يَا رَبَّنَا بِجَاهِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ ï وَجَاهِ حَامِلِ لِوَاءِ الْوَاصِلِيْنَ

Ya Allah, Ya Tuhan kami dengan pangkat kebesaran pemilik mahkota ahli ma'rifah dan pangkat pemegang bendera kelompok manusia yang telah wushul (sampai ke puncak keyakinan)


قُدْوَتِنَا وَشَيْخِنَا التِّجَانِي ï قَائِدِنَا لِمَنْهَجِ الْعَدْنَانِي

Panutan dan guru kami yakni Syekh Ahmad Tijani, seorang pemandu yang menyampaikan kami kepada tuntunan Nabi Muhammad

يَا رَبِّ ثَبِّتْنَا عَلَى اْلإِيْمَانِ ï وَاحْفَظْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْكُفْرَانِ

Ya Tuhanku tetapkan kami atas iman dan jaga hati kami dari segala bentuk kekufuran

وَاحْمِ جَمِيْعَنَا مِنَ الشَّيْطَانِ ï وَحِزْبِهِ مِنْ إِنْسٍ أَوْ مِنْ جَانِّ

Lindungi kami dari kejahatan syetan dan kelompoknya dari bangsa manusia dan jin


نَسْأَلُكَ التَّوْبَةَ وَالتَّوْفِيْقَ ï وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ وَالتَّحْقِيْقَ

Kami mohon kepada-Mu taubat dan mendapat kekuatan untuk melakukan kebaikan, ilmu dan pengamalan serta ketepatan dalam segala hal


وَالصَّبْرَ وَالنَّصْرَ عَلَى اْلأَعْدَاءِ ï وَالْجَمْعَ فِي الذِّكْرِ عَلَى الْوِلاَءِ

Berikan kami kesabaran dan kemenangan atas musuh-musuh. Dan jadikan kami selalu berkumpul bersama dalam melakukan dzikir


وَالْفَوْزَ بِالنَّعِيْمِ فِي الْجِنَانِ ï مَعَ النَّبِيّ وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Mendapat kesuksesan dengan mendapat ni'mat di surga bersama Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani


مَا لَنَا فِي الْكَوْنِ سِوَى الرَّحْمَانِ ï وَالْمُصْطَفَى وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Kami tidak memiliki harapan apa-apa di alam ini melainkan kepada-Mu Ya Allah (Yang Maha Pengasih), manusia terpilih Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani

هَذِي هَدِيَّةٌ بِفَضْلِ اللهِ ï مِنَّا إِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Dzikir ini merupakan hadiah untukmu Ya Rasulullah dari kami yang semata-mata merupakan pemberian Allah


هَدِيَّةً لِلْمُصْطَفَى الْعَدْنَانِي ï نِيَابَةً عَنْ شَيْخِنَا التِّجَانِي

Hadiah penghormatan buat manusia terpilih Nabi Muhammad keturunan Adnan juga sebagai mandate dari guru kami syekh Ahmad Tijani

آميْنَ آميْنَ اسْتَجِبْ دُعَانَا ï وَلاَ تُخَيِّبْ سَيِّدِي رَجَانَا

Terimalah, terimalah dan kabulkan Ya Allah, doa-doa kami. Jangan Kau kecewakan segala harapan kami

Doa ini merupakan Qashidah tawassul kepada Syekh Ahmad Tijani Radhiyallahu Anhu. qashidah ini biasanya dibaca setelah selesai membaca wirid lazimah dan wazhifah.

Dikutip dari kitab Ghayatul Muna Wal Murad Fima Littijaniy Minal Aurad halaman 27.

Sabtu, 11 Mei 2013

Wasiat Sidi Syeikh ra kpd yg peroleh amanah sebagai Muqoddam

ﻭﺻﻴﺔ ﻣﻮﻻﻧﺎ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻟﻤﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﻘﺪﻣﺎ ﻋﻠﻲ ﺇﻋﻄﺎﺀ ﺍﻟﻮﺭﺩ ﺃﻥ ﻳﻌﺎﻣﻞ ﺍﻹﺧﻮﺍﻥ ﺑﺎﻟﺮﻓﻖ ﻭﺍﻟﺘﻴﺴﻴﺮ ﻭﺍﻟﺒﻌﺪ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﻨﻔﻴﺮ ﻭﺍﻟﺘﻌﺴﻴﺮ ﻭﺃﻥ ﻳﻌﻔﻮ ﻟﻬﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻟﻞ ﻭﺃﻥ ﻳﺒﺴﻂ ﺭﺩﺍﺀ ﻋﻔﻮﻩ ﻋﻦ ﻛﻞ ﺧﻠﻞ ﻭﺃﻥ ﻳﺠﺘﻨﺐ ﻣﺎﻳﻮﺟﺐ ﻓﻲ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﺿﻐﻴﻨﺔ ﺃﻭﺷﻴﻨﺎ ﺃﻭﺣﻘﺪﺍ ﺟﻮﺍﻫﺮﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﺝ 2 ﺹ 155 ﺍﻟﺠﻴﺶ ﺹ 162

Wasiat Sidi Syeikh ra kpd yg peroleh amanah sebagai Muqoddam Agar membimbing dan mentarbiyah ikhwan dgn lemah lembut dan dgn methode yg mudah Tdk dgn cara yg kaku dan mempersulit Agar berlapang dada utk beri maaf dan bermurah hati buka pintu maaf ats kehilafan dan kealpaan mereka Dan harus menjauhi hal - baik tindakan ataupun ucapan - yg dapat menyinggung perasaan atau membuat sakit hati mereka atau yg berakibat mereka menyimpan rasa dendam

Sasaran dari Thoriqoh At Tijani

قال الشيخ أحمد الزواوي طريقتنا أن نكثر من الصلاة عليه صلي الله عليه وسلم حتي نصير من جلسائه ونصحبه يقظة مثل أصحابه الجيش ص 43

Sasaran dari thoriqoh kita adlh Memperbanyak bersholawat kpd Rasulillah saw sehingga kita peroleh anugerah kehormatan dpt bertemu beliau dlm keadaan terjaga dan slalu menyertai beliau sebagaimana para Shahabat dimasa hidupnya

(Oleh Kyai Ahmed Seif)

Yang ditekankan dalam Thariqat Tijaniyah bagi jama'ahnya adalah istiqomah, bukan karomah

كن طالب الا ستقا مة ولا تمن صا حب الكرا مة فاء ن نفسك تتحرك فى طلب الكرامة ومو لاك يطا لبك بالا تكن بحق مولا ك اولى بك ا ن تكو ن بحظ نفسك وهوا ك ( بغية المستفيد : ص)

" Jadilah orang yang berusaha istiqomah dan jangan mengharap karomah. Sesungguhnya nafsu bergejolak dalam mencari karomah, tetapi Tuhanmu menuntut istiqomah. Kamu tidak akan dapat mengutamakan Tuhanmu selama kamu mementingkan bagian nafsu dan keinginanmu." ( Bughyatul Mustafid, hal : 208 ) Syeikh Ahmad bin Muhammad at - Tijani banyak berlindung diri dari mengaku-aku sesuatu yang tidak sesuai dengan kedudukan atau maqomnya. Baik karomah atau lainnya . beliau berkata :

ان عقو بتها اي الد عوى ا لموت على سوء الخا تمة ( ميزاب الرحمة : )

" Sesungguhnya siksanya ( pengakuan ) adalah mati secara su'ul khotimah." ( Mizabur ar-Rahmah, hal : 10) Na'udzu Billah...

Perkataan Syeikh Ahmad At Tijani Ra

assalamualaikum wr wb,saya pernah baca d suatu post maaf yg isinya kaya gini" "Telah sampai riwayat bahwa suatu ketika Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani RA akan pergi ke suatu tempat,dan memberitahu sahabat-sahabat­nya beliau (termasuk sahabat besar Quthub sidi Abul Hassan Ali bin Tamasini ra.),bahwa barang siapa yang mengikuti Syeikh Ahmad Tijani ra ke tempat tersebut akan masuk Neraka,Ketika sidi Ali Harazim ra datang dan menanyakan Syeikh Ahmad Tijani ra kepada sahabat-sahabat­nya,mereka kemudian memberitahu bahwa Syeikh Ahmad Tijani ra pergi ke suatu tempat dan melarang untuk mengikutinya dan jika tetap mengikutinya akan masuk neraka,Namun,se­telah mendengar larangan ini, sidi Ali Harazim ra tetap pergi menyusul Syeikh Ahmad Tijani ra.Setelah bertemu dengan Syeikh Ahmad Tijani ra,Syeikh Ahmad Tijani ra bertanya :''apakah tidak ada orang yang memberitahumu bahwa barang siapa yg mengikutiku ke tempat ini akan masuk ke neraka?Lalu di jawab YA(sudah di beritahu ), namun sidi Ali Harazim ra menambahkan bahwa dirinya mengikuti Syeikh Ahmad Tijani bukan karena surga atau neraka,Namun mengikuti Syeikh Ahmad Tijani ra Kerena WAJAH ALLAH SEMATA..LI WAJHILLAH...Set­elah mendengar jawaban Sidi Ali Harazim ra,Syeikh Ahmad Tijani ra kemudian menyuruh Sidi Ali Harazim untuk membuka telapak tangannya,Kemud­ian Sidi Ali Harazim ra membuka telapak tangannya dan melihat 7 lapis langit dan 7 lapis bumi ada di dalam telapak tangan beliua. MasyaAllah..(Di­ sampaikan oleh Sayyid Hassan bin Abdul Aziz Debbarh ra.)" Ini semua hanya ujian buat para shohabat Syeikh Ahmad Tijani Ra , apa dia cintanya kpd Beliu hanya ingin surga atau takut neraka..? Atau Mimang Cintanya Lillahi Ta'ala.Ternyata hanya Syeikh Ali Harazim yg Lulus dari ujian tersebut.? Al Jawab : Semua Ulama' sepakat,bahwasanya semua Amal ibadah itu harus di lakukan karena Alloh swt, hatta/sehingga beribadah karena Rasululloh saw pun tidak boleh...dalam ibadah maka kedudukan niat/tujuan adalah termasuk bagian penentu di terima atau tidaknya satu amalan ibadah...maka niat dalam ibadah harus semata untuk Alloh swt..Dalam berthariqah kita wajib mengikut / taslim pada bimbingan guru atau Mursyid...dhoohiran wabaathinan / lahir dan batin..karena Guru ini lah yang akan membawa kita pada tujuan berthareqah...dan tujuan utama berthareqah ada semata untuk sampainya /wushul kita pada Hadzrah Rabbiyah / kedudukan yang paling tinggi /darjah 'aaliyah di sisi Alloh swt..dan tentunya dalam menempuh perjalanan / saalik thareqah harus di berniat semata karena Alloh swt..Adapun Maqolah/ucapan Guru kami Syidi Syaikh Abil Abbas Ahmad bin Muhammad At-tijani : " Barang siapa ittiba' / mengikutiku karena Aku maka ia akan masuk neraka ,dan barang siapa mengikutiku karena Alloh swt,pasti masuk sorga "( Mengikuti Beliau adalah satu keharusan,karena Beliau adalah Uswah ,Qudwah dalam Thareqat yang paling agung ini...dan dalam mengikut Beliau tetap semata niat karena Alloh swt...karena kedudukan Beliau Syidi Syaikh adalah WASHILAH,dan Alloh swt adalah ALGHOYAH/tujuan....).. Hatta/sehingga ketika kita itba'/mengikut sunnah Baginda Rasululloh saw secara umum,kita melakukannya juga semata karna ( niat ) untuk Alloh swt...Kesimpulannya :Kedudukan Guru dalam Ibadah Thareqah adalah Wasilah / pengantar kita untuk sampai pada tujuan,maka wajib hukumnya mengikut / taslim padanya.Kedudukan Alloh swt dalam ibadah adalah sebagai Tujuan/Alghoyah..maka wajib berniat semata karena-NYA.Wallohu 'alamu bisshowab...Kepada Alloh swt kami memohon ridha & ampunan..Kepada Rasululloh saw kami berharap Syafa'at...Kepada Syidi Syaikh Ahmad kami labuhkan perjalanan....Kepada Guru / muqoddam kami rindukan bimbingan...

KH Badri Masduqi

KH Badri Masduqi merupakan ulama kharismatik yang memiliki jangkauan luas dari berbagai bidang kehidupan. Wajar bila KH Tauhidullah Badri mengatakan, bahwa KH Badri Masduqi adalah sosok multidimensi yang memiliki beragam aktivitas mulai dari pengasuh Pondok Badridduja, Dosen Ma’had Aly serta pemimpin Thariqah Tijaniyah di Indonesia. Semasa hidupnya KH. Badri Masduqi rajin mengisi di berbagai forum pengajian, seminar, bahtsul masail hingga menerima tamu dari berbagai masyarakat yang berkunjung ke rumahnya. Dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1942, KH Badri Masduqi sejak kecil terlihat tanda-tanda keistimewaan. Sejak kecil, ia sudah mulai belajar membaca Al-Quran dengan orang tuanya, Nyai Muyassaroh sekaligus memper oleh didikan yang baik dari kakeknya, Miftahul Arifin yang tinggal di daerah Pamekasan, Madura. Pendidikan formalnya diawali dari Sekolah Rakyat ( SR ) meski hanya sampai kelas IV pada tahun 1950. Pendidikan informalnya dilakukan melalui pengemba raannya ke berbagai pesantren di Tanah Air. Beberapa pesantren yang pernah ia jelajahi adalah pesantren Zainul Hasan, Probolinggo (1950), Pesantren Bata-Bata, Pamekasan, (1956), Pesantren Sidogiri, Pasuruan ( 1959 ), dan terakhir di Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo (1965). Di pesantren Bata-Bata, KH Badri Masduqi sering berpuasa dan hapal Alfiyah Ibnu Malik dalam waktu cukup singkat. Tidak heran bila pujian banyak datang kepadanya. Semasa mudanya, ia dikenal sebagai pemuda yang tangguh. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Cabang Gerakan Pemuda Anshor, Kraksaan, Probolinggo. Saat ter jadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965, ia juga menjadi pelopor anak muda untuk menumpas pemberontakan PKI. Sebagai seorang kiyai, ia memiliki komitmen tinggi terhadap pengembangan pesantren. Tidak heran bila aktivitas sehari-harinya ia gunakan untuk mengajar, mendidik di pesantren Badridduja, Kraksaan, Probolinggo. Pada 1975-1977, ia mulai berkiprah di Nahdlatul Ulama (NU). Lalu ditunjuk sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang NU Kraksaan. Selain berjuang di organisasi, ia juga aktif di jajaran Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. Pada 1982, misalnya, ia dikenal sebagai motor penggerak tokoh NU: KH Mahrus Ali (Lirboyo, Kediri), KH Kholil (Bangkalan, Madura), KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kh Ahmad Siddiq dan lain sebagainya. KH Masduqi juga dikenal sebagai tokoh Muqaddam Tarekat Tijaniyah. Setiap kali tampil di berbagai forum diskusi ilmiah dan seminar, ia seringkali mewacanakan tentang Tarekat Tijaniyah. Bukan hanya itu, berbagai kaset rekaman pun ia lakukan dalam rangka menyebarkan ajaran tarekat Tijaniyah. Meski demikian, ia tidak lantas bertindak konservatif. Ia dikenal sebagai tokoh moderat yang memandang masalah melalui jangkauan pemikiran yang luas. Jelasnya, ia berdiri di atas paham Ahlussunnah wal Jamaah yang menganut setia ajaran Nabi Muhammad beserta sahabatnya. Ia merupakan sosok alim yang menguasai segudang ilmu pengetahuan, baik pengetahuan tentang agama, penguasaan kitab kuning, penguasaan masalah-masalah hukum, maupun penguasaan bidang pengetahuan umum seperti ketajaman analisa sosial-politiknya. Di hadapan para kiyai lainnya, ia tidak hanya dikenal sebagai ulama yang menguasai model pendidikan dan pengajaran kitab-kitab klasik (salaf), melainkan juga sebagai ulama yang konsentrasi terhadap model pendidikan pesantren modern sebagaimana yang dilakukan terhadap pesantren yang didirikannya, Badridduja. Pengorbanan yang dilakukannya melalui Pesantren Badridduja amatlah besar bagi umat, bangsa dan negara. Itulah sebabnya, jasa-jasa perjuangannya yang telah dirintis selayaknya dilestarikan dan menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia agar senantiasa meneladani kiprah perjuangan nya yang selalu memperjuangkan kesejahteraan umat

FADHILAH DAN FAEDAH Berdzikir Memakai Tasbih

Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah. Yaitu untaian mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah tasbih, doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasulullah pemakaian tasbih ini sudah diguna kan. Dalam sebuah hadits dijelaskan : “Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’ad bin Abi Waqash dari ayahnya bahwa dia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau krikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أوْ أفْضَلُ فَقَالَ قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلَقَ فِي السَّمَاءِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلِقَ فِي الأرْضِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَابَيْنَ ذَلِكَ، سُبْحَانَ الله عَدَدَ مَاهُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أكْبَرُمِثْلَ ذَلِكَ‘وَالْحَمْد ُلِلّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَاإلهَ إلَّااللهُ مِثْلَ ذَلِكَ‘وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إلاَّباِللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ مَثْلُ ذَلِكَ

Aku akan memberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah “Maha Suci Allah” sebanyak bilangan makhluk langit, “Maha Suci Allah” sebanyak hitungan makhluk bumi, “Maha Suci Allah” sebilangan makhluk antara langit dan bumi, “Maha Suci Allah” sebagai Sang Khaliq. “Segala Puji Bagi Allah” seperti itu pula bilangannya, “Tiada Tuhan Selain Allah” seperti itu pula, ”Allah Maha Besar” seperti itu pula, dan ”Tidak Ada Upaya dan Kekuatan Seian dari Allah” seperti itu pula." (HR Tirmidzi)

Abi al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntunan dalam membaca tasbih yang memiliki keutamaan yang lebih besar.

Dari penjelasan ini kita bisa memahami, bahwa para sahabat sudah terbiasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah mereka dalam menghitung dzikir yang dibaca setiap hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah diingkari oleh Rasulullah SAW. Ini membuktikan bahwa Nabi setuju dengan apa yang dilakukan oleh para Sahabat. Oleh sebab itu, memakai tasbih saat berdzikir bukan bid’ah dhalalah sebagaimana yang dituduh oleh sebagian orang. Sebab jika menggunakan tasbih itu termasuk hal-hal yang menyesatkan, niscaya sejak awal Rasulullah sudah mela rang para sahabat untuk memakainya

KH. BADRUZZAMAN

KH. Badruzzaman lahir tahun 1900 di Pesantren Al-Falah Biru Garut, putra kelima dari sembilan bersaudara dari KH. Faqih bin KH. Adza'i. Beliau mengaji kepada ayahnya, dan pamannya dari pihak Ibu di Pesantren Pangkalan Tarogong yakni KH. R. Qurtubi dan selanjutnya pindah ke pondok yang di asuh oleh kakaknya KH. Bunyamin ( Syekh Iming ) di Ciparay Bandung. Kemudian ia mendalami ilmu di Pondok Pesantren Cilenga Tasikmalaya, selanjutnya di Pondok Pesantren Balerante Cirebon. Pada tahun 1920 M Badruzzaman bersama kakaknya Bunyamin berangkat ke Tanah Suci untuk mendalami ilmu agama, bermukim selama 3 tahun. Tahun 1926 M beliau ke Makkah lagi untuk kedua kalinya bermukim selama 7 tahun. Di antara guru-gurunya di Makkah adalah : Syekh Alawi al-Maliki ( Mufti Makkah dari madzhab Maliki ) dan Syekh Sayyid Yamani ( Mufti Makkah dari madzhab Syafi'I ). Di Makkah, beliau mempunyai teman diskusi yaitu, KH. Kholil dari Bangkalan Madura. Sedangkan di Madinah beliau ber guru pada Syekh Umar Hamdan ( seorang ulama ahli hadits dari mazhab Maliki ). Pada tahun 1933 KH. Badruzzaman kembali ke Tanah Air dan langsung memimpin Pondok Pesantren Al-Falah Biru melanjutkan ayahandanya bersama dengan kakaknya KH. Bunyamin. Di pesantrennya beliau mengem bangkan berbagai disiplin ilmu ke-Islaman : Tafsir, Hadits, Fiqih dan Usul Fiqih ilmu Tasawuf, Nahwu, Sharaf, Ma'ani, Badi', Bayan, ilmu Arud dan ilmu Maqulat. Ketika Revolusi beliau terjun dan bergabung dengan Hizbullah memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda dengan mengkader para mujahid melalui khalwat. Karena Pesantren Al-Falah Biru tidak aman dan menjadi sasaran se rangan musuh, beliaupun mengungsi di Cikalong Wetan ( Purwakarta ), Padalarang, Majenang ( Jawa Tengah ) dan Taraju ( Tasik ) dengan terus mengembangkan ilmu agama di tempat-tempat itu. Dalam kehidupan politik dan organisasi, KH. Badruz zaman beserta Kyiai lain diantaranya KH. Mustafa Kamil mendirikan Organisasi Al-Muwafaqoh sebagai wadah penya lur aspirasi umat Islam untuk mengusir penjajah Belanda dan dipercaya sebagai Ketua. Pada Tahun 1942 M, KH. Badruzzaman bersama dengan KH. Ahmad Sanusi Sukabu mi mendirikan Persatuan Ulama, untuk mengikat Ulama dalam satu wadah, tahun 1951 M organisasi ini berfusi dengan Persyarikatan Ummat Islam di Majalengka yang kemudian menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI). Setelah kemerdekaan, tepatnya tahun 1945 M KH. Badruzzaman bergabung dengan Masyumi dan dipercaya sebagai anggota Majlis Syura dan kemudian aktif di PSII sebagai Ketua Masywi ( Majelis Syar'i wal Ibadat ) wilayah Jawa Barat dan pada tahun 1967 M atas ajakan keluarga dekatnya KH. Badruzzaman masuk Partai PERTI ( Persatuan Tarbiyah Islamiyah ) duduk sebagai Majlis Tahkim. Beliau mempelajari kitab-kitab yang membahas Tarekat Tijaniyah diantaranya Kitab Jawahir al-Ma'ani yang disusun oleh Syekh Ali Harazim, Kitab Bughyah al-Mustafid yang disusun oleh Sayyid Al-Arobi dan Kitab Al-Jaisyulkafil yang dikarang oleh Muhammad Al-Sinqiti untuk selanjutnya mendiskusikan hasil Muthala'ahnya dengan Muqaddam Tarekat Tijaniyyah, yaitu dengan Syekh KH. Usman Dhomiri ( salah seorang Muqadam Tarekat Tijaniyyah Jawa Barat ), Syekh Abbas Buntet Cirebon, KH. Sya'roni dari Jatibarang ( Brebes Jawa Tengah ) untuk selanjutnya beliau mengamal kan Tarekat Tijaniyyah dengan mendapatkan ijazah dari Syekh Usman Dhomiri. Ketika beliau di Makkah beliau mendalami ilmu Tarekat Tijaniyyah, salah satu Tarikat Mu'tabaroh dari Syekh Ali At-Thoyyib ( Mufti Harommain dari madzhab Syafi'I ) dan beliau diangkat sebagai Muqoddam. Dalam mengembangkan tarekat Tijaniyah, beliau mengangkat beberapa wakilnya di beberapa daerah diantaranya KH. Mukhtar Gozali di Pondok Pesantren Al-Falah, KH. Ma'mun, tokoh masyarakat dan ulama di Samarang ( Garut ), KH. Endung ( Ulama di Cioyod-Cibodas Garut ), KH. Imam Abdussalam ( Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren Darul-Falihin Ciheulang Bandung ), KH. Mahmud ( Ulama di Padalarang Bandung ) dan KH. M. Fariqi ( Ulama di Pekalongan Jawa Tengah ). KH. Badruzzaman masih sempat menyusun karya ilmiah dalam berbagai bidang disiplin ilmu ke-Islaman, diantaranya Risalah Tauhid dan Allohu Robbuna ( Bidang Tauhid ) Kaifiyat Shalat, Kaifiyat Wudhu ( bidang Fiqih ) yang mana kedua buku tersebut berdasarkan Fiqih Madzhab Syafi'i, selain itu beliau juga menyusun Nadhom Taqrib dan memberi Sarah Safinatun Naja karya Syekh Nawawi al-Bantani; Risalah ilmu Nahwu, Risalah Ilmu Saraf, Nadhom Jurumiah ( Bidang Nahwu Sharaf ); dan beliau menyusun ilmu Bayan dalam bentuk Nadhom; serta kitab Siklus Sunni ( bidang Tashawuf ). Beliau wafat pada awal tahun 1972 M tepatnya pada tanggal 3 Ramadhan 1390 H dalam usia kurang lebih 72 tahun, dan dimakamkan di samping masjid Pondok Pesantren Al-Falah Biru Garut.

al-Khulaashotul Waafiyatuz Zhoriifah 54- 55

اَلثَّانِيْ وَاْلعِشْرُوْنَ : مُجَانبََةُ اْلـمُنْتَقِدِيْنَ عَلَى الشَّيْخِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. وَكَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَثِيْرًا مَا يُحَذِّرُ أَصْحَابَهُ مِنْ مُخَالَطَةِ اْلـمُبْغِضِيْنَ وَمَحَبَّتِهِمْ وَأَكْلِ طَعاَمِهِمْ وَاْلـجُلُوْسِ مَعَهُمْ. فَإِنَّ الطِّباَعَ تَسْرِقُ الطِّباَعَ. وَفِي اْلإِفاَدَةِ اْلأَحْمَدِيَّةِ : اَلْجُلُوْسُ مَعَ اْلـمُبْغِضِيْنَ سَمٌّ يَسْرِيْ فِيْ صَبَاحِهِ. وَفِي اْلـحَدِيْثِ : اَلرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ ( اخرجه أبو داود ). وَفِي مُنْيَةِ اْلـمُرِيْدِ :

وَمَنْ يُجَالِسْ مُبْغِضَ الشَّيْخِ هَلَكَ * وَضَلَّ فِيْ مَهَامِهِ وَفِيْ حَلَكَ فَاْلـهَرْبُ اْلـهَرْبُ عَمَّا قُلْتُ لَكَ * نَصِيْحَةً وَلَوْ يَكُوْنُ وَلَدَكَ

Syarat ke 22 : Menghindar dari orang-orang yang mengkritik syekh Ahmad ra. Oleh sebab itu syekh sering memberi peringatan kepada semua sahabatnya untuk tidak bergaul dengan orang-orang yang membencinya, jangan mencintai mereka, jangan makan dan duduk bersama mereka, karena tabiat yang buruk dapat mempengaruhi tabiat yang baik. Dalam kitab Ifaadatul Ahmadiyah ada penjelasan : “Bergaul dengan orang-orang yang membenci tarekat ini adalah racun yang dapat menjalar sejak pagi hari”. Di dalam sebuah hadits nabi SAW bersabda : “ Seseorang itu tergantung agama temannya, oleh sebab itu seseorang harus memperhatikan kepada siapa ia berteman” ( HR Imam Abu Daud ). Dalam kitab Munyatul Muriid : “ Siapa yang bergaul dengan orang yang membenci syekh Ahmad, ia akan celaka. Dia akan tersesat dalam usahanya dan selalu berada dalam kegelapan. Menghindarlah ! menghindarlah ! Dengarkanlah ucapanku ini sebagai nasehat untukmu, walaupun mereka adalah anakmu sendiri”. ( al-Khulaashotul Waafiyatuz Zhoriifah 54- 55 )

Keutamaan syekh Ahmad at-Tijany ra

Syekh Ahmad bin Muhammad at-Tijani ra, dikaruniai oleh Allah SWT kejernihan mata hati dan ketajaman firasatnya, ia dapat mengetahui tingkah laku manusia dan menampakkan yang tersembunyi dari diri mereka, ia suka memberitakan masalah-masalah yang gha'ib kepada para sahabatnya, serta mengingatkan tentang akibat dari sesuatu yang akan mereka lakukan, apakah mashlahat atau mudhorot. Syekh Ahmad at-Tijani ra adalah penutup para wali, seperti halnya Rasulullah SAW adalah penutup para nabi. Gelar al-Khotmu wal Katmu adalah maqom pangkat kewaliyan tertinggi yang diberikan oleh Allah kepadanya, Syekh Ahmad at-Tijani ra berkata : "Barangsiapa yang bermimpi berjumpa denganku pada hari Senin atau Jumat, ia dijamin akan masuk surga". Bahkan Rasulullah SAW sendiri telah menjamin para pengikut syekh akan masuk surga tanpa hisab”. Syekh Ahmad at-Tijani ra berkata : "Semua yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada semua para wali, telah diberikan-Nya kepadaku." Syekh Ahmad at-Tijani ra berkata : "Kedua telapak kakiku berada di atas tengkuk semua para wali, sejak nabi Adam as diciptakan sampai ditiup sangkakala ". Syekh Ahmad ra telah mendapatkan kedudukan yang tinggi pada derajat kewaliyan di hari qiyamat. Beliau berkata : "Untukku telah disediakan sebuah mimbar dari cahaya pada hari qiyamat. Lalu seseorang memanggil-manggil, sehingga suaranya terdengar oleh semua orang yang berada di mahsyar, "Wahai penghuni mahsyar !! Dia-lah pemimpin kalian, yang tanpa kalian sadari, kalian dulu selalu meminta pertolongannya." Syekh Ahmad ra sendiri telah berjumpa langsung dengan Rasulullah SAW secara fisik dan berdialog dengan beliau, serta diajarkan Sholawat Fatih dengan cara di Imla ( di-eja ) huruf demi huruf , kalimat per kalimat . Shalawat itu berbunyi :

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَــى سَيِّدِنَا مُـحَمَّدِ نِ اْلفَاتِحِ لِـمَا اُغْلِقَ. وَاْلـخَاتِـمِ لِـمَا سَبَقَ. نَاصِرِ الْـحَقِّ بِاْلـحَقِّ. وَاْلـهَادِيْ اِلـَى صِرَاطِكَ اْلـمُسْتَقِيْمِ. وَعَلَى ألِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَاِِرِه اْلعَظِيْمِ. "Ya Allah ! Limpahkan rahmat-Mu kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW, pembuka yang tertutup, penutup para Nabi dan Rasul terdahulu, pembela kebenaran dengan kebenaran, pemberi petunjuk ke jalan Mu yang lurus. Curahkan rahmat-Mu kepada keluarganya yang mulia, dan pemilik kedudukan yang agung". Syekh Ahmad at-Tijany ra mengajarkan kepada murid-muridnya untuk selalu membaca sholawat Fatih saat berdo’a, karena sholawat adalah factor terpenting disaat seseorang berdo’a kepada Allah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW sendiri :

مَامِنْ دُعَآءٍ إلاَّ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَآءِ حِجَابٌ حَتّى يُصَلِّى عَلَىَّ فَاِذَا صَلّى يُخَرِّقُ تِلْكَ الحِجَابُ وَ رُفِعَ الدُّعَاءُ

“Tidak ada seseorang yang berdoa, kecuali ada hijab ( penghalang ) antara dirinya dengan langit, sehingga dia bersholawat kepadaku, jika dia bersholawat maka terbukalah hijab itu dan diangkatlah doanya. Kesimpulan. Keutamaan dan Keramat Syekh Ahmad at-Tijany ra sangat banyak dan dapat disimpulkan menjadi 2 bagian, keramat Ma’nawy dan keramat Hissy. Keramat Ma’nawy, antara lain :

1. Beliau sangat perhatian dan patuh terhadap ajaran syariat, sehingga dalam segala hal betul-betul taqlid mengikuti Rasulullah SAW, bahkan syekh Ahmad pernah berkata : “Barangsiapa yang mendengar perkataan dariku, sesuaikanlah dengan timbangan Syariat, jika cocok amalkanlah, dan jika tidak cocok, tinggalkanlah”. Selain itu syekh Ahmad pun pernah berkata : “Ketinggian pangkat seorang wali bukan dilihat dari banyaknya keramat, tapi dapat dinilai dari sejauh mana ia mampu meneladani nabinya”.

2. Syekh Ahmad ra selalu bersama Rasulullah SAW dalam keadaan sadar dan tidak pernah terpisah walau sekejap matapun, bahkan dalam segala hal beliau selalu mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah SAW.

3. Barangsiapa bertemu atau bermimpi melihat Syeikh Ahmad at-Tijany pada hari senin atau jum’at, dijamin akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa.

4. Syeikh Ahmad at-Tijany ra diberikan keistimewaan oleh Allah dapat berdzikir, menemui tamu, mengajar dan menulis surat dalam waktu bersamaan.

5. Syeikh Ahmad at-Tijany ra menguasai semua ilmu agama, sehingga ia mampu menjawab dan membahas semua permasalahan yang diajukan kepadanya dengan mudah dan memuaskan. Seolah-olah beliau melihat ada papan jawaban di hadapannya.

6. Syeikh Ahmad at-Tijany ra telah dipilih oleh Allah SWT sebagai pemegang mahkota kewalian tertinggi yaitu al- Khatmul Aulia’ Muhammadiyah, sebagaimana Rasulullah SAW adalah al-Khatmul Anbiya’. Dari beliaulah semua para wali mendapatkan masyrob kewalian, baik mereka mengetahuinya atau tidak, seperti halnya para nabi terdahulu, mereka mendapatkan masyrob kenabian dari Rasulullah SAW selaku Khotmul Anbiya’.

7. Beliau diberi tahu “Ismul A’dzom”. Dan masih banyak lagi keramat beliau yang tidak disebutkan dalam buku ini. Adapun Keramat Hissiy antara lain adalah :

1. Ketika beliau dilantik oleh Rasulullah SAW menjadi “Waliyyul Quthbaniyatul ‘Udzma”, pada bulan Muharram tahun 1200 H.. saat itu beliau berada dikota Fez Maroko, sedangkan pelaksanaan pelantikannya di jabal Rahmah Padang Arafah. Jarak yang sangat jauh bukan masalah, jika Allah SWT berkehendak.

2. Syeikh Ahmad at-Tijany ra biasa memberikan bimbingan kepada semua muridnya yang tinggal di tempat yang berbeda dan berjauhan dalam waktu yang bersamaan.

3. Pada bulan Muharram 1279 H. (49 tahun setelah beliau wafat) terjadi kemarau yang panjang dan kesulitan air. Tiba-tiba dari dalam kubur syekh memancar air susu yang sangat banyak, sehingga banyak orang datang berbondong-bondong untuk mengambil dan meminum nya, bahkan sampai saat ini susu tersebut masih ada tersisa dan tidak berubah rasanya ( tidak basi).

4. Rasulullah SAW. sangat mencintai Syeikh Ahmad melebihi kecintaan seorang ayah kepada anaknya.

5. Barangsiapa yang mencintai Syeikh Ahmad at-Tijany, tidak akan mati sebelum menyandang predikat wali.

6. Barangsiapa mencela Syeikh Ahmad at-Tijany ra, dan tidak mau bertobat, maka dikhawatirkan akan mati kafir.

وقا ل لى : يا احمد ان من سبك ولم يتب لا يموت الا كا فرا وان حج وجاهد ، قلت له يا رسول الله ان العا رف با لله سيد ى عبد الرحمن الشا مى ذ كر ان الحج لا يموت على سوء الخا تمه. قا ل لى سيدى الوجود : يا احمد من سبك ولم يتب ما ت كا فرا ولوحج وجاهد ، يا احمد كل من سعى في هلا كك فأنا غضبا ن عليه ولم تكتب له صلاته ولاتنفعه ( الفيض الرباني : 28 )

“Rasulullah SAW bersabda kepadaku. : “Ya Ahmad, sesungguhnya orang yang mencelamu dan tidak bertobat, ia akan mati dalam kekafiran, walaupun haji dan berjihad. Saya berkata : Ya Rasulallah, sesungguhnya al- ‘Arif billah Sayyid Abdurrahman as-Syami pernah berkata bahwa orang yang haji tidak akan mati su’ul khatimah, tetapi Rasulullah SAW membantah. : “Ya Ahmad, sesungguhnya orang yang mencelamu dan tidak bertobat, ia akan mati dalam kekafiran, walaupun haji dan berjihad.. Ya Ahmad, barangsiapa yang berusaha untuk mencelakakanmu, akulah yang marah kepadanya, dan tidak akan dicatat pahala sholatnya, dan tidak akan memberi manfaat baginya”. (al-Faidlur Rabbani : 28). Hal tersebut sesuai dengan hadits Qudsi :

من عا دى لى وليا فقد اذنته بالحرب . ( رواه البخاري )

“Barangsiapa menyakiti wali-Ku, maka Ku-umumkan perang kepadanya”. (HR. Buhori). Dan masih banyak lagi keutamaan dan keramat Syekh Ahmad at-Tijani yang tidak dapat kami jelaskan di dalam buku ini, bahkan pengikut tarekat Tijaniyah ini juga akan mendapatkan keistimewaan khusus, diantaranya adalah :

1. Diringankan saat sakarotul maut.

2. Mendapatkan perlindungan dari Allah di bawah payung 'Arasy-Nya.

3. Memiliki tempat khusus sebagai tempat perlindungan dari huru hara qiyamat dan berada di dekat pintu surga bersama orang-orang yang selamat, kemudian masuk ke surga bersama Rasulullah SAW dan rombongan yang pertama dari para sahabatnya.

4. Dijamin mati dalam Iman dan Islam.

5. Mendapat kemudahan dan kebahagiaan di alam kubur

6. Allah SWT menjamin keamanan baginya dari semua siksaan dan kesulitan, sejak matinya sampai masuk kedalam surga.

7. Diampuni semua dosanya yang terdahulu dan kemudian

8. Allah tidak akan menghisab amalnya dan tidak akan ditanya tentang amalnya sedikitpun di hari kiamat.

9. Allah akan memberi kekuatan kepadanya ketika melewati shirot, sehingga sampai ke surga sekejap mata dalam kawalan para Malaikat.

10. Diberi minum oleh Allah SWT dari telaga Rasulullah SAW.

11. Allah menempatkan mereka di Illiyyiin dalam surga Firdaus dan Aden.

12. Rasulullah SAW cinta kepada orang yang cinta kepada syeikh Ahmad at-Tijany ra dan dia tidak akan mati kecuali akan menyandang pangkat kewalian dari Allah.

13. Syeikh Ahmad at-Tijany ra. cinta kepada orang yang cinta kepadanya

14. Mendapatkan syafaat khusus dari Rasulullah SAW.

15. Kedua orang tuanya, kedua mertuanya, istrinya dan anak-anaknya dijamin masuk surga tanpa hisab, tanpa disiksa serta diampuni semua dosanya yang besar maupun kecil, dengan syarat mereka muslim dan tidak membenci serta tidak mencela syeikh Ahmad at-Tijany.

16. Rasulullah SAW menjadi jaminan mereka, seperti sabda-Nya kepada syeikh Ahmad at-Tijany ra : “Fuqoro’ mu adalah fuqoro’ ku juga, muridmu adalah murid-muridku juga, sahabatmu adalah sahabat sahabatku juga”. Ikhwan …… Adakah jaminan yang lebih mulia dari jaminan Rasulullah SAW ?

17. Ketika sakaratul maut, Rasulullah SAW akan hadir menjemput ruhnya.

18. Rasulullah SAW akan mendampinginya ketika ditanya oleh 2 malaikat (Munkar dan Nakiir).

19. Imam Mahdi al-Muntadzor akan menjadi ihwan thariqah Tijaniyah, dan sebagai tanda akan datangnya Imam Mahdi al-Muntadzar adalah jika Ihwan Thariqah Tijaniyah sudah banyak merata tersebar di seluruh negara sampai ke pelosok desa.

20. Martabat Ihwan Thariqah Tijaniyah lebih tinggi derajatnya dari martabat wali Qutub walaupun mereka hanya seorang muslim awam. Rasulullah SAW telah memberi tahu syeikh Ahmad at-Tijany bahwa beliau mempunyai beberapa persamaan, dan dengan sebab persamaan inilah ihwan Thariqah Tijany di sisi Allah SWT lebih tinggi martabatnya dari pada wali Qutub, Arifin dan Ghauts, walaupun zhohirnya ia hanyalah seorang muslim awam. (Faidlur Rabbani : 2)

21. Pada saat berdzikir, 70.000 malaikat ikut berdzikir bersama mereka, dan pahala berdzikir para malaikat ditulis untuk mereka.

22. Dan lain sebagainya.

Keistimewaan Dzikir Tarekat Tijaniyah

Setiap tarekat memiliki satu keistimewaan khusus, misalnya Hizbul-Bahr milik tarekat Syadziliyah, Subhaanud-Daaim milik tarekat Isaawiyah, Wirdus-Sattaar milik tarekat Kholwatiyah, Awrood Fathiyyah milik tarekat Hamadaniyyah, dan lain-lain. Keistimewaan khusus milik tarekat Tijaniyah adalah Sholawat Fatih dan Jauharatul-Kamaal. Mengenai Shalawat Fatih, syekh Ahmad at-Tijani mengatakan bahwa beliau telah diperintahkan oleh Nabi SAW untuk selalu membacanya. Walaupun lafadznya singkat, sholawat itu mengandung berjuta keistimewaan, diantaranya adalah : “Siapa yang membacanya sekali seumur hidup, maka dijamin akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Membacanya sekali saja akan dihapus semua dosa-dosanya. Membacanya sekali saja setara dengan 6000 kali semua dzikir dan doa, baik yang pendek maupun yang panjang, yang pernah dibaca oleh semua makhluk yang ada di alam semesta. Membacanya 10 kali saja, mendapatkan pahala yang lebih besar dibandingkan ibadah seorang wali yang hidup selama 10 ribu tahun tapi tidak pernah membaca sholawat ini. Membacanya sekali saja setara dengan ibadah seluruh malaikat, manusia, dan bangsa jin, sejak awal penciptaan mereka sampai saat ketika sholawat itu dibaca, dan membacanya untuk yang kedua kali adalah sama dengan pahala yang pertama ditambah dengan pahala yang kedua, dan seterusnya. Tentang sholawat Jauharatul-Kamaal yang juga diajarkan oleh Rosulullah SAW kepada syekh Ahmad at-Tijani, bahwa selama pembacaan ketujuh, Rosulullah SAW beserta keempat sahabatnya hadir. Syekh Ahmad ra berkata : “Tidak ada yang aneh dalam masalah ini, sebab wafatnya Rosulullah SAW bukan berarti beliau tidak dapat ditemui, tapi hanya tidak dapat dilihat lagi oleh semua orang, karena kematiannya hanya sekedar perpindahan alam, dari alam dunia ke alam barzakh. Oleh sebab itu beliau masih dapat mengunjungi umatnya yang dicintai baik dalam keadaan mimpi maupun dalam keadaan terjaga”. Pengetahuan tentang masalah yang gha'ib terbagi dua, pertama gha'ib muthlaq, yaitu pengetahuan gha’ib yang hanya diketahui oleh Allah saja, dan kedua gha'ib muqoyyad, yaitu sesuatu yang gha'ib bagi sebagian makhluk tetapi tidak gha'ib bagi makhluk yang lain, contoh, kehidupan alam barzakh, ghaib bagi kita yang masih hidup, tapi bagi mereka yang telah meninggal dunia ? kehidupan alam barzakh bukan lagi masalah yang ghaib. Begitu pula dengan pengetahuan para nabi dan para wali, Rahasia tuhan merupakan masalah yang ghaib bagi kebanyakan orang, tapi bukan rahasia lagi bagi mereka yang dekat dengan tuhan. Akan tetapi kaum muslim ortodoks membantah penyataan syekh Ahmad at-Tijani dan para pengikutnya bahwa Nabi SAW mengajarkan sesuatu kepada syekh yang tidak pernah diajarkan kepada para sahabatnya. Berarti ada tambahan syareat yang baru dari nabi SAW kepada syekh Ahmad ra ? Tentu saja, alasan kaum muslim ortodoks ini tidak dapat diterima, karena yang diajarkan oleh nabi SAW kepada syekh Ahmad bukanlah syareat yang baru, tapi lebih tertuju kepada perintah untuk bershalawat yang masih dalam bingkai pesan kenabian ( syari’at ), dan bukan merupakan hal yang baru !! Bukankah Nabi SAW juga menyuruh kita untuk bersholawat ? Mengenai besarnya pahala bagi orang yang membaca sholawat Fatih, Bukankah rahmat dan anugerah dari Allah kepada hamba-Nya tidak terbatas ?, dan tentunya Allah SWT akan memberi karunia pahala kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Keistimewaan Sholawat

Sholawat menurut bahasa artinya do’a, sedangkan menurut istilah adalah rahmat dan kemuliaan dari Allah SWT untuk nabi Muhammad SAW. Di dalam al-Qur’an, Allah SWT memerintahkan kita untuk senantiasa bershalawat kepada Rasulullah SAW : “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu kepada Nabi dan ucapkan salam kepadanya.” ( Al-Ahzab : 56 ). Tentang hukum membaca sholawat, ada beberapa pendapat dari ulama. ada yang berpendapat wajib satu kali seumur hidup, ada pula yang berpendapat sunnah. .Pendapat yang paling masyhur adalah sunnah mu’akkadah. Akan tetapi membaca sholawat pada saat tasyahhud akhir dalam sholat adalah wajib, karena ia menjadi rukunnya sholat. Tujuan dari membaca sholawat adalah Ikrooman, wa ta’zhiman wa mahabbatan kepada Nabi SAW. Oleh sebab itu kita harus memperhatikan adab–adabnya, antara lain adalah : Niat ikhlas beribadah kepada Alloh SWT. Ta’zhim dan mahabbah kepada Rosululloh SAW. Hudhur hatinya, seolah-olah berada di hadapan nabi SAW. Tawaddhu merendahkan diri dan merasa butuh sekali kepada syafa‘at Rosululloh SAW. Manfa’at dan faedah membaca sholawat antara lain :

1. Rosulullah SAW bersabda : “Barangsiapa membaca sholawat kepadaku 10x, maka Allah SWT membalas sholawat kepadanya 100x, dan barang siapa membaca sholawat kepadaku 100x, maka Allah SWT menulis diantara kedua matanya “Bebas dari munafiq dan bebas dari neraka “, dan Allah SWT menempatkan dirinya pada hari qiyamat bersama dengan para syuhada”.

2. Rosulullah SAW bersabda : ”Telah datang malaikat Jibril as kepadaku sambil berkata : “Barangsiapa diantara umatmu membaca sholawat kepada-mu satu kali, maka sebab bacaan sholawat tadi, Allah SWT menuliskan baginya 10 kebaikan, dan mengangkat derajatnya 10 tingkatan, dan.Allah membalas sholawat kepadanya sesuai dengan sholawat yang ia baca “.

3. Rosulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya manusia yang paling utama disisi-ku pada hari qiyamat adalah mereka yang paling banyak membaca sholawat kepadaku”. 4. Rosulullah SAW bersabda : “Yang paling banyak diantara kalian membaca sholawat kepadaku, dia-lah yang paling dekat denganku besok di hari qiyamat.

5. Rosulullah SAW bersabda : “Bacalah kalian sholawat kepadaku, maka sesungguhnya bacaan sholawat itu menjadi penebus dosa dan pembersih bagi jiwa kalian, dan barangsiapa membaca sholawat kepada-ku satu kali, Allah SWT membalas sholawat kepadanya sepuluh kali”.

6. Rosulullah SAW bersabda : ‘Sholawat kalian kepada-ku itu merupakan pengawal bagi dikabulnya do’a kalian dan memperoleh keridloan dari Allah, dan menjadi pembersih dari amal-amal kalian”.

7. Rosulullah SAW bersabda : “Semua doa itu terhijab (terhalang), sehingga ia memuji Allah dan bersholawat kepada Nabi SAW, maka do’anya itu diterima”.

8. Rosulullah SAW bersabda : “Barangsiapa membaca sholawat kepadaku setiap hari 100 kali, maka Allah SWT mengabulkan 100 macam hajatnya, yang 30 macam untuk kepentingan di dunia, sedangkan yang 70 macam untuk kepentingannya di akhirat ”.

9. Rosulullah SAW bersabda : “Barangsiapa membaca sholawat kepadaku setiap hari 1000 kali, dia tidak akan mati sebelum melihat tempatnya di surga”.

10. Rosulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang menulis sholawat kepadaku di dalam suatu kitab, maka para malaikat tidak henti-hentinya memohonkan ampunan baginya selama namaku masih berada di dalam Kitab itu “.

11. Rosulullah SAW bersabda : ”Hiasilah ruangan tempat perkumpulanmu dengan bacaan sholawat kepadaku, maka sesungguhnya bacaan sholawatmu akan menjadi nuur ( cahaya ) pada hari kiamat”.

12. Rosulullah SAW bersabda : “Segala sesuatu itu ada alat .pencuci dan pembersihnya. Adapun alat pencuci hati seorang mu’min dan pembersihnya dari kotoran dosa yang sudah melekat dan berkarat itu adalah dengan membaca sholawat kepadaku”.

13. Rosulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang merasa kesulitan memperoleh sesuatu, maka sesungguhnya sholawat itu akan menghilangkan kesulitan dan kesusahannya”.

14. Rosulullah SAW bersabda : “Perbanyaklah membaca sholawat kepadaku pada setiap hari Jum’at, maka sesungguhnya bacaan sholawat ummatku pada setiap hari Jumat itu dilaporkan kepada-ku”.

15. Rasulullah SAW bersabda : “Dalam mimpi, aku pernah melihat pamanku Hamzah dan saudaraku Ja’far Ath-Thayyar. Mereka memegang tempat makanan yang berisi buah pidara dan merekapun memakannya, kemudian buah pidara itu berubah menjadi anggur.dan merekapun memakannya, dan buah anggur itu berubah menjadi buah kurma yang masih segar. Kemudian merekapun memakannya, lalu aku mendekat dan bertanya kepada mereka: Demi ayahku jadi tebusan, amal apakah yang telah kalian lakukankan ? Mereka menjawab : Demi ayah dan ibuku jadi tebusanmu, kami dapatkan amal yang paling utama adalah bershalawat kepadamu”,

16. Rasulullah SAW bersabda : “Ketika aku di-mi’raj-kan ke langit, aku melihat malaikat yang mempunyai seribu tangan, dan di setiap tangannya ada seribu jemari. Ketika ia sedang menghitung dengan jari-jarinya, aku bertanya kepada Jibril: Siapakah malaikat itu dan apa yang sedang ia hitung ? Jibril menjawab : Dia adalah malaikat yang ditugaskan untuk menghitung setiap tetesan hujan, ia menghafal setiap tetesan hujan yang diturunkan dari langit ke bumi. Aku bertanya kepada malaikat itu : Apakah kamu mengetahui jumlah tetesan hujan yang diturunkan dari langit ke bumi sejak Allah menciptakan dunia ? Ia menjawab: Ya Rasulallah, demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak hanya mengetahui setiap tetesan hujan yang turun dari langit ke bumi, tetapi aku juga mengetahui secara rinci berapa jumlah tetesan hujan yang jatuh di lautan, di daratan, di bangunan, di perkebunan, dan di pekuburan. Rasulullah SAW bersabda : Aku kagum terhadap kemampuan hafalan dan ingatanmu dalam menghitung. Ia berkata : Ya Rasulallah, ada yang tak sanggup aku hafal dan menghitungnya. Rasulullah SAW bertanya : Menghitung apakah itu ? Ia menjawab : Aku tidak sanggup menghitung pahala shalawat yang dibaca oleh sekelompok orang dari umatmu ketika namamu disebut di suatu majlis.”

17. Rasulullah SAW bersabda : “Pada hari kiamat nanti aku akan berada di dekat mizan ( timbangan ) amal. Barangsiapa yang amal buruknya lebih berat dari amal baiknya, aku akan datang bersama sholawat yang pernah dibacanya, sehingga amal baiknya akan lebih berat, berkat shalawatnya itu”.

18. Rasulullah SAW bersabda : ”Barangsiapa yang bershalawat kepadaku 3 kali setiap pagi dan 3 kali setiap malam karena cinta dan rindu kepadaku, maka Allah SWT berhak mengampuni dosa-dosanya pada hari itu”.

19. Rasulullah SAW bersabda : ”Barangsiapa yang bershalawat kepadaku saat akan membaca Al-Qur’an, maka malaikat akan selalu memohonkan ampunan baginya selama namaku berada di dalam Al-Qur’an”.

20. Saidina Abu Huroiroh ra berkata : “Membaca sholawat kepada Nabi SAW adalah jalan menuju sorga “. 21. Saidina Ali Zainal ‘Abidin bin Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib ra berkata : “Tanda-tanda orang ahlus-sunnah adalah memperbanyak sholawat kepada Nabi SAW“.

22. Imam Ja’far Ash-Shodiq berkata : “Ketika nama Nabi SAW disebut, maka perbanyaklah sholawat kepadanya, sesungguhnya orang yang bersholawat kepada Nabi SAW satu kali, Allah akan bershalawat kepadanya 1000 kali bersama 1000 barisan malaikat. Tidak ada satu pun makhluk Allah kecuali ia bershalawat kepadanya, karena Allah dan para malaikat bershalawat kepadanya. Barangsiapa yang tidak mau membaca sholawat, ia dianggap sebagai orang yang jahil dan tertipu”.

23. Imam Ja’far ash-Shodiq berkata : ”Barangsiapa yang tidak sanggup menutupi dosa-dosanya, maka perbanyaklah sholawat kepada Rasulullah SAW dan keluarganya, sesungguhnya shalawat itu benar-benar dapat menghapus dosa-dosanya”.

24. Imam Ja’far ash-Shodiq pernah ditanya : “Apa pahala membaca shalawat itu ? Beliau menjawab : “Ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti saat bayi yang baru lahir dari ibunya”.

25. Imam Muhammad al-Baqir berkata : ”Tidak ada satupun amal yang lebih berat dalam timbangan, kecuali shalawat kepada nabi Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya akan ada seseorang yang ketika amalnya ditimbang, maka timbangan amalnya miring ke kiri. Kemudian Nabi SAW datang membawakan pahala shalawatnya dan meletakkan di mizan amalnya, maka beruntunglah ia berkat shalawat itu”.

26. Syekh Showi dalam kitab tafsirnya berpendapat : “Sesungguhnya para ulama sependapat, bahwa semua amal ada yang diterima dan ada pula yang ditolak, kecuali sholawat kepada Nabi SAW. Maka sesungguhnya sholawat kepada Nabi SAW itu “ Maqbuulatun Qoth’an “ ( pasti diterima ) “. (Taqriibul Ushul Hal : 5 7).

27. AI-Allaamah Syamsuddin bin Qoyyim dalam kitabnya Jalaailul-Afhaam berkata : “Sesungguhnya membaca sholawat itu menjadi sebab bertambahnya rasa cinta kepada Allah SWT dan Rosul-Nya. Cinta itu kelak akan menjadi satu ikatan dari ikatan-ikatan keimanan, padahal keimanan itu tidak bisa sempurna kecuali dengan cinta”.

28. Sebagian ulama berpendapat : “Jalan yang paling dekat kepada Allah SWT pada akhir zaman, khususnya bagi orang-orang yang banyak berbuat dosa adalah memperbanyak istighfar dan membaca sholawat kepada Nabi SAW”.

29 Sebagian ulama berpendapat : “Sesungguhnya membaca sholawat kepada Nabi SAW itu dapat menerangi hati dan mewushulkan dirinya kepada Allah SWT”.

30. Sebagian ulama berpendapat : “Sesungguhnya memperbanyak baca sholawat dapat mimpi bertemu dengan Rosululloh SAW, bahkan apabila bersungguh-sungguh memperbanyak serta membiasakannya, maka pembaca sholawat itu kelak dapat melihat Rosululloh SAW dalam keadaan jaga “. Kisah nabi Adam as membaca sholawat kepada Rosululloh SAW. : “Ketika Allah SWT telah menciptakan nabi Adam as, maka ia sempat memandang ke atas arsy. Di atas sana ia melihat tulisan “Muhammad”. Dia bertanya kepada Allah : Wahai tuhanku, diakah orang yang paling mulia disisi-Mu ? Allah SWT menjawab : “Benar, dan jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan langit, bumi, surga dan neraka”. Kemudian Allah menciptakan Ibu Hawwa dari tulang rusuk sebelah kiri nabi Adam as, Dan ketika beliau mengarahkan pandangan matanya kesana, Allah-pun memberikan hawa syahwat kedalam hatinya. Nabi Adam pun bertanya : “Wahai tuhanku, siapakah dia ?”. Allah SWT menjawab : “Itu Hawwa”. “Kawinkanlah aku dengannya”. Pinta nabi Adam as. “Dapatkah engkau membayar mas kawinnya ?” Nabi Adam as bertanya : “Apa mas kawinnya ?”. Allah SWT menjelaskan : ”Mas kawinnya membaca sholawat kepada nabi Muhammad SAW 10 kali”. Kemudian nabi Adam as pun membaca sholawat sepuluh kali kepada nabi Muhammad SAW. Maka bacaan sholawatnya itu menjadi maskawinnya Ibu Hawwa. Kisah nabi Musa as membaca sholawat kepada Rosululloh SAW : “Dalam Kitab “Syifaa’ul Asqom”, syekh al-Hafidz Abu Nuaem bercerita, bahwa Allah SWT bertanya kepada nabi Musa as : ”Wahai Musa, apakah-engkau ingin agar Aku lebih dekat denganmu melebihi dekatnya kalammu dengan lisanmu, melebihi dekatnya pandanganmu dengan matamu dan melebihi dekatnya rohmu dengan badanmu ?”. Nabi Musa as menjawab : “Mau, wahai tuhanku”. Allah SWT berfirman : “Perbanyak-lah engkau membaca sholawat kepada nabi Muhammad SAW”. Kecaman dan celaan terhadap orang yang tidak mau membaca sholawat antara lain :

1. Rosulullah SAW bersabda : “Ada 3 kelompok orang yang tidak akan bisa melihat wajahku pada hari kiamat. Pertama, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Kedua, orang yang meninggalkan sunnah-ku, dan ketiga, orang yang tidak membaca sholawat kepadaku ketika namaku disebut”.

2. Rosulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang tidak mau membaca sholawat kepada-ku, maka tidak dianggap sempurna agamanya “.

3. Rosulullah SAW bersabda : “Barangsiapa mendengar namaku disebut di dekatnya dan ia tidak membaca sholawat kepadaku, maka dia itulah sebakhil-bakhilnya manusia”.

4. Rosulullah SAW bersabda : “Barangsiapa mendengar namaku disebut di dekatnya dan ia tidak membaca sholawat kepadaku, maka dia bukan golongan-ku dan aku-pun bukan golongannya. Kemudian Rosululloh SAW berdoa : “Yaa Allah, pertemukanlah aku dengan orang yang suka berhubungan denganku. dan putuskanlah hubunganku dengan orang yang tidak mau berhubungan denganku”.

5. Rasulullah SAW bersabda : “Pada hari kiamat nanti semua kaum muslimin akan melihatku, kecuali orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, peminum khamer, dan orang yang tidak mau bersholawat ketika namaku disebut”.

Ajaran dan Dzikir Tarekat Tijaniyah

Sepengetahuan kami syekh Ahmad at-Tijani ra tidak meninggalkan karya tulis yang beliau ajarkan dalam tarekatnya. Ajaran tarekat ini dapat dipelajari dari kitab karya murid-muridnya, seperti Jawahirul-Ma’ani wa Bulugul-Amani fii-Faidhis-Syeikhit-Tijani, Kasyful-Hijab Amman Talaqqa Ma’at-Tijani minal-Ahzab, dan As-Sirrul-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Kitab kitab ini dipakai oleh para muqoddam sebagai panduan dalam menyebar luaskan ajaran Tarekat Tijaniyah sejak abad ke-19. Tarekat Tijaniyah mempunyai wiridan yang sangat sederhana dan mudah. Wiridannya hanya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Diamalkan sehari dua kali, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istighfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali. Wirid wadhifah ini juga boleh diamalkan sehari dua kali, yaitu sore dan pagi hari, tetapi lebih afdhol jika dilakukannya pada malam hari secara berjama’ah. Selain itu, setiap hari Jum’at sore pengikut tarekat ini berkumpul untuk melaksanakan dzikir Hayhalah, yaitu membaca dzikir tahlil setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam pelaksanaan dzikir Wadzifah dan Haylalah, syekh Ahmad ra menganjurkan untuk dilaksanakannya secara berjamaah, berwudhu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh berbicara, pasang niat untuk berdzikir, serta menghadap kiblat. Seperti halnya ajaran tarekat lain, tarekat Tijani juga menganjurkan kepada para pengikutnya untuk menggambarkan wajah syekh Ahmad ra saat mereka sedang berdzikir, agar tertanam rasa cinta yang kuat kepada syekhnya dimanapun mereka berada. Satu hal yang perlu untuk diketahui dari dzikir Tarekat Tijaniyah ( yang membedakannya dengan tarekat-tarekat lain ), bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, lebih menitik beratkan pada kesatuan jiwa dengan Rasulullah SAW, bukan kemanunggalan jiwa dengan Tuhan, sebagaimana tarekat lain. Oleh karena itu, tarekat ini disebut juga dengan nama Thoriqoh Muhammadiyyah atau Thoriqoh Ahmadiyyah, yang temanya merujuk langsung kepada nama Rasulullah SAW. Akibatnya terlihat jelas, tarekat ini lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis, dan tidak terlalu menekankan pada mujahadah yang ketat, bahkan menolak ajaran esoterik, terutama ekstatik dan metafisis kaum shufi. Coba perhatikan petikan dari kitab As-sirrul-Abhar Ahmad at-Tijani yang membahas tentang tata tertib, berdzikir dalam tarekat ini : “Untuk dapat mengamalkan wirid tarekat ini, anda haruslah sebagai seorang muslim dewasa ( akil balig ), dan anda-pun harus meminta izin / restu dari orang tua, sebab orang tua adalah salah satu sarana ( wasilah ) untuk sampai kepada Allah. Setelah itu anda harus mencari seorang syekh yang telah memiliki izin yang sah untuk mentalqin, supaya anda dapat berhubungan dengan Allah secara benar melalui bimbingan seorang guru. Sebaiknya anda menghindar dari wiridan yang diterima dari syekh yang lain, sebab Allah tidak menciptakan dua hati di dalam diri anda. Jangan sekali-kali mengunjungi seorang wali-pun, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, sebab tidak seorang pun yang dapat melayani dua mursyid sekaligus. Selain itu anda harus istiqomah melaksanakan shalat lima waktu secara berjamaah dan disiplin menjalankan ketentuan hukum syari’at, sebab tidak ada syariat yang lebih baik selain syariat yang dibawa oleh makhluk terbaik ( yaitu Rosulullah SAW ). Anda harus mencintai syekh Ahmad ra dan seluruh khalifahnya seumur hidup, sebab mencintai mereka merupakan sarana untuk menyatukan jiwa dengan Rosulullah SAW. dan jangan terfikir untuk meninggalkan majlis para muqoddam ( guru ) yang membimbing anda, sebab ini adalah salah satu ciri dari kegagalan. Anda dilarang keras untuk menfitnah atau bermusuhan dengan syekh, sebab hal itu akan membawa kepada kehancuran. Istiqomah-lah dalam berdzikir, sebab di dalam berdzikir, anda akan dapat menemukan rahasia-rahasia ilahiyah. Anda dilarang keras mengkritik segala sesuatu yang tampak janggal dalam thariqah ini, mungkin itu disebab kan karena kedangkalan ilmu anda dalam memahaminya. Berkumpullah bersama dalam melaksanakan wirid wazhifah dan haylalah Jum’at, agar anda terpelihara dari tipu muslihat syetan. Anda dilarang membaca Jauharatul-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats, sebab Rosulullah SAW hadir dalam pembacaan ketujuh”.

Tokoh Tarekat Tijaniyah

Tokoh tarekat Tijaniyyah yang masyhur, antara lain :

1. Syekh Ali Haroozim Abul-Hasan bin Arabi Barrodah al-Maghribi al-Fazi yang wafat di Madinah.

2. Syekh Muhammad bin Masyari al-Hasani as-Sabihi (wafat tahun 1224 H). Beliau pengarang kitab AI-Jami' lima Iftaroqo minal Ulum dan kitab Nusrotus-Syurafa' fii Roddi ala Ahlil jafa.'

3. Syekh Abul Abbas Ahmad Sukairuj al-Iyasyi (1295—1363 H), lahir di Fez dan belajar di Universitas Qarawiyyin. Setelah lulus ia diangkat menjadi dosen di Universitas tersebut. Pernah menjadi hakim dan mengunjungi sejumlah kota-kota besar di Marokko. Tahun 1318 H beliau menulis kitab Al-Kaukab al-Wahhaj dan Kasyful-Hijab 'an Man Talaqi Ma'a Sayyidi Ahmad Tijani minal-Ashhab.

4. Syekh Umar bin Sa'id bin Usman al-Futi al-Sinegali, lahir tahun 1797 M di desa Far, daerah Dimar Sinegal. Ia pernah belajar di Universitas al-Azhar. Ketika pulang ke negerinya, ia menyebarkan ilmunya ke tengah masyarakat penyembah berhala. Ia terkenal sebagai pejuang gigih dalam melawan penjajahan Perancis. Setelah beliau wafat tahun 1283 H, kepemimpinannya dilanjutkan oleh dua orang pengikutnya. Karya tulisnya yang terkenal ialah ar-Rimah Hizbir-Rahim 'ala Nuhur Hizbir-Rojim.

5. Syekh Muhammad al-Hafizh bin Abdul-Lathif bin Salim al-Syarif al-Hasani al-Tijani al-Mishri (1315—1398 H) seorang Imam Tarekat Tijaniyyah di Mesir yang telah meninggalkan sebuah perpustakaan. Sekarang perpustakaannya berada di Zawiyyah Tijaniyyah Kairo. Kitab peninggalannya berjudul Al-Haq fil Haq wa al-Khalq, Al-Haddul Ausath baina Man Afrotho wa Man Farotho dan Syuruthut-Thariqat at-Tijaniyyah. Ia juga pernah menerbitkan sebuah majalah Thoriqul-Haq pada tahun 1370 H/1950 M.

Tarekat Tijaniyah di Indonesia

Tarekat Tijani masuk ke Indonesia sekitar tahun 1920-an, disebarkan pertama kali di Jawa Barat oleh seorang ulama pengembara kelahiran Makkah, sayyid Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari. Dan pada tahun-tahun berikutnya, beberapa ulama Indonesia yang belajar di Makkah berbai’at untuk menjadi pengikut Tarekat Tijani dan mendapat ijazah untuk mengajar serta menyebar luaskan ajaran tarekat ini di tanah air. Di Indonesia sendiri, kehadiran tarekat Tijaniyah ditentang keras oleh tarekat-tarekat lain. Gugatan keras itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya akan diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, bahkan pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan mengkhatam al-Quran 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Tarekat Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru tarekat lain, yang dalam pandangan syekh pesaingnya dianggap sebagai praktik bisnis yang culas. Walaupun demikian, tarekat ini terus berkembang, terutama di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura dan ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat peredarannya. Pertentangan ini baru mereda ketika Jam’iyyah Ahlith-Thariqah an-Nahdliyyah menetapkan keputusan muktamar bahwa tarekat Tijani bukanlah tarekat sesat, karena amalan-amalannya sesuai dengan ajaran Islam. Sepanjang tahun 80-an tarekat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur. Respons terhadap perkembangan yang dicapai, menyebabkan pecahnya kembali konflik dengan para guru dari tarekat lain. Akar konflik ini lebih tertuju kepada persaingan keras untuk mendapatkan murid dan perasaan sakit hati di kalangan sebagian guru yang kehilangan banyak murid berpindah ke Tarekat Tijaniyah. Kepindahan murid-murid dari tarekat lain ke Tarekat Tijaniyah ini berarti hilang pula murid-murid dari tarekat lain, karena Tarekat Tijaniyah sama sekali tidak membolehkan para pengikutnya untuk berpindah lagi kepada syekh tarekat yang dianut sebelumnya. Semenjak awal kehadirannya di Indonesia, tarekat Tijaniyah mendapat tantangan yang cukup keras dari para ahli thariqat yang lain (non-Tijaniyah) sehingga menimbulkan pertentangan diantara para ahli thariqat di Indonesia. Pertentangan dilakukan dengan berbagai cara. Pertentangan itu timbul karena adanya anggapan dari para penentang bahwa di dalam Thariqat Tijaniyah terdapat kejanggalan-kejanggalan. Pada tahun 1928 –1931 pertentangan terjadi dalam bentuk pamflet yang berisikan tuduhan-tuduhan. Dan mereka mendapatkan rujukan dari ulama Madinah, Sayyid Abdullah Dahlan. Pada tahun 1930 terjadi perselisihan antara pesantren Buntet pusat Tijaniyah, dengan Pesantren Benda Kerep anti Tijaniyah yang keduanya masih ada hubungan keluarga. Pada tahun yang sama, syekh Ahmad Gonaim, guru dari Mesir datang ke pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. Kedatangannya ini untuk menyerang Thariqat Tijaniyah dengan alasan bahwa penyebar tarekat ini menjamin para pengikutnya masuk surga. Pertentangan terhadap Tijaniyah juga diungkapkan melalui penulisan kitab-kitab sanggahan. Misalnya, sayyid Abdullah Dahlan menulis kitab sanggahan Tanbihul-Ghofil wa Irsyadul-Mustafidil-Aqil, yang kemudian diringkas menjadi kitab Wudhuuhud-Dala’il. Muhammad al-Hilali menulis kitab al-Hidayah wal-Hadiyah Lit-Tha’ifah at-Tijaniyah, yang berisi hampir sama dengan kitab sanggahan sayyid Abdullah Dahlan. Secara umum ia mengatakan bahwa dalam Thariqat Tijaniyah terdapat banyak kejanggalan dan bertentangan dengan syari’at Islam. Muhammad al-Hilal dan Ali Dakhilullah dalam kitabnya at-Tijaniyat mengupas kritikan yang hampir sama dengan sayyid Abdullah Dahlan. Pertentangan tentang Thariqat Tijaniyah pernah dibahas dalam forum NU dan seminar Thariqat Tijaniyah di Cirebon. NU pernah membahas Thariqat Tijaniyah dalam dua kali muktamarnya: Muktamar III dan VI. Muktamar III memutuskan kemu’tabaran Thariqat Tijaniyah dan muktamar VI menguatkan hasil keputusan muktamar III. Hasil keputusan kedua Muktamar itu menetapkan bahwa (1) Thariqat Tijaniyah mempunyai sanad Muttasil sampai kepada Rasulullah SAW dengan bai’at barzakhiyah-nya. (2) Thariqat Tijaniyah dianggap sebagai thariqat yang sah dalam Islam, Polemik ini terjadi disebabkan dalam 3 hal. Mereka mempermasalahkan tentang keunggulan maqom kewalian syekh Ahmad at-Tijani dibandingkan wali lainnya, keistimewaan Thariqatnya dan keistimewaan pengikutnya. Melihat tiga hal di atas, ada beberapa kelemahan dari para penentang Thariqat Tijaniyah, diantaranya adalah : (1) Tidak tuntasnya mereka dalam membaca dan memahami ungkapan-ungkapan syekh Ahmad at-Tijani dan ajarannya, (2) Pemahaman mereka terhadap pernyataan-pernyataan syekh Ahmad at-Tijani lebih bersifat tekstual, sedangkan ungkapan syekh Ahmad lebih banyak harus difahami berdasarkan pendekatan kontekstual, dan (3) mereka para penentang Tijaniyah tidak mempelajari langsung dari guru-guru Tijaniyah, tetapi mereka mempelajarinya melalui pemahamannya sendiri sehingga penafsiran mereka lebih cenderung kurang relevan, menjadi subjektif dan bias. Menurut hemat kami, 3 kelemahan inilah yang memicu timbulnya polemik. Dan sampai sekarangpun pertentangan terhadap Thariqat Tijaniyah belum berakhir, terutama melalui buku-buku yang diterbitkan oleh Kerajaan Arab Saudi dan majalah ar-Risalah yang terbit di Solo. Untuk dapat memahami dengan benar mengenai persoalan di atas, ada tahapan-tahapan pemikiran yang harus dilalui. karena tahapan pemikiran ini akan menjadi pintu masuk dalam memahami pernyataan dan fatwa-fatwa syekh Ahmad at-Tijani ra, Tahapan pertama adalah, memahami tentang Haqiqat Muhammadiyah atau masyrob Nabawi yang melekat pada diri Khotmun-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad SAW, karena seluruh para nabi sejak nabi Adam as., hingga nabi Isa as., mengambil nur kenabian dari nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu seluruh nabi hanyalah melakukan peran kenabian dari kenabian Nabi Muhammad SAW sebelum jasad beliau dilahirkan. Berdasarkan hadits “Kuntu Nabiyyan wa Adamu Bainal-Mai’ wat -Thin”. ( Aku sudah menjadi nabi, sedangkan Adam saat itu masih di antara air dengan tanah ). Tahapan pertama ini perlu dipahami terlebih dahulu oleh para penentang tarekat Tijaniyah sebagai bahan perbandingan memahami Khotmul-Wilayah. Tahapan kedua adalah memahami dan meyakini tentang Khotmul-Wilayah atau Masyrob kewalian yang melekat pada diri seorang wali yang memperoleh maqom wali khotm, karena seluruh para wali Allah sejak nabi Adam as hingga akhir zaman mengambil nur kewalian dari wali khotm ini, oleh karena itu seluruh wali hanya melakukan peran kewalian dari seorang wali yang memperoleh maqom wali khatm; yang menurut Ibnul-Arabi : “wa kadzalika khatmul-Awliya kana waliyyan wa Adamu bainal-Maai’ wat -Thin” ( Dan demikian pula hal nya dengan Khotmul Awliyaa, ia telah menjadi wali, sedangkan saat itu nabi Adam masih di antara air dengan tanah ). Tahapan kedua ini merupakan hal yang sangat mendasar untuk bisa memasuki dan memahami pernyataan-pernyataan seorang wali yang memperoleh maqom wali khatm. Apabila tahapan ini belum dipahami, maka sangat sulit untuk bisa memahami pemikiran dan pernyataan syekh Ahmad at-Tijani sebagai wali yang memperoleh maqom wali khotm. Sebab pernyataan-pernyataan syekh Ahmad at-Tijani yang terkait dengan keunggulan dirinya, muncul dalam kapasitasnya sebagai wali khotm. Keunggulan yang dimiliki syekh Ahmad at-Tijani sebagai wali khatm juga mengantarkan pada keunggulan ajaran thariqotnya, yakni Thariqat Tijaniyah. Dan tentu saja keunggulan ajaran Thariqat Tijaniyah yang diajarkan wali khatm mengantarkan keunggulan ummat Islam yang mengikuti ajarannya. Dengan demikian pemahaman dan penerimaan terhadap pengakuan syekh Ahmad at-Tijani tentang maqam kewaliannya, merupakan syarat mutlak untuk bisa memahami semua pernyataan-pernyataan syekh Ahmad at-Tijani, baik tentang keunggulan dirinya, ajaran thariqat dan pengikutnya. Oleh karena itu, bila pemahaman kewalian, khususnya pemahaman wali khotm belum bisa diterima, maka selama itu pula Thariqat Tijaniyah akan terus dipermasalahkan dan tidak akan ada ujungnya. Namun apabila ada kelompok ummat Islam yang memahami wali khatm sekaligus menerima dan meyakini pengakuan syekh Ahmad at-Tijani terhadap maqam kewalian ini, menurut hemat saya, tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan, tinggal terserah hak intelektual seseorang dalam mengimani masalah kewalian sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an dan Hadits. Sungguhpun demikian penyelesaian polemik tentang Thariqat Tijaniyah tidaklah sederhana, sebab pembahasan tentang Haqiqat Muhammadiyah dan Khotmul-Wilayah termasuk wilayah pemikiran yang sangat rumit, sedangkan ummat Islam khususnya kaum tarekat yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memasuki wilayah ini sangat terbatas, dan keterbatasan ummat Islam dalam memahami istilah wali khatm itu sendiri masih dianggap asing, apalagi dihadapkan dengan pengakuan syekh Ahmad at-Tijani tentang keunggulan dirinya, thariqat dan pengikutnya. Oleh sebab itu sepanjang ummat Islam khususnya kaum tarekat belum memahami apalagi menerima pengakuan syekh Ahmad at-Tijani sebagai wali khatm, selama itu pula pertentangan dalam dunia tarekat akan terus terjadi. Disarankan kepada intelektual Thoriqat Tijaniyah yang menggeluti dunia keilmuan, untuk lebih banyak mengkaji dan mensosialisasikan teori tentang wali Khotm. Hal ini bisa dilakukan melalui beberapa hal : pertama, memasukan teori kewalian menjadi Silabi Mata Kuliah Tasawuf; kedua, menyelenggarakan seminar tentang teori kenabian dan teori kewalian diluar kalangan ahli Tijaniyah, terutama dikalangan Perguruan Tinggi; ketiga mengembangkan pusat kajian ilmu tasawuf. Hal ini diharapkan untuk lebih bisa menyelesaikan masalah Thariqat Tijaniyah secara bertahap, khususnya yang berkembang di Indonesia. Sebab menurut hemat saya penyelesaian masalah Thariqat Tijaniyah, harus dilakukan melalui pendekatan ilmiyah, melalui kajian tasawuf terutama teori kenabian dan kewalian. Sebab ada hal yang menarik dari syekh Ahmad at-Tijani, beliau telah menggabungkan dua sisi dari ilmu tasawuf yang berkembang dalam sejarah Pemikiran Islam, yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi. walaupun secara amaliyah, thariqat Tijaniyah dengan wirid istighfar, shalawat, dan dzikirnya merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ummat Islam, namun persoalan ajaran ini tidak hanya sampai disitu, melainkan menembus memasuki wilayah tasawuf falsafi terutama menyangkut hakekat nabi Muhammad SAW dan wali Khatm. Hal ini hanya akan bisa diselesaikan melalui pendalaman tentang teori kenabian dan kewalian. Demikianlah setitik pokok-pokok pikiran tentang tarekat yang mulia ini, semoga semua ini mendorong kita untuk memahami lebih jauh tentang keagungan syekh Ahmad at-Tijani dan keuntungan menjadi muridnya.

Tokoh-tokoh tarekat yang terkenal antara lain :

1. Adhamiah. Syekh Ibrahim bin Adham. Suriah.

2. Alawiyah. Syekh Abul Abbas Ahmad, Aljazair.

3. Alwaniah. Syekh Alwani. Jeddah, Arab Saudi.

4. Ammariah. Syekh Ammar Bu Senna. Aljazair.

5. Asyaqiah. Syekh Hasanuddin, Turki.

6 Asyrofiah. Syekh Asyrof Rumi, Turki.

7. Babaiah. Syekh Abdul Gani Turki.

8. Bahromiah. Syekh Hajji Bahromi, Turki.

9. Bakriah. Syekh Abu Bakar Wafai, Suriah.

10. Bektasyiah. Syekh Bektasy Veli, Turki.

11. Bustamiyah. Syekh Abu Yazid al-Bustami, Iran.

12. Gozaliyah. Imam al-Ghozali. Naisabur. Irak

13. Gulsyaniah. Syekh Ibrahim Gulsyani, Mesir.

14. Haddadiah. Sayyid Abdullah al-Haddad, Arab Saudi.

15. Idrisiah. Sayyid Ahmad, Arab Saudi.

16. Ighitbasyiah. Syekh Syamsudin, Yunani.

17. Jalwatiah. Syekh Pir Uftadi, Turki.

18. Jamaliah. Syekh Jamaludin, Turki.

19. Kabrowiah. Syekh Najmuddin, Iran.

20. Qadiriah. Syekh Abdul Qadir Jiilani, Irak.

21. Kholwatiah. Syekh Umar al-Khalwati, Turki.

22. Maulawiah. Syekh Jalaludin ar-Rumi, Anatolia.

23. Murodiah. Syekh Murod Syami, Turki.

24. Naksyabandiah. Syekh Muhammad al-Bukhori,Turki.

25. Niyaziah. Syekh Muhammad Niyaz, Yunani.

26. Ni'matallohiah. Syah Wali Ni'matillah, Iran

27. Nurbakhsyiah. Syekh Muhammad Nurbakh, Iran

28. Nuruddiniah. Syekh Nuruddin, Turki

29. Rifa’iah. Sayyid Ahmad ar-Rifa'i. Irak

30. Sa’diyah. Syekh Sa'dudin al-Jibawi, Irak

31. Safawiyah. Syekh Safiuddin, Iran

32. Sanusiah. Sayyid Muhammad as-Sanusi Lebanon

33. Saqotiah. Sirriy as-Saqoti, Irak

34. Uwaisyiah. Syekh Uwaisy al-Qoroni. Yaman

35. Umm Sunaniah. Syekh Umm Sunan, Turki

36. Suhrowardiah. Syekh Abdullah as-Suhrowardi, Irak

37. Sunbuliah. Syekh Sunbul Yusuf Bulawi, Turki

38. Syamsiah. Syekh Syamsuddin, Madinah

39. Syattariah. Syekh Abdullah asy-Syattar, India

40. Syaziliah. Syekh Abul Hasan Ali asy-Syazili, Makkah

41. Tijaniah. Syekh Ahmad at-Tijani, Maroko

42.Zainiah. Syekh Zainuddin, Irak

Adab Murid kepada Gurunya.

Salah satu adab seorang murid kepada gurunya adalah tidak melawan gurunya secara lahir dan tidak menolaknya dalam batin. Orang yang durhaka secara lahir berarti meninggalkan adabnya. Orang yang menolak secara batin berarti menolak pemberiannya. Bahkan, sikap tersebut bisa menjadi permusuhan dengan gurunya. Karena itu, dia harus bisa menahan diri untuk tidak menentang guru secara lahir maupun secara batin dan banyak membaca do’a: “Wahai Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman terlebih dahulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Hasyr: 10). Apabila melihat dari gurunya ada sesuatu yang dibenci dalam agama, hendaklah dia mencari tahu mengani hal itu dengan perumpamaan agar tidak menyebabkan gurunya kurang senang kepadanya. Manakala melihat sesuatu aib pada gurunya, hendaklah murid menutupi serat berprasangka buruk terhadap dirinya sendiri dan menakwilkan bahwa gurunya dalam batas agama. Apabila dia menemukan alas an bagi gurunya yang dibenarkan dalam agama, maka hendaklah dia memohonkan ampun untuk gurunya dan mohon agar gurunya diberi taufik, sadar, dan terpelihara. Jangan menganggap gurunya tersesat dan jangan memberitahukan hal itu kepada orang lain. Ketika kembali kepada gurunya pada hari atau waktu yang lain, hendaklah dia menganggap bahwa kekeliruan gurunya itu telah hilang, dan sesungguhnya gurunya telah berpindah ke tingkatan yang lebih tinggi yang belum dijangkaunya. Kekeliruan terjadi karena kelalaian, suatu kejadian atau pemisah di antara dua keadaan. Karena pada tiap-tiap dua keadaan itu ada pemisah dan kembali kepada kemurahan agama, seperti tanah kosong diantara dua kampong atau halaman di antara dua rumah. Selesai dari tingkatan pertama dan akan memasuki tingkatan berikutnya. Pindah dari suatu kewalian kepada tingkat kewalian yang berikutnya. Dia melepas sebuah mahkota kewalian dan mengenakan mahkota kewalian yang lain, yang lebih tinggi dan lebih mulia. Setiap hari, kedekatan mereka bertambah kepada Allah SWT. Apabila guru sedang marah dan wajahnya terlihat tidak menyenangkan, janganlah meninggalkannya. Tetapi dia harus memeriksa batinnya, mungkinkah dia telah melakukan adab yang kurang baik terhadap gurunya atau telah melakukan suatu kemaksiatan kepada Allah SWT dengan meninggalkan perintah atau melakukan pelanggaran?. Dia harus memohon ampun dan barutaubat kepada-Nya. Dia juga harus bertekad tidak akan mengulanginya, meminta maaf kepada guru, merendahkan diri di hadapannya, menyenangkannya dengan tidak akan melawannya, menemaninya selalu, dan menjadikannya sebagai perantara antara dia dengan Tuhannya, serta jalan yang akan menyampaikannya kepada-Nya. Seperti orang yang hendak datang kepada raja, sedang raja tidak mengenalinya, maka dia harus berusaha untuk setiap halangan yang menghadangnya, atau mengajak salah seorang yang dekat dengan raja untuk menunjukkan bagaimana caranya dapat berjumpa dengan raja. Dia harus belajar adab dan tata cara bercakap-cakap dengan raja atau hadiah apa yang sesuai untuknya, atau sesuatu yang tidak dimilikinya dan apa yang mesti diperbanyak. Selanjutnya, dia harus mendatangi istana dari pintu depan. Jangan lewat pintu belakang sehingga nanti akan dicela dan mendapatkan kehinaan serta tidak memperoleh apa yang dia inginkan dari sang raja. Sesungguhnya, setiap orang yang hendak memasuki sebuah istana mesti ada tata cara dan ada pelayan atau petugas yang akan membimbing tangannya atau memberikan isyarat kepadanya untuk mempersilahkan duduk di tempat yang telah disediakan. Dia mesti mengikuti supaya tidak mendapatkan kehinaan atau dituduh sebagai orang yang tidak beradab dan bodoh. Di antara adab yang harus dimiliki oleh seorang murid adalah murid tidak diperkenankan berbicara di depan guru kecuali seperlunya, dan tidak menampakkkan sedikit pun keadaan dirinya di depan guru. Dia juga tidak sepatutnya menggelar sajadahnya di depan guru kecuali pada waktu melakukan shalat. Jika telah selesai shalat, hendaknya dia segera melipat kembali sajadahnya. Murid harus selalu siap melayani gurunya dan orang yang duduk diruangannya dengan senang hati, ringan dan cekatan. Seorang murid harus bersunguh-sungguh jangan sampai menggelar sajadahnya sedang di atasnya ada orang yang lebih tinggi tingkatannya. Dia juga tidak boleh mendekatkan sajadahnya kepada sajadah orang yang lebih tinggi itu kecuali dengan izinnnya. Karena hal demikian dianggap kurang beradab bagi mereka. Bila menemukan kemusykilan gurunya, seorang murid hendaknya diam meskipun memiliki penjelasan dan jawaban mengenainya. Akan tetapi, dia boleh mengambil apa yang telah Allah SWT bukakan baginya melalui lisan gurunya, kemudian menerima dan mengamalkannya. Jika melihat ada kekurangan dalam jawaban gurunya, seorang murdi tidak boleh membantah atau menolaknya. Bahkan, dia harus bersyukur kepada Allah SWT atas apa yang telah diberikan kepadanya berupa keutamaan, ilmu, dan nur yang disembunyikan dalam dirinya. Dia tidak boleh memperpanjang perbincangannya dan tidak boleh mengatakan mengatakan,”Guru telah salah dalam masalah ini.” Dia tidak boleh membantah ucapannya kecuali terjadi secara spontan dan tidak sengaja. Jika demikian, dia harus segera menghantikan ucapannya dan menggantikan dengan diam, dan taubat serta bertekad tidak akan mengulanginya. Murid juga tidak sepatutnya banyak bergerak seaktu mendengar di depan guru kecuali karena mendapat isyarat darinya. Dia juga tidak sepatutnya melihat pada dirinya memiliki suatu keadaan kecuali terjadi padanya suatu hal yang memaksanya untuk membedakan dan memilih. Apabila hal itu telah reda, hendaknya dia kembali kepada keadaan semula, diam penuh adab, tawadhu’ dan menyembunyikan rahasia yang telah Allah SWT berikan kepadanya. Sungguh, kami telah menyebutkan hal ini, yakni tentang sikap, perbuatan atau ucapan yang tidak baik bagi seorang murid, tetapi kini justru kadang terjadi di madrasah atau pondok mereka. Memang tidak dipungkiri, murid yang dapat melakukan adab yang demikian sempurna itu termasuk murid yang benar dan bersungguh-sungguh. Sehingga makna sesuatu yang telah dia dengar itu menyalakan cahaya kebenaran dan menguatkannya. Kemudian dia akan sibuk di dalam cahaya itu dan tenggelam di dalamnya. Anggota badannya bergerak di tengah kaum, namun sebenarnya dia berada di sebuah batas yang penuh dengan kelezatan watak dan keinginan. Tiap orang akan membayangkan dekat orang yang merindukannya. Murid yang bersungguh-sungguh, api kerinduannya tidak akan padam dan pancarannya tidak akan pernah redup. Kekasihnya tidak pernah ghaib dan penghiburnya tidak akan pernah jauh. Murid seperti ini akan senantiasa bertambah dalam kedekatan, kelezatan, dan kenikmatan. Tidak ada yang dapat mengguncangkan atau merubah keadaannya selain ucapan Dzat Yang dikehendakinya dan pembicaraan Dzat Yang Menolongnya. Meskipun pada saat itu, didekatnya banyak syair. Nyanyian, suara-suara teman-teman syetan, para pengikut hawa nafsu, dan para pengejar kesenangan. Seorang murid hendaknya tidak menentang seseorang pada saat ia mendengarkan dan tidak menolak seseorang dalam menuntut sesuatu yang diinginkan dan dirindukannya, berupa surga dan bidadari serta melihat Allah SWT di akhirat, yang mana ia telah zuhud terhadap dunia, kelezatan dan kesenangannya, anak-anak dan wanitanya. Ia telah berani bersabar atau keburukan, ujian dan cobaan di dunia serta berpaling kepada anak-anak di akhirat. Hendaknya dia menyerahkan semua itu kepada para guru yang ada. Sesungguhnya mereka itu dalam kekuasaan guru. Bila belajar pada seseorang guru, dia harus percaya bahwa dikampung itu tidak ada orang yang lebih utama dari gurunya, sehingga dia akan berhasil mendapatkan apa yang dia cita-citakan, dan sang guru akan dapat menghadapkan kepada Allah SWT. Murid harus menjaga rahasianya ketika berkhidmat bersama Allah SWT dalam mencapai kehendaknya. Dia harus menganggap bahwa apa yang dikatakan oleh gurunya adalah sesuatu yang sesuai dengan keadaannnya. Sesungguhnya melawan guru adalah racun yang sangat berbahaya. Jadi, jangan sampai murid menentang guru, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. Dia tidak boleh menyembunyikan sedikitpun keadaan dan rahasianya terhadap guru, dan tidak memperlihatkan kepada orang lain apa yang telah diperintahkan kepadanya. Tidak sepatutnya bagi seorang murid bertekad meminta kemurahan atau meminta kembali kepada apa yang telah ditinggalkannya karena Allah SWT. Sesungguhnya hal itu merupakan kesalahan besar sekaligus kerusakan kehendak bagi ahli tharekat. Disebutkan dalam hadist Rasulullah SAW,”Orang yang kembali kepada keadaannya seperti anjing yang muntah lalu memakannya lagi”. Dia harus bersungguh-sungguh berpegang pada adab yang telah diperintahkan oleh gurunya, jangan sampai menjadi kurang beradab. Jika terjadi kekurangan dalam melaksanakan apa yang telah diisyararatkan gurunya, maka murid harus memberitahukan hal itu kepada gurunya sehingga guru akan memberikan arahan yang sesuai dengannya dan mendoakan agar mendapatkan taufik, kemudahan dan keberhasilan.

Adab Murid kepada Dirinya Sendiri.

1. Melatih dan membiasakan diri untuk sering lapar Lapar adalah pilar tarekat yang paling utama, seperti halnya wukuf di padang Arafah sebagai rukun utama dari pelaksanaan ibadah haji. Pilar tarekat ada empat : lapar, uzlah ( mengasingkan diri ), waro' dan sedikit berbicara. Jika seorang murid terbiasa menahan lapar, maka tiga pilar lainnya akan mengikutinya. Bahkan dasar-dasar kewalian itu dibangun berdasarkan keempat pilar ini. Setahap demi setahap seorang murid harus membiasakan diri mengurangi makannya, hingga ia hanya makan sekali dalam sehari semalam. Karena ketika Allah SWT menciptakan Hawa Nafsu, Allah bertanya, "Siapa kamu ?", maka Nafsu menjawab, "Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau". Kemudian Allah perintahkan para malaikat untuk memasukkannya ke dalam neraka lapar selama 1000 tahun, dan kembali Allah bertanya, "Siapa kamu ?", maka kemudian Nafsu menjawab, "Aku adalah hamba-Mu dan Engkau adalah Tuhanku". Syekh Abu Sulaiman ad-Darani berkata, "Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akhirat adalah lapar." Kenyang bagaikan api sedangkan syahwat bagaikan kayu bakar. Apabila syahwat keinginan untuk makan kenyang selalu dituruti, maka api syahwat pun akan terus membakar hatinya dan apabila hati seseorang sudah terbakar oleh nafsu syahwat, maka sangat sulit untuk dipadamkan.

2. Sedikit Berbicara Sedikit bicara merupakan riyadah ( olah jiwa ) yang penting dalam bertarekat. Syekh Bisyr al-Harits berkata : "Jika berbicara membuatmu menjadi bangga, maka diamlah. Dan jika diam membuatmu menjadi bangga maka bicaralah". Nabi saw bersabda : "Manusia dilemparkan ke neraka dalam posisi tertelungkup di sebabkan karena lidahnya". Bahkan Saidina Abu Bakar ra pernah meletakkan batu kerikil selama setahun didalam mulutnya, untuk mencegahnya banyak bicara yang sia-sia.

3. Hanya Memiliki Seorang Syeikh Diantara adab murid dalam bertarekat adalah ia hanya dibolehkan memiliki seorang syeikh. Seperti halnya seorang wanita tak boleh memiliki suami lebih dari satu, juga sebagaimana di alam semesta ini tidak boleh ada dua Tuhan. Murid yang mengabdi penuh hanya kepada seorang Syeikh akan lebih terjamin keselamatannya. Dia akan terpelihara dari perasaan bimbang dan bingung dalam beribadah. Oleh sebab itu barangsiapa berguru kepada beberapa orang syeikh, hendaklah ia menentukan satu syeikh yang sesuai didalam hatinya.

4. Tidak Menikah atau Bercerai Tanpa Izin dari Syeikhnya Jika ia masuk tarekat dalam keadaan telah menikah, maka ia tidak boleh bercerai kecuali atas izin dari Syaikhnya. Atau bila ia masuk tarekat belum menikah, maka ia tidak boleh menikah kecuali dengan izinnya. Pada saat seorang murid telah berumah tangga, perhatiannya terhadap syekh tidak boleh berkurang, Di awal perjalanan ruhani, Syaikh tidak menyuruh muridnya untuk meninggalkan perkerjaan atau menceraikan istrinya, karena ia berada dalam tataran pembentukan. Tarekat kaum sufi bukanlah kerahiban. Seorang murid harus memelihara waktunya agar tidak sia-sia dalam permainan dan kelalaian. Syaikh dalam awal perjalanan tidak memberatkan muridnya akan tetapi Syaikh mulai bekerja untuk menghilangkan berbagai ketergantungan sedikit demi sedikit sehingga hijabnya tersingkap dan berada diluar perkara keduniaan.

5. Bersikap Hati-hati dalam Agama Bersikap hati-hati dalam beragama dengan menghindari hal-hal yang diperselisihkan oleh para ulama serta mencari hal-hal yang mereka sepakati. Berkeyakinan bahwa semua ibadah yang dilakukannya benar menurut madzhab atau mayoritas madzhab, karena keringanan hanya diberikan kepada orang yang lemah atau dalam keadaan terpaksa dan sibuk.

6. Menunjukkan Keadaannya sesuai Maqomnya Ia melihat keadaannya dalam setiap maqom yang diklaimnya atau yang ditampakkannya. Jika ia mengaku mencintai Allah maka wajahnya cenderung pucat. Bila ia mengaku zuhud dunia, maka ia menjauhi orang jahat. Jika ia mengaku lapar, maka jasmaninya cenderung menutup diri. Ketika kami mengunjungi kumpulan orang saleh, kami melihat seorang anak muda dalam keadaan menutup dirinya, wajahnya pucat dan tampak garis-garis kesalehan pada dirinya. Anak muda itu menjerit sambil memukulkan tangannya keatas dan kebawah sehingga menggerakkan perasan kerinduan kepada semua orang yang berada didekatnya.

7. Menyembunyikan Keadaannya Sedapat Mungkin Diantara adab murid adalah menyembunyikan keadaan dirinya dan Allah sedapat mungkin, sehingga ia meneguhkan maqam pemeliharaan dari Allah saja dan bukan dari mahlukNya. Seseorang hampir tidakmengetahui maqam seorang yang Faqir, keadaanya tidak diketahui karena sangat tersembunyi. Para Syaikh sepakat jika seorang murid suka menampakkan keadaannya dan memperlihatkan kesempurnaannya, maka ia terputus dengannya. Terutama ketika orang lain meminta berkah kepadanya, maka iapun binasa karenanya.

8. Siap menderita dalam ber-tarekat Diantara adab murid adalah mampu menanggung derita dalam tarekat. Murid tidak berpaling meskipun diberikan penderitaan, penyakit, kemiskinan dan cobaan hidup. Murid juga akan sering memperoleh keadaan ketidaksenangan orang-orang kepadanya. Bahkan setanpun membisikinya, untuk apa engkau masuk tarekat, sekarang engkau susah, padahal dahulu hidupmu tenang dan tidak susah. Hendaklah murid berpendirian teguh dalam tarekat.

9. Memalingkan Pandangan dari Rupa yang Indah Sebisa mungkin murid memalingkan pandangan dari wajah yang cantik, karena memandangnya adalah seperti anak panah yang menancap dihatinya sehingga mematikannya. Terlebih lagi bila pandangan itu disertai syahwat. Selama seseorang dapat membedakan rupa yang indah dan buruk maka ia masih dipengaruhi syahwat, oleh karena itu ia tidak boleh melihat wajah yang cantik yang tak boleh dilihat menurut syariat. Demikian juga tidak boleh melihat wajah anak lelaki yang belum tumbuh jenggotnya hingga membangkitkan syahwat.

10. Memberikan Bimbingan Hanya Atas Seizin Syaikh Murid tidak boleh memberikan bimbingan dan pelajaran dalam ilmu lahir dan batiniah sampai syaikhnya bersaksi tentang keikhlasannya dalam hal itu. Demikian pula ia tidak boleh mengambil murid. Jika setiap murid mengajarkan tarekat sebelum api syahwatnya padam dan ada izin dari gurunya, maka ia terputus dari syaikhnya, sesat dan menyesatkan sehingga cerminnya menghilangkan cahaya.

11. Pendek Angan-angan Panjang angan-angan biasanya membuat orang suka menunda-nunda kebaikan. Orang faqir adalah anak waktu, tidak memandang waktu yang telah lalu dan tidak pula yang akan datang, karena pandangannya menggunakan waktu untuk mendapatkan hasil. Barangsiapa memandang perbuatannya dengan penundaan , maka umurnya berlalu dengan sia-sia dan ladangnya hilang hingga ia menyesal dunia dan akhirat.

12. Selalu Giat dalam Memerangi Kemalasan

13. Banyak Menunduk dan Sedikit Berpaling

14. Menghindari Perbantahan dan Segala Hal yang disertai Nafsu

15. Menjauhi Orang yang Mencela Tarekat

16. Berkemauan Tinggi Membaca Wirid Tarekat

17. Bersabar Menanggung Derita dan Menekuni Ibadah

18. Menghilangkan Keinginan Mendapat Pahala

19. Bersabar Menghadapi Ujian

Mursyid Dalam Tarekat

Allah SWT berfirman : “Barangsiapa yang tersesat, maka ia tidak akan mampu menemukan seorang wali yang mursyid dalam kehidupannya”. Dalam tradisi tasawuf, peran seorang mursyid (pembimbing atau guru rohani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan spiritual. Walaupun ada sekelompok orang yang anti tasawuf menolak eksistensi seorang mursyid. Mereka beranggapan, bahwa dengan berpedoman kepada petunjuk dari al-Qur’an dan Sunnah, sudah cukup bagi mereka untuk menempuh tahapan-tahapan spiritual tanpa harus mendapatkan bimbingan dari seorang mursyid.

Sebenarnya anggapan tersebut hanya sebuah teori belaka, karena pada kenyataannya hampir bisa dipastikan, bahwa mereka akan menemui kegagalan spiritual. Dan kegagalan tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan shufi tanpa bimbingan mursyid, diantaranya adalah, Ibnu Athoillah as-Sakandari, Sulthonul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali. Awalnya dengan berbekal ilmu pengetahuan yang luas, mereka berusaha untuk menempuh jalan sendiri tanpa bimbingan, tapi akhirnya merekapun harus menyerah dan mengakui, bahwa dalam proses menuju Allah, seseorang tetap membutuhkan kehadiran seorang mursyid (pembimbing).

Mereka juga mengakui, bahwa seluas apa pun ilmu pengetahuan yang telah mereka miliki, semua itu hanyalah sebuah “teori” yang tetap tidak akan mampu membuka jalan menuju Allah tanpa bimbingan dari orang-orang yang telah berhasil menempuh dan melewati jalan itu. Bahkan jalan untuk mengenal Allah itu tidak bisa ditempuh hanya dengan mengandalkan akal semata, walaupun bisa, tapi sekedar meraih Ilmul Yaqin saja, belum sampai pada tahapan Haqqul Yaqin.

Walhasil, mereka yang merasa atau mengaku sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang mursyid, maka wushul-nya itu termasuk kategori wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, mereka yang menempuh jalan metafisik tanpa bimbingan dari seorang mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan atau bahkan dari hawa nafsunya sendiri. Di sinilah terjadi jebakan-jebakan yang terkadang menipu para pencari jalan menuju Allah. Oleh sebab itu ada ucapan kaum shufi yang cukup terkenal : “Barangsiapa menempuh jalan menuju Allah, tanpa disertai oleh seorang guru, maka gurunya adalah syetan”. Oleh sebab itulah, seorang ulama tetap membutuhkan seorang pembimbing rohani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimilikinya lebih banyak dibandingkan sang mursyid itu sendiri. tetapi, dalam masalah ma'rifatulloh dan rahasia-rahasia bathiniyah, sang mursyid tentu saja lebih menguasainya.

Rasulullah SAW adalah teladan, ketika beliau melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj menemui Allah SWT, beliau senantiasa mendapatkan bimbingan dari Malaikat Jibril as. Dan kedudukan Jibril di sini identik dengan kedudukan seorang mursyid di mata kaum shufi. Hal ini sama dengan yang dialami oleh Nabi Musa as, ternyata beliaupun harus diuji oleh Allah melalui bimbingan Khidir. Hubungan nabi Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Mursyid. walaupun dalam persoalan rasional, nabi Musa as sangat progresif, tetapi dalam persoalan ruh batiniyah, beliau tetap mendapatkan bimbingan dari Khidir.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid tarekat, harus memiliki prasyarat yang tidak ringan, agar mereka mampu memberikan bimbingannya ke jalan Allah SWT bagi para pengikut tarekatnya. Tentu saja, untuk mendapatkan seorang mursyid yang sempurna di zaman kini, sangatlah sulit. Sebab standar mursyid bukan menggunakan standar rasionalisme atau empirisme, seperti kemasyhuran namanya di masyarakat, kehebatan keramatnya atau keluasan ilmu pengetahuannya. Bukan itu !! Tetapi mursyid sejati adalah mereka yang memiliki konsep spiritual yang sangat agung dan luhur, sehingga pemikirannya, hanya bisa dipahami dan dicerna dengan menggunakan metode mukasyafah qolbu bukan dengan mengandalkan akal logika.

Oleh sebab itu, sekarang ini, tidak jarang banyak mursyid tarekat yang bermunculan di mana-mana, dan untuk mendapatkan popularitas duniawi, sengaja ia mencari simpati dari masyarakat dengan mengenakan pakaian kebesaran dan selalu tampil secara berlebihan di hadapan umum. Walaupun banyak orang awwam yang menganggapnya sebagai mursyid tarekat, tapi hakikatnya ia tidak memiliki standar sedikitpun sebagai seorang mursyid. Sehingga saat ini banyak mursyid tarekat yang tidak memiliki derajat kewalian, sehingga pembinaan spritualnya banyak mengalami kegagalan. Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili ra mengatakan : “Siapa orang yang menunjukkan-mu kepada kemewahan dunia, maka kelak ia akan menghancurkan-mu. Siapa orang yang menganjurkan-mu untuk banyak beramal, maka kelak ia akan menyusahkan-mu. Dan siapa orang yang memperkenalkan-mu dengan Allah, maka dialah penasehatmu yang sejati.”

Menurut imam Asy-Syadzili ra, mursyid yang baik tidak pernah memberikan beban berat kepada murid-muridnya, kecuali sekedar kemampuannya. Bahkan Ibnu Athoillah as-Sakandari dalam kitab al-Hikam mengatakan : “Jangan berguru kepada seorang mursyid yang tidak mengarahkan dirimu untuk lebih dekat mengenal Allah”. Kesimpulannya, bahwa seorang mursyid tarekat sekurang-kurangnya harus memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Bertaqwa kepada Allah SWT lahir dan batin.

2. Meneladani sunnah Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatannya.

3. Berpaling dari makhluk dan senantiasa berkonsentrasi hanya kepada Allah.

4. Ridho kepada Allah atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.

5. Mencintai Allah dalam suka maupun duka.

6. Memiliki himmah ( semangat ) yang tinggi,

7. Senantiasa menjaga kehormatan dirinya

8. Berbakti hanya untuk agamanya

9. Melaksanakan semua kewajibannya

10. Selalu mengagungkan nikmat-nikmat Allah SWT.

11. Dan lain sebagainya.

Peranan kaum tarekat

Sebagaimana halnya sebuah organisasi, tarekat tidak hanya sekedar menjalankan kegiatan ritual keagamaan semata. Justru kehadiran tarekat memiliki peran yang cukup penting dalam beragam kegiatan di masyarakat, di bidang sosial, ekonomi, pendidikan hingga politik. Sebagai sebuah jejaring sosial yang mampu menjangkau wilayah yang begitu luas, tarekat pun tercatat telah melakukan gerakan perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat Muslim di seluruh dunia. Pada masa kolonial dulu, tarekat pun tampil sebagai sebuah gerakan perlawanan untuk memerangi penjajah. Sejarah mencatat, ada sejumlah gerakan perlawanan besar yang dilakukan para tokoh tarekat dan pengikutnya di Nusantara terhadap Belanda. Menurut Prof. Azyumardi Azra : “Respons muslim pribumi terhadap penjajah Belanda terbagi menjadi dua kelompok, Ada yang melakukan perlawanan secara terbuka dan ada pula yang melakukan perlawanan secara tertutup. Para kyai dan pengikutnya melakukan perlawanan dengan metode 'uzlah'. yaitu menjauhkan diri dari penguasa kolonialis yang kafir. Dan uzlah para ulama itulah yang kemudian telah mendorong terjadinya radikalisasi para pengamal tarekat. Gerakan Reformis Paderi di Minangkabau yang kemudian menjadi perang anti-kolonialisme, salah satunya dimotori oleh para pengamal tarekat yang berkembang pada waktu itu, bahkan gerakan radikalisasi tarekat terus mendapatkan momentum sepanjang abad ke-19. Peran tarekat dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan juga tampak dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Dalam pertempuran itu, Pangeran Diponegoro didukung oleh para kiyai dan santri. Dia mengangkat Kyai Maja tampil sebagai pemimpin spiritual pemberontakan. Dan untuk menarik dukungan dari pondok pesantren, tokoh agama dan pengikut tarekat, Pangeran Diponegoro menyebut pemberontakannya itu sebagai perang suci atau perang sabil. Tak heran, jika kemudian para pengikut tarekat dan umat Islam lainnya meyakini bahwa pemberontakan itu sebagai perang suci untuk mengembalikan pemerintahan Islam di tanah Jawa. Martin van Bruinessen dalam tulisannnya juga mengakui peran dan perjuangan tokoh dan pengikut tarekat dalam melawan Belanda. Peran tarekat yang tak kalah pentingnya dalam perlawanan penjajah Belanda juga dilakukan tarekat Sammaniyah di Palembang dalam Perang Menteng. Perjuangan para tokoh dan pengikut tarekat itu berhasil mengalahkan gempuran pertama pasukan Belanda tahun 1819. Seorang penyair Melayu menggambarkan bagaimana kaum putihan atau haji mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca asma Allah (ya-Malik, ya-Jabbar), berdzikir dengan suara keras sampai 'fana'. Dalam keadaan tak sadar ('mabuk dzikir') mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga merasa kebal lantaran dzikir tadi, dan dibalut semangat dan keberanian mereka berhasil membuat Belanda kocar-kacir. Menurut Bruinessen, tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari tanah suci oleh murid-murid syekh Abdus-Shomad al-Palimbani pada penghujung abad ke-18. Beliau dikenal sebagai pengarang kitab Sairus-Salikin dan Hidayatus-Salikin, dua karya sastra tasawwuf Melayu yang penting. Dua karya ini berdasarkan Ihya dan Bidayatul-Hidayah'nya imam Ghazali, dengan tambahan bahan dari berbagai kitab tasawwuf lainnya. Syaikh Abdussamad adalah seorang shufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut ia sangat militan. Tidak mengherankan kalau murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik. Satu abad sebelum tarekat Sammaniyah yang dipimpin Syaikh Abdussamad melakukan gerakan perlawanan terhadap Belanda, Syaikh Yusuf Makassar yang bergelar “Tajul-Khalwati” telah melakukan hal yang sama. Di Banten, Syekh Yusuf dengan 5.000 pasukan dan 1.000 diantaranya berasal dari Makassar telah mengobarkan perang terhadap 'kolonial kafir'. Bahkan, ketika di buang ke Srilanka pun, Syekh Yusuf terus mengobarkan semangat perlawanan lewat karya-karyanya kepada para Sultan dan pengikutnya di Gowa dan Banten. Sebagai seorang shufi, Syekh Yusuf pun telah ikut terjun ke dunia politik saat itu, dengan menjadi penasehat Sultan Ageng Tirtayasa. Selain itu, sejarah Indonesia juga mencatat banyak lagi gerakan pemberontakan melawan penjajah Belanda yang dimotori oleh kaum tarekat, seperti pemberontakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (1859-1862), kasus Haji Rifa'i (Ripangi) dari Kalisasak (1859), Peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), Pemberontakan Petani Cilegon-Banten (1888), Gerakan Petani Samin (1890-1917) dan Peristiwa Garut (1919). Pemberontakan di Banjarmasin dipimpin tuan guru yang mengajarkan amalan 'beratif baamal', satu amalan tarekat Sammaniyah, yang konon, orang datang berbondong-bondong dibai'at, mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadarkan diri dan kemudian menyerang tentara kolonial tanpa memperdulikan bahaya. Gerakan Beratif Baamal ini meliputi hampir seluruh Banua Lima dan wilayah yang sekarang menjadi daerah Hulu Sungai Tengah dan Utara Kalimantan Selatan dengan pusat kegiatan di masjid dan musholla. Tarekat yang paling ditakuti Belanda saat itu, adalah Tarekat Qadiriyah dan tarekat Naksyabandiah. Kekhawatiran Belanda terhadap gerakan yang dimotori oleh kaum tarekat memang sangat beralasan. Sebab itulah, kaum tarekat mendapatkan pengawasan khusus dari Belanda. Para pejabat Belanda, Perancis, Italia dan Inggris selalu mencurigai kaum tarekat, karena fanatisme terhadap guru tarekat sangat mudah berubah menjadi fanatisme politik. Ketika terjadi perlawanan terhadap penjajah Perancis dan Italia, guru-guru tarekat-lah yang mampu mengkordinasi dan mempersatukan semua suku Badui. Gerakan tarekat ternyata tak hanya efektif untuk melawan penjajah saja. Di Afrika misalnya, gerakan tarekat bahkan mampu melahirkan negara Libya. Tarekat Sanusiyah yang dipimpin Syaikh Muhammad as-Sanusi al-Kabir dan putranya al-Mahdi mampu menjadi jaring pemersatu hingga melahirkan sebuah negara yang kini dipimpin oleh Moamar Gaddafi. Bahkan syekh tarekat Sanusiyah yang keempat, yaitu Sayyid Muhammad Idris, menjadi raja pertama negara Libya. Begitulah, ternyata kaum tarekat mampu memainkan peranannya dalam kehidupan sosial dan politik.

Tarekat

Kata tarekat berasal dari bahasa Arab, yaitu thoriqoh yang artinya adalah jalan atau metode yang ditempuh oleh kaum shufi dalam menjalankan ibadah, dzikir dan doa. Ritual ibadah itu diajarkan oleh seorang guru kepada muridnya dengan penuh kedisiplinan. Hubungan murid dengan guru itulah, yang kelak akan melahirkan kekeluargaan kaum shufi. Menurut imam al-Jurjani (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh seorang saalik menuju Allah Ta'ala melalui tahapan-tahapan atau maqamat. Tujuan utama dari tarekat adalah menekan keinginan hawa nafsu, sebab hawa nafsu itu kerap menjadikan manusia jauh dari tuhan. Guna mendekatkan diri dengan Allah SWT, para pengamal tarekat secara rutin melakukan wirid berupa shalat sunat, zikir dan doa sepanjang waktu, pagi, siang, sore dan malam hari. Diantara sekian banyak tarekat, ada yang dianggap sah (mu'tabarah), dan ada pula yang dianggap tidak sah (ghoiru mu'tabaroh). Sebuah tarekat dinyatakan sah apabila amalan tarekat itu dapat dipertanggung jawabkan secara syariah, yakni sesuai dengan al-Qur’an dan Hadist. Sedangkan tarekat tak sah (ghairu mu'tabarah) adalah tareket yang tak berpedoman dengan al-Quran dan Hadits. Tarekat mulai berkembang di Indonesia sejak masa kolonial. Sehingga sejarah mencatat, bahwa para pengamal tarekat juga ikut andil dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Saat ini, di dunia Islam dikenal beberapa tareket besar, seperti Tarekat Qodiriah, Naksyabandiah, Syattariah, Sammaniah, Kholwatiah, Tijaniah, Idrisiah dan Rifa’iah. Tarekat mulai berkembang sekitar abad ke-6 H. Tarekat Qodiriah adalah tarekat yang pertama kali dibentuk. Tarekat ini didirikan oleh syekh Abdul Qadir bin Abdullah al-Jilani, seorang shufi kelahiran Jilan, Persia, tahun 471 H yang tersohor di Baghdad. Dr Yunasril dalam Eksiklopedi Tematis Dunia Islam menyatakan : “Tarekat Qodiriah terkenal, karena keteguhannya berpegang kepada syariat''. Bahkan Orientalis Inggris, AJ Arberry juga mengakui, bahwa faktor penentu keberhasilan sebuah tarekat adalah keta’atan dan keteguhannya kepada syariat Islam.

Perkembangan Tarekat di Indonesia

Perkembangan Tarekat di Indonesia Pada awalnya, negara yang mempengaruhi berkembangnya tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat), dari sanalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin ar-Raniri belajar menimba ilmu dan mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Namun pada abad-abad berikutnya, beberapa tarekat besar masuk ke Indonesia melalui Makkah dan Madinah. Dengan cara ini pula Tarekat Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian berpengaruh luas di Indonesia. Shufi Indonesia yang pertama kali menulis karangan tentang tarekat adalah Hamzah Fansuri. Dari namanya saja kita tahu bahwa beliau berasal dari kota Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus, kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara Sibolga dan Singkel). Dalam tulisannya, ia mengungkapkan gagasan nya melalui syair bercorak wihdatul-wujud yang cendrung kepada penafsiran panteistik. Dalam syairnya Hamzah juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad (disana ia mengunjungi makam syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani) dan ke Ayuthia. Dalam syairnya juga ia mengaku menerima ijazah Tarekat Qadiriyah di Baghdad bahkan diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini. Dengan demikian jelaslah, bahwa Hamzah Fansuri (w 1590) adalah shufi pertama di Indonesia yang diketahui secara pasti menganut Tarekat Qadiriyah. Tarekat Qadiriyah adalah tarekat pertama yang masuk ke Indonesia. Di Jawa, pengaruh tarekat ini banyak ditemui di daerah Cirebon dan Banten. Dan menurut cerita rakyat setempat, Syaikh ‘Abdul-Qadir al-Jilani pernah datang ke Jawa, bahkan mereka dapat menunjukkan letak kuburannya. Indikasi lain tentang pengaruh Tarekat Qadiriyah di Banten adalah, adanya pembacaan kitab manaqib syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani pada acara-acara tertentu di kehidupan beragama masyarakat disana. Pendiri Tarekat Syadziliyyah adalah syekh Ali bin Abdullah bin Abdul-Jabbar Abul Hasan as-Syadzili (w. 1258). Silsilah keturunannya bergaris sampai kepada saidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau sendiri pernah menulis silsilah keturunannya sebagai berikut : Syekh Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthol bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Amalan utama dari tarekat ini pun masih dapat dirasakan hingga saat ini yaitu hizbul-bahr yang diyakini sangat memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh tarekat Syadziliyah yang terkenal antara lain Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari, dan ‘Abdul-Wahhab as-Sya’rani. Shufi lain yang juga terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin (w.1630), murid Hamzah Fansuri yang banyak menulis kitab dalam bahasa Arab dan Melayu. Dia perumus pertama ajaran martabat tujuh di nusantara serta metode pengaturan nafas pada saat ber-dzikir ( yang dianggap sebagai pengaruh yoga pranayama dari India ). Ajaran martabat tujuh merupakan adaptasi dari teori emanasi Ibnul-‘Arabi yang sangat populer di Indonesia. Ajaran ini berasal dari seorang ulama besar asal Gujarat bernama Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri pengarang kitab at-Tuhfatul-Mursalah ilaa Ruuhin-Nabi. Tapi Nuruddin ar-Raniri dalam kitabnya Hujjatus-Shiddiq li daf’iz-Zindiq menganggap, bahwa ajaran martabat tujuh Syamsuddin termasuk ajaran wihdatul wujud yang dianggap menyimpang. Syamsudin sendiri berafiliasi dengan Tarekat Syattariyah seperti halnya Burhanpuri, bahkan Tarekat Syattariyah menjadi sangat populer di Indonesia sesudah wafatnya. Tidak diketahui secara jelas kapan tahun kelahirannya, tetapi dalam kitab Bustanus-Salatin karya Nuruddin, Syamsuddin wafat tahun 1039 H (1630 M). Shufi selanjutnya adalah Nuruddin ar-Raniri. Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry, berasal dari keluarga Arab Ranir Gujarat. wafat tahun 1068/1658. Ibunya orang Melayu, ayahnya imigran dari Hadromaut. Ar-Raniry pernah menjabat Syaikhul-Islam atau mufri di kerajaan Aceh pada pemerintahan Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shofiatud-Din. Ar-Raniri menetap di Aceh selama tujuh tahun (1637 – 1644) sebagai mufti dan penulis produktif yang menentang doktrin wihdatul wujud. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran sesat. Pada tahun 1054/1644 ar-Raniry meninggalkan Aceh kembali ke Ranir karena mendapatkan serangan balik dari lawan-lawan polemiknya, yaitu murid-murid Syamsuddin yang dituduh menganut paham Panteisme. Sebagai seorang shufi, ar-Raniry juga memiliki banyak keahlian, ia menguasai ilmu teologi, fiqh, hadits, sejarah, perbandingan agama, dan politik. Dalam ber-tarekat, ia mengamalkan Tarekat Rifa’iyah dan menyebarkan ajaran tarekat ini ke wilayah Melayu, selain itu ia juga menganut tarekat Aydrusiyah dan Qadiriyah. Ia banyak menulis kitab tentang ilmu kalam dan tasawuf, menganut aliran tauhid Asy’ariyah, dan paham wihdatul-wujud yang lebih sedikit moderat. Ar-Raniry tercatat sebagai tokoh shufi terakhir yang membawa pengaruh bagi semua tarekat yang berkembang di Indonesia dan berasal langsung dari India. Sepeninggalnya, cabang-cabang tarekat dari India berkembang dulu di Makkah-Madinah, kemudian di bawa ke Indonesia, diantaranya adalah Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh murid utamanya, syekh Abdul Rauf Singkel. Syekh Abdul Rauf belajar di Makkah selama 19 tahun dengan guru-guru tarekat, diantaranya adalah syekh al-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani, serta puteranya syekh Muhammad Thahir di Madinah. Sekembalinya dari Makkah tahun 1661, ia menjadi ahli fiqh terkenal di Aceh dan seorang shufi yang menyeimbangkan pandangan para pendahulunya dalam mengajarkan zikir dan wirid tarekat Syattariyah. Muridnya menyebarkan tarekat ini ke Sumatera Barat melalui syekh Burhanuddin Ulakan, serta ke Jawa melalui syekh Muhyidin dari Pemijahan yang sampai sekarang ajarannya masih diamalkan di sana. Al-Qusyasyi (w. 1660) dan al-Kurani (w. 1691) mewakili perpaduan antara tradisi intelektual shufi India dengan Mesir. Keduanya adalah pewaris syekh Zakariya al-Anshori dan ‘Abdul-Wahab as-Sya’rani dalam bidang fiqh dan tasawuf, sekaligus menjadi pengikut sejumlah tarekat di India, yang paling berpengaruh adalah Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Kedua tarekat ini pada mulanya diperkenalkan di Madinah oleh seorang Syaikh India bernama Sibghatullah pada tahun 1605. Di antara kedua tarekat yang diajarkan, ternyata Tarekat Syattariyah banyak diminati oleh murid-murid dari Indonesia, padahal di Timur Tengah sendiri, kedua syaikh ini lebih dikenal orang sebagai penganut Tarekat Naqsyabandiyah. Keduanya merupakan ulama paling terkenal di kalangan murid yang berasal dari Indonesia. Dan selama beberapa generasi, murid-murid dari Indonesia belajar kepada pengganti al-Kurani dan berbaiat menjadi pengikut Tarekat Syattariyah, karena tarekat ini relatif lebih mudah jika dipadu dengan berbagai tradisi nusantara, sehingga menjadi tarekat yang paling “mem-bumi”, terlebih lagi ajaran martabat tujuh yang menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa. Ulama lain yang sezaman dengan syekh Abdul Rauf adalah syekh Yusuf al-Makasari (1626 – 1699) penulis kitab ar-Risalah an-Naqsyabandiyah. Kitab ini memberi kesan bahwa syekh Yusuf benar-benar mengajarkan tarekat ini di Makasar. Kitab ini berisi antara lain tentang tekhnik meditasi dalam berdzikir. Syekh Yusuf mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah di Yaman melalui Syaikh Muhammad Abdul Baqi, kemudian berguru lagi kepada syekh Ibrahim al-Kurani tokoh Naqsyabandi di Madinah. ( walaupun al-Kurani di Indonesia lebih dikenal sebagai syaikh Tarekat Syattariyah yang mengirim Abdul Rauf Singkel sebagai khalifah untuk menyebarkan Tarekat Syattariyah di Indonesia ). Selanjutnya di Damaskus, ia berguru lagi dan berbaiat menjadi khalifah Tarekat Khalwatiyah dan mendapat izin ijazah untuk mengajarkan tarekat ini. Barangkali beliau-lah orang pertama yang memperkenalkan Tarekat Khalwatiyah di Indonesia. Di Sulawesi tarekat ini disebarkan oleh salah seorang muridnya yang bernama Abdul Basir ad-Dharir al-Khalwati yang lebih terkenal dengan nama Tuang Rappang I Wodi. Dalam pengembaraan ilmiahnya, syaikh Yusuf al-Makassari banyak memperoleh ijazah dari sejumlah tarekat, di antaranya adalah Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, Ba’alawiyah, Khalwatiyah, juga pernah menjadi pengikut Tarekat Dasuqiyah, Syadziliyah, Chistiyah, ‘Aydrusiyah, Ahmadiyah, Kubrawiyah dan beberapa tarekat lainnya. Ketika pulang ke Indonesia tahun 1670 dia mengajarkan ajaran spiritual, yang ternyata merupakan gabungan antara teknik spiritual Khalwatiyah dengan berbagai tekhnik dari tarekat-tarekat lainnya. Dan tarekat ini sekarang mengakar dan banyak diamalkan orang di Sulawesi Selatan, terutama di kalangan para bangsawan Makasar. Abad berikutnya, orang orang Indonesia yang bermukim di Arab tertarik dengan ajaran syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman (w. 1775) ulama Madinah, Tarekat Sammaniyah merupakan gabungan dari tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Syadziliyah. Syekh Muhammad Samman mengembangkan cara berzikir baru yang ekstatik dan menyusun sebuah ratib (doa-doa) sendiri. Secara formal tarekat ini merupakan salah satu cabang dari Tarekat Khalwatiyah, karena silsilah syekh Samman hanya melalui gurunya yaitu syekh Musthafa al-Bakri, pengamal tarekat Kholwatiyah, Walaupun demikian ia telah menjadi sebuah tarekat tersendiri dengan zawiyah sendiri dan dengan pengikut lokal ketika syaikh-nya masih hidup. Murid syekh Samman yang paling terkenal adalah syekh Abdus Shomad al-Palimbani, pengarang sejumlah kitab-kitab penting berbahasa Melayu. Beberapa ulama di Palembang berafiliasi dengan tarekat ini, sehingga tarekat ini mendapat kedudukan yang kokoh di kesultanan Palembang, bahkan Sultan Palembang telah menyediakan sejumlah dana yang cukup besar untuk membangun zawiyah syekh Samman di Jeddah. Sesudah syaikh Samman wafat, orang-orang Indonesia yang bermukim di Arab, belajar tarekat ini dari khalifahnya yang bernama Shiddiq bin Umar Khan. Ulama Indonesia yang menyebarkan tarekat ini adalah syekh Nafis al-Banjari dengan karyanya ad-Durrun-Nafis dalam bahasa Melayu, ia menyebarluaskan tarekat ini di Kalimantan. Syekh Nafis al-Banjari juga mengamalkan berbagai tarekat, seperti Tarekat Qadiriyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah dan Sammaniyah. Tarekat Tijaniyyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad at-Tijani (1150 – 1230 H/ 1737 – 1815 M) yang lahir di ‘Ainu Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Perkembangan yang cukup pesat dari tarekat ini ternyata mampu menyaingi otoritas Utsmaniyyah, sehingga syekh Ahmad dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Aljazair. Syekh Ahmad at-Tijani pindah ke Fez pada tahun 1798, dan hidup disana hingga beliau wafat. Ketika bangkit gerakan Wahhabiyah yang memusuhi kaum shufi dan membenci pengamal tarekat yang cendrung menjauhi dunia dan suka melestarikan tradisi penghormatan terhadap makam syaik-syaikh mereka, tarekat Tijaniyyah justru berkembang pesat. Bahkan perkembangan tarekat ini semakin pesat terutama setelah mendapat dukungan dari raja Maroko, Maula Sulaiman yang berkepentingan mendekati syekh Ahmad untuk menghadapi pesaingnya dari zawiyah para syarif yang dinilai dapat merongrong kekuasaannya. Tarekat Tijaniyyah masuk ke Indonesia pada tahun 20-an, dan banyak mendapatkan pengikut terutama di pulau Jawa dan Madura. Pengikut tarekat Tijaniyah berkeyakinan, bahwa tarekat Tijaniyah adalah tarekat yang terbaik, karena memiliki keunggulan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh tarekat-tarekat lainnya. Tentang keistimewaan dan keunggulan tarekat ini, nanti akan kami jelaskan secara terperinci di dalam buku ini. Di Sulawesi Selatan, tarekat Sammaniyah bertemu dengan Tarekat Khalwatiyah. Keduanya bersaing dan saling mempengaruhi sehingga pada akhirnya bergabung menjadi tarekat Khalwatiyah Sammaniyah. Tarekat ini berkembang sedikit berbeda dengan ritual tarekat Sammaniyah lainnya di nusantara, dan keanggotaannya terbatas pada kelompok etnis Bugis saja. Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah, yakni teknik spiritual Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi unsur utama yang ditambah dengan unsur-unsur tarekat lain. Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat yang didirikan oleh ulama asli Indonesia syekh Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah dan sangat dihormati. Ia ahli dalam bidang fiqh, konsep ketuhanan dan amalan-amalan shufi. Ia mempunyai banyak pengikut dan menjadi guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai tarekat paling populer di Indonesia. Ketika ia wafat tahun 1873, khalifahnya syekh Abdul Karim dari Banten menggantikannya sebagai syaikh tarekat ini. Dua orang khalifah utama lainnya adalah Kiyai Tolhah dari Cirebon dan Kiyai Ahmad Hasbullah dari Madura. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan salah satu dari dua tarekat yang memiliki jumlah pengikut terbesar di seluruh Indonesia. Tarekat lainnya adalah Naqsyabandiyah Kholidiyah yang tersebar berkat zawiyah yang didirikan oleh syekh Abdullah al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais Makkah. Para penggantinya, yaitu Sulaiman al-Qarimi, Sulaiman al-Zuhdi dan Ali Ridho menyebarkan tarekatnya kepada orang-orang Indonesia yang mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah yang lebih besar lagi selama abad ke-19. Ribuan orang dibaiat menjadi pengikut tarekat ini dan menjalani latihan berkhalwat di zawiyah tersebut. Di tempat ini pula puluhan orang Indonesia menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini di kampung halamannya masing-masing. Tarekat Chisytiyah, sebuah tarekat kelahiran India, yang didirikan oleh syaikh Mu’inad-Din Chisyti (w. 1236). Awalnya, tarekat ini berideologi Sunni, (walaupun akhir-akhir ini banyak diamalkan oleh kaum Syiah). Hal ini terbukti bahwa para pengikut tarekat Chisyti di India menjadikan kitab ‘Awariful-Ma’arif karya syaikh Syihabuddin Abu Hafs Umar Suhrawardi sebagai kitab pegangan mereka. Kitab itu menjadi dasar bagi para guru tarekat Chisytiyah dalam mengajar murid-muridnya. Selain itu, kitab Khasyful-Mahjub karya al-Hujwiri juga sangat populer digunakan oleh kaum Chisti. Bahkan Syaikh Nizomuddin Auliya pernah berkata : “Seorang salik yang tidak memiliki referensi spiritual, maka kitab Kasyful-Mahjub sudah cukup baginya untuk dijadikan pegangan”. Tarekat Mawlawiyah kelahiran Turki ini dikenal luas, baik di negeri Muslim maupun di Barat, terutama melalui ‘whirling darvish’ nya. Dengan ‘matsnawi’-nya, Maulana Jalaluddin Rumi (w. 1273) menjadikan puisi-puisi karangannya sebagai salah satu pusat inspirasi spiritual. Orientalis yang sangat berjasa dalam memperkenalkan tarekat Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang bukan hanya meng-edit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menerjemahkan seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 jilid) ke dalam bahasa Inggris. Dia juga telah menerjemahkan kitab Divani Syam-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi. Tokoh lain yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003), yang telah menulis dengan penuh penghargaan dan kebanggaan tentang karya-karya Rumi, seperti I am Wind You Are Fire, The Life and Work of Rumi, dan The Triumphal Sun, A Study of The Works of Jalaludin Rumi. Tarekat Ni’matullohi, tarekat kelahiran Iran yang telah populer, baik di tanah kelahirannya maupun di dunia Barat. Tokoh tarekat ini adalah Javad Nurbakhsy yang cukup produktif menulis karya-karyanya. Saat ini, tarekat Ni’matullah mempunyai banyak pengikut di Amerika Serikat, Eropa, dan khususnya di Persia (Iran). Dalam ajarannya, tarekat ini lebih menekankan persaudaraan dan kesetaraan seluruh umat manusia, penghormatan tanpa prasangka buruk, juga pengabdian dan cinta kasih kepada sesama manusia tanpa mempedulikan perbedaan keyakinan, budaya, dan kebangsaan. Dalam tarekat ini, praktik tasawuf bertujuan menciptakan kepribadian lahiriah yang sangat etis, dan membimbing hati untuk menghimpun berbagai kwalitas dan keutamaan. Ajaran tasawuf harus bertujuan membidik realitas muslim agar dapat dibangkitkan perasaan cinta kasihnya, sehingga mampu menyatukan para pemeluk dari pelbagai agama dan keyakinan. Dengan energi tasawuf inilah, segala perbedaan dan perselisihan sektarian harus dihilangkan, karena seorang shufi harus mengarahkan perhatiannya hanya kepada wilayah keesaan Ilahi (tauhid), sehingga setiap orang merasa sama dalam persaudaraan kemanusiaan. Terakhir, tarekat Sanusiyah didirikan oleh Muhammad bin ‘Ali as-Sanusi (1787 – 1859), pengarang kitab as-Salsabil ul-Ma’in fit-Tharo’iqil-Arba’in dan al-Masa’ilul-‘Anshar. Melalui kitab ini sejumlah tarekat mu’tabaroh disebut dan dijelaskan. Kedua kitab ini termasuk bahan rujukan yang digunakan oleh Jam’iyah Ahlith-Thoriqoh Mu’tabaroh An-Nahdliyyah. Syekh as-Sanusi telah mendirikan sebuah zawiyah di Abu Qubais Makkah, tapi beliau terpaksa meninggalkan Makkah pada tahun 1840 dan kemudian tinggal di sebuah bukit yang bernama Jabal Akhdar di daerah Curenaica. Demikianlah sekilas tentang perkembangan sebagian ajaran tarekat yang masuk ke Indonesia, di samping tarekat-tarekat lain yang tidak kami sebutkan, disebabkan kurang berkembang dan tentunya kurang banyak diminati oleh orang. Wallohu a'lam bis showaab.