يَا رَبَّنَا بِجَاهِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ ï وَجَاهِ حَامِلِ لِوَاءِ الْوَاصِلِيْنَ

Ya Allah, Ya Tuhan kami dengan pangkat kebesaran pemilik mahkota ahli ma'rifah dan pangkat pemegang bendera kelompok manusia yang telah wushul (sampai ke puncak keyakinan)


قُدْوَتِنَا وَشَيْخِنَا التِّجَانِي ï قَائِدِنَا لِمَنْهَجِ الْعَدْنَانِي

Panutan dan guru kami yakni Syekh Ahmad Tijani, seorang pemandu yang menyampaikan kami kepada tuntunan Nabi Muhammad

يَا رَبِّ ثَبِّتْنَا عَلَى اْلإِيْمَانِ ï وَاحْفَظْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْكُفْرَانِ

Ya Tuhanku tetapkan kami atas iman dan jaga hati kami dari segala bentuk kekufuran

وَاحْمِ جَمِيْعَنَا مِنَ الشَّيْطَانِ ï وَحِزْبِهِ مِنْ إِنْسٍ أَوْ مِنْ جَانِّ

Lindungi kami dari kejahatan syetan dan kelompoknya dari bangsa manusia dan jin


نَسْأَلُكَ التَّوْبَةَ وَالتَّوْفِيْقَ ï وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ وَالتَّحْقِيْقَ

Kami mohon kepada-Mu taubat dan mendapat kekuatan untuk melakukan kebaikan, ilmu dan pengamalan serta ketepatan dalam segala hal


وَالصَّبْرَ وَالنَّصْرَ عَلَى اْلأَعْدَاءِ ï وَالْجَمْعَ فِي الذِّكْرِ عَلَى الْوِلاَءِ

Berikan kami kesabaran dan kemenangan atas musuh-musuh. Dan jadikan kami selalu berkumpul bersama dalam melakukan dzikir


وَالْفَوْزَ بِالنَّعِيْمِ فِي الْجِنَانِ ï مَعَ النَّبِيّ وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Mendapat kesuksesan dengan mendapat ni'mat di surga bersama Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani


مَا لَنَا فِي الْكَوْنِ سِوَى الرَّحْمَانِ ï وَالْمُصْطَفَى وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Kami tidak memiliki harapan apa-apa di alam ini melainkan kepada-Mu Ya Allah (Yang Maha Pengasih), manusia terpilih Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani

هَذِي هَدِيَّةٌ بِفَضْلِ اللهِ ï مِنَّا إِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Dzikir ini merupakan hadiah untukmu Ya Rasulullah dari kami yang semata-mata merupakan pemberian Allah


هَدِيَّةً لِلْمُصْطَفَى الْعَدْنَانِي ï نِيَابَةً عَنْ شَيْخِنَا التِّجَانِي

Hadiah penghormatan buat manusia terpilih Nabi Muhammad keturunan Adnan juga sebagai mandate dari guru kami syekh Ahmad Tijani

آميْنَ آميْنَ اسْتَجِبْ دُعَانَا ï وَلاَ تُخَيِّبْ سَيِّدِي رَجَانَا

Terimalah, terimalah dan kabulkan Ya Allah, doa-doa kami. Jangan Kau kecewakan segala harapan kami

Doa ini merupakan Qashidah tawassul kepada Syekh Ahmad Tijani Radhiyallahu Anhu. qashidah ini biasanya dibaca setelah selesai membaca wirid lazimah dan wazhifah.

Dikutip dari kitab Ghayatul Muna Wal Murad Fima Littijaniy Minal Aurad halaman 27.

Jumat, 21 Desember 2012

Hukum Membaca Yasin Untuk Orang Mati Adalah Sunnah

sebuah isyarat dari Imam AN-NAWAWI di
dalam kitab AL-ADZKAR
Sebelumnya, terlebih dahulu perhatikan komentar dan isyarat Syaikhul Madzhab Syafi’iyah yakni
Imam al-Hafidz an-Nawawi rahimahullah, di dalam al-Adzkar beliau telah menyebutkan haditsnya
sebagai berikut :
ﻭﺭﻭﻳﻨﺎ ﻓﻲ ﺳﻨﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ، ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ، ﻋﻦ ﻣﻌﻘﻞ ﺑﻦ ﻳﺴﺎﺭ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ، ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ : " ﺍﻗْﺮَﺅُﻭﺍ ﻳﺲ ﻋﻠﻰ ﻣَﻮْﺗﺎﻛُﻢْ " ﻗﻠﺖ: ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺿﻌﻴﻒ، ﻓﻴﻪ ﻣﺠﻬﻮﻻﻥ، ﻟﻜﻦ ﻟﻢ ﻳُﻀَﻌِّﻔﻪ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ
Kami meriwayatkan didalam kitab Sunan Abi Daud dan Ibnu Majah, dari Ma’qil bin Yasar ash-
Shahabi radliyallahu ‘anh, bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda : “bacalah oleh
kalian Yasin untuk orang mati diantara kalian”. Aku (an-Nawawi) katakan : isnadnya dlaif,
didalamnya terdapat dua orang yang majhul, akan tetapi Abu Daud tidak mendlaifkannya.
Menurut Imam an-Nawawi sanadnya dlaif, akan tetapi Abu Daud tidak mendlaifkannya. Ini
menunjukkan bahwa hadits tersebut memang bisa di terima ;
Pertama, karena Imam an-Nawawi sendiri telah mencantumkannya pada kitab beliau yakni al-Adzkar.
Ini memang bukan kaidah dalam penerimaaan hadits, namun setidaknya kita tahu ulama Syafi’iyah
menerimanya sebagai landasan beramal. Oleh karena itu, seandainya ada yang menilai keseluruhan
hadits adalah dlaif (walaupun itu tidak ada), maka Imam an-Nawawi telah menyatakan diawal-awal
kitab al-Adzkar.
ﻓﺼﻞ : ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀُ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺤﺪّﺛﻴﻦ ﻭﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ: ﻳﺠﻮﺯ ﻭﻳُﺴﺘﺤﺐّ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﻀﺎﺋﻞ ﻭﺍﻟﺘﺮﻏﻴﺐ ﻭﺍﻟﺘﺮﻫﻴﺐ
ﺑﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻀﻌﻴﻒ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻮﺿﻮﻋﺎً
Ulama dari kalangan Muhadditsin, Fuqaha’ dan yang lainnya berkata : “boleh dan dianjurkan beramal
dalam fadlail, targhib dan tarhiib dengan hadits dlaif yang bukan maudlu’ (palsu)”. [1]
Kedua, karena Imam an-Nawawi juga telah mengisyaratkannya bahwa Abu Daud tidak
mendlaifkannya, yang berarti bahwa Abu Daud mendiamkannya (tidak mengomentarinya),[2] dengan
kata lain hadits tersebut kualitasnya adalah hasan, sesuai dengan kaidah Abu Daud yakni apabila
beliau mendiamkannya maka hadits tersebut shalih (bagus).[3]
Dari hal diatas saja sudah jelas bahwa hadits tersebut tentang membaca Yasiin untuk orang mati
adalah hasan. Oleh karena itu, selayaknya diamalkan dan apa yang sudah masyhur di lingkungan
masyarakat Islam tetap di lestarikan, tanpa perlu menghiraukan paham-paham baru yang
meresahkan umat Islam.
Hadits diatas juga diriwayatkan oleh :
Imam an-Nasaa’i didalam As-Sunan al-Kubraa,[4]
Imam Ibnu Hibban didalam shahihnya,[5]
Imam ath-Thabrani didalam al-Mu’jam al-Kabiir,[6]
Imam al-Baihaqi didalam As-Sunan ash-Shaghir,[7]
Imam al-Baghawi didalam Syarh As-Sunnah,[8]
Imam Hakim didalam al-Mustadrak[9] ,
Imam Ahmad didalam Musnadznya[10]
dan juga Imam Ibnu Majah didalam As-Sunan.[11]
SYAWAHID ATAS PEMBACAAN YASIIN
Selain itu, terdapat juga terdapat syawahid atas hadits pembacaan surah Yasiin untuk orang mati,
salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya :
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺍﻟْﻤُﻐِﻴﺮَﺓِ، ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺻَﻔْﻮَﺍﻥُ، ﺣَﺪَّﺛَﻨِﻲ ﺍﻟْﻤَﺸْﻴَﺨَﺔُ، ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﺣَﻀَﺮُﻭﺍ ﻏُﻀَﻴْﻒَ ﺑْﻦَ ﺍﻟْﺤَﺎﺭِﺙِ ﺍﻟﺜُّﻤَﺎﻟِﻲَّ، ﺣِﻴﻦَ ﺍﺷْﺘَﺪَّ ﺳَﻮْﻗُﻪُ،
ﻓَﻘَﺎﻝَ : " ﻫَﻞْ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃَﺣَﺪٌ ﻳَﻘْﺮَﺃُ ﻳﺲ؟ " ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻘَﺮَﺃَﻫَﺎ ﺻَﺎﻟِﺢُ ﺑْﻦُ ﺷُﺮَﻳْﺢٍ ﺍﻟﺴَّﻜُﻮﻧِﻲُّ، ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺑَﻠَﻎَ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻴﻦَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻗُﺒِﺾَ، ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻛَﺎﻥَ
ﺍﻟْﻤَﺸْﻴَﺨَﺔُ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ : ﺇِﺫَﺍ ﻗُﺮِﺋَﺖْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﺧُﻔِّﻒَ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﻬَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺻَﻔْﻮَﺍﻥُ : " ﻭَﻗَﺮَﺃَﻫَﺎ ﻋِﻴﺴَﻰ ﺑْﻦُ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﻤِﺮِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﺑْﻦِ ﻣَﻌْﺒَﺪٍ "
Menceritakan kepada kami Abul Mughirah, menceritakan kepada kami Shafwan, menceritakan
kepadaku para syaikh (masyayikh) bahwa mereka menghadiri Ghudlaif bin Harits ats-Tsumali ketika
beliau menghadapi sakitnya maut, maka ia berkata : “apakah diantara kalian mau membacakan
Yasiin ?” Ia (Shafwan) berkata, maka Shalih bin Syuraij as-Sakuniy membacanya (Yasiin), tatkala
sampai pada ayat ke 40 lalu Ghudlaif wafat, Ia (Shafwan) juga berkata : “Para guru (masyayikh)
mereka berkata : “apabila dibacakan samping mayyit niscaya Allah akan meringankan karena bacaan
tersebut”, Shafwan berkata : “’Isa bin al-Mu’tamir telah membaca Yasiin di samping Ibnu Ma’bad”.
[12]
Ibnu Sa’ad [w. 230 H] telah mentakhrijnya hadits ini didalam kitab Thabaqat al-Kubraa[13] pada
keterangan tentang Ghudlaif bin al-Harits radliyallah ‘anh dari jalur riwayat Shafwan. Sedangkan
isnad hadits ini, para-para perawinya adalah tsiqah (terpercaya). Ibnu Hajar al-Asqalani menghukumi
hadits ini sanadnya hasan didalam kitab al-Ishabah.[14] Shafwan adalah Ibnu Amrin as-Saksaki,
sementara para guru beliau adalah para tabi’in. Ghudlaif bin al-Harits sendiri adalah orang sahabat
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Anjuran beliau agar dibacakan Yasiin ketika menjelang maut
menunjukkan bahwa itu memang tauqif, maka hukum membaca Yasiin ketika menjelang maut adalah
marfu’ sebagaimana ditetapkan dalam kaidah ilmu hadits.
Adapun perkataan para guru (masyayikh) yakni “apabila dibacakan disamping mayyit niscaya Allah
akan meringankan karena bacaan tersebut”, maka para guru tersebut adalah sekumpulan tabi’in,
sedangkan perkataan mereka hukumnya adalah mursal menurut sebagian ahli hadits. Hadits mursal
apabila di dukung dengan hadits atau qiyas dalil maka itu merupakan hujjah menurut kaidah ushul
fiqh Imam Syafi’i rahimahullah.
Sedangkan atsar yang diriwayatkan dari Ghudlaif bin al-Harits radliyallah ‘anh memiliki juga jalur
lain sebagaimana telah di takhrij oleh Imam Ibnu Asakir [w. 571 H] didalam Tarikh Damsyiq [15].
Dari hadits Sa’id bin Manshur,
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻓﺮﺝ ﺑﻦ ﻓﻀﺎﻟﺔ ﻋﻦ ﺃﺳﺪ ﺑﻦ ﻭﺩﺍﻋﺔ ﻗﺎﻝ ﻟﻤﺎ ﺣﻀﺮ ﻏﻀﻴﻒ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﺣﻀﺮ
ﺇﺧﻮﺗﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻫﻞ ﻓﻴﻜﻢ ﻣﻦ ﻳﻘﺮﺃ ﺳﻮﺭﺓ ﻳﺲ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﻧﻌﻢ ﻓﻘﺎﻝ ﺇﻗﺮﺃ ﻭﺭﺗﻞ ﻭﺃﻧﺼﺘﻮﺍ ﻓﻘﺮﺃ ﻭﺭﺗﻞ ﻭﺃﺳﻤﻊ
ﺍﻟﻘﻮﻡ ﻓﻠﻤﺎ ﺑﻠﻎ " ﻓﺴﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﺑﻴﺪﻩ ﻣﻠﻜﻮﺕ ﻛﻞ ﺷﺊ ﻭﺇﻟﻴﻪ ﺗﺮﺟﻌﻮﻥ " ﻓﺨﺮﺟﺖ ﻧﻔﺴﻪ ﻗﺎﻝ ﺃﺳﺪ ﺑﻦ ﻭﺩﺍﻋﺔ ﻓﻤﻦ
ﺣﻀﺮﻩ ﻣﻨﻜﻢ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﻓﺸﺪﺩ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﻓﻠﻴﻘﺮﺃ ﻋﻠﻴﻪ ﻳﺲ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺨﻔﻒ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻤﻮﺕ "
Menceritakan kepada kami Sa’id bin Manshur, menceritakan kepada kami Faraj bin Fadlalah dari
Asar bin Wada’ah, ia berkata : tatkala menghadiri Ghudlaif bin al-Harits yang sekarang maut juga
hadlir saudaranya, maka ia berkata : Apakah diantara kalian ada yang akan membaca Yasiin ?”, maka
seorang laki-laki dari sebuah kaum berkata “ Iyaa”, beliau berkata : “Bacalah, tartilkan dan
dengarkanlah oleh kalian”, maka ia membaca, bertartil serta kaum (yang hadlir) mendengarkannya,
ketika sampai pada ayat “Subhanalladzii bi-Yadihii Malakutu Kulli Syay-in wa Ilayhi Turja’uun”,
maka ia menghembuskan nafasnya (terakhir), Asad bin Wada’ah berkata : maka barangsiapa
diantara kalian yang menghadliri maut dan kesulitan dalam mautnya, maka bacakanlah Yasiin
atasnya niscaya Allah meringankan (memudahkan) maut atasnya”.
Sa’id bin Manshur adalah seorang al-Hafidz yang tsiqah (terpercaya), sementara guru beliau yakni
Faraj bin Fadlalah bin an-Nu’man at-Tanukhi asy-Syami ad-Dimasyqi adalah seorang yang katakan
dlaif.[16] Sebagian ulama mengatakan ia tsiqah. Asad bin Wada’ah adalah orang Syam. Ibnu ‘Asakir
telah memuji beliau didalam Tarikh al-Kabiir. Ibnu Hibban telah menyebutkan terkait Asad bin
Wada’ah didalam Tsiqat at-Tabi’iin. Maka kedlaifan isnad Ibnu Asakir, telah di tutupi isnad Imam
Ahmad bin Ibnu Sa’ad. Yang mana para perawinya adalah tsiqah, sedangkan Ibnu Hajar al-Asqalani
menghukumi sanadnya hasan sebagaimana didalam kitab al-Ishabah.
Karena Asad bin Wada’ah merupakan seorang tabi’in, maka perkataan beliau menempati derajat
mursal sebagaimana pembandingnya yang telah disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu, hadits pembacaaan Yasiin untuk orang mati baik yang muhtadlar (menjelang mati)
atau yang sudah mati adalah berderajat hasan, bukan dlaif seperti sangkaan beberapa kalangan.
APAKAH HANYA UNTUK AL-MUHTADLAR ?
Persoalan ternyata tidak berhenti pada isu mengenai kualitas hadits, namun juga mengenai kepada
siapa surah Yasiin di bacakan ; apakah kepada yang menjelang mati atau kepada yang sudah mati.
Hal ini juga sering dipermasalahkan namuan sebenarnya sudah terjawab baik oleh lafadz hadits
dengan sendiri maupun oleh para ‘Ulama.
Imam al-Hafidz Murtadlaa Az-Zabidi didalam Ithaf As-Sadah al-Muttaqin menjelaskan :
ﻭﻣﻤﺎ ﻳﺸﻬﺪ ﻟﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﻏﻴﺮﻩ ﺣﺪﻳﺚ ﻣﻌﻘﻞ ﺑﻦ ﻳﺴﺎﺭ " ﺍﻗﺮﺅﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﻣﻮﺗﺎﻛﻢ " ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺣﺪﻳﺚ " ﻳﺲ
ﺛﻠﺚ ﺍﻟﻘﺮﺀﺍﻥ ﻻ ﻳﻘﺮﺃﻫﺎ ﺭﺟﻞ ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭ ﺍﻵﺧﺮﺓ ﺇﻻ ﻏﻔﺮ ﻟﻪ ﻓﺎﻗﺮﺅﻭﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﻮﺗﺎﻛﻢ " ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺣﻤﺪ ﻭﺃﻭﻝ ﺟﻤﺎﻋﺔ
ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻟﻠﻤﻴﺖ ﺑﺎﻟﻤﺤﺘﻀﺮ ﻭﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞ ﺧﻼﻑ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ، ﺛﻢ ﻳﻘﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﺍﻧﺘﻔﻊ ﺍﻟﻤﺤﺘﻀﺮ ﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﻳﺲ
ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻦ ﺳﻌﻴﻪ ﻓﺎﻟﻤﻴﺖ ﻛﺬﻟﻚ ﻭﺍﻟﻤﻴﺖ ﻛﺎﻟﺤﻲ ﺍﻟﺤﺎﺿﺮ ﻳﺴﻤﻊ ﻛﺎﻟﺤﻲ ﺍﻟﺤﺎﺿﺮ ﻛﻤﺎ ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻧﺘﻬﻰ ﻣﺎ ﻧﻘﻠﺘﻪ
ﻣﻦ ﻛﻼﻡ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻘﻄﺎﻥ
Dan termasuk dari syawahid bermanfaatnya bagi mayyit dengan membaca al-Qur’an oleh orang lain
adalah hadits Ma’qil bin Yassar : “bacalah oleh kalian atas orang mati diantara kalian”, diriwayatkan
oleh Abu Daud, dan hadits “bacalah oleh kalian Yasiin atas orang mati diantara kalian”, diriwayatkan
oleh an-Nasaa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban "Yasiin merupakan sepertiga al-Qur’an yang tiada
dibacanya oleh seseorang yang menginginkan Allah dan negeri akhirat melainkan Allah akan memberi
ampunan baginya, maka bacalah oleh kalian Yasiin atas orang mati diantara kalian”) dan kelompok
tabi’in menta’wil bahwa itu pembacaan untuk orang mati yang al-muhtadlar (menjelang mati),
padahal ta’wil tersebut menyelisihi dhahirnya, kemudian dikatakan atasnya, apabila orang yang
hampir mati mendapatkan manfaat dengan pembacaan Yasiin padahal bukan dari usahanya maka
mayyit (orang mati) pun demikian juga, dan mayyit seperti orang yang hidup yang hadlir yang
mendengar seperti orang yang hidup yang hadlir, sebagaimana telah tsabit didalam hadits. Intahaa
apa yang kami nukil dari kalam Ibnu al-Qaththan”. [18]
Demikian juga ditegaskan oleh al-Imam asy-Syaukani didalam Nailul Awthar :
ﻭﺍﻟﻠﻔﻆ ﻧﺺ ﻓﻲ ﺍﻷﻣﻮﺍﺕ ﻭﺗﻨﺎﻭﻟﻪ ﻟﻠﺤﻲ ﺍﻟﻤﺤﺘﻀﺮ ﻣﺠﺎﺯ ﻓﻼ ﻳﺼﺎﺭ ﺇﻟﻴﻪ ﺇﻻ ﻟﻘﺮﻳﻨﺔ
“Lafadz hadits tersebut merupakan nas pada orang-orang (yang sudah) mati, sedangkan
mengartikannya untuk orang hidup menjelang mati (al-muhtadlar) merupakan majaz, maka tidak
boleh bawa pada pengertian tersebut kecuali ada qarinah”.[19]
Jadi, pengalihan kepada makna untuk orang yang hidup menjelang mati merupakan majaz, bukan
makna hakiki dari lafadz tersebut. Oleh karena berlaku kaidah Imam asy-Syafi’i rahimahullah yang
mafhumnya yakni didahulukan makna dhahir baik al-Qur’an maupun hadits selama tidak adasebab
(qarinah) yang mewajibkan menggunakan makna lainnya. Sedangkan dalam hadits tersebut tidak ada
qarinah mani’ah (sebab yang menghalangi) maka maksud “Mautakum” adalah memang kepada
mayyit yang hakiki (orang yang sudah mati). Ringkasnya hadits perintah pembacaan surah Yasiin
untuk orang mati mencakup yang al-muhtadlar juga yang benar-benar sudah mati.
SALAF MENGAMALKAN PEMBACAAN AL-QUR’AN UNTUK ORANG MATI
Dari hal diatas sebenarnya sudah jelas bahwa salafush shaleh mengamalkannya, namun ada baiknya
dipaparkan juga terkait hadits wasiat Ibnu Umar, yang mana Imam Murtadlaa Az-Zabidi telah
menjelaskan dengan jelas tentang naiknya derajat dari mauquf hadits kepada marfu’ yang hasan,
pada halaman yang sama beliau berkata :
ﻭﺃﻣﺎ ﻗﻮﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻓﻘﺪ ﺭﻭﻯ ﻣﺮﻓﻮﻋﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﻓﻰ ﺍﻟﺸﻌﺐ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ : ﺳﻤﻌﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﺴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﺫﺍ ﻣﺎﺕ ﺍﺣﺪﻛﻢ ﻓﻼ ﺗﺤﺒﺴﻮﻩ ﻭﺃﺳﺮﻋﻮﺍ ﺑﻪ ﺍﻟﻰ ﻗﺒﺮﻩ ﻭﻟﻴﻘﺮﺃ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺳﻪ ﺑﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﻭﻋﻨﺪ ﺭﺟﻠﻴﻪ
ﺑﺨﺎﺗﻤﺔ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ -(( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻄﺒﺮﻧﻰ ﻛﺬﻟﻚ ﺍﻷ ﺍﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺳﻪ ﺑﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎ ﺏ .
Adapun ucapan Ibnu Umar, maka sungguh telah diriwayatkan secara marfu’ yakni al-Baihaqi telah
meriwayatkannya dalam asy-Syu’ab dari Ibnu Umar, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “apabila salah seorang diantara kalian meninggal dunia,
janganlah kalian menunda-nunda, segerakanlah oleh kalian mengurus pekuburannya, dan hendaklah
bacakan disamping kepalanya dengan pembukaan surah al-Baqarah dan disamping kakinya dengan
mengkhatamkan surah al-Baqarah”, diriwayatkan oleh ath-Thabrani seperti itu, hanya beliau berkata
“disamping kepadanya dengan “Fatihatul Kitab” saja. “[20]
Marfu’nya hadits wasiat Ibnu Umar ini adalah perkataan Imam Murtadlaa Az-Zabidi, beliau juga
menyebutkan pada salafush shaleh memang telah melakukan pembacaan al-Qur’an kepada mayyit,
sebagaimana yang beliau kisahkan :
ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻤﺮﻭﺫﻯ : ﺳﻤﻌﺖ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻘﻮﻝ : ﺍﺫﺍ ﺩﺧﻠﺘﻢ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮ ﻓﺎﻗﺮﺀﻭﺍ ﺑﻔﺎﺗﺤﺔ
ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﻤﻌﻮّﺫﺗﻴﻦ ﻭﻗﻞ ﻫﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﺣﺪ . ﻭﺍﺟﻌﻠﻮﺍ ﺛﻮﺍﺏ ﺫﻟﻚ ﻷﻫﻞ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮ ﻓﺎﻧﻪ ﻳﺼﻞ ﺍﻟﻴﻬﻢ, ﻛﺬﺍ ﺍﻭﺭﺩﻩ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺤﻖ
ﺍﻷﺯﺩﻯ ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻌﺎﻗﺒﺔ ﻋﻦ ﺍﺑﻰ ﺑﻜﺮ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻤﺮﻭﺫﻯ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻮﺍﺏ
Ahmad bin Muhammad al-Mardawi berkata : “Aku mendengar Ahmad bin Hanbal rahimahullah
mengataakn : “apabila kalian masuk area pekuburan maka bacakanlah oleh kalian surah al-Fatihah,
Mu’awwidatain dan Qul Huwallahu Ahad", kemudian jadikanlah oleh kalian pahalanya untuk penghuni
pekuburan sebab itu sampai kepada mereka’, yang demikian telah mewaridkan oleh Abdul Haq al-
Azdi didalam kitab beliau al-‘Aqibah dari Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Mardawi atas jalur
yang shawab (benar)”.[21]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah jelas-jelas mempraktekkannya,
ﻭﻗﺪ ﺗﻮﺍﺗﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺯﺍﺭ ﺍﻟﻠﻴﺚ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ ﻭﺃﺛﻨﻲ ﺧﻴﺮﺍ ﻭﻗﺮﺃ ﻋﻨﺪﻩ ﺧﺘﻤﺔ ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺭﺟﻮ ﺃﻥ ﺗﺪﻭﻡ ﻓﻜﺎﻥ ﺍﻷﻣﺮ ﻛﺬﻝ
Dan telah tawatur bahwa Imam asy-Syafi’i menziarahi qubur al-Laits bin Sa’ad rahimahullah, beliau
memujinya dan membacakan al-Qur’an disamping kuburnya hingga mengkhatamkannya, dan beliau
berkata ; aku berharap agar perkara ini terus di lakukan”.[22]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, Ibnu ‘Umar radliyallah
‘anhumaa dan lain sebagainya merupakan salafush shaleh yang asli. Kita mengikuti salafush shaleh
dalam bingkai madzhab Syafi’i, demikian juga dengan para imam dan ulama lainnya. Tidak seperti
mereka yang menyesatkan amalan salafush shaleh, karena tidak sesuai pemahaman mereka.
[1] Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi
[2] Sunan Abi Daud no. 3121
[3] Lihat : Muqaddimah Ibnu Shalah hal. 37 ; at-Taqrib wa at-Taisir (1/30) lil-Imam an-Nawawi ;
[4] Sunan al-Kubra lil-Imam an-Nasaa’i [10846], dan juga didalam Amal al-Yaum wal Laylah [1074].
[5] Shahih Ibnu Hibban no. 3002.
[6] al-Mu’jam al-Kabiir lil-Imam ath-Thabrani [20/219].
[7] As-Sunan ash-Shaghir lil-Imam al-Baihaqi [1014].
[8] Syarh As-Sunnah lil-Imam al-Baghawi [1464].
[9] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain lil-Imam al-Hakim [2074], beliau tidak mengomentarinya.
[10] Musnadz Imam Ahmad bin Hanbal, beliau juga tidak mengomentari, dan dikatakan bahwa hadits-
hadits yang tidak di komentari oleh Imam Ahmad didalam Musnadnya adalah shalih. [Lihat : Nailul
Awthar lil-Imam asy-Syaukani (1/26).]
[11] Sunan Ibnu Majah no. 1448.
[12] Musnad Imam Ahmad bin Hanbal [16969].
[13] Lihat : Thabaqat al-Kubraa li-Ibnu Sa’ad [7/380].
[14] Lihat : al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah [5/249].
[15] Lihat : Tarikh Damsyiq li-Ibni Asakir [48/82]
[16] Lihat : ad-Dirayah fiy Takhrij Ahaditsil Hidayah li-Ibni Hajar al-Asqalani [2/252]
[18] Lihat : Ittihaf Saadatil Muttaqin lil-Imam al-Hafidz al-Murtadla [10/71].
[19] Lihat : Nailul Awthar lil-Imam asy-Syaukani [4/29].
[20] Lihat : Ittihaf Saadatil Muttaqin lil-Imam Murtadla Az-Zabidi [10/71].
[21] Lihat : Ittihaf Saadatil Muttaqin lil-Imam Murtadla Az-Zabidi[10/71].
[22] Lihat : ad-Dakhirah ats-Tsaminah hal.[ 64]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar