يَا رَبَّنَا بِجَاهِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ ï وَجَاهِ حَامِلِ لِوَاءِ الْوَاصِلِيْنَ

Ya Allah, Ya Tuhan kami dengan pangkat kebesaran pemilik mahkota ahli ma'rifah dan pangkat pemegang bendera kelompok manusia yang telah wushul (sampai ke puncak keyakinan)


قُدْوَتِنَا وَشَيْخِنَا التِّجَانِي ï قَائِدِنَا لِمَنْهَجِ الْعَدْنَانِي

Panutan dan guru kami yakni Syekh Ahmad Tijani, seorang pemandu yang menyampaikan kami kepada tuntunan Nabi Muhammad

يَا رَبِّ ثَبِّتْنَا عَلَى اْلإِيْمَانِ ï وَاحْفَظْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْكُفْرَانِ

Ya Tuhanku tetapkan kami atas iman dan jaga hati kami dari segala bentuk kekufuran

وَاحْمِ جَمِيْعَنَا مِنَ الشَّيْطَانِ ï وَحِزْبِهِ مِنْ إِنْسٍ أَوْ مِنْ جَانِّ

Lindungi kami dari kejahatan syetan dan kelompoknya dari bangsa manusia dan jin


نَسْأَلُكَ التَّوْبَةَ وَالتَّوْفِيْقَ ï وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ وَالتَّحْقِيْقَ

Kami mohon kepada-Mu taubat dan mendapat kekuatan untuk melakukan kebaikan, ilmu dan pengamalan serta ketepatan dalam segala hal


وَالصَّبْرَ وَالنَّصْرَ عَلَى اْلأَعْدَاءِ ï وَالْجَمْعَ فِي الذِّكْرِ عَلَى الْوِلاَءِ

Berikan kami kesabaran dan kemenangan atas musuh-musuh. Dan jadikan kami selalu berkumpul bersama dalam melakukan dzikir


وَالْفَوْزَ بِالنَّعِيْمِ فِي الْجِنَانِ ï مَعَ النَّبِيّ وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Mendapat kesuksesan dengan mendapat ni'mat di surga bersama Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani


مَا لَنَا فِي الْكَوْنِ سِوَى الرَّحْمَانِ ï وَالْمُصْطَفَى وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Kami tidak memiliki harapan apa-apa di alam ini melainkan kepada-Mu Ya Allah (Yang Maha Pengasih), manusia terpilih Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani

هَذِي هَدِيَّةٌ بِفَضْلِ اللهِ ï مِنَّا إِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Dzikir ini merupakan hadiah untukmu Ya Rasulullah dari kami yang semata-mata merupakan pemberian Allah


هَدِيَّةً لِلْمُصْطَفَى الْعَدْنَانِي ï نِيَابَةً عَنْ شَيْخِنَا التِّجَانِي

Hadiah penghormatan buat manusia terpilih Nabi Muhammad keturunan Adnan juga sebagai mandate dari guru kami syekh Ahmad Tijani

آميْنَ آميْنَ اسْتَجِبْ دُعَانَا ï وَلاَ تُخَيِّبْ سَيِّدِي رَجَانَا

Terimalah, terimalah dan kabulkan Ya Allah, doa-doa kami. Jangan Kau kecewakan segala harapan kami

Doa ini merupakan Qashidah tawassul kepada Syekh Ahmad Tijani Radhiyallahu Anhu. qashidah ini biasanya dibaca setelah selesai membaca wirid lazimah dan wazhifah.

Dikutip dari kitab Ghayatul Muna Wal Murad Fima Littijaniy Minal Aurad halaman 27.

Jumat, 11 Januari 2013

Ilmu Ushul Fiqih terkait Membangun Makam

Ilmu Ushul Fiqih terkait Membangun Makam

Kali ini saya akan membahas dari segi ilmu fiqihnya yaitu berkaitan pada illat / sebab pelaknatannya yang ada pada hadits berikut :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد

Sebelumnya saya telah mengupas makna hadits tersebut dari sisi ilmu alatnya yang kesimpulannnya sebagai berikut :

1. Kata al-Ittikhaz dalam hadits tersebut sudah maklum adalah min af’aalit tahwil atau shairurah (mengandung makna merubah) yang memiliki hokum menashobkan dua maf’ulnya karena ia juga termasuk saudaranya Dzhann.

Memang ada juga fi’il ittikhadz yang yata’addi ila maf’ulin wahidin (membutuhkan hanya satu maf’ul) contoh :
اتخذت سيارة : Aku telah membuat mobil.

Dan terkadang oleh ulama fi’il iitikhazd ini juga digabungkan dengan kata al-Binaa (membangun), sebagaimana penjelasannya nanti.

2. Kata masjid dalam hadits tersebut memiliki makna majazan (tempat sujud) dan tidak bisa secara haqiqatan (bangunan masjid), sebab memang realitanya saat itu mereka membangun tempat ibadah versi agama mereka yang bukan Islam dan juga tempat ibadah mereka (Yahudi dan Nashoro) bukanlah masjid.
Maka hadits di atas ditinjau dari sisi ilmu alatnya adalah :

“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro itu, sebab mereka telah merubah kuburan para nabi sebagai tempat sujud mereka “

Makna Hadits di atas senada dengan Hadits :

الأرض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام

“ Bumi itu seluruhnya layak dijadikan tempat sujud kecuali pekuburan dan tempat pemandian “
●●●

Sekarang mari kita masuk pada Ushul Fiqihnya untuk mengetahui illat yang menyebabkan datangnya laknat tersebut. Dan juga saya akan membahas hadits-hadits lainnya yang menyinggung masalah kuburan. Serta pendapat para ulama berkaitan tentang persoalan ini.

Dalam Ushul Fiqih ada kaidah yang mengatakan :

الحكم يدور على علته وجودا وعدما

“ hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hokum”

Illat adalah :
الوصف المعرف للحكم بوضع الشارع

“ Sifat yang dijadikan sebuah hokum dengan ketentuan syare’at “

Contoh Khomr, dalam khomr ada sifat yang memabukkan, wujudnya sifat memabukkan ini tidak lah diharamkan hingga syare’atlah yang menentukan keharamannya.

Dan hokum berputar pada iilatnya bukan pada hikmahnya. Jika ada illat maka timbullah hokum dan jika tidak ada illat maka hilanglah hokum.

Contoh ; bepergian saat bulan Ramadhan dibolehkan tidak berpuasa (mokel) dan mengqoshor sholat. Illatnya (sebabnya) adalah karena bepergian (safar).

Hikmahnya adalah menghindari kesulitan atau kepayahan (masyaqqah).

Masyaqqah ini atau kepayahan adalah hal yang relatif pada keadaan masing-masing orangnya. Jika tidak ada masyaqqah alias hilang masyaqqahnya, maka ia tetap boleh mengqoshor sholat dan boleh tidak berpuasa.
Karena bepergian itu merupakan illat yang menimbulkan hokum tsb dan hokum itu mengikuti illatnya yaitu safar bukan pada hikmahnya yaitu menghindari masyaqqah.


Nah sekarang kita bahas apakah illat yang ada dalam hadits tersebut sehingga menimbulkan pelaknatan. Sekali lagi saya masih membahas hadits di atas dan belom melebar pada hadits-hadits lainnya yang semisalnya dan nanti akan kita kaitkan dengannnya.

Untuk mengetahui illat dalam hadits di atas, maka perlu adanya nash lain yang lebih menjelaskannya. Maka di sini lebih tepatnya hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah berikut ini :

عن عائشة رصي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه و على آله و سلم في مرضه الذي لم يقم منه { لعن الله اليهود والنصارى اتخذو قبور أنبيائهم مساجد } قالت : فلولا ذلك ، أبرزوا قبره ، غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً أي يسجد له

“ Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha beliau berkata “ Nabi Saw bersabda di saat sakit yang beliau tidak bias bangun darinya “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro yang telah menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud mereka “, Siti Aisyah berkata “ Jika bukan karena itu, maka niscaya para sahabat akan menampakkan makam Nabi akan tetapi (tidak dilakukan) karena dikhawatirkan makam Nabi Saw dijadikan tempat sujud “. (Bukhari dan Muslim)

Dari komentar siti Aisyah dapat kita ketahui bahwa sebab Nabi Saw melaknat orang Yahudi dan Nashoro adalah karena wujudnya penyembahan atau pensujudan terhadap kuburan tersebut. Oleh karenanya siti Aisyah berkata “ Jika bukan hal itu, maka kuburan Nabi Saw akan ditampakkan akan tetapi dikhawatirkan (jika ditampakkan) akan dijadikan tempat sujud atau penyembahan “.

Artinya; Jika bukan karena khawatir makam Nabi disembah-sembah dan disujud-sujudi oleh orang-orang, maka makam Nabi Saw akan ditampakkan, tidak lagi di pagari atau didindingi.
Hal ini ditegaskan lagi oleh imam Al-Qadhi ‘Iyadh Rahimallahu berikut :

قال القاضي عياض: شدد في النهي عن ذلك ، خوف أن يتناهى في تعظيمه ، ويخرج عن حد المبرة إلى حد النكير فيعبد من دون الله عز وجل ، ولذا قال صلى الله عليه وعلى آله وسلم { اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد } لأن هذا الفعل كان أصل عبادة الأوثان ولذا لما كثر المسلمون في عهد عثمان واحتيج إلى الزيادة في المسجد وامتدت الزيادة حتى أدخلت فيه بيوت أزواجه صلى الله عليه وعلى آله وسلم ، أدير على القبر المشرف حائط مرتفع ، كي لا يظهر القبر في المسجد ، فيصلى إليه العوام ، فيقعوا في اتخاذ قبره مسجداً ثم بنوا جدارين من ركني القبر الشماليين وحرفوهما حتى التقيا على زاوية مثلثة من جهة الشمال
، حتى لا يمكن استقبال القبر في الصلاة ، ولذا قالت : لولا ذلك لبرز قبره اهـ

Al-Qadhi Iyadh berkata “ Beliau benar-benar melarang perbuatan itu (menampakkan makam Nabi Saw), karena ditakutkan berlebihan dalam mengagungi Nabi Saw dan akan keluar dari batas motif kebaikan pada batas motif kemungkaran sehingga ia akan menyembah pada selain Allah Swt. Oleh sebab itu lah Rasul Saw bersabda “ Ya Allah jangan jadikan kuburanku sebagai sesembahan yang disembah-sembah “, karena perbuatan ini adalah pokok dari perbuatan menyembah berhala-berhala. Oleh sebab ini pula, di masa Utsman bin ‘Affan saat masjid Nabawi butuh pelebaran dan perluasan hingga masuk pada rumah-rumah istri Nabi Saw, maka makam Nabi Saw dipagari dengan dinding yang agak tinggi, supaya kuburan beliau tidak tampak dalam masjid, sehingga (jika ditampakkan) orang awam akan sholat mengarah kuburan nabi Saw dan jatuh pada istilah menjadikan kuburan Nabi Saw sebagai tempat sujud. Kemudian para sahabat membangun dua dinding dari dua sudut makam Nabi Saw sebelah utara dan selatan dan para sahabat merubahnya hingga menjadi sudut segi tiga dari arah selatannya, sehingga tidak memungkinkan menghadap kuburan beliau di dalam sholat. Oleh sebab inilah siti Aisyah berkata “ Kalau bukan sebab itu, maka makam Nabi akan ditampakkan “.

Dari ucapan siti Aisyah dan penjelasan al-Qadhi, semakin jelas dan terang bahwa illat / sebab Nabi Saw melaknat kaum Yahudi dan Nashara adalah karena mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat pensujudan yang mereka sembah-sembah. Sehingga mereka menyembah kuburan tersebut dan telah menysirikkan Allah Swt.

Dalam riwayat yang lainnya yaitu riwayat Abu Hurairah, disebutkan bahwasanya nabi Saw bersabda :

اللهم لا تجعل قبري وثناً لعن الله قوماً اتخذوا من قبور أنبيائهم مساجد
“ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan, semoga Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud mereka “.

Setelah Nabi Saw menyebutkan kata watsanan (sesembahan), maka Nabi Saw mengucapkan laknat pada kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud, maka kalimat La’anallahu qouman dan seterusnya merupakan sebagai penjelas makna watsanan yaitu menyembah kuburan dan sujud pada kuburan yang merupakan perbuatan syirik pada Allah Swt.

Dan juga merupakan isyarat agar umatnya nanti setelah beliau wafat, tidak menjadikan makam beliau Saw seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashoro pada makam-makam Nabi mereka yaitu menjadikan kuburan para nabi sebagai sesembahan.

Dalam shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan berikut ini :

{ لعن الله اليهود ، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد } يحذر مثل ما صنعوا

“ Semoga Allah melaknat orang Yahudi yang menjadikan kuburan para Nabi sebagai tempat sujud “. Si perawi hadits ini berkomentar “ Nabi Saw memberi peringatan agar tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi tersebut “ yaitu menjadikan kuburan sebagai sesembahan.
(Bukhari dan Muslim)

Doa Nabi Saw tersebut agar makamnya tidak dijadikan berhala yang disembah (watsanan yu’bad), merupakan titik penerang atas makna dan illat dari hadits di atas. Dan juga merupakan sebuah isyarat Nabi Saw pada umatnya agar tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashoro yaitu menyembah kuburan nabi mereka sebagai watsanan yu’bad.
Dan telah terkabullah doa Nabi Saw tersebut, terbukti kaum muslimin sejak awal hingga sekarang ini tidak ada satu pun yang menjadikan kuburan Nabi Saw sebagai watsanan yu’bad (berhala yang disembah). Fa lillahil hamdu wal minnah..

Karena kita tahu bahwa do’a nabi Saw selalu dikabulkan oleh Allah Swt.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra, bahwasanya Nabi Saw bersabda :

لكل نبي دعوة مستجابة يدعو بها وأريد أن أختبئ دعوتي شفاعة لأمتي في الآخرة

“ Setiap Nabi memiliki do’a yang (pasti) dikabulkan jika ia berdoa, dan aku ingin menyimpan doaku (yang pasti mustajab ini) sebagai syafa’at bagi umatku kelak di akherat “

Imam Ibnu Hajar dalam Fathu Al-Barinya berkata mengenai hadits do’a ini berikut :

وقد استشكل ظاهر الحديث بما وقع لكثير من الأنبياء من الدعوات المجابة ولا سيما نبينا - صلى الله عليه وسلم - وظاهره أن لكل نبي دعوة مستجابة فقط والجواب أن المراد بالإجابة في الدعوة المذكورة القطع بها وما عدا ذلك من دعواتهم فهو على رجاء الإجابة وقيل معنى قوله " لكل نبي دعوة " أي أفضل دعواته ولهم دعوات أخرى

“ Dzahirnya hadits terdapat kemusykilan dengan beberapa doa para Nabi Saw yang msutajabah terutama Nabi kita Muhammad Saw. Dhahir hadits mengatakan bahwa setiap Nabi hanya memiliki satu doa saja. Maka jawabannya adalah yang dimaksud dengan doa yang dikabulkan dalam hadits tersebut adalah “ doa yang pasti dikabulkan “ adapun selain itu dari doa-doa para nabi, maka selalu ada harapan dikabulkan. Ada yang mengartikan hadits tsb bahwa yg dimaskud setiap nabi memiliki satu doa maksudnya adalah satu doa yang paling utama, dan para nabi memiliki doa-doa yg lainnya “.


Komentar para ulama tentang Hadits di atas :

Imam Baidhowi dalam kitab Syarh Az-Zarqani atas Muwaththo’ imam Malik berkata :

قال البيضاوي : لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء تعظيما لشأنهم ويجعلونها قبلة ويتوجهون في الصلاة نحوها فاتخذوها أوثانا لعنهم الله ، ومنع المسلمين عن مثل ذلك ونهاهم عنه ، أما من اتخذ مسجدا بجوار صالح أو صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه ووصول أثر من آثار عبادته إليه لا التعظيم له والتوجه فلا حرج عليه ، ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد الحرام عند الحطيم ، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته .

والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى

Imam Baidhawi berkata : “ Ketika konon orang-orang Yahudi bersujud pada kuburan para nabi, karena pengagungan terhadap para nabi. Dan menjadikannya arah qiblat serta mereka pun sholat menghadap kuburan tsb, maka mereka telah menjadikannya sebagai sesembahan, maka Allah melaknat mereka dan melarang umat muslim mencontohnya.

Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi orang shalih atau sholat di perkuburannya dengan tujuan menghadirkan ruhnya dan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan karena pengagungan dan arah qiblat, maka tidaklah mengapa. Tidakkah engkau melihat tempat pendaman nabi Ismail berada di dalam masjidil haram kemudian hathim ?? Kemudian masjidl haram tersebut merupaan tempat sholat yang sangat dianjurkan untuk melakukan sholat di dalamnya.

Pelarangan sholat di perkuburan adalah tertentu pada kuburan yang terbongkar tanahnya karena terdapat najis “

(Kitab syarh Az-Zarqani bab Fadhailul Madinah)

Qoul ini banyak dinukil oleh para ulama pensyarah Hadits seperti imam Ibnu Hajar Al-Astqalani dalam Fathu al-Barinya dan imam Al-Qadhi dalam Faidhul Qadirnya, imam az-Zarqani dalam syarh muwaththo’nya dan selainnya.

Imam Baidhawi membolehkan menjadikan masjid di samping makam orang sholeh atau sholat dipemakaman orang sholeh dengan tujuan meminta kepada Allah agar menghadirkan ruh orang sholeh tersebut dan dengan tujuan mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan dengan tujuan pengagungan terhadap makam tersebut atau bukan dengan tujuan menjadikannya arah qiblat.

Dan beliau menghukumi makruh sholat di pemakaman yang ada bongkaran kuburnya karena dikhawatirkan ada najis, jika tidak ada bongkarannya maka hukumnya boleh tidak makruh.

Catatan :

Menurut imam Baidhawi larangan yang bersifat makruh tanzih tersebut, bukan karena kaitannya dengan kuburan, namun kaitannya dengan masalah kenajisan tempatnya. Beliau memperjelasnya dengan kalimat :

لما فيها من النجاسة

Huruf lam dalam kalimat tersebut berfaedah lit ta’lil (menjelasakan sebab). Arti kalimat itu adalah karena pada pekuburan yang tergali terdapat najis. Sehingga menyebabkan sholatnya tidak sah, apabila tidak tergali dan tidak ada najis, maka sholatnya sah dan tidak makruh.

Oleh karenanya imam Ibnu Abdil Barr, menolak dan menyalahkan pendapat kelompok orang yang berdalil engan hadits pelaknatan di atas untuk melarang atau memakruhkan sholat di pekuburan atau menghadap pekuburan. Beliau berkata :

وقد زعـم قـوم أنّ فى هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة وإلى المقبرة، وليـس فى ذلك حُجة

“Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut menunjukkan atas kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah ke maqbarah, maka hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini “.

Karena hadits di atas bukan menyinggung masalah sholat dipekuburan. Namun tentang orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan.

2. Imam Az-Zarqani dalam kitab Syarh Muwaththo’nya berkata ketika mengomentari makna MASAJID dalam hadits Qootallahu berikut :

( اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد ) أي اتخذوها جهة قبلتهم مع اعتقادهم الباطل ، وأن اتخاذها مساجد لازم لاتخاذ المساجد عليها كعكسه ، وقدم اليهود لابتدائهم بالاتخاذ وتبعهم النصارى فاليهود أظلم

“ (Mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid / tempat sujud) yang dimaksud adalah mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai arah qiblat mereka dengan aqidah mereka yang bathil. Dan menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid melazimkan untuk menjadikan masjid (tempat sujud) di atas kuburan seperti sebaliknya. Dalam hadits di dahulukan orang Yahudi karena mereka lah yang memulai menjadikan kuburan sbgai masjid kemudian diikuti oleh orang nashoro, maka orang yahudi lebih sesat “.

Kemudian setelah itu beliau menukil ucapan imam Baidhawi tersebut. Dan setelahnya beliau berkomentar :

لكن خبر الشيخين كراهة بناء المساجد على القبور مطلقا ، أي : قبور المسلمين خشية أن يعبد المقبور فيها بقرينة خبر : " اللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد " فيحمل كلام البيضاوي على ما إذا لم يخف ذلك
.
“ Akan tetapi Hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim tersebut menunjukkan KEMAKRUHAN membangun masjid di atas kuburan secara muthlaq, yaitu kuburan kaum muslimin karena ditakutkan penyembahan pada orang yang dikubur, dengan bukti hadits “ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan yang disembah. Maka ucapan imam Baidhawi tersebut diarahkan jika tidak khawatir terjadinya penyembahan pada orang yang disembah “.

Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya at-Tamhid lima fi al-Muwaththo min al-Ma’ani wa al-asaanid :

فى هذا الحديث إباحة الدّعاء على أهل الكُفر، وتحريم السّجود على قبور الأنبياء، وفى معنى هذا أنّه لا يحل السّجود لغير الله جل وعلا، ويحتمل الحديث أنْ لا تُجعل قبور الأنبياء قِبلة يُصلّى إليها. ثم قال ابن عبد البر: وقد زعـم قـوم أنّ فى هذا الحديث ما يدل على كراهيّة الصّلاة فى المقبرة وإلى المقبرة، وليـس فى ذلك حُجة

“ Di dalam hadits itu mengandung ; dibolehkannya mendoakan buruk pada orang kafir, diharamkannya sujud di atas kuburan para nabi, semakna juga keharaman sujud pada selain Allah Swt. Hadits itu juga mengandung makna untuk tidak menjadikan kuburan para nabi sebagai arah qiblat yang ia sholat menghadapnya. Kemudian dalam ucapan beliau selanjutanya, beliau berkata “Sebagian kelompok menganggap hadits tersebut menunjukkan atas kemakruhan sholat di maqbarah / pekuburan atau mengarah ke maqbarah, maka hadits itu bukanlah hujjah atas hal ini “.
Coba renungkan pendapat imam Ibnu Abdil Barr, bahwa beliau tidak menjadikan hadits di atas sebagai hujjah pelarangan sholat di maqbarah atau sholat menghadap ke maqbarah. Bahkan beliau menyalahkan orang yang menggunakan hadits di atas sebagai pelarangan sholat di maqbarah atau menghadap maqbarah, meminjam bahasa gaulnya “ Gak nyambung “.

Untuk pembahasan sholat dipekuburan ini, saya akan kupas pada pembahasan berikutnya setelah ini.

Imam Ath-Thibiy dalam kitab Mirqah al-Mafatih syarh Misykah al-Mashobih berkata :

: قال الطيبي : كأنه - عليه السلام - عرف أنه مرتحل ، وخاف من الناس أن يعظموا قبره كما فعل اليهود والنصارى ، فعرض بلعنهم كيلا يعملوا معه ذلك ، فقال : ( لعن الله اليهود والنصارى ) : وقوله : ( اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد ) : سبب لعنهم إما لأنهم كانوا يسجدون لقبور أنبيائهم تعظيما لهم ، وذلك هو الشرك الجلي ، وإما لأنهم كانوا يتخذون الصلاة لله تعالى في [ ص: 601 ] مدافن الأنبياء ، والسجود على مقابرهم ، والتوجه إلى قبورهم حالة الصلاة ; نظرا منهم بذلك إلى عبادة الله والمبالغة في تعظيم الأنبياء ، وذلك هو الشرك الخفي لتضمنه ما يرجع إلى تعظيم مخلوق فيما لم يؤذن له ، فنهى النبي - صلى الله عليه وسلم - أمته عن ذلك لمشابهة ذلك الفعل سنة اليهود ، أو لتضمنه الشرك الخفي ، كذا قاله بعض الشراح من أئمتنا ، ويؤيده ما جاء في رواية : ( يحذر ما صنعوا )

Ath-Thibiy berkata “ Seakan-akan Nabi Saw mengetahui bahwa beliau akan meninggal dan khawatir ada beberapa umaatnya yang mengagungi kuburan beliau seperti apa yang diperbuat oleh orang Yahudi dan Nashara. Maka Nabi mngucapkan kata laknat, agar umatnya tidak melakukan itu pada kuburan Nabi Saw, sehingga Nabi Saw bersabda ; “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro “ dan sabda Nabi Saw “ Mereka telah menjadikan kuburan para Nabi sebagai tempat sujud mereka.

Sebab adanya pelaknatan, adakalanya mereka konon sujud pada kuburan para nabi sebagai bentuk pengagungan pada nabi mereka, dan inilah bentuk kesyirikan yang nyata. Dan adakalanya mereka menjadikan sholat pada kuburan para Nabi, sujud pada kuburan mereka dan menghadap kuburan mereka saat sholat, karena mengingat ibadah pada Allah dengan hal semacam itu dan berlebihan di dalam mengagungi para nabi, dan hal ini merupakan bentuk kesyirikan yang samar, karena mengandung pada apa yang kembali akan pengangungan makhluk yang tidak ditoleran ileh syare’at.

Maka Nabi Saw melarang umatnya dari melakukan hal itu karena menyerupainya pada kebiasaan orang Yahudi. Atau mengandung syrirk yang samar sebagaimana dikatakan oleh sebagian pensyarah hadits dari para imam kita. Yang menguatkan hal ini adalah kalimat riawayat berikut “ Nabi Saw memberi peringatan agar tidak melakukan apa yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashoro “.

As-Syaikh As-Sanadi dalam kitabnya Hasyiah As- Sanadi berkomentar tentang maksud hadits di atas sebagai berikut :

ومراده بذلك أن يحذر أمته أن يصنعوا بقبره ما صنع اليهود والنصارى بقبور أنبيائهم من اتخاذهم تلك القبور مساجد إما بالسجود إليها تعظيمًا أو بجعلها قبلة يتوجهون في الصلاة نحوها، قيل : ومجرد اتخاذ مسجد في جوار صالح تبركًا غير ممنوع
“ Yang dimaksud hadits tersebut adalah bahwasanya Nabi Saw memperingatkan umatnya agar tidak berbuat dengan makam beliau sebagaimana orang Yahudi dan Nashoro berbuat terhadap makam para nabi mereka berupa menjadikan kuburan sebagai tempat sujud. Baik sujud pada kuburan dengan rasa ta’dzhim atau menjadikannya sebagai qiblat yang ia menghadap padanya diwaktu sembahyang atau semisalnya. Ada yang berpendapat bahwa seamata-mata menjadikan masjid di samping makam orang sholeh dengan tujuan mendapat keberkahan, maka tidaklah dilarang “ (Hasyiah As-Sanadi juz 2 hal/ 41)

Maka dengan membaca penjelasan siti Aisyah dan komentar para ulama di atas dapat kita tangkap bahwa illat, manath, motif atau sebab pelaknatan Nabi Saw kepada orang yahudi dan nashoro adalah wujudnya penyembahan pada kuburan, mereka menjadikan kuburan sebagai tempat sujud, mereka menjadikan kuburan sebagai sesembahan sehingga ini merupakan bentuk kesyirikan kepada Allah Swt.

FIQHUL HADITS :

Larangan menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan sebagaimana kaum Yahudi dan Nashoro menjadikan kuburan nabi mereka sebagai tempat peribadatan yang mereka sujud pada kuburan itu.
Nabi Saw melarang umatnya mengikuti perbuatanYahudi dan Nashoro tersebut.
Dalam hadits tersebut tidak menyinggung masalah sholat dipekuburan / pemakaman
Illat atau sebab Nabi Saw mengecam orang yahudi dan nashoro dengan laknat adalah karena mereka menyembah kuburan dan telah menysirikkan Allah Swt.

Pembahasan berikutnya, saya akan membahas :

- Makna Hadits kedua (لاتجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها)
- Tentang sholat di pekuburan / pemakaman
- Tentang sholat di dalam masjid yang terdapat makamnya
- Tentang membangun sebuah bangunan di atas kuburan

Tentunya pembahasan akan kita kaji dengan beberapa disiplin ilmu (ilmiyyah), agar lebih mengetahui makna yang sahih dan maksud yang sebenarnya.

Mi'raj bukan pertanda Allah berada di langit/arsyi.

Mi'raj bukan pertanda Allah berada di langit/arsyi.
_____________________________________________________

Aqidah Ahlus Sunnah adalah Allah tidak bersifat dengan sifat dzat makhluk, dzat Allah tidak punya kesamaan dengan dazt makhluk, dzat Allah tidak bersifat dengan Bersemayam, tidak juga berada di atas makhlukNya, apalagi berada dalam makhlukNya, sangat banyak dalil tentang perbedaan Allah dan makhluk, tinggal bagaimana manusia nya membedakan nya, sebagian manusia ada yang hanya membedakan kaifiyat nya saja dan membiarkan dzat dan sifat Allah sama dengan makhluk, dalam anggapan nya, berbeda kaifiyat saja sudah cukup, kesalahpahaman ini di dasari dari kesalahan mereka memahami dalil Al-Quran dan As-Sunnah, dan juga kesalahan dalam memahami pernyataan para ulama, mereka tidak pernah merasa bersalah dengan kesalahan ini, sehingga menimbulkan kontroversi dan kontradiksi dengan pemahaman mereka sendiri, karena ketika menemukan Ayat atau Hadits yang dhohir makna nya menunjukkan Tuhan di atas, mereka sangat percaya sekali bahwa Tuhan berada di Atas, tapi ketika mereka jumpai Ayat atau Hadits yang dhohir makna nya menunjukkan tentang Tuhan di bumi, mereka ingkari dan lupa bahwa mereka telah melakukan Ta’wil di sini, dan mencela Ta’wil di sana, sementara pemahaman Ahlus Sunnah tidak berbeda antara tempat di bumi dengan tempat di langit, bumi makhluk dan atas langit juga makhluk, dan semua selain Allah adalah makhluk, Allah tidak berada di/dalam makhluk-Nya, Ayat atau Hadits itu tidak boleh beriman dengan makna dhohirnya, tapi di Ta’wil, baik dengan menentukan makna nya [Ta’wil Tafsili]
atau dengan tidak menentukan maknanya
[Ta’wil Ijmali atau disebut dengan Tafwidh].

Bermacam Ayat atau Hadits atau bahkan pernyataan Ulama yang mereka jadikan sebagai dalil bahwa Tuhan berada di atas langit, justru bertentangan dengan Ayat atau Hadist yang menunjukkan Tuhan di bumi
[bila di artikan dengan metode yang sama]
Dan juga tertolak dengan Ayat dan Hadits tentang perbedaan Tuhan dengan makhluk, akhirnya muncullah dalil-dalil yang lebih konyol lagi seperti berdalil dengan Mi’raj nya Rasulullah ke langit, dijadikan sebagai bukti bahwa Tuhan berada di langit, inilah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

BENARKAH MI’RAJ ITU BUKTI TUHAN BERADA DI ATAS LANGIT...... ?

Isra’ dan Mi’raj Nabi dari Mesjidil Haram ke Mesjid Al-Aqsa dan dari Mesjid Al-Aqsa naik ke Sidrati Al-Muntaha adalah benar adanya, dan merupakan Mu’jizat Nabi besar Muhammad SAW, setiap muslim tentu tidak meragukan kebenaran keajaiban Isra’ dan Mi’raj, tapi sebagian orang yang mengaku muslim telah menodai kisah Isra’ dan Mi’raj ini dengan memasukkan ideologi menempatkan Tuhan di atas langit, dan mari kita lihat kebenaran ideologi tersebut dengan Ayat tentang Isra’ dan Mi’raj, adakah tersurat atau tersirat ideologi tersebut dalam Al-Quran.....?

Allah taala berfirman :

سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الاقصى الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير

“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada suatu malam dari masjid al- Haram menuju masjid al-Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kekuasaan) kami, sesungguhnya Allah itu Maha mendengar dan Maha melihat
[QS Al-Isra’ 1]

Coba perhatikan adakah dalam ayat itu disebutkan bahwa Nabi Mi’raj ke langit untuk bertemu dengan Tuhan.......??
dari mana mereka memahami dari Ayat tersebut bahwa Nabi malam itu pergi ke tempat Tuhan ?
Yang ada dalam ayat hanya
لنريه من آياتنا
Agar kami perlihatkan tanda-tanda kami”, bukan hendak dipertemukan dengan Allah, tapi hanya untuk diperlihatkan tanda-tanda besar adanya Tuhan, sungguh sebuah prasangka yang mengada-ngada bila mengatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj adalah perjalanan Nabi ke tempat Tuhan, dan menjadikan sebagai bukti Tuhan berada di atas, [Na’uzubillah].

Selanjutnya bukankah Nabi berkalam dengan Allah di Sidrati Al-Muntaha.......?
bukankah itu artinya Allah berada di situ.......?

Lagi-lagi ini adalah prasangka di atas prasangka, seorang yang berprasangka buruk terhadap Allah, pasti akan menyangka demikian, maha suci Allah dari prasangka hamba-Nya.

Sebagaimana di pahami dari Hadits-Hadits tentang Isra’ dan Mi’raj, behwa Allah taala berkalam dengan Nabi Muhammad SAW, tapi sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah berada di tempat itu, sebagaimana Allah juga berkalam dengan Nabi Musa di lembah Al-Muqaddas Thuwa, lalu apa anda menyangka bahwa Allah juga berada di lembah itu ? hanya orang yang condong hati kepada kesesatan yang berprasangka demikian.
[Al-Quran Surat Thaha ayat 11-14]
diceritakan sebagai berikut :

فلما أتاها نودي يا موسى * إني أنا ربك فاخلع نعليك إنك بالواد المقدس طوى * وأنا اخترتك فاستمع لما يوحى * إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدني وأقم الصلاة لذكري

“Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: “Hai Musa * Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa * Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu) * Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Akum
[Q.S. Thaha 11-14]

Dipahami dari ayat di atas bahwa Allah bicara dengan Nabi Musa di Al-Wadi Al-Muqaddasi Thuwa di pinggir bukit di Palestina, sedangkan Allah tidak berada di situ, begitu juga dengan Mi’raj nya Nabi Muhammad SAW ke Sidrati Al-Muntaha, Allah berkalam dengan Nabi Muhammad SAW di situ, sementara Allah tidak berada di situ, Maha suci Allah dari tempat dilangit dan dibumi.

Selanjutnya, bukankah menerima perintah Sholat di Sidrati Al-Muntaha ? kalau bukan berada di atas, kenapa juga perintah Sholat tidak melalui wahyu seperti perintah lain nya ? sebaiknya berhentilah berprasangka terhadap Allah, karena prasangka itu datang dari dasar Tauhid yang rapuh, betapa tidak, karena dalam surat Al-Isra’ di atas sudah tercantum bahwa Allah membawa Nabi Isra’ dan Mi’raj karena ingin menampakkan tanda yang sangat besar dan ajaib, yang menunjukkan bahwa Allah benar-benar ada, Isra’ dan Mi’raj bukan untuk menerima perintah Sholat, biarpun Nabi menerima perintah Sholat di situ, karena Nabi Musa menerima perintah Sholat di bumi, sebagaimana tercantum dalam surat Thaha di atas, maka perintah Sholat tidak menunjukkan bahwa Allah berada di atas, sebagaimana Allah memerintahkan Sholat kepada Nabi Musa di bumi, padahal Allah juga tidak berada di bumi, Maha suci Allah dari segala sifat makhluk.

Syubhat selanjutnya, bukankah nabi melihat Allah di sana ? bukankah itu bukti Allah berada di sana ?

Na’uzubillah, maha suci Allah dari prasangka mereka, sesungguhnya tengtang adakah Nabi melihat Allah di sana, telah terjadi perbedaan pendapat dari Ulama, ada yang menyatakan Nabi melihat Tuhan dengan mata kepala tapi tanpa kaifiyat, ada yang mengatakan Nabi melihat Tuhan dengan mata hati, bukan dengan mata kepala, khilafiyah dalam masalah ini menunjukkan bahwa ini pendapat dhani (boleh jadi benar, boleh jadi salah), maka tidak mungkin masalah ini dijadikan sebagai dalil untuk masalah yang Qath’i (pasti) yakni untuk masalah dasar Aqidah, karena sesuatu yang Dhanni tidak bisa sampai kepada sesuatu yang Qath’i, sesuatu yang pasti, harus beranjak dari sesuatu yang pasti pula.

Syubhat selanjutnya, bukankah ketika nabi turun membawa pulang 50 waktu sholat, lalu bertemu nabi Musa, dan Nabi Musa menyuruh kembali naik ketempat itu untuk minta keringanan dari 50 menjadi 5 waktu setelah bolak-balik nabi ketempat itu ? bukankah nabi bolak balik ke tempat Tuhan ?

Na’uzubillah, Maha suci Allah dari arah dan tempat, sesungguhnya nabi Musa berkata kepada Nabi Muhammad :

إرجع إلى ربك فاسأله التخفيف

kembalilah engkau kepada Tuhanmu, maka mintalah keringanan.

Maksudnya nabi Musa menyuruh nabi Muhammad agar kembali kepada tempat beliau menerima wahyu dari Allah, yakni tempat beliau menerima perintah sholat, nabi Musa sama sekali tidak menyebutkan tempat Tuhan, di saat nabi berada di Sidrat Al-Muntaha tidak menunjukkan Allah bertempat di situ atau atas nya lagi, maka saat nabi bolak-balik ke situ pun tidak menunjukkan demikian.

Dalam satu Hadits riwayat Bukhari dan Muslim Rasul bersabda :

لا ينبغي لعبد أن يقول أنا خير من يونس بن متى

Tidak boleh bagi hamba bahwa ia berkata saya lebih baik dari nabi Yunus bin Matta.

Dalam riwayat lain :

لا تفضلوني على يونس بن متى

Jangan kalian lebih aku dari Nabi Yunus bin Matta.

Hadits ini adalah larangan menyangka bahwa nabi Muhammad SAW lebih baik dari nabi Yunus karena Nabi Muhammad pernah dekat dengan Tuhan karena pernah berada di atas langit ketujuh, sementara nabi Yunus pernah jauh sekali dengan Tuhan karena pernah berada dalam dasar lautan, Allah ada tanpa bertempat, maka tidak ada yang lebih dekat tempat antara nabi Muhammad dan nabi Yunus kepada Allah.

Sementara tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad lebih mulia dari nabi Yunus bahkan dari semua nabi dan bahkan dari segala makhluk, kedudukan para rasul tidak sama dalam kelebihan, sebagaimana firman Allah :

تلك الرسل فضلنا بعضهم على بعض منهم من كلم الله ورفع بعضهم درجات

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.
[Q.S Al-Baqarah 253]

Dalam ayat lain Allah berfirman :

ولقد فضلنا بعض النبيين على بعض

“Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain).
[Q.S Al-Isra' 55]

Dalam ayat di atas sangat jelas bahwa kedudukan martabat seorang rasul berbeda-beda, tidak mungkin nabi melarang melebihkan nya dari Nabi lain, sementara Allah telah melebihkan sebagian Nabi dari Nabi yang lain, maka larangan dalam hadits itu maksudnya adalah melebihkan nya dari nabi Yunus dari sisi tempat, sehingga menyangka Nabi Muhammad lebih dekat dengan Allah dari Nabi Yunus.

Berkata Al-Muhaddits Imam Muhammad Murtadha Az-Zabidi :

ذَكر الإمام قاضي القضاة ناصر الدين بن المُنَيِّر الإسكندري المالكي في كتابه “المنتقى في شرف المصطفى” لما تكلم على الجهة وقرر نفيَها قال: ولهذا أشار مالك رحمه الله تعالى في قوله صلى الله عليه وسلم: “لا تفضلوني على يونس بن متى”، فقال مالك: إنما خص يونس للتنبيه على التنزيه لأنه صلى الله عليه وسلم رفع إلى العرش ويونس عليه السلام هبط إلى قاموس البحر ونسبتهما مع ذلك من حيث الجهة إلى الحقّ جل جلاله نسبة واحدة، ولو كان الفضل بالمكان لكان عليه السلام أقرب من يونس بن متى وأفضل وَلمَا نهى عن ذلك.

Al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki (seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah), dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”. Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam -ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja. Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan melarang melebih-lebihkan beliau atas nabi Yunus ibn Matta.
[Ithaf as-Sadah al-Muttaqin- 2- 105].

Akhirnya nampaklah mana yang haq dan mana yang batil, aqidah batil tetap tidak akan bisa diselamatkan dengan cara apa pun, bahkan dengan cara licik sekalipun, telah tegak dalil aqidah Ahlus Sunnah Waljama’ah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat, aqidah batil tetap saja bisa tercium walaupun disisipkan dalam kisah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, tidak ada ayat atau hadits tentang Isra’ dan Mi’raj yang menunjukkan Allah berada di langit, kecuali hanya anggapan dan prasangka orang-orang yang hati nya condong kepada kesesatan, semoga kita dan keluarga kita selamat dari syubhat-syubhat aqidah yang disisipkan oleh kaum Salafi-Wahabi dalam setiap sisi Agama ini.

Maha suci Allah dari arah dan tempat.

15 SEBAB DICABUTNYA BERKAH.....

15 SEBAB DICABUTNYA BERKAH.....
Bismiilahi walhamdulilahi wa la haula wala quwata ila billahi.....
Bismillahi Nawaitul Lilahi Ta'ala......
Assalamu’alaikum warohmatullallhi wabarokaatuh, ..
Bismillahi minal Awwali wal Akhiri.....
Allaahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad. Allahumma shalli 'alaihi wa sallim wa adzhib hazana
qalbiy fin-dunya wal-aakhirah.............
Bismillahir-Rahmanir-Rahim:
Berkah adalah sesuatu yang tumbuh dan bertambah, sedangkan tabarruk adalah do’a seorang
manusia atau selainnya untuk memohon berkah.
Allah SWT menjadikan berkah hanya bagi hamba-hamba Nya yang beriman, bertaqwa dan shaleh.
Firman Allah dalam surat Al-A’raaf ayang 96 yang artinya “Jikalau sekiranya penduduk negeri
beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…”
Beberapa sebab dicabutnya Berkah :
1. Tidak adanya Taqwa dan Tidak takut kepada Allah SWT.
Jika anda tidak bertaqwa dan tidak takut kepada Allah SWT, maka tidak ada kebaikan dan berkah di
dalam kehidupan anda, Anda tidaklah dinamakan sebagai orang yang benar-benar beriman.
2. Tidak Ikhlas dalam beramal.
Allah SWT tidak memberikan berkah-Nya untukmu bila engkau tidak menyiramkan air keikhlasan
terhadap amal perbuatanmu.
3. Tidak menyebut nama Allah SWT dalam setiap perbuatan dan tidak melakukan Dzikir serta Ibadah
kepada-Nya.
Setiap perbuatan yang tidak diawali dengan Bismillah, maka perbuatan itu terputus untuk
memperoleh kebaikan dan berkah, bahkan perbuatan anda tersebut akan disertai syetan. Segala
sesuatu yang berhubungan dan disertai syetan, maka berkahnya terhapus.
4. Memakan barang yang haram dan yang dihasilkan dari perbuatan haram.
Allah SWT tidak akan memberkahi harta yang engkau dapatkan dari jalan yang haram, karena itulah
yang akan menyebabkanmu harus menerima azab dan siksa Allah.
5. Tidak berbakti kepada kedua orang tua dan menyia-nyiakan hak anak. Tidak ada kebaikan dan
keberkahan dalam kehidupanmu jika engkau tidak berbakti kepada orang yang menyebabkan
keberadaanmu di dalam kehidupan ini, yang lelah terjaga saat malam karenamu ; agar engkau
menjadi manusia yang shaleh.
6. Memutus tali silaturahmi dan hubungan kekerabatan.
Allah SWT tidak akan memberkati harta, tempat tinggal, umur dan anakmu jika engkau tidak menjalin
hubungan silaturahmi dengan kaum kerabat dan saudara kandungmu.
7. Sikap Bakhil dan tidak mau berinfak.
Allah SWT tidak akan memberkahi harta yang hanya disimpan oleh pemiliknya dan enggan untuk
menginfakkannya, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan bakhil yang sangat tercela dan
dibenci.
8. Tidak bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya.
Tidak ada kebaikan dan keberkahan dalam setiap hidup, jika seseorang dalam setiap aktifitasnya
hanya bersandar pada usahanya saja tanpa menyandarkan dirinya pada Allah.
9. Tidak Ridha terhadap apa yang diberikan Allah dan tidak pernah merasa puas ( tidak qana’ah)
Tidak akan ada kebaikan dan keberkahan dalam kehidupanmu jika engkau tidak ridha terhadap apa-
apa yang diberikan Allah kepadamu, dan tidak merasa puas dengan apa yang ada padamu. Ketika itu
engkau dalam keadaan terhina disisi Allah.
10. Melakukan perbuatan maksiat dan dosa, serta enggan bertaubat dan beristighfar.
Tidak akan ada kebaikan dan keberkahan pada harta ahli maksiat dan tidak akan ada keberkahan
dan pertumbuhan pada harta seorang pendosa. Karena Allah SWT telah menjanjikan kepada ahli
maksiat dan pendosa akan kehidupan yang sempit dan sulit.
11. Tidak mendidik anak dengan ajaran agama
Anak kita adalah tumpuan hati kita, pengharum jantung kita, pewangi aroma dunia dan buah
kehidupan kita. Siapa saja yang berlaku buruk terhadap anak maka ia telah merugi dan telah
melakukan ketidakpatutan. Anak kita adalah madu kehidupan kita.
12. Berbuat kerusakan dan keburukan dimuka bumi
Tidak akan ada kebaikan ataupun keberkahan dalam kehidupan orang-orang yang melakukan
kerusakan di muka bumi ini. Karena mereka berhak mendapatkan laknat dari Allah.
13. Tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya.
Jika kau tidak mensyukuri nikmat Allah yang telah diberikan-Nya, maka tidak akan ada kebaikan,
keberkahan dan kebahagiaan dalam seluruh kehidupanmu. Maka jadilah engkau termasuk orang-
orang yang kufur.
14. Pertengkaran dan perselisihan antara suami-istri.
Tidak ada kebaikan dan keberkahan, juga tidak ada kebahagiaan dalam kehidupan seluruhnya jika
terdapat percekcokan, pertengkaran dan perselisihan, apapun penyebabnya. Terlebih jika semua itu
terjadi diantara pasangan hidup, laki-laki dan perempuan yang diikat oleh perjanjian yang kuat lagi
kokoh.
15. Mendoakan kecelakaan bagi diri sendiri, anak-anak dan harta benda.
Tidak ada kebaikan dan keberkahan pada dirimu, anakmu atau harta bendamu jika engkau
mendoakannya dengan kecelakaan, karena terkadang Allah mengabulkan doamu pada saat itu, maka
terjadilah musibah dan engkau menyesal ketika penyesalan tak berguna lagi.[]
Mutiara Kalam Penuh Hikmah
Tiada bekal yang lebih utama daripada takwa. Tiada sesuatu yang lebih baik daripada diam. Tiada
musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan. Tiada penyakit yang lebih parah daripada
berbohong.
[Al-Imam Ja'far Ash-Shodiq ]
Jika engkau mendengar suatu kalimat dari seorang muslim, maka bawalah kalimat itu pada sebaik-
baiknya tempat yang engkau temui. Jika engkau tak mampu untuk mendapatkan wadah tempat
kalimat tersebut, maka celalah dirimu sendiri.
[Al-Imam Ja'far Ash-Shodiq]
Tidaklah hati seseorang dimasuki unsur sifat sombong, kecuali akalnya akan berkurang sebanyak
unsur kesombongan yang masuk atau bahkan lebih.
[Al-Imam Muhammad Al-Baqir]
Fugaha itu orang yang memegang amanah para rasul, selama tidak masuk ke dalam pintu-pintu
penguasa.
[Al-Imam Ja'far Ash-Shodiq]
Peraslah dirimu dengan mujahadah, sampai keluar darinya minyak kejernihan.
[Al-Imam Abdullah Al-Aidrus]
Barang siapa mengenal Allah, maka ia akan merasakan hidup (yang sebenarnya). Barangsiapa
mencintai dunia, maka ia akan kehilangan akal. Orang yang berakal, ia akan selalu mawas diri.
Sedangkan orang yang bodoh, ia akan berkelana siang dan malam tanpa ada gunanya.
[Asy-Syeikh Sary As-Saqathy]
Saya berpesan kepada diri saya sendiri dan kepada saudaraku agar senantiasa bersikap rendah hati,
terutama terhadap Allah serta hamba-hamba-Nya yang beriman, berlapang dada dan membersihkan
hati dari rasa dendam, dengki dan permusuhan terhadap siapa pun di antara kaum muslimin.
[Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad]
Kefahaman itu cahaya yang bersinar di dalam hati dan tidak akan mendapatkannya kecuali dengan
cara duduk bersama orang-orang yang sholeh dan mempelajari kitab-kitab mereka.
[Al-Habib Ahmad bin Zain Alhabsyi]
Apabila seseorang merasakan hatinya susah atau anggota badannya terasa malas untuk melakukan
amal kebajikan, maka lihatlah atau bacalah kalam para salaf, agar hilang perasaan susah dan rasa
malas yang ada pada dirinya.
[Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Atthas]
Janganlah kamu mengunjing terhadap muslim manapun, atau menjelek-jelekkannya di belakangnya,
atau memata-matainya, atau mencari-cari kesalahannya, sebab semua itu dapat menimbulkan
kemurkaan Allah terhadap dirimu sendiri.
[Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad]
Bawalah dirimu senantiasa berkumpul dengan orang-orang yang sholeh dan biasakanlah berperilaku
sebagaimana perilaku mereka. Ambillah manfaat dari perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan
mereka.
[Al-Habib Abdullah bin Husin Bin Thohir Ba'alawy ]
Ilmu apabila masuk dalam hati dinamakan nuur (cahaya), akan tetapi jika masuk ke dalam hawa
nafsu dinamakan naar (api).
[Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad]
Jika dakwah dilakukan dengan penuh kasih sayang, maka hati yang diterangi cahaya iman akan
memperoleh manfaat, dan nafsu akan bertekuk lutut.
[Al-Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahr]
Perhatikanlah kebaikan-kebaikan manusia, maka Allah akan mencurahkan kebaikan-kebaikan
kepadamu.
[Al-Habib Hamid bin Umar Hamid]
Barangsiapa duduk bersama sholihin, maka bertambah keinginannya untuk berbuat kebaikan.
[Asy-Syeikh Fadhl]
Setiap orang yang tidak mau mendengarkan nasihat dan peringatan Al-Qur'an, dan yang hatinya
tidak menjadi khusyuk ketika menerima peringatan dan penjelasan, maka yang seperti itu adalah
orang yang lemah imannya dan hatinya berpenyakit.
[Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih]
Seorang yang cerdas dan berpikiran sehat adalah yang mengelola amal-amalnya sehingga semua
kegiatannya menjadi sempurna.
[Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Aidrus]
Perbanyaklah membaca Al-Qur'an, dengan penuh khusyuk dan tadabur (merenungi maknanya), dan
sering-seringlah berdzikir secara rutin dengan penuh konsentrasi dan kehadiran hati.
[Al-Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad]
Sedikit dari amalan batiniah lebih baik dari lautan amalan lahiriah.
[Al-Imam Abdurrahman As-Saggaf]
Semoga kita dapat meneladani akhlak dan tingkah laku para Auliya ALLAH,sbb itu jalan menuju
ALLAH SWT dan RasulNya SAW.
Marilah Setiap detak-detik jantung.., selalu kita isi dengan..
Asma Teragung diseluruh jagad semesta raya ini...
Subhanakallahumma wabihamdika AsyaduAllahilaha illa Anta Astagfiruka wa'atubu Ilaik ...
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ..

Adab Seorang Murid

Adab Seorang Murid

Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani
Perlu anda ketahui wahai saudaraku, bahwa adab (etika) Seorang murid secara keseluruhan tidak
dapat dihitung jumlahnya, dan tidak dapat dijelaskan secara detail. Akan tetapi berikut akan saya
sebutkan sekilas tentang adab yang patut untuk dilakukan seorang murid.
Pada dasarnya, tugas seorang guru terhadap murid hanyalah berusaha mengeluarkan untuk si murid
apa yang masih terpendam di dalam jiwanya, dan bukan yang lain. Sebab Allah Swt. telah
menebarkan pada setiap ruh (jiwa) sifat-sifat terpuji dan tercela yang berhubungan dengan orang
yang bersangkutan. Maka segala sesuatu yang diperintah atau dilarang oleh sang guru mesti
berkaitan dengan apa yang terpendam dalam jiwa tersebut.
Seorang guru tidak akan memberikan kepada Si murid apa yang di luar jiwanya. Sebab seorang
murid pada tahap pertama ibarat sebutir benih yang menyimpan segala rahasia, dimana benih itu
akan menjadi pohon kurma misalnya, atau jadi pohon yang lain. Perjalanan Si murid dalam
menempuh tarekat ini akan benar dan jujur atau akan menjadi pendusta tergantung pada benih yang
ada. Kalau si murid ini menjadi seorang yang benar dan jujur, maka dari “batang pohon” itu akan
mengeluarkan ranting yang bakal berbuah, dimana buah tersebut akan menyenangkan semua orang
yang ada di sekitarnya, dan mereka pun makan dari buahnya, bahkan buahnya akan tersebar ke
seluruh penduduk daerah dan negerinya. Semua orang mengambil manfaat dari pohon tersebut.
Kejujuran dan kebaikannya akan tampak pada semua orang, baik di kalangan umum maupun tertentu,
bahkan kalau misalnya ia ingin menutupi kebaikannya agar tidak diketahui mereka, ia pun tidak akan
sanggup melakukannya. Begitu sebaliknya, jika ia seorang murid yang bohong dalam cintanya
terhadap jalan yang ia tempuh, maka “batang pohon” kebohongan dan kemunafikannya akan
bercabang, sehingga dirasakan oleh semua orang yang ada di sekitarnya, tersebar ke seluruh daerah
dan negerinya. Kebohongan, kemunafikan dan pamernya akan kelihatan pada semua orang. Bahkan
kalau berpura-pura menampakkan kejujuran ia tidak akan sanggup melakukannya.
Sebab perbuatannya yang rendah akan mendustakan segala pengakuannya, dan pada akhirnya semua
aibnya akan terbuka dan tersingkirkan dari jalan menuju Allah. Ia akan terlempar ke pemahaman
orang-orang awam, sebagai hukuman atas kebohongannya terhadap tarekat menuju Allah Azza wa
Jalla. Dan barangkali Allah pernah memberinya keharuman dan kejujuran kemudian diambil kembali
oleh Allah. Kemudian semua orang akan berkata, “Si fulan telah terusir dari tarekat kaum fakir (sufi),
sehingga tidak ada semerbak keharumannya lagi.” Akhirnya ia hanya sekadar mengenakan serban
panjang, memelihara rambut hingga panjang, mengenakan pakaian wol (pakaian khas kaum sufi),
dan berhias dengan pakaian kaum sufi, sementara manusia melihatnya telanjang dari adab, dan
hampir semua perilaku negatifnya tidak bisa dirahasiakan dan siapa pun.
Maka bangunlah segala perkara anda atas dasar kejujuran dalam mencari tarekat (jalan menuju
Allah), sebab kalau tidak, maka anda akan dijauhi oleh tarekat sekalipun dalam waktu yang cukup
lama. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada anda.
Jika anda telah tahu akan hal itu, maka sekarang saya mulai berbicara, — dan hanya Allah Yang
memberi pertolongan: Diantara perilaku seorang murid adalah harus memiliki kejujuran dalam
mencintai seorang guru. Sebab gurulah yang akan menunjukkannya ketika ia sedang menempuh
perjalanan dalam hal-hal yang gaib. Ia ibarat seorang penunjuk jalan bagi jamaah haji ketika di
kegelapan malam. Tentu saja kecintaan itu mengharuskan seseorang untuk selalu taat, demikian
sebaliknya, tidak adanya kecintaan itu ditunjukkan dengan selalu menyalahi dan menentang perintah
guru. Maka barangsiapa menentang orang yang menunjukkannya ia akan tersesat dan perjalanannya
akan terhenti, dan pada akhirnya akan hancur.
Kejujuran dalam mencintai seorang guru hendaknya tidak ada yang sanggup memalingkannya,
bahkan tidak ada pedang dan segala yang menyakitkan sanggup mengusirnya. Ada diantara orang
yang mengaku dirinya jujur dalam mencintai guru dan saudara-saudaranya dalam tarekat, bahkan
katanya tidak ada yang sanggup memalingkannya sekalipun mereka harus menjauhi dan tidak
menyapanya tanpa ada alasan yang dibenarkan. Berita ini akhirnya tersebar ke semua orang, baik di
kalangan orang-orang awam maupun orang-orang tertentu. Suatu ketika ia berdiri dan melantunkan
bait syair di depan kaum fakir (sufi).
Andaikan mereka menyiksaku setiap hari dan setiap malam
tanpa kesalahan apa pun tentu hal itu membuatku senang dan rela
Kemudian ada salah seorang dari para murid yang cerdik membantahnya dengan mengatakan, “Anda
berbohong!” Akhirnya ia gundah dan pikirannya kacau lalu ia duduk. Apa yang ada dalam benaknya
cukup kelihatan di raut wajahnya. Akhirnya para murid sufi sepakat, bahwa ia adalah pembohong,
lalu mereka berkata kepadanya: “Bagaimana anda bisa mengatakan sebagaimana yang anda katakan
tadi, sementara pikiran anda telah kacau hanya karena omongan sebagian orang yang mengatakan
anda adalah pembohong?! Apabila anda tidak sanggup memikul satu beban saja, lalu bagaimana
anda akan sanggup memikul beban untuk selalu disiksa setiap hari dan setiap malam tanpa ada
kesalahan apa pun yang anda lakukan sebelumnya?! Akhirnya orang yang sekadar mengaku jujur
dalam cintanya ini beristigfar dan mengakui kebohongannya.
Maka benar-benar jujurlah —wahai saudaraku— dalam mencintai sang guru, anda akan mendapatkan
segala kebaikan. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada anda.
Dan diantara adab seorang murid, hendaknya tidak ikut masuk ke dalam perjanjian (sumpah) seorang
guru (tarekat) sampai ia lebih dahulu bertobat dari segala dosa, baik dosa secara lahir maupun batin.
Misalnya menggunjing, minum-minuman keras, dengki, iri hati dan lain-lain. Ia juga harus bisa rela
terhadap semua lawan yang berusaha merampas harga diri maupun harta. Sebab hadirat tarekat
Galan menuju Allah) adalah hadirat Allah Azza Jalla. Maka barangsiapa tidak menyucikan diri dari
segala dosa, baik lahir maupun batin, maka tidak dibenarkan ia masuk ke hadirat ini. Ia ibarat orang
yang mau menjalankan ibadah shalat, sementara di tubuh atau pakaiannya terdapat najis yang tidak
bisa dimaafkan, atau karena tempatnya jauh dari air sehingga tidak bisa disucikan dengan air, tentu
saja shalatnya tidak sah. Demikian pula orang yang mau masuk ke dalam tarekat dengan kondisi
kotor dengan dosa, maka ia tetap batal, sekalipun gurunya termasuk tokoh para wali. Ia tidak akan
sanggup mengantarkannya dan berjalan bersamanya untuk menuju tarekat Ahlullah sekalipun hanya
selangkah, terkecuali sebelumnya telah menyucikan diri dari segala dosa.
Poin ini rupanya banyak dilupakan oleh sebagian besar orang. Mereka tergesa-gesa mengambil
sumpah (janji) sang murid, sementara pada diri sang murid masih banyak dosa, baik lahir maupun
batin, terutama yang menyangkut hak-hak para hamba dalam masalah harta maupun harga diri
sehingga tidak akan ada manfaatnya dalam menempuh tarekat. Saya pernah mendengar Tuan Guru
Ali al-Khawwash — rahimahullah — mengatakan: “Tarekat (jalan) orang-orang yang menuju kepada
Allah adalah ibarat mau masuk surga. Maka sebagaimana yang terdapat dalam Hadis sahih, tidak
seorang pun dari calon penghuni surga diperkenankan masuk ke dalam surga sementara pada dirinya
masih ada hak anak cucu Adam. Maka demikian pula orang yang mau masuk ke dalam tarekat Allah
Azza wa Jalla.”
Kemudian definisi tobat adalah kembali dan apa saja yang secara hukum (syariat) itu tercela menuju
kepada apa yang secara hukum itu terpuji. Sehingga masing-masing orang yang bertobat akan
memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri. Bisa jadi apa yang menurut seseorang hal itu terpuji, tapi
justru orang lain malah menganggapnya tercela, lalu bertobat dan beristigfar dari hal yang menurut
orang pertama tersebut terpuji. Ini termasuk bagian dari, “Kebaikan orang-orang yang baik (al-abrar)
adalah kejelekan bagi orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-mu qarrabin).”
Perlu anda ketahui, bahwa orang yang selalu melakukan hal-hal yang menyalahi aturan syariat,
makan hal-hal yang menjadi kesenangan nafsu, dan senantiasa bergelut dengan hal-hal yang
diharamkan, maka jarak antara orang ini dengan tarekat menuju Allah, ibarat jarak antara langit
dengan bumi. Kemudian anda harus tahu, bahwa perilaku dari nafsu adalah selalu mengaku dengan
pengakuan palsu. Barangkali ia mengaku benar-benar hertobat dengan sejujurnya, tapi pengakuannya
hanya kebohongan. Maka hal itu tidak bisa diterima kecuali dengan kesaksian seorang guru akan
kejujurannya dalam segala tingkatan spiritual yang diakuinya telah bertobat, sampai pada akhirnya ia
mencapai pada tingkatan bertobat dari tindakan lengah dan kesaksian diri akan Tuhannya sekalipun
hanya sekejap mata. Kemudian dari tingkatan ini naik lagi ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu
mengagungkan Allah Swt. untuk selama-lamanya, yang tidak pernah berhenti sekejap pun untuk
mengagungkan-Nya. Inilah tingkatan akhir dan apa yang kaum sufi katakan tentang tingkatan-
tingkatan tobat.
Pada awalnya bertobat dari segala dosa besar, kemudian pada tingkatan bertobat dan dosa-dosa
kecil, kemudian dan hal-hal yang tidak disenangi secara syariat, kemudian meninggalkan hal-hal
yang apabila dilakukan akan melanggar keutamaan, kemudian bertobat dan tidak lagi melihat
kebaikan-kebaikannya, kemudian bertobat untuk tidak lagi melihat dirinya termasuk kelompok kaum
fakir sufi di zaman ini. —Dan hanya AllahYang Mahatahu.
Dan diantara perilaku seorang murid, hendaknya selalu melakukan mujahadat (perjuangan spiritual)
untuk memerangi nafsunya. Maka selamanya ia tidak akan pernah kompromi dengan nafsunya.
Syekh Abu Ali ad-Daqqaq — rahimahullah — mengatakan: “Barangsiapa menghiasi lahiriahnya
dengan mujahadat maka Allah akan menghiasi batinnya dengan musyahadat (kesaksian diri kepada
Tuhannya). Maka barangsiapa pada tahapan awal tidak melakukan mujahadat pada diri (nafsu) nya,
maka ia tidak akan bisa mencium bau tarekat menuju Allah. ”Sebab telah menjadi ciri khas kaum
sufi yang menempuh tarekat kepada Allah, apabila seorang hamba tidak mau memberikan hak
tarekat secara keseluruhan maka tarekat juga tidak akan memberinya sekalipun hanya sebagian.
Abu Utsman al-Maghribi — rahimahullah — mengatakan:
“Barangsiapa mengira, bahwa ia akan dibukakan sedikit dari tarekat Ahlullah tanpa dengan
mujahadat, maka ia benar-benar menginginkan hal yang mustahil.”
Abu Au ad-Daqqaq — rahimahullah — mengatakan: “Barangsiapa di permulaannya tidak memiliki
penyangga maka di akhirnya tidak akan menemukan kedudukan.”
Hasan al-’Arar berkata: “Tarekat kaum sufi ini dibangun atas tiga dasar: Seorang murid tidak makan
kecuali bila sangat membutuhkan, tidak akan tidur kecuali bila sudah terkalahkan oleh kantuk, dan
tidak akan berbicara kecuali bila secara hukum dianggap darurat.”
Ibrahim bin Adham — rahimahullah — mengatakan: “Seseorang tidak akan mendapatkan tingkatan
orang-orang saleh sehingga pada dirinya terdapat enam hal: Selalu berjuang melawan nafsu, hina
karenanya, tidak tidur di malam hari, lebih suka sedikit dengan masalah duniawi, senang ketika
ditinggalkan dunia, dan memperpendek angan-angan.”
Sementara itu asy-Syibli — rahimahullah — memukuli dirinya dengan potongan rotan bila rasa kantuk
tiba, sampai habis satu ikat ketika menjelang Subuh. Ia sering kali memberi celak matanya dengan
garam sehingga tidak bisa tidur. Ia juga sering memukulkan kedua tangan dan kakinya ke dinding
bila tidak menemukan alat untuk memukuli dirinya. Ia berkata, “Tidak ada sesuatu yang berusaha
menghalauku kecuali aku berhasil menundukkannya.”
Hal-hal seperti ini tidak semestinya seseorang melawan dan menyudutkan orang-orang yang
melakukannya, karena hal ini bagi mereka dianggap dari bagian mencari alternatif yang paling ringan
risikonya dari dua alternatif yang sama-sama berbahaya.
Mereka melihat, bahwa menanggung penderitaan sakit di tubuh dianggap lebih ringan risikonya
daripada menanggung beban penderitaan karena lupa akan Tuhannya akibat tidur atau yang lain. Ini
sebaliknya pendapat yang dipilih oleh selain kaum sufi. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Diantara perilaku yang harus dilakukan seorang murid, hendaknya tidak berbicara dan juga tidak
diam kecuali bila secara hukum dianggap darurat atau diperlukan. Mereka telah menganggap bahwa
sedikit bicara adalah salah satu dan sendi-sendi latihan spiritual (riyadhat). Bisyr bin al-Harits al-
Hafi mengatakan: “Apabila berbicara itu membuat anda kagum, maka diamlah. Dan apabila diam itu
membuat anda kagum maka berbicaralah. Sebab pada pembicaraan terdapat bagian dan kepentingan
din dan menampakkan sifat-sifat terpuji.”
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. sering kali meletakkan kerikil di dalam mulutnya, sehingga ia bisa
mengurangi berbicara. Ketika ia ingin berbicara yang tidak ada manfaatnya maka ia ingat dengan
kerikil yang ada di mulutnya. Konon katanya, ia meletakkan kerikil di mulutnya selama setahun.
Rasulullah Saw bersabda: “Manusia dijungkir-balikkan kepalanya di neraka hanya karena hasil panen
lidahnya.”
Diantara perilaku yang harus dilakukan para murid adalah sering kali merasakan lapar dengan cara
yang dibenarkan oleh syariat. Poin ini merupakan poin yang ditekankan dalam menempuh tarekat.
Sebagaimana Allah telah menjadikan wukuf di Arafah bagian rukun yang terpenting dalam
pelaksanaan ibadah haji, maka Nabi Saw mengatakan, “Haji adalah Arafah.” Maka orang-orang yang
menempuh jalan Allah menjadikan lapar adalah jalan menuju Allah.

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:

BID,AH

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:

مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.

Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ

“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya.

Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat.

Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja.

Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru).
Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”.

Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis).
Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.

Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’,
artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek).
Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”,
menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)”
(Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).

Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:

اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.

“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)

Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.

“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.

Macam-Macam Bid’ah

Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama:
Bid’ah Dlalalah.
Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah.
Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.

Kedua: Bid’ah Huda
disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah.
Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu.

Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti
al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua:

1.Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji)

2.Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).

Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.

Menurut al-Imam Abu Muhammad Izzudin bin Abdissalam,

bid’ah adalah:
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah di kenal(terjadi) pada masa Rasulullah SAW”.
(qawa’id al- Ahkam fi mashalih al-Anam, juz 11, hal 172)

Sebagian besar ulama membagi Bid’ah menjadi lima macam:

1) Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’. Seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain.Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW secara sempurna.

2) Bid’ahn Muharramah,
Yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’. Seperti madzhab Jabariyyaah dan Murji’ah.

3) Bid’ah Mandubah,
yakni segala sesuatu yang baik, tapi tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, shalat tarawih secara berjamaah, mendirikan madrasah dan pesantren.

4) Bid’ah Makruhah,
seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.

5) Bid’ah Mubahah,
seperti berjabatan tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat.
(Qawa’id al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam, Juz, 1 hal, 173)

Maka tidak heran jika sejak dahulu para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua bagian besar.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’I RA yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari:

“Sesuatu yang diada – adakan itu ada dua macam. (Pertama), sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar sahabat atau Ijma’ulama. Ini disebut dengan bid’ah dhalal (sesat). Dan (kedua, jika) sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’). Maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela”. (Fath al-Bari, juz XVII, hal 10)

Syaikh Nabil Husaini menjelaskan sebagai berikut:

“Para ahli ilmu telah membahas persoalan ini kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah. Yang dimaksud dengan bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai kepada kitab Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW. Keberadaan bid’ah hasanah ini masuk dalam bingkai sabda nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (Sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyiah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa-dosa yang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka”.

Dan juga berdasarkan Hadist Shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA ,”Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh semua muslim, maka perbuatan tersebut baik menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk orang-orang Islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk”. Hadist ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam al-Amah” (al-Bid’ah al-Hasanah, wa Ashluha min al-Kitab wa al-Sunnah, 28)

Dari uraian diatas maka secara umum bid’ah terbagi menjadi dua.

Pertama, bid’ah hasanah,
yakni bid’ah yang tidak dilarang dalam agama karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Dalam konteks inilah perkataan sayyidina Umar bin Khattab RA tentang jama’ah shalat tarawih yang beliau laksanakan:
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (Al-Muaththa’ [231] )

Contoh, bid’ah hasanah
adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara dengan membaca basmalah di bawah seorang komando, memberi nama pengajian dengan istilah kuah(dhliah shubuh, pengajian ahad atau titian senja, menambah bacaan subhanahu wa ta’ala (yang diringkas menjadi SWT) setiap ada kalimat Allah, dan subhanahu alaihi wasallam (yang diringkas SAW) setiap ada kata Muhammad. Serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW, namun tidak bertentangan dengan inti ajaran agam,a Islam.

Kedua, bid’ah sayy’ah(dhalalah),
yakni bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah muharramah dan makruhah dapat digolongkan pada bagian yang kedua ini. Inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Muhammad SAW:
“Dari ‘A’isyah RA, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang melakukan suatu yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shahid Muslim, [243])

Dengan adanya pembagian ini, dapat disimpulakan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikawatirkan akan menghancurkan sendi – sendi agama Islam. Sedangkan amaliyah yang akan menambah syi’ar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (Shalih li kuli zaman wa makan).

Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah

Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):

1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.

Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.

2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali,

bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.

3. Hadits ‘Aisyah,

bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas:“Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian:

Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat.

Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.

4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya

disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.

Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ

5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud

disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.

Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata:“Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.

6. ‘Abdullah ibn ‘Umar
menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)

“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)

Dalam riwayat lain, tentang shalat Dhuha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)

“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)

Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.

7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’,

bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ

“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin,

tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:

هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.

“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).

Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:

1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh.

Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)

“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)

Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.

Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:

صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.

“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)

2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan.

(HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).

3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur.

Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.

Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman. Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.

Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!

4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam,

orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?!

Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!

5. Peringatan Maulid Nabi

adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.

6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan

adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.

7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah

termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan:“Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.

8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh.

Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah.

di antaranya sebagai berikut:

1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin),

di antaranya seperti:

A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah.

Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.

B. Bid’ah Jahmiyyah.

Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.

C. Bid’ah kaum Khawarij.

Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.

D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.

2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk.

Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.

Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah

1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata:

“Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)

Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .

Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154). Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.

Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)

Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.

Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.

2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata:

“Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.

Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.

Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.

Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.

3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata:

“Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.

Jawab:

Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.

Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!

4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan:

“Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.

Jawab: Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:

فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.

“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.

As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:

قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.

“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.

Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.

Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.

5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan:

“Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.

Jawab:

Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.

Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!

Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”. Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:

مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)

“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi (hasan) dan Ibn Majah)

Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.

6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan:

“Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

Jawab:

Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”. Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.

Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:

التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم

“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.

Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram. Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.

Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.

HADITS TENTANG SEMUA BID’AH ADALAH SESAT

Kalau memang Bid’ah terbagi menjadi dua, lalun bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa semua bid’ah itu sesat?

Untuk memahami al-qu’ran ataupun hadits, tidak bisa hanya dilihat secara parsial atau hanya melihat arti lahiriah sebuah tek’s. Ada banyak hal yang harus diperhatikan ketika membaca serta menafsirkan al-Qur’an atau al-Hadits. Misalnya kondisi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan. Termasuk pula meneliti teks tersebut dari aspek kebahasaannya, yakni dengan perangkat Ilmu Nahwa, sharaf, Balaghah, Mantiq, dan sebagainya.

Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam mendefinisikan bid’ah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan, apakah kata bid’ah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan arti bid’ah secara bahasa adalah : sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga inti pengertian bid’ah yang sesat secara sederhana adalah: segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca ayat-ayat al-Qur’an atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan/faham kaum Mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdus Salam sebagaimana disebutkan dalam kitab tuhfatul akhwadzi juz 7 hal 34 menyatakan: “Apabila pengertian bid’ah ditinjau dari segi bahasa, maka terbagi menjadi lima hukum :

Haram, seperti keyakinan kaum Qodariyah dan Mu’tazilah.

Makruh, seperti membuat hiasan-hiasan dalam masjid.

Wajib, seperti belajar ilmu gramatikal bahasa arab (nahwu).

Sunnah, seperti membangun pesantren atau madrasah.

Mubah, seperti jabat tangan setelah shalat.

Alhasil, menurut Imam ‘Izzuddin, “Segala kegiatan keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, hukumnya bergantung pada tercakupnya dalam salah satu kaidah hukum Islam, haram, makruh, wajib, sunnah, atau mubah. Sebagai contoh, belajar ilmu bahwu untuk menunjang dalam belajar ilmu syariat yang wajib, maka hukum belajar ilmu nahwu menjadi wajib.”.Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal. 6-8.
Penjelasan tentang bid’ah bisa kita ketahui dari dalil-dalil berikut :

1.Hadits riwayat sayyidatina A’isyah :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم

“Dari ‘Aisyah RA. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak” HR.Muslim.

Hadits ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW. Padahal maksud yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Para ulama menyatakan bahwa hadits ini sebagai larangan dalam membuat-buat hukum baru yang tidak pernah dijelaskan dalam al-Qur’an ataupun Hadits, baik secara eksplisit (jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu ibadah murni kepada Allah SWT sebagai bagian dari ajaran agama. Oleh karena itu, ulama membuat beberapa kriteria dalam permasalahan bid’ah ini, yaitu :

Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar dalil-dalil syar’i yang kuat, baik yang parsial (juz’i) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah. Namun jika tidak ada dalil yang dapat dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.

Kedua, memperhatikan pada ajaran ulama salaf (ulama pada abad l, ll dan lll H.). Apabila sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong bid’ah.

Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni, mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong bid’ah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka perbuatan baru itu tergolong wajib. Dan begitu seterusnya. Risalatu Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah hal.6-7.

2. Hadits riwayat Ibn Mas’ud :

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلاَ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه ابن ماجه

“Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “ Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru. Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” HR. Ibnu Majah.

Hadits inipun sering dijadikan dasar dalam memvonis bid’ah segala perkara baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in dengan pertimbangan bahwa hadits ini menggunakan kalimat kullu (semua), yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya.

Namun, dalam menanggapi makna hadits ini, khususnya pada kalimat وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, terdapat perbedaan pandangan pandangan di kalangan ulama’.

Pertama, ulama’ memandang hadits ini adalah kalimat umum namun dikhususkan hanya pada sebagian saja (عام مخصوص البعض ),
sehingga makna dari hadits ini adalah “bid’ah yang buruk itu sesat” .
Hal ini didasarkan pada kalimat kullu, karena pada hakikatnya tidak semua kullu berarti seluruh atau semua, adakalanya berarti kebanyakan (sebagian besar).

Sebagaimana contoh-contoh berikut :
Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.

Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air. Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

“Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS. Ar-Rahman:15.

Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.

Hadits riwayat Imam Ahmad :

عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ

Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah SAW bersabda: “ setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)

Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada ajnabiyah.

Kedua, ulama’ menetapkan sifat umum dalam kalimat kullu, namun mengarahkan pengertian bid’ah secara syar’iyah yaitu perkara baru yang tidak didapatkan di masa Rasulullah SAW, dan tidak ada sandarannya sama sekali dalam usul hukum syariat. Telah kita ketahui bahwa perkara yang bertentangan dengan syariat baik secara umum atau isi yang terkandung di dalamnya, maka haram dan sesat. Dengan demikian, makna hadits di atas adalah setiap perkara baru yang bertentangan dengan syariat adalah sesat, bukan berarti semua perkara baru adalah sesat walaupun tidak bertentangan dengan syai’at.

Oleh karena itu, jelas sekali bahwa bukan semua yang tidak dilakukan di zaman Nabi adalah sesat. Terbukti, para sahabat juga melaksanakan atau mengadakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Misalnya, usaha menghimpun dan membukukan al-Qur’an, menyatukan jama’ah tarawih di masjid, adzan Jum’ah dua kali dan lain-lain. Sehingga, apabila kalimat kullu di atas diartikan keseluruhan, yang berarti semua hal-hal yang baru tersebut sesat dan dosa. Berarti para sahabat telah melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Oleh karena itu, sungguh tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung dan begitu luas pengetahuannya tentang al-Qur’an dan Hadits tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.Mawsu’ah Yusufiyyah juz ll hal 488.

kata Kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua, namun adakalanya berarti sebagian,

Contoh lain adalah firman Allah SWT:
“Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap – tiap perahu”. (QS.al-Kahfi, 79)

Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi Musa AS dan Nabi Kidhir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Khiddir AS agar tidak diambil oleh raja lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khiddir AS tidak akan merusak bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut. Juga menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tapi berarti sebagian saja, yakni perahu – perahu yang bagus saja yang dirampas.

Maka demikian pula dengan hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya, usaha untuk membukukan al-Qur'an, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari jum’at, shalat tarawih secara berjamaah dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW.

Nah, kalau kullu pada hadits itu diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang – orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan Allah SWT dan Rasul – ny Na. Bahkan di antara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi SAW tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits itu.

Kembali ke Hadist yang berbunyi Rasulullah saw bersabda, 'Sebaik-baiknya perkataan/berita adalah Kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk dari Muhammad. Sementara itu, sejelek-jelek urusan adalah membuat-buat hal yang baru (muhdastatuha) dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." [Lihat misalnya Shahih Muslim, Hadis Nomor [HN] 1.435; Sunan al-Nasa'i, HN 1560; Sunan Ibn Majah

Syarh Sunan al-Nasa'i li al-Suyuti memberikan keterangan apa yang dimakud dengan "muhdastatuha" dalam hadis yang di atas. Disebut muhdastatuha kalau kita membuat-buat urusan dalam masalah Syari'at atau dasar-dasar agama (ushul). Dalam Syarh Shaih Muslim, Imam Nawawi menjelaskan lebih lanjut bahwa para ulama mengatakan bid'ah itu ada lima macam: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah."

"Yang wajib adalah mengatur argumentasi berhadapan dengan para pelaku bid'ah. Yang mandub (sunnah) adalah menulis buku-buku agama mengenai hal ini dan membangun sekolah-sekolah. Ini tidak ada dasarnya dalam agama namun diwajibkan atau disunnahkan melakukannya. Yang dianggap mubah adalah beraneka ragam makanan sedangkan makruh dan haram sudah nyata dan jelas contohnya.

Jadi kata bid'ah dalam hadis di atas dipahami oleh Suyuti dan Nawawi sebagai kata umum yang maksudnya khusus. Kekhususannya terletak pada persoalan pokok-pokok syari'at (ushul) bukan masalah cabang (furu').

"Jika kita menganggap hadis itu tidak berlaku khusus maka semua yang baru (termasuk tekhnis pelaksanaan ibadah) juga akan jatuh pada bid'ah. Kedua kitab Syarh tersebut juga mengutip ucapan Umar bin Khattab soal shalat tarawih di masanya sebagai 'bid'ah yang baik' (ttg ucapan Umar ini lihat Shahih Bukhari, HN 1871).
Dengan demikian Umar tidak menganggap perbuatan dia melanggar hadis tersebut, karena sesungguhnya yang di-"modifikasi" oleh Umar bukan ketentuan atau pokok utama shalatnya, melainkan tekhnisnya. Mohon dicatat, penjelasan mengenai hadis ini bukan dari saya tetapi dari dua kitab syarh hadis dan keduanya saling menguatkan satu sama lain"

"Kita juga harus berhati-hati dalam menerima sejumlah hadis masalah bid'ah ini. Sebagai contoh, hadis mengenai bid'ah yang tercantum dalam Sunan al-Tirmizi, HN 2701 salah satu rawinya bernama Kasirin bin Abdullah. Imam Syafi'i menganggap dia sebagai pendusta, Imam Ahmad menganggap ia munkar, dan Yahya menganggapnya lemah. Hadis masalah bid'ah dalam Sunan Ibn Majah, HN 48 diriwayatkan oleh Muhammad bin Mihshanin. Tentang dia, Yahya bin Ma'yan mengatakan dia pendusta, Bukhari mengatakan dia munkar, dan Abu Hatim al-Razi mengatakan dia majhul. Ibn Majah meriwayatkan hadis dalam masalah ini [HN 49], diriwayatkan oleh dua perawi bermasalah. Abu Zar'ah al-Razi mengatakan bahwa Bisyru bin Mansur tidak dikenal, Zahabi mengatakan Abi Zaid itu majhul. Kedua hadis Ibn Majah ini tidak dapat tertolong karena hanya diriwayatkan oleh Ibn Majah sendiri, yaitu "Allah menolak amalan pelaku bid'ah, baik shalatnya, puasanya...dst.
Namun Saya tidak bilang semua hadis ttg bid'ah itu lemah

Ketahuialah "Yang disebut asal/pokok/dasar Agama adalah ibadah mahdhah yang didasarkan oleh nash al-Qur'an dan Hadis yang qat'i. Dia berkategori Syari'ah, bukan fiqh.
Kalau sebuah amalan didasarkan pada dalil yang ternyata dilalahnya (petunjuknya) bersifat zanni maka boleh jadi amalan tersebut akan berbeda satu dengan lainnya. Ini disebabkan zanni al-dalalah memang membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat. Sementara kalau dilalah atau dalalahnya bersifat qat'i maka dia masuk kategori Syari'ah dan setiap hal yang menyimpang dari ketentuan ini dianggap bid'ah. Jadi, sebelum menuduh bid'ah terhadap amalan saudara kita, mari kita periksa dulu apakah ada larangan dari Nabi yang bersifat qat'i (tidak mengandung penafsiran atau takwil lain) terhadap amalan tersebut?"

"Jikalau tidak ada larangan, namun dia melanggar ma'lum minad din bid dharurah (ketentuan agama yang telah menjadi aksioma), maka dia jatuh pada bid'ah. Kalau tidak ada larangan, dan tidak ada ketentuan syari'at yang dilanggar, amalan tersebut statusnya mubah, bukannya bid'ah!"

contoh praktisnya:

Apakah ada larangan memakai alat untuk berzikir (kita kenal dg tasbih atau rosario utk agama lain) ? Meskipun Nabi tidak pernah mencontohkannya, bukan berarti tidak boleh! Adalah benar dalam masalah ibadah berlaku kaidah, 'asal sesuatu dalam ibadah itu haram kecuali ada dalil yg membolehkan atau mewajibkan'. Nah, apakah memakai tasbih itu termasuk ibadah mahdhah atau tidak? Indikasinya adalah apakah zikir kita tetap sah kalau tidak pakai tasbih? tentu saja tetap sah, karena yang disebut ibadah adalah zikirnya, bukan cara menghitung 33 atau 99nya. Tasbih memang dipakai dalam zikir tetapi dia hanya masalah tekhnis.