يَا رَبَّنَا بِجَاهِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ ï وَجَاهِ حَامِلِ لِوَاءِ الْوَاصِلِيْنَ

Ya Allah, Ya Tuhan kami dengan pangkat kebesaran pemilik mahkota ahli ma'rifah dan pangkat pemegang bendera kelompok manusia yang telah wushul (sampai ke puncak keyakinan)


قُدْوَتِنَا وَشَيْخِنَا التِّجَانِي ï قَائِدِنَا لِمَنْهَجِ الْعَدْنَانِي

Panutan dan guru kami yakni Syekh Ahmad Tijani, seorang pemandu yang menyampaikan kami kepada tuntunan Nabi Muhammad

يَا رَبِّ ثَبِّتْنَا عَلَى اْلإِيْمَانِ ï وَاحْفَظْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْكُفْرَانِ

Ya Tuhanku tetapkan kami atas iman dan jaga hati kami dari segala bentuk kekufuran

وَاحْمِ جَمِيْعَنَا مِنَ الشَّيْطَانِ ï وَحِزْبِهِ مِنْ إِنْسٍ أَوْ مِنْ جَانِّ

Lindungi kami dari kejahatan syetan dan kelompoknya dari bangsa manusia dan jin


نَسْأَلُكَ التَّوْبَةَ وَالتَّوْفِيْقَ ï وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ وَالتَّحْقِيْقَ

Kami mohon kepada-Mu taubat dan mendapat kekuatan untuk melakukan kebaikan, ilmu dan pengamalan serta ketepatan dalam segala hal


وَالصَّبْرَ وَالنَّصْرَ عَلَى اْلأَعْدَاءِ ï وَالْجَمْعَ فِي الذِّكْرِ عَلَى الْوِلاَءِ

Berikan kami kesabaran dan kemenangan atas musuh-musuh. Dan jadikan kami selalu berkumpul bersama dalam melakukan dzikir


وَالْفَوْزَ بِالنَّعِيْمِ فِي الْجِنَانِ ï مَعَ النَّبِيّ وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Mendapat kesuksesan dengan mendapat ni'mat di surga bersama Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani


مَا لَنَا فِي الْكَوْنِ سِوَى الرَّحْمَانِ ï وَالْمُصْطَفَى وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Kami tidak memiliki harapan apa-apa di alam ini melainkan kepada-Mu Ya Allah (Yang Maha Pengasih), manusia terpilih Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani

هَذِي هَدِيَّةٌ بِفَضْلِ اللهِ ï مِنَّا إِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Dzikir ini merupakan hadiah untukmu Ya Rasulullah dari kami yang semata-mata merupakan pemberian Allah


هَدِيَّةً لِلْمُصْطَفَى الْعَدْنَانِي ï نِيَابَةً عَنْ شَيْخِنَا التِّجَانِي

Hadiah penghormatan buat manusia terpilih Nabi Muhammad keturunan Adnan juga sebagai mandate dari guru kami syekh Ahmad Tijani

آميْنَ آميْنَ اسْتَجِبْ دُعَانَا ï وَلاَ تُخَيِّبْ سَيِّدِي رَجَانَا

Terimalah, terimalah dan kabulkan Ya Allah, doa-doa kami. Jangan Kau kecewakan segala harapan kami

Doa ini merupakan Qashidah tawassul kepada Syekh Ahmad Tijani Radhiyallahu Anhu. qashidah ini biasanya dibaca setelah selesai membaca wirid lazimah dan wazhifah.

Dikutip dari kitab Ghayatul Muna Wal Murad Fima Littijaniy Minal Aurad halaman 27.

Sabtu, 11 Mei 2013

Tarekat Tijaniyah di Indonesia

Tarekat Tijani masuk ke Indonesia sekitar tahun 1920-an, disebarkan pertama kali di Jawa Barat oleh seorang ulama pengembara kelahiran Makkah, sayyid Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari. Dan pada tahun-tahun berikutnya, beberapa ulama Indonesia yang belajar di Makkah berbai’at untuk menjadi pengikut Tarekat Tijani dan mendapat ijazah untuk mengajar serta menyebar luaskan ajaran tarekat ini di tanah air. Di Indonesia sendiri, kehadiran tarekat Tijaniyah ditentang keras oleh tarekat-tarekat lain. Gugatan keras itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya akan diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, bahkan pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan mengkhatam al-Quran 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Tarekat Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru tarekat lain, yang dalam pandangan syekh pesaingnya dianggap sebagai praktik bisnis yang culas. Walaupun demikian, tarekat ini terus berkembang, terutama di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura dan ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat peredarannya. Pertentangan ini baru mereda ketika Jam’iyyah Ahlith-Thariqah an-Nahdliyyah menetapkan keputusan muktamar bahwa tarekat Tijani bukanlah tarekat sesat, karena amalan-amalannya sesuai dengan ajaran Islam. Sepanjang tahun 80-an tarekat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur. Respons terhadap perkembangan yang dicapai, menyebabkan pecahnya kembali konflik dengan para guru dari tarekat lain. Akar konflik ini lebih tertuju kepada persaingan keras untuk mendapatkan murid dan perasaan sakit hati di kalangan sebagian guru yang kehilangan banyak murid berpindah ke Tarekat Tijaniyah. Kepindahan murid-murid dari tarekat lain ke Tarekat Tijaniyah ini berarti hilang pula murid-murid dari tarekat lain, karena Tarekat Tijaniyah sama sekali tidak membolehkan para pengikutnya untuk berpindah lagi kepada syekh tarekat yang dianut sebelumnya. Semenjak awal kehadirannya di Indonesia, tarekat Tijaniyah mendapat tantangan yang cukup keras dari para ahli thariqat yang lain (non-Tijaniyah) sehingga menimbulkan pertentangan diantara para ahli thariqat di Indonesia. Pertentangan dilakukan dengan berbagai cara. Pertentangan itu timbul karena adanya anggapan dari para penentang bahwa di dalam Thariqat Tijaniyah terdapat kejanggalan-kejanggalan. Pada tahun 1928 –1931 pertentangan terjadi dalam bentuk pamflet yang berisikan tuduhan-tuduhan. Dan mereka mendapatkan rujukan dari ulama Madinah, Sayyid Abdullah Dahlan. Pada tahun 1930 terjadi perselisihan antara pesantren Buntet pusat Tijaniyah, dengan Pesantren Benda Kerep anti Tijaniyah yang keduanya masih ada hubungan keluarga. Pada tahun yang sama, syekh Ahmad Gonaim, guru dari Mesir datang ke pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. Kedatangannya ini untuk menyerang Thariqat Tijaniyah dengan alasan bahwa penyebar tarekat ini menjamin para pengikutnya masuk surga. Pertentangan terhadap Tijaniyah juga diungkapkan melalui penulisan kitab-kitab sanggahan. Misalnya, sayyid Abdullah Dahlan menulis kitab sanggahan Tanbihul-Ghofil wa Irsyadul-Mustafidil-Aqil, yang kemudian diringkas menjadi kitab Wudhuuhud-Dala’il. Muhammad al-Hilali menulis kitab al-Hidayah wal-Hadiyah Lit-Tha’ifah at-Tijaniyah, yang berisi hampir sama dengan kitab sanggahan sayyid Abdullah Dahlan. Secara umum ia mengatakan bahwa dalam Thariqat Tijaniyah terdapat banyak kejanggalan dan bertentangan dengan syari’at Islam. Muhammad al-Hilal dan Ali Dakhilullah dalam kitabnya at-Tijaniyat mengupas kritikan yang hampir sama dengan sayyid Abdullah Dahlan. Pertentangan tentang Thariqat Tijaniyah pernah dibahas dalam forum NU dan seminar Thariqat Tijaniyah di Cirebon. NU pernah membahas Thariqat Tijaniyah dalam dua kali muktamarnya: Muktamar III dan VI. Muktamar III memutuskan kemu’tabaran Thariqat Tijaniyah dan muktamar VI menguatkan hasil keputusan muktamar III. Hasil keputusan kedua Muktamar itu menetapkan bahwa (1) Thariqat Tijaniyah mempunyai sanad Muttasil sampai kepada Rasulullah SAW dengan bai’at barzakhiyah-nya. (2) Thariqat Tijaniyah dianggap sebagai thariqat yang sah dalam Islam, Polemik ini terjadi disebabkan dalam 3 hal. Mereka mempermasalahkan tentang keunggulan maqom kewalian syekh Ahmad at-Tijani dibandingkan wali lainnya, keistimewaan Thariqatnya dan keistimewaan pengikutnya. Melihat tiga hal di atas, ada beberapa kelemahan dari para penentang Thariqat Tijaniyah, diantaranya adalah : (1) Tidak tuntasnya mereka dalam membaca dan memahami ungkapan-ungkapan syekh Ahmad at-Tijani dan ajarannya, (2) Pemahaman mereka terhadap pernyataan-pernyataan syekh Ahmad at-Tijani lebih bersifat tekstual, sedangkan ungkapan syekh Ahmad lebih banyak harus difahami berdasarkan pendekatan kontekstual, dan (3) mereka para penentang Tijaniyah tidak mempelajari langsung dari guru-guru Tijaniyah, tetapi mereka mempelajarinya melalui pemahamannya sendiri sehingga penafsiran mereka lebih cenderung kurang relevan, menjadi subjektif dan bias. Menurut hemat kami, 3 kelemahan inilah yang memicu timbulnya polemik. Dan sampai sekarangpun pertentangan terhadap Thariqat Tijaniyah belum berakhir, terutama melalui buku-buku yang diterbitkan oleh Kerajaan Arab Saudi dan majalah ar-Risalah yang terbit di Solo. Untuk dapat memahami dengan benar mengenai persoalan di atas, ada tahapan-tahapan pemikiran yang harus dilalui. karena tahapan pemikiran ini akan menjadi pintu masuk dalam memahami pernyataan dan fatwa-fatwa syekh Ahmad at-Tijani ra, Tahapan pertama adalah, memahami tentang Haqiqat Muhammadiyah atau masyrob Nabawi yang melekat pada diri Khotmun-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad SAW, karena seluruh para nabi sejak nabi Adam as., hingga nabi Isa as., mengambil nur kenabian dari nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu seluruh nabi hanyalah melakukan peran kenabian dari kenabian Nabi Muhammad SAW sebelum jasad beliau dilahirkan. Berdasarkan hadits “Kuntu Nabiyyan wa Adamu Bainal-Mai’ wat -Thin”. ( Aku sudah menjadi nabi, sedangkan Adam saat itu masih di antara air dengan tanah ). Tahapan pertama ini perlu dipahami terlebih dahulu oleh para penentang tarekat Tijaniyah sebagai bahan perbandingan memahami Khotmul-Wilayah. Tahapan kedua adalah memahami dan meyakini tentang Khotmul-Wilayah atau Masyrob kewalian yang melekat pada diri seorang wali yang memperoleh maqom wali khotm, karena seluruh para wali Allah sejak nabi Adam as hingga akhir zaman mengambil nur kewalian dari wali khotm ini, oleh karena itu seluruh wali hanya melakukan peran kewalian dari seorang wali yang memperoleh maqom wali khatm; yang menurut Ibnul-Arabi : “wa kadzalika khatmul-Awliya kana waliyyan wa Adamu bainal-Maai’ wat -Thin” ( Dan demikian pula hal nya dengan Khotmul Awliyaa, ia telah menjadi wali, sedangkan saat itu nabi Adam masih di antara air dengan tanah ). Tahapan kedua ini merupakan hal yang sangat mendasar untuk bisa memasuki dan memahami pernyataan-pernyataan seorang wali yang memperoleh maqom wali khatm. Apabila tahapan ini belum dipahami, maka sangat sulit untuk bisa memahami pemikiran dan pernyataan syekh Ahmad at-Tijani sebagai wali yang memperoleh maqom wali khotm. Sebab pernyataan-pernyataan syekh Ahmad at-Tijani yang terkait dengan keunggulan dirinya, muncul dalam kapasitasnya sebagai wali khotm. Keunggulan yang dimiliki syekh Ahmad at-Tijani sebagai wali khatm juga mengantarkan pada keunggulan ajaran thariqotnya, yakni Thariqat Tijaniyah. Dan tentu saja keunggulan ajaran Thariqat Tijaniyah yang diajarkan wali khatm mengantarkan keunggulan ummat Islam yang mengikuti ajarannya. Dengan demikian pemahaman dan penerimaan terhadap pengakuan syekh Ahmad at-Tijani tentang maqam kewaliannya, merupakan syarat mutlak untuk bisa memahami semua pernyataan-pernyataan syekh Ahmad at-Tijani, baik tentang keunggulan dirinya, ajaran thariqat dan pengikutnya. Oleh karena itu, bila pemahaman kewalian, khususnya pemahaman wali khotm belum bisa diterima, maka selama itu pula Thariqat Tijaniyah akan terus dipermasalahkan dan tidak akan ada ujungnya. Namun apabila ada kelompok ummat Islam yang memahami wali khatm sekaligus menerima dan meyakini pengakuan syekh Ahmad at-Tijani terhadap maqam kewalian ini, menurut hemat saya, tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan, tinggal terserah hak intelektual seseorang dalam mengimani masalah kewalian sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an dan Hadits. Sungguhpun demikian penyelesaian polemik tentang Thariqat Tijaniyah tidaklah sederhana, sebab pembahasan tentang Haqiqat Muhammadiyah dan Khotmul-Wilayah termasuk wilayah pemikiran yang sangat rumit, sedangkan ummat Islam khususnya kaum tarekat yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memasuki wilayah ini sangat terbatas, dan keterbatasan ummat Islam dalam memahami istilah wali khatm itu sendiri masih dianggap asing, apalagi dihadapkan dengan pengakuan syekh Ahmad at-Tijani tentang keunggulan dirinya, thariqat dan pengikutnya. Oleh sebab itu sepanjang ummat Islam khususnya kaum tarekat belum memahami apalagi menerima pengakuan syekh Ahmad at-Tijani sebagai wali khatm, selama itu pula pertentangan dalam dunia tarekat akan terus terjadi. Disarankan kepada intelektual Thoriqat Tijaniyah yang menggeluti dunia keilmuan, untuk lebih banyak mengkaji dan mensosialisasikan teori tentang wali Khotm. Hal ini bisa dilakukan melalui beberapa hal : pertama, memasukan teori kewalian menjadi Silabi Mata Kuliah Tasawuf; kedua, menyelenggarakan seminar tentang teori kenabian dan teori kewalian diluar kalangan ahli Tijaniyah, terutama dikalangan Perguruan Tinggi; ketiga mengembangkan pusat kajian ilmu tasawuf. Hal ini diharapkan untuk lebih bisa menyelesaikan masalah Thariqat Tijaniyah secara bertahap, khususnya yang berkembang di Indonesia. Sebab menurut hemat saya penyelesaian masalah Thariqat Tijaniyah, harus dilakukan melalui pendekatan ilmiyah, melalui kajian tasawuf terutama teori kenabian dan kewalian. Sebab ada hal yang menarik dari syekh Ahmad at-Tijani, beliau telah menggabungkan dua sisi dari ilmu tasawuf yang berkembang dalam sejarah Pemikiran Islam, yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi. walaupun secara amaliyah, thariqat Tijaniyah dengan wirid istighfar, shalawat, dan dzikirnya merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ummat Islam, namun persoalan ajaran ini tidak hanya sampai disitu, melainkan menembus memasuki wilayah tasawuf falsafi terutama menyangkut hakekat nabi Muhammad SAW dan wali Khatm. Hal ini hanya akan bisa diselesaikan melalui pendalaman tentang teori kenabian dan kewalian. Demikianlah setitik pokok-pokok pikiran tentang tarekat yang mulia ini, semoga semua ini mendorong kita untuk memahami lebih jauh tentang keagungan syekh Ahmad at-Tijani dan keuntungan menjadi muridnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar