"Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas berkeliling di tarekat-tarekat mencari ahli dzikir. Jika mereka menemukan suatu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, mereka berseru, 'Sebutkan kebutuhan kalian'."
Kata thuruq 'tarekat-tarekat atau jalan-jalan' dalam hadis tersebut menunjukan kepada halaqah atau majelis dzikir. Halaqah artinya lingkaran, dan halaqah dzikir menunjukan kepada makna "sekumpulan orang yang duduk melingkar untuk bersama-sama berdzikir dan bermunajat kepada Allah 'azza wa jalla".
Hadis tersebut memerintahkan orang-orang mukmin agar bergabung dengan halaqah dzikir sebagai sebuah majelis yang sangat dicintai Allah.
Di dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang menyinggung perintah berdzikir dan keutamaannya. Selama ini tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa berdzikir itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Pendapat semacam ini sebenarnya tidak dapat dibenarkan karena diantara dalil-dalil yang berkenaan dengan dzikir justru menunjukan kepada hukum wajib.
Dzikir merupakan aktivitas ibadah yang paling tinggi nilainya. Dalam sebuah firman Allah, di samping digunakan lafaz yang memang mengandung makna keagungan dzikir, Allah bahkan masih menggunakan lam al-tawkid (lam yang dibaca fathah dan menunjuk pada makna "sungguh atau sangat") untuk menegaskan betapa besar keutamaan, nilai, pahala, atau manfaat dzikir, sebagaimana yang sering dibaca khatib Salat Jumat di akhir khutbahnya,
Ke-akbar-an kedudukan dzikrullah sebagai amal terbaik juga dipertegas oleh
Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
Jadi, tidak diragukan lagi bahwa musuh bebuyutan manusia, sang Iblis, tidak pernah berhenti dari menggoda manusia bahkan sejak manusia pertama Adam diciptakan; dan makhluk-makhluk durhaka ini tidak mungkin dapat dihalau kecuali dengan senjata yang disebut dzikrullah.
Persoalannya, setiap orang sudah berdzikir, sudah biasa menyebut asma Allah dan mengingatNya, tetapi dalam kenyataan mereka tetap terperangkap dalam jebakan-jebakan sang Iblis baik yang tampak maupun yang tersembunyi, seperti dengkil, dendam, 'ujub, marah, dan penyakit-penyakit hati lainnya yang secara stimulan menimbulkan perbuatan-perbuatan keji dan mungkar (al-fakhsya' wa al-munkar) dalam berbagai bentuknya, dan yang paling layak dipertanyakan adalah bahwa semua itu tidak jarang justru dilakukan oleh orang-orang yang secara lahiriah sudah terbiasa berdzikir. Berbagai kasus yang terjadi di lembaga-lembaga Islam, mulai dari sekolah-sekolah yang berlabel Islam hingga instansi-instansi yang menangani urusan-urusan keagamaan merupakan bukti kegagalan dzikir mereka.
Rahasia kegagalan dzikir mereka sebenarnya hanya terletak dalam satu hal: mereka tidak melibatkan thariqah sebagai "teknik berdzikir efektif". Logika awam membuktikan bahwa pekerjaan apa pun yang dilakukan dengan tidak melibatkan thariqah 'teknik/metode/cara' yang tepat maka sudah dapat dipastikan hasilnya tidak maksimal atau bahkan gagal sama sekali.
Air dan pengolahannya adalah contoh sederhana yang dapat dikemukan di sini.
Dalam kondisi biasa (tanpa teknologi) air hanya berfungsi sebagai pelapas dahaga, mencuci, dan/atau mandi. Dalam kasus ini manfaat air tidak maksimal. Sebaliknya tatkala terhadap air itu diterapkan teknologi tinggi ('ilm al-thariqah) oleh seorang pakar teknologi yang berkompeten di bidangnya, maka dari pengolahan air itu dapat diciptakan energi raksasa yang sanggup membangkitkan tenaga listrik, menjalankan kereta api, dan bahkan juga dapat berfungsi sebagai peledak yang berkekuatan tinggi.
Kalau air saja dapat diolah menjadi sumber energi raksasa dengan melibatkan teknologi, lalu bagaimana dengan kalimah Allah yang oleh al-Quran disebut sebagai 'ulya 'tertinggi' ( kalimatullahi hiyal 'ulya)? Bagaimana dengan dzikrullah yang oleh al-Quran digambar kata dengan kata akbar 'maha hebat' (wa ladzikrullahi akbar)?!
Disinilah letak urgensi thariqah sebagai "teknik berdzikir efektif", yaitu agar dzikir yang dilakukan oleh seorang hamba dapat berfungsi maksimal dan mencapai efektivitasnya untuk menghalau sang iblis, terutama, yang tanpa disadarinya telah lama berada di dalam dirinya/hatinya, menjadi biang kerok setiap keangkaramurkaan.
Sebagai "teknik berdzikir efektif" thariqah melibatkan beberapa unsur yang harus difungsikan secara simultan, karena yang satu dengan yang lain memiliki keterkaitan yang sangat erat. Salah satu unsur dari unsur-unsur tersebut adalah dzikir itu sendiri. Yang menjadi pondasi dan ruh semua aktivitas ibadah. Terkait dengan masalah ini, thariqah bahkan dapat dipahami juga sebagai istilah untuk paket-paket dzikir dan tugas-tugas spiritual berdasarkan model kurikulum pembelajaran yang dijadikan sebagai media untuk mencapai kesucian jiwa dan kedamaian hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar