أهل الميت في اليوم السابع ويجتمع له الناس يريدون به القربة للميت والترحم عليه

Berkumpul dengan keluarga mayit, pembuatan makanan oleh mereka serta menginap di wilayah mereka, semuanya merupakan perbuatan Jahiliyyah, begitu juga makanan yang disediakan keluarga mayit di hari ke tujuh dan perkumpulan manusia baginya dengan maksud mendekatkan diri kepada mayit dan mengasihani mayit(11)

Mendekatkan diri dan mengasihani mayit tak lain adalah ratapan atas mayit.

Begitu juga yang dikatakan Asyaikh Bakri dalam I`anatuth Tholibin serta yang disampaikan Sayyid Zaini Dahlan dalam fatwanya :

ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية

Dan haram hukumnya menyediakan makanan bagi para peratap, karena hal itu adalah bentuk pertolongan terhadap perbuatan maksiat (12)

2. Makruh, Jika penyediaan makanan tersebut hanya ditujukan untuk melakukan penjamuan dengan mengundang orang-orang untuk makan bersama mereka. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Imam Syafi`i dan hadits Jarir bin Abdullah, Syaikh Mula Ali Qori menyatakan :

وَاصْطِنَاعُ أَهْلِ الْبَيْتِ الطَّعَامَ لِأَجْلِ اِجْتِمَاعِ النَّاسِ عَلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ بَلْ صَحَّ عَنْ جَرِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كُنَّا نَعُدُّهُ مِنْ النِّيَاحَةِ وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي التَّحْرِيمِ

Membuat penjamuan yang dilakukan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengumpulkan orang-orang merupakan bid`ah yang makruh bahkan telah shohih dari Ibnu Jarir ra kami menganggapnya (perkumpulan manusia untuk makan-makan) termasuk ratapan dan itu dszohirnya menunjukkan keharaman(13)

Begitu juga makruh jika penyediaan makanan tersebut telah menjadi adat dan keharusan sehingga mereka yang tidak melakukannya akan dicela oleh masyarakat. Al Imam Ibnu Hajar Al Haitsami dalam fatwanya menjawab ketika ditanyakan mengenai hal tersebut, dan beliau menjawab :

جَمِيعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ أَوْ رِثَاءٍ

Semua hal yang ditanyakan dalam soal adalah termasuk bid`ah yang tercela akan tetapi tidak haram. kecuali jika dilakukan untuk peratap atau meyebut-nyebut kebaikan mayit.

Tetapi kemakruhan ini bisa menjadi haram jika biaya yang digunakan berasal dari harta warisan yang belum dibagikan dan di dalam ahli waris terdapat anak kecil atau tanpa persetujuan sebagian daripada ahli waris(14).

Sebagian ulama menyatakan bahwa penjamuan yang dilakukan ahli mayit adalah mubah hukumnya berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah dan sahabatnya menghadiri undangan makanan dari keluarga mayyit(15).

3. Sunnah. jika keluarga mayit menyuguhkan makan dengan tujuan sebagai shodaqoh yang pahalanya ditujukan untuk mayit, atau hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu yang datang tanpa ada unsur takalluf (membebani diri sendiri) dari keluarga mayit dalam penyuguhan tersebut.

Rasulullah saw bersabda :

ومن كان يؤمن بالله الآخر واليوم فليكرم ضيفه

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia menghormati tamunya (Mutafaq alaih)(16)

Dalam hadits tersebut Rasulullah memerintahkan kita untuk menghormati tamu tanpa membatasinya dengan waktu.

Sedangkan mengenai kesunahan shodaqoh yang dilakukan setelah wafatnya mayit, Imam Thowus (salah seorang tabi`in) meriwayatkan :

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan bersedekah makanan bagi keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.”(HR Abu Nu`aim)(17)

Sebagian ulama menyatakan bahwa riwayat di atas merupakan bentuk penceritaan ijma` di antara sahabat bahwa hal tersebut (menyediakan makanan dengan niat shodaqoh bagi mayit selama tujuh hari) telah disepakati tanpa ada yang mengingkari(18).

Meskipun atsar ini merupakan perkataan tabi`in akan tetapi sesuai dengan ketentuan dalam ilmu hadits, bahwa atsar mauquf yang menceritakan sesuatu di luar lingkup ijtihad dihukumi marfu`, sehingga atsar tersebut bisa dijadikan dalil(19).

Atsar tersebut juga merupakan bantahan terhadap mereka yang menyatakan bahwa penyediaan makanan selama tujuh hari dari keluarga mayit adalah tradisi kuffar. Yang tepat adalah, mengumpulkan orang untuk mengadakan ratapan dan menyediakan makanan bagi mereka adalah tradisi jahiliyah yang terlarang.

Berbeda halnya jika pemberian makanan selama tujuh hari yang ditujukan untuk bersedekah, maka itu bukan hanya diperbolehkan, bahkan merupakan kesunahhan para sahabat dan kaum salaf. Al Imam Suyuthi mengatakan :

إن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن وإنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول. في التواريخ كثيرا في تراجم الأئمة يقولون وأقام الناس على قبره سبعة أيام يقرؤون القرآن.

Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa kesunahan memberikan makanan selama tujuh hari berlangsung sampai saat ini di mekah dan madinah. Dan sesuai dengan dzohirnya bahwa hal tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak zaman sahabat sampai sekarang. Dan kaum yang terkemudian mengambil kebiasaan ini dari kaum yang sebelumnya sampai pada jaman permulaan (islam). Dalam kitab-kitab sejarah, mereka banyak berkata “dan orang-orang membacakan alqur`an di atas quburnya selama tujuh hari..”....(20)

Ini menunjukkan bahwa yang menjadi kebiasaan salaf bukan hanya bershodaqoh bagi mayit selama tujuh hari tetapi juga membacakan al-qur`an untuk mereka dan dalam makna tersebut, membacakan dzikir bagi mereka. Perkumpulan seperti ini bukanlah bid`ah bahkan merupakan kebiasaan salaf.

Penyebutan tujuh hari dalam atsar di atas bukanlah ditujukan untuk membatasi.

tetapi untuk menunjukkan bahwa kesunahan untuk bershodaqoh bagi mayit dan menghadiahkan pahala untuk mereka di tujuh hari pertama memang sangat ditekankan mengingat ketika itu mayit sedang diberikan ujian. Sedangkan di hari-hari lain hal itu tetap bermanfaat karena para ulama telah sepakat mengenai bermanfaatnya shodaqoh bagi mayit. Al Imam Nawawi mengatakan :

الصَّدَقَة تَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ وَيَنْتَفِع بِهَا بِلَا خِلَافٍ بَيْن الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا هُوَ الصَّوَاب

Adapun shodaqoh, itu bermanfaat bagi mayit dan mayit mendapatkan manfaat dengannya tanpa ada khilaf di antara kaum muslimin.(21)

Lebih jauh Syaikh Nawawi Al Banteni menyatakan ;

والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاده شيخنا يوسف السنبلاويني

Bersedekah bagi mayit dengan tata cara yang sesuai syariat merupakan perbuatan yang dianjurkan dan tidak ada pembatasan dengan tujuh hari, empat puluh hari, atau lebih banyak atau lebih sedikit, penentuan hari-hari itu hanyalah adat sebagaimana yang difatwakan oelh sayyid Zaini Dahlan. Dan telah berlaku adat manusia untuk bersedekah bagi mayit di hari ketiga dari wafatnya dan di hari ketujuh atau di hari kedua puluh dan empat puluh , seratus dan kemudian setelah itu setiap tahun dari hari wafatnya sebagaimana yang dikatakan Syaikh Yusuf Assunbulaniy.(22)

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa acara tahlil bukanlah sesuatu yang patut untuk dipersalahkan, baik dari segi isinya yang berupa dzikir dan do`a yang diperuntukkan bagi mayit, maupun dari segi penempatan harinya. Sedangkan mengenai hidangan dari keluarga mayit hal tersebut tidak secara mutlak diharamkan. Bahkan bisa menjadi sunnah jika diniatkan untuk Sedekah dengan syarat tidak dijadikan suatu kewajiban yang harus dilakukan dan dilakukan sesuai dengan kemampuan dengan tanpa pemaksaan diri serta tidak diambil dari harta waris tanpa persetujuan ahli waris.

Sedangkan perbuatan sebagian orang yang memaksakan diri mereka untuk melakukan Tahlilan sampai menghabiskan harta waris atau bahkan berhutang, ini merupakan bentuk kebodohan perorangan yang harus diarahkan bukan dijadikan alasan untuk melarang bersedekah untuk mayit karena sedekah bagi mayit telah disepakati kebolehannya oleh para ulama.

Referensi

(1)

سنن ابن ماجه (5/ 176(

1680 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ح وَحَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو الْفَضْلِ قَالَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِى خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِى حَازِمٍ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِىِّ قَالَ كُنَّا نَرَى الاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ.

مسند أحمد (15/ 113)

7084- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ بَابٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِىِّ قَالَ كُنَّا نَعُدُّ الاِجْتِمَاعَ إِلَى أهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ. تحفة 3230 معتلى 2113 ل

(2)

الأم (1/ 318(

)قال الشافعي) وأكره النياحة على الميت بعد موته وأن تندبه النائحة على الانفراد لكن يعزى بما أمر الله عزوجل من الصبر والاسترجاع وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن ويكلف المؤنة مع ما ضى فيه من الاثر (قتل) وأرخص في البكاء بلا أن يتأثر ولا أن يعلن

(3)

عون المعبود (8/ 282)

قاله السندي وقال أيضا قوله كنا نرى هذا بمنزلة رواية إجماع الصحابة أو تقرير من النبي صلى الله عليه و سلم وعلى الثاني فحكمة الرفع وعلى التقديرين فهو حجة وبالجملة فهذا عكس الوارد إذ الوارد أن يصنع الناس الطعام لأهل الميت فاجتماع الناس في بيتهم حتى يتكلفوا لأجلهم الطعام قلب لذلك وقد ذكر كثير من الفقهاء أن الضيافة لأهل الميت قلب للمعقول لأن الضيافة حقا أن تكون للسرور لا للحزن انتهى

(4)

نهاية الزين (ص 275)

وقال محمد أبو خضير في نهاية الأمل : والذي استقر عليه الحال من خلاف كبير أن الميت ينفعه ما يفعل له من الخيرات بعد موته, لكن لا بد أن يقصد الفاعل ثواب ذلك للميت أو يدعو له عقب الفعل بحصول الثواب له أو يكون عند قبره ويحصل لفاعل ذاك ثواب أيضا, ولو سقط ثواب الفاعل لمسقط كأن غلب الباعث الدنيوي كأن كان بأجرة فينبغي أن لا يسقط مثله بالنسبة للميت

(5)

الفتاوى الكبرى (3/ 38)

386 - / 26 - سئل : عن قراءة أهل الميت تصل إليه ؟ والتسبيح والتحميد والتهليل والتكبير إذا أهداه إلى الميت يصل إليه ثوابها أم لا ؟

الجواب : يصل إلى الميت قراءة أهله وتسبيحهم وتكبيرهم وسائر ذكرهم لله تعالى إذا أهدوه إلى الميت وصل إليه والله أعلم

(6)

الفتاوى الكبرى (3/ 38)

385 - / 25 - سئل : عمن [ هلل سبعين ألف مرة وأهداه للميت يكون براءة للميت من النار ] حديث صحيح ؟ أم لا ؟ وإذا هلل الإنسان وأهداه إلى الميت يصل إليه ثوابه أم لا ؟

الجواب : إذا هلل الإنسان هكذا : سبعون ألفا أو أقل ن أو أكثر وأهديت إليه نفعه الله بذلك وليس هذا حديثا صحيحا ولا ضعيفا والله أعلم

(7)

الفتاوى الكبرى (3/ 38)

387 - / 27 - سئل : هل القراءة تصل إلى الميت من الولد ؟ على مذهب الشافعي :

الجواب : أما وصول ثواب العبادات البدنية : كالقراءة والصلاة والصوم فمذهب أحمد وأبي حنيفة وطائفة من أصحاب مالك والشافعي إلى أنها تصل وذهب أكثر أصحاب مالك والشافعي إلى أنها لا تصل والله أعلم

(8)

سنن أبي داود (2/ 263(

3332 - حدثنا محمد بن العلاء أخبرنا ابن إدريس أخبرنا عاصم بن كيب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو على القبر يوصي الحافر " أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه " فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه و سلم يلوك لقمة في فمه ثم قال " أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها " فأرسلت المرأة قالت يارسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلي بها بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم " أطعميه الأسارى " .

قال الشيخ الألباني : صحيح

عون المعبود (7/ 315)

( اِسْتَقْبَلَهُ ) : أَيْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( دَاعِي اِمْرَأَة ) : كَذَا فِي النُّسَخ الْحَاضِرَة وَفِي الْمِشْكَاة دَاعِي اِمْرَأَته بِالْإِضَافَةِ إِلَى الضَّمِير قَالَ الْقَارِيّ أَيْ زَوْجَة الْمُتَوَفَّى

(9)

حاشية الطحاوي على المراقي (2/ 611)

كليب عن أبيه [ عن رجل من الأنصار قال : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في جنازة فلما رجع استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه و سلم يلوك اللقمة في فيه ] الحديث فهذا يدل على إباحة صنع أهل الميت الطعام والدعوة إليه بل ذكر في البزازية أيضا من كتاب الاستحسان وإن اتخذ طعاما للفقراء كان حسنا اهـ وفي استحسان الخانية وإن اتخذو لي الميت طعاما للفقراء كان حسنا إلا أن يكون في الورثة صغير فلا يتخذ ذلك من التركة اه

(10)

مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق (5/ 234)

8995-وعن الأحنف بن قيس قال: كنت أسمع عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: لا يدخل رجل من قريش من باب إلا دخل معه أناس،فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر،فأمر صهيباً أن يصلي بالناس ثلاثاً وأمر أن يجعل للناس طعاماً تلك الثلاث الأيام حتى يجتمع أهل الشورى على رجل،فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس للحزن الذي هم فيه،فجاء العباس بن عبد المطلب فقال: يا أيها الناس قد مات رسول الله صلى الله عليه وسلم فأكلنا وشربنا ص.355ومات أبو بكر رضي الله عنه فأكلنا وشربنا. أيها الناس كلوا من هذا الطعام،فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا فعرفت تأويل قوله. رواه الطبراني وفيه علي بن زيد وحديثه حسن،وبقية رجاله رجال الصحيح

المطالب العالية للحافظ ابن حجر العسقلاني (11/ 498)

4229 - قال أحمد بن منيع : ثنا يزيد بن هارون ، ثنا حماد بن سلمة ، عن علي بن زيد ، عن الحسن ، عن الأحنف بن قيس ، قال : كنت أسمع عمر بن الخطاب يقول : « لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس ، ولا أدري ما تأويل قوله ، حتى طعن عمر ، فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا ، وأمره أن يجعل للناس طعاما » فذكر الحديث ، وقد مضى في الجنائز

(11)

فيض القدير (1/ 682)

(تنبيه) قال القرطبي : الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام والمبيت عندهم كل ذلك من فعل الجاهلية قال ونحو منه الطعام الذي يصطنعه أهل الميت في اليوم السابع ويجتمع له الناس يريدون به القربة للميت والترحم عليه وهذا لم يكن فيما تقدم ولا ينبغي للمسلمين أن يقتدوا بأهل الكفر وينهي كل إنسان أهله عن الحضور لمثل هذا وشبهه من لطم الخدود وشق الجيوب واستماع النوح وذلك الطعام الذي يصنعه أهل الميت كما ذكر فيجتمع عليه الرجال والنساء من فعل قوم لاخلاق لهم. قال وقال أحمد هو من فعل الجاهلية.

(12)

إعانة الطالبين (2/ 165)

ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية. وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك..... الى ان قال ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة - كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه.

المجموع (5/ 320)

يستحب لجيران اهله ان يعملوا لهم طعاما ولو قال المصنف ويستحب لاقرباء الميت وجيران اهله لكان احسن لدخول هذه الصورة قال اصحابنا رحمه الله ولو كان النساء ينحن لم يجز اتخاذ طعام لهن لانه اعانة علي المعصية قال صاحب الشامل وغيره

(13)

تحفة الأحوذي (3/ 54)

وَقَالَ الْقَارِي : وَاصْطِنَاعُ أَهْلِ الْبَيْتِ الطَّعَامَ لِأَجْلِ اِجْتِمَاعِ النَّاسِ عَلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ بَلْ صَحَّ عَنْ جَرِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كُنَّا نَعُدُّهُ مِنْ النِّيَاحَةِ وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي التَّحْرِيمِ اِنْتَهَى . قُلْت : حَدِيثُ جَرِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ بِلَفْظِ : قَالَ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ اِنْتَهَى . وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ .

مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (17/ 214)

فلما رجع أي عن المقبرة استقبله داعي امرأته أي زوجة المتوفي فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده أي فيه ثم وضع القوم أي أيديهم فأكلوا هذا الحديث بظاهره يرد على ما قرره أصحاب مذهبنا من أنه يكره اتخاذ الطعام في اليوم الأول أو الثالث أو بعد الأسبوع كما في البزازية وذكر في الخلاصة أنه لا يباح اتخاذ الضيافة عند ثلاثة أيام وقال الزيلعي ولا بأس بالجلوس للمصيبة إلى ثلاث من غير ارتكاب محظور من فرش البسط والأطعمة من أهل الميت وقال ابن الهمام يكره اتخاذ الضيافة من أهل الميت والكل عللوه بأنه شرع في السرور لا في الشرور قال وهي بدعة مستقبحة

إعانة الطالبين (2/ 165)

يكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل.

المجموع (5/ 320)

وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال " كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة " رواه احمد بن حنبل وابن ماجه باسناد صحيح وليس في رواية ابن ماجه بعد دفنه

تحفة المحتاج في شرح المنهاج (11/ 440(

وَمَا اُعْتِيدَ مِنْ جَعْلِ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ عَلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ كَإِجَابَتِهِمْ لِذَلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيرٍ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ وَوَجْهُ عَدِّهِ مِنْ النِّيَاحَةِ مَا فِيهِ مِنْ شِدَّةِ الِاهْتِمَامِ بِأَمْرِ الْحُزْنِ

(14)

الفتاوى الفقهية الكبرى (3/ 95)

( وَسُئِلَ ) أَعَادَ اللَّهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إلَى الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِينَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنْ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوتِ النِّسَاءِ اللَّاتِي حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوا بِذَلِكَ إلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوتًا عِنْدَهُمْ خَسِيسًا لَا يَعْبَئُونَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُونُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ وَهَلْ يُوَزَّعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنْ الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ . ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ جَمِيعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلَاةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوهُ بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيهِ لَوْ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنْ التَّرِكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُورٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوا كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ بَلْ مَنْ فَعَلَهُ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَمَنْ فَعَلَهُ مِنْ التَّرِكَةِ غَرِمَ حِصَّةَ غَيْرِهِ الَّذِي لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ إذْنًا صَحِيحًا

(15)

حاشية الطحاوي على المراقي (2/ 611)

كليب عن أبيه [ عن رجل من الأنصار قال : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في جنازة فلما رجع استقبله داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه و سلم يلوك اللقمة في فيه ] الحديث فهذا يدل على إباحة صنع أهل الميت الطعام والدعوة إليه بل ذكر في البزازية أيضا من كتاب الاستحسان وإن اتخذ طعاما للفقراء كان حسنا اهـ وفي استحسان الخانية وإن اتخذو لي الميت طعاما للفقراء كان حسنا إلا أن يكون في الورثة صغير فلا يتخذ ذلك من التركة اه

قرة العين بفتاوى الشيخ اسماعيل الزين (ص 175)

ومنها مسألة مهمة ولأجلها كانت هذه الرسالة. وهي ما يصنعه أهل الميت من الوليمة ودعاء الناس اليها للأكل. فان ذلك جائز كما يدل عليه الحديث المذكور بل هو قربة من القرب لأنه اما أن يكون بقصد جصول الأجر والثواب للميت وذلك من أفضل القربات التي تلجق الميت باتفاق. واما أن يكون بقصد اكرام الصيف والتسلي عن المصاب وبعدا عن اظهار الحزن وذلك أيصا من القربات والطعاب التي يرضاها رب العالمين وثيب فاعلها ثوابها عظيما وسواء كان ذلك يوم الوفات عقب الدفن كما فعلته زوجة الميت المذكورة فى الحديث أو بعد ذلك وفى الحديث نص صريح فى مشروعية ذلك. الى قوله وهذا كله كما هو ظاهر فيما اذا لم يوص الميت باتخاذ الطعام واطعامه للمعزين الحاضرين والا فيجب ذلك عملا بوصيته وتطون الوصية معتبرة من الثلث أي ثلث تركة الميت قاله فى التحفة-ج 3 ص 208.

(16)

صحيح البخاري (5/ 2240)

5672 - حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا أبو الأحوص عن أبي حصين عن أبي صالح عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت )

صحيح مسلم (1/ 68)

74 - ( 47 ) حدثني حرملة بن يحيى أنبأنا ابن وهب قال أخبرني يونس عن ابن شهاب عن أبي سلمة بن عبدالرحمن عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه

(17)

حلية الأولياء (4/ 11)

حدثنا أبو بكر بن مالك ثنا عبدالله بن أحمد بن حنبل ثنا أبي ثنا هاشم بن القاسم ثنا الأشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

مصنف عبد الرزاق (3/ 590)

6757 - عبد الرزاق عن ابن جريج قال : فال عبد الله بن عمر : إنما يفتتن رجلان مؤمن ومنافق أما المؤمن فيفتن سبعا ، وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا ، وأما الكافر فلا يسأل عن محمد ولا يعرفه ، قال ابن جريج : وأنا أقول : قد قيل في ذلك فما رأينا مثل إنسان أغقل هالكه سبعا أن يتصدق عنه.

(18)

الفتاوى الفقهية الكبرى (3/ 191)

وَهَذَا مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِيِّ كَانُوا يَفْعَلُونَ وَفِيهِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ الْحَدِيثِ وَالْأُصُولِ : أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَيْضًا مِنْ بَابِ الْمَرْفُوعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ وَالثَّانِي أَنَّهُ مِنْ بَابِ الْعَزْوِ إلَى الصَّحَابَةِ دُونَ انْتِهَائِهِ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى هَذَا قِيلَ إنَّهُ إخْبَارٌ عَنْ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ فَيَكُونُ نَقْلًا لِلْإِجْمَاعِ وَقِيلَ عَنْ بَعْضِهِمْ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ وَقَالَ الرَّافِعِيُّ مِثْلُ هَذَا اللَّفْظِ يُرَادُ بِهِ أَنَّهُ كَانَ مَشْهُورًا فِي ذَلِكَ الْعَهْدِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ ثُمَّ مَا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ عَنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْفِتْنَةِ سُؤَالُ الْمَلَكَيْنِ صَحِيحٌ .

(19)

الفتاوى الفقهية الكبرى (3/ 191)

( وَسُئِلَ ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ بِمَا لَفْظُهُ مَا قِيلَ إنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ أَيْ يُسْأَلُونَ كَمَا أَطْبَقَ عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ هَلْ لَهُ أَصْلٌ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ نَعَمْ لَهُ أَصْلٌ أَصِيلٌ فَقَدْ أَخْرَجَهُ جَمَاعَةٌ عَنْ طَاوُسِ بِالسَّنَدِ الصَّحِيحِ وَعُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ بِسَنَدٍ احْتَجَّ بِهِ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَهُوَ أَكْبَرُ مِنْ طَاوُسِ فِي التَّابِعِينَ بَلْ قِيلَ إنَّهُ صَحَابِيٌّ لِأَنَّهُ وُلِدَ فِي زَمَنِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَعْضُ زَمَنِ عُمَرَ بِمَكَّةَ وَمُجَاهِدٍ وَحُكْمُ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ الثَّلَاثِ حُكْمُ الْمَرَاسِيلِ الْمَرْفُوعَةِ لِأَنَّ مَا لَا يُقَالُ مِنْ جِهَةِ الرَّأْيِ إذَا جَاءَ عَنْ تَابِعِيٍّ يَكُونُ فِي حُكْمِ الْمُرْسَلِ الْمَرْفُوعِ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا بَيَّنَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْمُرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ وَكَذَا عِنْدَنَا إذَا اعْتَضَدَ وَقَدْ اعْتَضَدَ مُرْسَلُ طَاوُسِ بِالْمُرْسَلَيْنِ الْآخَرَيْنِ بَلْ إذَا قُلْنَا بِثُبُوتِ صُحْبَةِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ كَانَ مُتَّصِلًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِقَوْلِهِ الْآتِي عَنْ الصَّحَابَةِ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إلَخْ لِمَا يَأْتِي أَنَّ حُكْمَهُ حُكْمُ الْمَرْفُوعِ عَلَى الْخِلَافِ فِيهِ وَفِي بَعْضِ تِلْكَ الرِّوَايَاتِ زِيَادَةُ إنَّ الْمُنَافِقَ يُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ صَحَّ عَنْ طَاوُسِ أَيْضًا أَنَّهُمْ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ الْمَيِّتِ تِلْكَ الْأَيَّامَ

الحاوي للفتاوي للسيوطي (3/ 267)

(الوجه الثاني): المقرر في فن الحديث والأصول أن ما روى مما لا مجال للرأي فيه كأمور البرزخ والآخرة فإن حكمه الرفع لا الوقف وإن لم يصرح الراوي بنسبته إلى النبي صلى الله عليه وسلم قال العراقي في الألفية:

وما أتى عن صاحب بحيث لا * يقال رأيا حكمه الرفع على

ما قال في المحصول نحو من أتى * فالحاكم الرفع لهذا ثبتا

وقال في شرحها ما جاء عن صحابي موقوفا عليه ومثله لا يقال من قبل الرأي حكمه حكم المرفوع كما قال الإمام فخر الدين في المحصول

(20)

الحاوي للفتاوي للسيوطي (3/ 288)

الأولى: إن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن وإنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول. في التواريخ كثيرا في تراجم الأئمة يقولون وأقام الناس على قبره سبعة أيام يقرؤون القرآن. واخرج الحافظ الكبير أبو القاسم بن عساكر في كتابه المسمى تبيين كذب المفتري فيما نسب ٍإلى الإمام أبي الحسن الأشعري سمعت الشيخ الفقيه أبا الفتح نصر الله بن محمد بن عبد القوي المصيصي يقول توفي الشيخ نصر بن إبراهيم المقدسي في يوم الثلاثاء التاسع من المحرم سنة تسعين و أربعمائة بدمشق وأقمنا على قبره سبع ليال نقرأ كل ليلة عشرين ختمة.

(21)

شرح النووي على مسلم (1/ 25)

وَأَمَّا قَوْله : ( لَيْسَ فِي الصَّدَقَة اِخْتِلَافٌ ) فَمَعْنَاهُ أَنَّ هَذَا الْحَدِيث لَا يُحْتَجُّ بِهِ ، وَلَكِنْ مَنْ أَرَادَ بِرَّ وَالِدَيْهِ فَلْيَتَصَدَّقْ عَنْهُمَا فَإِنَّ الصَّدَقَة تَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ وَيَنْتَفِع بِهَا بِلَا خِلَافٍ بَيْن الْمُسْلِمِينَ وَهَذَا هُوَ الصَّوَاب .

الفتاوى الفقهية الكبرى (3/ 192)

فَإِنْ قُلْت لِمَ كَرَّرَ الْإِطْعَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ دُونَ التَّلْقِينِ قُلْت لِأَنَّ مَصْلَحَةَ الْإِطْعَامِ مُتَعَدِّيَةٌ وَفَائِدَتُهُ لِلْمَيِّتِ أَعْلَى إذْ الْإِطْعَامُ عَنْ الْمَيِّتِ صَدَقَةٌ وَهِيَ تُسَنُّ عَنْهُ إجْمَاعًا وَالتَّلْقِينُ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهُ بِدْعَةٌ وَإِنْ كَانَ الْأَصَحُّ عِنْدَنَا خِلَافَهُ لِمَجِيءِ الْحَدِيثِ بِهِ وَالضَّعِيفُ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْفَضَائِلِ .

(22)

نهاية الزين ( ص: 275)

( وتنفع ميتا صدقة ) لأجله من وارث وغيره ومنها وقف المصحف وغيره وحفر بئر وغرس شجر روى مسلم عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أمي انفلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم اهـ. والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاده شيخنا يوسف السنبلاويني.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar