Pelajaran Terakhir di Liang Lahat
 
 
 
 
PENDAHULUAN
            Salah pemahaman, tidak mengerti, bahkan tidak tahu persoalan sebenarnya merupakan penyebab timbulnya persoalan atau permasalahan yang baru. Baik dalam memahami persoalan kehidupan dunia, lebih-lebih persoalan agama.
            Kalau kita mengetahui  ada permasalahan yang di luar jangakauan pemahaman, kita hanya berdiam diri, tidak mau bertanya kepada orang yang mengerti betul tentang permasalahan itu, sampai kapan pun permasalahan itu tidak akan terjawab dan tidak akan terpecahkan. Bahkan, kita sudah bertindak tidak adil, memponis apa yang belum kita mengerti sebagai suatu kesesatan, padahal kita belum tabayyun, belum mendapat penjelasan  tentang persoalan yang sebenarnya.
            Setelah mendapat penjelasan, dengan mengemukakan argumen-argumen yang sesuai dengan logika ditambah dengan dalil-dalil yang menguatkannya, ternyata kita masih belum bisa menerimanya, berarti kita sudah terjebak pada kesombongan, yakni tidak mau menerima  kebenaran.
            Diantara persoalan yang sering menimbulkan berdebatan panjang adalah kajian di bidang ilmu tasauf atau tarekat. Kalau memang kita belum tahu atau belum mengerti tentang ilmu tasauf atau tarekat  hendaknya kita belajar dan bertanya kepada ahlinya. Karena malu bertanya sesat di jalan.
            Sebagai contoh, kalau permasalahannya sudah di luar jangkauan akal dan pengetahuan kita, seperti perjumpaan seseorang dengan Rasulullah secara jaga, atau persoalan alam gaib atau ukhrawi. Hal ini memang sudah masuk pada ranah Nubuah (kenabian) dan kewalian yang sulit dicerna dengan akal.
            Hal semacam itu tentu bisa kita terima kalau dicerna dengan iman, bahwa apa-apa yang disampaikan oleh Rasulullah tentang khabar yang bersifat ukhrawi seperti adanya Malaikat, hari kiamat, adanya surga dan neraka, dan yang lainnya.
            Pernahkah kita melihat surga, atau neraka, pernahkah kita melihat Malaikat? dari mana kita mengetahui adanya semua itu? tentu tidak lain dari pengkhabaran yang disampaikan Rasulullah. Mengapa kita percaya? Karena kita beriman dan percaya dengan beliau yang tidak pernah berbohong. Kalau dibaratkan, kita sebagai orang yang buta tentu saja percaya pada orang yang melihat. Lain halnya dengan orang yang tidak percaya, tidak beriman kepada Rasulullah.
            Ilmu tasauf atau ilmu tarekat erat kaitannya dengan masalah nubuah dan kewalian. Oleh karena itu apa-apa yang disampaikan  Rasulullah dan para Wali Allah, para masyaikh yang sudah berpengalaman dalam bidang tasauf  atau ilmu tarekat, hendaknya dengan penuh keyakinan kita terima dan kita percayai.
            Apabila kita mempercayai dan meyakininya tentu saja kemanfaatannya terpulang pada diri kita juga. Karenanya bagi kita yang menginginkan kesuksesan dalam menempuh jalan para wali Allah melalui jalur Tarekat, yakni wusul ilallah, ma`rifat ilallah perlu menggali dan mengenal lebih mendalam tarekat yang kita pegang, melalui untaian mutiara hikmah yang disampaikan oleh para Masyaikh  yang bisa kita gali  dari kitab-kitab mereka. Dan jangan lupa hendaknya kita senantiasa bertanya pada guru-guru kita tentang persoalan yang belum dimengerti.
            Sebagai ikhwan Tijani (pemegang Tarekat Tijani), alfaqir ilallah ingin berbagi kepada sesama ikhwan dan akhawat tentang sedikit yang saya ketahui, sambil membelajarkan diri terus menerus, berlatih dan berlatih.
            Saya bukan  guru dan bukan pula muqaddam, saya hanyalah seorang murid Syekh Tijani. Saya sangat bersyukur menjadi Murid beliau, semoga beliau senangtiasa meridhai  dan mengakui dan menerima saya sebagai murid beliau dunia-akhirat.  Oleh karena itu kepada para guru dan para muqaddam, apabila  dalam tulisan ini nanti menurut para Masyaikh dan para Muqaddam Tarekat Tijani ada  kekeliruan,  berilah saya bimbingan dan  masukkan.
            Wasalam,
 
TAREKAT
Pengertian Tarekat
Kata Tarekat diambil dari Bahasa Arab (   طريقة  ) yang berarti metode, cara, sistem, (Atabik Ali, 2003:795)
Menurut KBBI halaman 1011, Tarekat berarti jalan, jalan menuju kebenaran, cara atau aturan hidup.
Senada dengan itu KH. Haderanie dalam buku beliau Ilmu Ketuhanan (Ma`rifah, Musyahadah, Mukasyafah,Mahabbah =4 M) menyebutkan bahwa Tarekat (Thoriqat) persamaan katanya menurut bahasa ; Mazhab yang artinya “jalan”. Mengetahui adanya jalan, perlu pula mengetahui “cara” melintasi jalan agar tidak kesasar.
Menurut M. Yunus A. Hamid (2008, 186) Tarekat adalah jalan / cara/ metode implementasi syariat. Yaitu cara atau metode yang ditempuh seseorang  dalam menjalankan syariat Islam, sebagai  upaya pendekatan diri kepada Allah.
Secara umum tarekat bisa diartikan  segala sesuatu yang dilakukan sebagai jalan atau sarana  untuk mendekatkan diri kepada Allah baik yang wajib maupun sunat. Jadi orang yang melaksanakan syariat disebut orang yang bertarekat.
Selanjutnya beliau membagi tarekat menjadi dua, yaitu tarekat `am (umum) dan tarekat khas(khusus). Tarekat  umum sebagaimana dikehendaki pada pengertian yang beliau sebutkan sebelumnya. Sedangkan Tarekat khusus yaitu melaksanakan hukum syariat Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang guru.
Sementara dalam buku Mengenal Thriqah oleh  Tem penulis Panitia Muktamar ke 10 Jam`iyah Ahli Al Thariqah Al Mu`tabarah An Nahdliyyah 1426 H/2005 M, halaman 2 menyebutkan dengan dua istilah,  yaitu Thariqah Syari`ah dan Thariqah Wushul.
Tarekat dalam pengertian secara khusus atau tarekat wushul yaitu tarekat yang biasa disebut atau dinisbahkan kepada pembina atau pendiri tarekat, seperti Tarekat Tijaniyah yang dinisbahkan pada Syekh Ahmad bin Muhammad At Tijani. Tarekat Qadiriyah oleh Syekh Abdul Qadir Al Jailani, Tarekat Samaniyah oleh Syekh Samman Al Madani, Tarekat Syazaliyah oleh Syekh Abu Hasan As Syazali dan lain-lain.
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh (1996: 63) menegaskan  bahwa menurut kayakinan Sufi, orang tidak akan sampai kepada hakikat tujuan ibadat, haqiqah, sebelum menempuh atau melaksanakan jalan ke arah itu. Jalan itu dinamakan Thariqah, dan orang yang melaksanakan itu dinamakan ahli thariqah atau salik.
Dalam hal ini Tarekat secara khusus dapat kita simpulkan, yaitu sarana atau jalan yang ditempuh seseorang dengan melakukan amaliah berupa zikir-zikir dengan metode atau cara – cara tertentu melalui bimbingan seorang guru (Mursyid) setelah mendapat izin atau talqin sebagai pemegang tarekat yang memiliki sanad  muttasil sampai kepada Rasulullah setelah memenuhi persyaratan tertentu, sebagai sarana pembersihan batin untuk mencapai ke makrifatan dan meraih keridaan Allah/ wushul  ilallah.
Sekadar diketahui dalam penulisan kata Tarekat, ini berdasarkan penulisan ejaan Bahasa Indonesia, sementara ada kata Thariqat /Thariqah yaitu merujuk pada penulisan asli Bahasa Arab, ini tidak perlu diperdebatkan.
Dari pengertian tersebut, dapat kita ambil beberapa komponen yang terkandung dalam tarekat, sekaligus sebagai cirri khas tarekat itu sendiri, yaitu:
 
Adanya murid (pemegang atau pengamal tarekat) yang dalam istilah tasauf disebut Salik. Yaitu orang yang berjalan mendekatkan diri kepada Allah.
Guru pembimbing (Syekh Murabbi/Mursyid/Muqaddam) yang memberi izin atau talqin.
Memiliki syarat-syarat tertentu
Ada amaliah  berupa zikir-zikir dan doa
Adanya pengijazahan atau talqin
Adanya metode atau cara dan adab-adab tertentu baik bagi murid ataupun guru serta adab dalam berwirid dan adab kepada sesame pemaegang tarekat, adab terhadap saudara muslim yang lain.
Berfungsi sebagai sarana pembersih batin atau pengobatan hati
Penamaan Tarekat dinisbahkan pada pendiri Tarekat (shahibuttarekat)
Bertujuan untuk wushul ilallah, ma`rifat kepada Allah.
Memiliki  sanad (rabithah) yang bersambung sampai kepada Rasulullah.
 
Dengan memahami pengertian dan komponen tarekat tadi,  ada istilah zikir, doa atau hizib yang tidak dimaksudkan sebagai amaliah tarekat khusus./tarekat wushul, seperti Dalailul Khairat oleh Syekh Jazuli, Hizib Bahar oleh Syekh Abil Hasan As Syazali, Hizbus Syaifi dan Hizib Mughni dan Hizib Bahar  Syekh Ahmad bin Muhammad At Tijani, dan yang lainnya belum bisa disebut tarekat khusus, tetapi dimasukkan pada kategori tarekat secara umum, yakni salah satu amaliah sunah untuk pendekatan diri kepada Allah.
Amaliah berupa doa-doa atau hizib  dan bacaan-bacaan lainnya ini biasanya diberikan sebagai penunjang atau tambahan dari zikir tarekat khusus,  bagi murid yang sudah dianggap ruhaniahnya sudah mulai meningkat.
Wirid atau amaliah seperti ini dalam Tarekat Tijaniah disebut dengan wirid ikhtiariyah. Untuk mengamalkan doa atau hizib ini pun diperlukan izin atau ijazah yang benar yang diambil dari guru yang memang berhak memberikannya.
 
 
 
 
Pentingnya Tarekat
Seseorang akan rela mengeluarkan biaya yang besar, demi menjaga kebugaran tubuh, menjaga kesehatan badan. Ia rela membeli apa saja , mulai dari peralatan  senam sampai pada obat-obatan  penambah stamina.
Begitu pula orang yang sakit, ia akan berusaha dan  rela mengeluarkan uang yang banyak untuk pengobatan. Berapapun biaya yang akan dikeluarkan tidak jadi masalah, yang penting dirinya  harus sembuh dan kembali sehat.
Mengapa orang sanggup mengeluarkan biaya yang begitu banyak? Jawabannya tidak lain, karena mereka merasakan begitu pentingnya kesehatan, percuma punya uang banyak kalau orangnya sakit.
Kesehatan fisik memang penting, namun, jangan lupa, kita adalah makhluk yang punya dua demensi , yaitu demensi fisik dan demensi rohani. Aspek fisik bersifat duniawi sedangkan rohani bersifat ukhrawi. Yang manakah yang lebih kita utamakan?
Agama memberikan tuntunan bahwa akhirat yang diutamakan, sebagai mana firman Allah dalah surah Ad Dhuha : 4.
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى -٤-
“Dan sesungguhnya akhirat lebih baik  bagi kamu dari dunia”.
 
Kalau kesehatan fisik kita anggap penting, maka kesehatan  batiniah (rohani) tentu lebih penting. Kalau sakit fisik , kita segera berobat dan sanggup mengeluarkan biaya yang banyak, mangapa untuk penyakit batin, kita tidak segera berobat? Padahal penyakit batin jauh lebih berbahaya ketimbang  penyakit fisik.
Kalau kebersihan fisik telah kita jaga , mengapa kebersihan batin kita abaikan? Padahal yang dipandang Allah bukan rupa yang cantik dan penampilan fisik yang memikat, melainkan kebersihan batin atau hati yang menjadi tilikan Allah.
Nabi bersabda :
إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم ، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعمالِكُمْ  رواه مسلم .
 
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak memandang (menilai) bentuk tbuhmu  dan tidak pula memandang  rupa (ketampanan dan kecantikan) mu,  tetapi Allah menilai hati dan amalmu.
Mencermati kandungan hadits tersebut, ternyata Rasulullah mendahuluhan hati, kemudian baru amal, ini menunjukkan kedudukan hati memiliki peran yang penting. Artinya dengan hati yang bersih, hati yang salim akan melahirkan amal yang saleh yang bernilai di sisi Allah. Sebaliknya banyak orang beramal, namun tidak ada nilai di sisi Allah lantaran hatinya kotor. Beramal hanya sekadar menggugurkan kewajiban, itu pun kalau tidak bangkrut, bahkan menanggung beban dosa untuk membayar kerugiannya, gara-gara hatinya terjangkit penyakit dengki. Na`uzubillah.
Pantas saja Rasulullah bersabda:
 
ان فى الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسدالجسد كله الا وهي القلب
 
Artinya : Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging, bila baik maka baiklah semua tubuh, dan apabila rusak maka rusaklah semua tubuh, ketahuilah ialah yang disebut hati.
Kalau kita mencintai harta. Tentu kita tidak rela harta kita dirampok orang. Tidak ingin rumah kita dimasuki pencuri. Untuk menjaga agar rumah kita tidak dimasuki pencuri, kita buat pagar, kita kunci rapat-rapat pintu dan jendelanya. Namun, mengapa hati ini kita biarkan dimasuki syaitan untuk mencuri iman kita, sehingga membuat kita malas beribadah, cenderung kepada kejahatan dan kemasiatan, kurang senang kepada kebaikan, bahkan menjadi pengahalang orang lain dalam berbuat kebaikan dan menjadi penganjur berbuat kejahatan dan kerusakan. Padahal hati inilah barang yang paling berharga yang mesti kita jaga.
Konsekuensi atau akibat  penyakit fisik, seperti kangker hanya sebatas di dunia, apabila kita meninggal dunia penyakit kangker itu pun hilang dengan sendirinya seiring lepasnya roh dari badan, namun, apabila kita mengidap penyakit batin, seperti  hasad dan sombong, walau sudah meninggal dunia  akan berakibat fatal sampai ke negeri akhirat.
Yang terparah lagi di dunia mengidap penyakit lahir, dengan penyakit  itu menyebabkan kita tidak bersabar, bahkan mengumpat dan mengatakan Tuhan tidak adil. Kalau tidak tobat, kita akan sengsara dunia dan akhirat. Di dunia sudah ditimpa sakit, di akhirat pun menerima siksa. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Kemanakah kita mencari dokter yang ahli mengobati  batin ? Dimanakah tempat yang aman untuk menjaga dan membentengi hati kita? Jawabannya ada pada tarekat.
Terkait dengan  permasalahan pentingnya tarekat, alangkah baiknya kita coba menggali uraian atau ungkapan-ungkapan para Masyaikh, para muqaddam dan orang-orang yang berpengalaman dan menggeluti ilmu Tarekat.
Saidi Syekh  Muhammad Al Futi dalam kitab beliau “Ar Rimah” (hamisy kitab Jawahirul Ma`ani) halaman 93 bab ke 12  mengemukakan:
 
يجب على كل عاقل يريد تخليص نفسه من الرذائل النفسانية المردية عاجلا و اجلا طلب شيخ مرشد متبحر فى العلوم عارف بالعيوب والعلل  ناصح فيلقى اليه القيادة ويتبع امره ولا يخالفه فى شيئ
 
Artinya : Wajib bagi setiap orang  yang berakal yang menginginkan kesucian dirinya dari kehinaan hawa nafsu dan syaitan, bersegera mencari guru mursyid yang luas ilmunya yang dapat mengenali cacat,  dan penyakit batin. Syekh yang dapat memberikan nasehat dan bimbingan kepadanya. Mengikuti segala anjurannya, dan tidak  membantahnya dalam setiap hal.
 
            Menurut Syekh Tijani ra. Wajib disini bukan berarti wajib dalam arti syara`, tetapi wajib secara hukum akal (logika). Beliau mengibaratkan sebagaimana seseorang yang kehausan yang sangat membutuhkan air, apabila ia tidak mencarinya, maka ia akan binasa. Mau tidak mau ia wajib mencari air tadi. (lihat kitab Jawahirul Ma`        ani halaman 163 jilid I).
            Selanjutnya beliau mengibaratkan   orang sakit, yang menghajatkan  pengobatan  dan kesembuhan, tentu orang tersebut  harus segera  berobat, kalau perlu mencari dokter spesialis.
            Kalau pengibarantan itu kita perluas, tarekat  ibarat rumaha sakit, syekh sebagai dokter spesialis dan murid sebagai pasiennya. Jadi bagi pasien yang menginginkan kesembuhan  ia harus berobat ke rumah sakit, tempat ia dirawat  secara intensif oleh dokter spesialis.
            Sebagai seorang awam yang jauh dari generasi sahabat Rasul, tentu saja kita tidak terlepas  dari penyakait batin, dan penyakit itu terus mengintai kita, kita perlu mengobati dan mencegahnya agar tidak datang menyerang. Kita memerlukan seorang dokter  spesialis dan terus-menerus berkonsoltasi kepadanya.
            Ubaidah Sangqithi berujar sebagai berikut:
فعلم ان كل من لم يتخذ له شيخا يرشده الى الخروج من هذه الصفات فهو عاص لله تعالى ولرسوله  لانه لا يهتدى الى طريق العلاج بنفسه  بغير شيخ ولو حفظ الف كتاب فى العلوم (الجيش الكفيل  : ١٠٥)
 
Artinya : Telah dimaklumi  bahwa setiap orang yang tidak memiliki Syekh  yang membimbing dirinya  keluar dari sifat-sifat  tercela, ia masih dianggap  maksiat kepada Allah dan Rasulnya. Karena ia tidak bisa  menunjuki jalan pengobatan bagi dirinya sendiri  tanpa seorang syekh, walaupun ia hapal seribu kitab.
            Selanjutnya dalam tarekat kita memiliki sanad atau sisilah  amaliah tarekat yang bersambung dari guru ke guru sampai kepada shahibuttarekat dan sampai kepada Rasulullah Saw. Orang yang bertarekat, shahibut tarekat adalah sebagai gurunya melalui perpanjangan tangan para muqaddam atau murabbi (mursyid). Bahkan, bagi ikhwan Tijaniyah diakui oleh Rasulullah sebagai murid  beliau disamping sebagai umat.
            Syekh Abul Abbas Al Mursi mengibaratkan  orang yang bertarekat sebagai seorang anak  yang memiliki  ayah dengan silsilah  keturunan yang jelas. Sebaliknya orang yang tidak bertarekat  seperti seorang yang tidak diketahui  siapa ayahnya dan sampai dimana nasab keturunannya. Sebagaimana ungkapan beliau sebagai berikut:
 
كل من لم يكن له أستاذ يوصله بسلسلة  الأتباع ويكشف له عن قلبه القناع فهو فى هذا الشأن لقيط لا أب  له دعى لا نسب له (الرماح 1:٩٦)
 
Artinya : Setiap orang yang tidak memiliki Syekh/ guru yang menghubungkannya dengan silsilah  yang bersambung, maka terbuka topeng atau keduknya saat ini, ia adalah anak buangan yang tidak mempunyai ayah, yang dipanggil tanpa nasab keturunan.
            Kalau kita lihat dari segi orang yang ingin mendapatkan limpahan ilmu asrar, madad, mau tidak mau kita sebagai generasi yang sudah jauh dari zaman sahabat Rasul harus memiliki guru  atau syekh. Karena  orang yang ingin mendapatkan  limpahan  rohani tanpa melalui bimbingan guru sangat berbahaya.
            Seperti seorang yang mengamalkan bacaan-bacaan yang didapat tanpa ijazah atau izin guru, lalu ia masuk khalwat dan mengamalkan  bacaan tadi tanpa berguru, ia tidak akan mendapatkan apa yang ia inginkan, kalaupun ada yang ia temui  dalam khlawatnya hanya jin atau syaitan  yang memberi petunjuk, yang besar kemungkinan  bertentangan dengan syara`, seperti yang kita kenal di masyarakat dapat wangsit membunuh anak perawan dan lain sebagainya.
            Hal ini terjadi karena ia tidak menyadari  dan tidak mengerti bahwa itu arahan dari syaitan atau jin, kemudian ia terima begitu saja. Disinilah bahaya seorang yang tidak memiliki pembimbing  (syekh tarekat). Ini yang disenyalir oleh Syekh Abu Yazid dan ulama lainnya seperti ungkapan beliau sebagai berikut :
 
من لم يكن له استاذ فامامه الشيطان( الرماح :٩٤)    
 
Artinya: Seseorang yang tidak meiliki syekh pembimbing, pembimbingnya adalah syaithan”.
            Hal yang senada juga dikemukakan  oleh syekh Abdul Wahab As Sya`rani dalam kitab beliau Anwar Al Qudsiyah sebagai berikut:
ثم اعلم يا أخي ان احدا من السلكين لم يصل الى حالة شريفة فى الطريق ابدا الا بملاقات الاشياخ ومعانقة الادب  معهم والاكثار من خدمتهم. ومن ادعى الطريق بلا شيخ كان شيخه ابليس. فهو وان وقعت على يديه كرامة فهى استدراج ككرامة الدجال الاعور  اذا خرج آخر الزمان (الأنوا القدسبة :        -١١٨    )
 
 
 
Artinya:  Ketahuilah hai saudaraku, sesungguhnya seorang salik tidak akan mencapai kedudukan  yang mulia  dalam tarekat selamanya, kecuali dengan menemui atau mencari  para Masyaikh (untuk mendapat bimbingan), menjaga adab  terhadap mereka dan memperbanyak berkhidmat  kepada mereka. Dan ketehuilah, orang yang menempuh tarekat  tanpa syekh, maka syekhnya adalah iblis. Dan jika ia memiliki kekaramatan, hal itu istidraj seperti keramat dajjal ketika ia muncul di akhir zaman.
 
            Sepertinya Syekh Abdul Wahab As Sya`rani sangat menekankan masalah tarekat  ini, sampai – sampai beliau menghubungkannya dengan Dajjal. Ini tidak lain agar kita yang menginginkan  keselamatan, betul-betul memperhatikan  pentingnya tarekat dan bimbingan guru dalam mengarungi  lapangan hakikat dan ma`rifat, sehingga usaha  kita tidak sia-sia.
            Dalam kitab Jawahirul Khamas Juz ke 2 halaman 484 karya Imam Syekh Said Muhammad bin Khathiriddin bin Bayazid disebutkan:
اعلم ايها السارى فى وكر الحقيقة وايها الراكب فى ميدان الطريقة ان الواجب على كل طالب ان يتفحص عن امام الطريقة. ويقتدى به بطريقة اللزوم. ياايها الذين امنوا اتقوا الله وابتغوا اليه الوسيلة شاهد عدل على هذه الأقوال. ومن تعرف الحقيقة بلا امام  فقد كفر مشعر بهذا الحال فمن تهدي الى معرفة الطريق بلا شيخ فقد اشترى هلاك نفسه باختياره.
 
Artinya :
Ketahuilah hai orang-orang yang berjalan  di lorong hakikat dan wahai orang-orang yang mengarungi lapangan tarekat, wajib atas tiap-tiap  penuntut mencari imam tarekat dan mengikutinya secara konsesten. “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah  (jalan) menuju kepadaNya” adalah keterangan (dalil) yang jelas  tentang persoalan ini. Dan ketahuilah siapa yang mengenal atau mempelajari hakikat tanpa pembimbing, maka sungguh bertentangan  dalil tersebut. Karena itu siapa yang menempuh  perjalanan untuk ma`rifat  tanpa Syekh, sungguh sia-sia atau hancur usahanya.
 
            Sebagai ilustrasi, misalnya kita yang tinggal di Banjarmasin ingin berangkat ke Surabaya, sementara kita tidak pernah sebelumnya ke Surabaya. Kita hanya kenal namanya saja. Apa yang harus kita lakukan?
            Kalau kita memilih perjalanan laut. Apakah kita harus  beranang seorang diri, tanpa alat?  Tentu saja tidak mungkin. Logis kalau kita mencari kapal laut. Kapal laut pun banyak,  lalu kita pilih salah satunya dan kita serahkan sepenuhnya diri kita kepada nakhoda kapal yang sudah berpengalaman menempuh perjalanan laut. Tentu besar harapan bahwa kita akan sampai di Surabaya.
            Kalau kita pilih lewat udara. Tidak mungkin kita bisa terbang sendiri karena kita tidak punya sayap. Tentu saja akal kita akan mengatakan “Ya”. Kita harus menumpang pesawat  dan menyerahkan sepenuhnya perjalanan itu kepada pilot yang sudah berpengalaman.
            Dapat dibayangkan, kita tempuh dengan berenang, atau hanya jalan kaki, sementara kita buta dan tidak mengerti seluk-beluk perjalanan itu dan belum pernah sampai dan belum mengenal Surabaya dengan sebenarnya. Keberhasilan akan sangat tipis, namun kesia-siaan yang akan kita dapat.
            Imam Gazali mewanti-mewanti  kita sebagai murid agar mencari guru pembimbing, dengan ungkapan beliau sebagai berikut :
 
اان المريد يحتاج الى شيخ واستاذ يقتدى به  لا محالة ليهديه الى سواء السبيل. فان السبيل غامض وسبيل الشيطان كثيرة ظاهرة  ومن لم يكن له شيخ يهديه قاده الشيطان لا محالة الى طريقه
 (الرماح :      -٩٥-  )
    “Sesungguhnya seorang  murid sangat memerlukan seorang Syekh dan guru pembimbing untuk menunjukinya ke jalan yang lurus. Karena sesungguhnya  jalan agama itu tersembunyi, sedangkan jalan syaitan  banyak dan kelihatan jelas. Dan siapa yang tidak memiliki syekh  yang membimbing dirinya, jelas syaitanlah yang memimpin ke arah jalannya”.
 
            Bagi Ahlul bait atau zuriat Rasul, mereka memiliki pertalian darah dengan Rasul yang silsilah mereka terjaga. Lalu kalau kita, silsilah kita sampai di mana? Bahkan, mereka yang mulia diberi dua keutamaan yaitu silsilah keturunan (pertalian darah) dan silsilah ilmu.
            Kalau silsilah  keturunan kita tidak sampai kepada Rasulullah, semestinya kita mencari guru yang sampai silsilah ilmunya kepada Rasulullah. Silsilah inilah sebagai penghubung  kita dengan Rasulullah.
            Dari uraian di atas jelaslah bahwa tarekat itu sangat penting bagi setiap muslim yang menghajatkan keselamatan agama, keselamatan dunia dan kesejahteraan akhirat, ketenteraman dan kebahagiaan batin. Terutama yang memang benar-benar menginginkan kemakrifatan.
 
Macam-Macam Tarekat
            Jumlah tarekat  berdasarkan hadits Nabi sebanyak  360 tarekat, sebagaimana termaktub dalam Mizan Kubra Imam Sya`rani juz I halaman 30. Dalam kitab Rimah disebutkan sebanyak 313 tarekat.
 
 إن شريعتي جاءت ثلثمائة وستين طريقة  ما سلك احد طريقة منها الا نجا
 
Artinya : “ Sesungguhnya syariatku  datang membawa  tiga ratus enampuluh tarekat, siapa pun yang mengambil salah satunya, niscaya akan mendapat keselamatan”.
 
إن شريعتي جاءت على ثلثمائة و ثلاث عشرة طريقة لا تلقى العبد بها ربنا الا دخل الجنة
 
Artinya :      Sesungguhnya syariatku datang membawa tigaratus tiga belas tarekat, Tuhan kami tidak akan memasukkan seorang hamba ke dalam suatu tarekat melainkan ia akan masuk syurga.
 
            Para ulama membagi tarekat menjadi dua macam, yaitu tarekat muktabarah dan ghairu muktabarah. Tarekat Muktabarah adalah tarekat yang diakui  oleh para ulama ahli tarekat, baik sanad atupun amaliahnya bersumber dan bersambung sampai kepada Rarulullah. Sedangkan tarekat ghairu muktabarah yaitu yang tidak diakui oleh ulama ahli tarekat  karena tidak terpenuhinya  persyaratan  tarekat muktabarah.
            Berdasarkan hasil Muktamar IX Jam`iyah Ahlith Thariqah Al Mu`tabarah An Nahdhiyah tanggal 26 – 28  Februari 2002 berjumlah 46 tarekat muktabarah yang berkembang di Indonesia. Termasuk salah satunya Tarekat At Tijaniyah.
            Untuk daerah Kalimantan Selatan yang cukup dominan perkembangannya sekitar lima atau enam Tarekat, misalnya Tarekat At Tijaniyah, Tarekat Sammaniyah, Tarekat Syazaliyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat Junaidiyah.
 
Hubungan Tarekat dengan Tasauf
            Tarekat adalah  bagian dari tasauf. Ibarat mata uang, kedua sisinya tidak dapat dipisahkan. Orang yang mempelajari tasauf, belum sempurna  kalau tidak mengambil satu tarekat. Karena tasauf masih berupa konsep. Jangankan orang Islam, orang luar Islam pun mempelajari tasauf  sebagai begian dari  pengetahuan (ilmiah), sedangkan kita disamping ilmu (secara ilmiah) kita juga dituntut  untuk mengamalkannya. Untuk mengamalkan tasauf itulah diperlukan ilmu tarekat.
            Misalnya, ilmu tasauf yang membahas konsep-konsep ketuhanan, seperti konsep fana dan baqa yang dikembangkan oleh Abu Yazid Al Bustami yang menggambarkan  kedekatan diri seorang hamba dengan Tuhan yang disebut juga dengan konsep Ittihad, dengan tarekat beliau  Bastamiyah atau Tuspuriyah. Konsep hululnya Al hallaj, Wahdatul wujudnya Ibnu Arabi, yang keduanya mengembangkan  konsep Haqiqatul Muhammadiyah (Nur Muhammad). Kemudian konsep mahabbahnya Rabiatul Adawiyah, Konsep ma`rifatnya Zunnun Al Misri, konsep Tajalli, dan lain-lain.
            Dari konsep-konsep tersebut, ada sebagian ulama yang mengritisi sebagai suatu yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Namun, di sini bukan bermaksud mengangkat hal yang demikian. Bukan wewenang kita manyalahkan konsep mereka yang sudah melanglang buana dalam dunia tasauf. Mereka adalah ulama-ulama yang sudah merasakan dan berpengalaman dalam mengarungi lautan ilmu hakikat dan makrifat.
            Sebagai orang awam kita tidak berani ikut-ikutan menyalahkan mereka, sementara kita,  jangankan pernah menyelam lautan hakikat dan makrifat, mendengar istilah tasauf, tarekat, makrifat, kita masih elergi.
            Barangkali juga ulama yang mengritisi itu sebagai upaya untuk menyelamatkan umat dari kesesatan, sebagai kehati-hatian, karena dianggap sekarang ini hampir tidak ada lagi orang yang benar-benar ahli. Sehingga ada ulama yang melarang membaca kitab Futuhatul Makiyah Karya Ibnu Arabi, karena memang pembahasannya sangat pelik dan memerlukan rumus-rumus atau kiasan-kiasan tertentu untuk bisa memahaminya. Namun, kalau memang ada guru yang benar-benar ahli yang mencapai derajat kewalian, apa salahnya?. Ini pun barangkali untuk orang-orang tertenju juga, bukan konsomsi orang kebanyakan, karena adanya kekhawtiran salah penafsiran.
            Dari berbagai konsep yang kita kemukakan tersebut, apapun istilahnya, sampai dimana dan kemana pun i`tibar atau isyarat yang dipakai, semuanya tidak terlepas dari perbedaaan  rasa (zauqiyah) sebagai pengalaman  sepritual masing-masing.
            Pengalaman sepritual inilah yang mereka ungkapkan menjadi konsep tasauf  yang berbeda-beda. Istilah atau i`tibar yang mereka kemukakan berbeda, karena untuk mengemukakan rasa tersebut, lidah (bahasa) tidak mampu menggambarkannya secara konkret. Jadi wajar terjadi perbedaan  konsep, padahal yang ingin digambarkan adalah hal yang sama.
            Sebagai perbandingan, konsep pengetahuan bahwa gula itu manis. Sebelum mencicipi, tentu saja baru sebatas pengetahuan (ilmu yaqin). Kalau sudah mencicipinya, pengetahuan tentang gula tadi meningkat menjadi sebuah pengalaman  dan menjadi keyakinan bahwa memang benar gula itu manis.
            Tatkala kita disuruh mendefinisikan manis itu seperti apa? Kata-kata terbatas, kita tidak sanggup menerangkannya secara kongkret. Sehingga masing-masing orang berbeda  cara mengungkapkannya, tergantung intensitas  kedalaman pemahaman, pengalaman dan pengahayatan terhadap rasa manis itu sendiri. Cara yang termudah bagi yang tidak sanggup mengemukakan bagaimana rasa manisnya gula, tentu saja dengan mengatakan; “ Ini yang dinamakan gula, coba kamu cicipi sendiri”.
            Pengalaman merasakan manisnya gula inilah sebagai ibarat dari tujuan dari ilmu tarekat. Orang tidak akan mencapai makrifat  dengan sebenarnya, kalau belum pernah merasakannya, oleh karena itu untuk  mencapai nilai rasa perlu adanya latihan-latihan (riyadhah) dengan mujahadah (kesungguhan)  melalui  bimbingan guru tarekat. Dengan kata lain tarekat adalah sarana pengembangan konsep tasauf yang berupa ilmu yakin untuk mendapatkan pembuktian dan merasakannya (ainul yaqin)  sehinggu timbul keyakinan yang mantap tanpa keraguan lagi ( haqqul yaqin).***
            Konsep Tasauf yang lainnya, seperti  pembersihan batin. Secara disadari atau tidak, bagi yang mempelajari masalah tersebut, tahu betul bahwa riya, hasad, sombong, harus dihilangkan dari hati kita, bahkan kita diajarkan cara menghilangkannya.  Ternyata penyakit itu susah dihilangkan dan masih bersarang di hati kita.
            Mengapa hal demikian bisa terjadi? Karena terus terang kita sebagai orang awam, kita tidak bisa mengobatinya sendiri. (lihat lagi ungkapan  Syekh Ubaidah Sanqithi) sebagai mana uraian sebelumnya tentang pentingnya tarekat:
فعلم ان كل من لم يتخذ له شيخا يرشده الى الخروج من هذه الصفات فهو عاص لله تعالى ولرسوله  لانه لا يهتدى الى طريق العلاج بنفسه  بغير شيخ ولو حفظ الف كتاب فى العلوم (الجيش الكفيل  : ١٠٥)
 
Artinya : Telah dimaklumi  bahwa setiap orang yang tidak memiliki Syekh  yang membimbing dirinya  keluar dari sifat-sifat  tercela, ia masih dianggap  maksiat kepada Allah dan Rasulnya. Karena ia tidak bisa  menunjuki jalan pengobatan bagi dirinya sendiri  tanpa seorang syekh, walaupun ia hapal seribu kitab.
            Artinya kita belum menyempurnakan usaha kita untuk mengobati penyakit itu kepada dokter spesialis batin, yaitu mencari dan menemui guru murabbi/mursyid dalam tarekat.
            Kalau kita mau menyempurnakan ikhtiar kita dengan mengambil satu tarekat saja, sebagaimana hadits Nabi yang pernah kita ungkapkan sebelumnya, besar harapan kita bahwa penyakit itu akan sembuh.
            Barangkali kita tidak tahu seluk beluk yang namanya Riya, tetapi dengan mengambil dan mengalkan satu tarekat dengan bimbingan guru, hati kita tidak ada riyanya lagi. Sombong dan dengki menjauh. Inilah tujuan yang dikehendaki dalam tarekat, karena tarekat memang sebagai sarana untuk membersihkan batin.
            Adapun kecenderungan sebagian umat Islam yang mempelajari tasauf  bukan pada sumber aslinya, justeru mempelajari tasauf kepada mereka yang bukan Islam (orientalis). Sepenuhnya tidak salah. Kalau saja hanya sebagai pembanding dan untuk meluruskan agar sesuai dengan sumber aslinya, sehingga kita tidak terjebak  pada menghina dan menyalahkan tasauf sebagai sumber kemunduran Islam. Nauzubillah.
            Dan perlu diingat, jangan sampai kita mempelajari tarekat dengan tujuan mencari kekurangannya, sehingga cerderung  menyalahkan dan memponis tarekat “ A “menyimpang, padahal tarekat yang kita salahkan sudah diakui kemuktabarahannya.
            Biasanya yang menyalahkan itu bukan pengamal suatu tarekat, mereka tidak pernah berkecimpung dalam dunia tarekat, mereka hanya sebagai pengamat, hanya menduga-duga, dan ternyata dugaan itu 100% bertolak belakang dari kenyataan. Atau bisa juga karena ada unsur hasud  dan kesombongan  dan merasa benar sendiri, sehingga orang yang berbeda menurut pandangannya dianggap salah.
            Masih banyak masyaikh yang ahli dalam bidang ilmu tarekat, oleh karena itu hendaklah rujuk kepada ahlinya. Jangan bertanya pada orang yang tidak senang pada tarekat tertentu lantaran kebencian, sehingga terjadi ketidakadilan.
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ(المائدة: -٨-)
  Artinya :Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
 
            Jangan menduga ini salah menurut pendapat kita, padahal kita belum tabayyun, belum mencari keterangan kepada ahlinya. Kalau kita temukan rumus dan keterangan  dari ahlinya, barulah kita sadar  bahwa pernyataan kita keliru, kita yang tidak memahaminya. Kita yang berada di permukaan  berani menduga dalamnya laut. Ketika kita mendapat penjelasan  dari orang yang berenang dan berkecimpung serta menyelami dalamnya laut tarekat berulah kita maklum bahwa kita yang salah duga.
            Timbullah penyesalan, karena kita sudah menjatuhkan ponis yang kurang nyaman dan tidak menyamankan perasaan pemegang tarekat disebabkan kita hanya menduga-duga dan belum tabayyun. Oleh karena itu kita diingatkan oleh Allah dalam firmanNya.
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ(الحجرات :  -٦-)
 
Artinya :Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ (الحجرات :-١٢-)
 
Artinya :Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.
 
            Kalau sudah ada keterangan yang jelas tentang  hal yang kita persoalkan. Namun, kita tidak bisa menerimanya, ini persoalan lain lagi.  Bukan bicara kebenaran, tetapi kemungkinan besar sudah jatuh pada sintimen pribadi, berlaku jidal. Ibarat minuman atau makanan, bukan terletak pada minuman atau makanannya yang tidak enak, tetapi mulut kita yang seriawan, sehingga seenak apa pun makanan dan minuman itu tetap tidak enak.
            Jadi kalau ada persoalan tasauf atau tarekat, yang menurut kita  ada yang kurang pas, karena mendapat informasi  dari orang di luar tarekat, hendaknya ditanyakan  pada ahlinya (pemiliknya).
            Sebagai  contoh, Kalau kita ingin mengetahui tentang Tarekat  Tijaniyah. Kita hanya membaca buku enseklopedi Islam yang hanya membahas selintas saja  atau kita baca  kitab Wudhuhuddalail yang berisi celaan  dan tuduhan-tuduhan negatif  terhadap Tijani. Padahal, tuduhan itu hanya menduga-duga yang sangat jauh berbeda dengan pemahaman yang dikendaki dalam tarekat Tijani.
            Yang dikhawatirkan, kita akan terjatuh pada i`tiradh (memusuhi, mencela, mengingkari) Wali Allah, yang pada intinya juga memusuhi, mencela, mengingkari Rasulullah. Apabila terjadi hal yang demikian, berarti  kita sudah dinyatakan perang  dengan Allah. Siapapun orangnya tidak bisa selamat kalau sudah berperang dengan Allah.
            Dalam Hadits Qudsi disebutkan:
 
من عادى لى وليا فقد اذنته بالحرب
 
   Artinya : Barang siapa memusuhi waliku, maka  Kuumumkan ia perang dengan Ku.
 
            Kitab-kitab tasauf  atau Tarekat tidak bisa  dipahami dengan hanya menggunakan akal dan pemahaman kita sendiri, tanpa izin dari guru, atau yang lebih khusus lagi tidak ada hubungan madadiyah secara langsung  dari shabibuttarekat melalui silsilah. Otomatis tidak ada bimbingan dari  shahibuttarekat, sehinga pemahamannya bisa menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh shahibuttarekat.
            Terlebih lagi kalau  membaca kitab-kitab tasauf  (khusus kitab tarekat Tijani) atas dasar kebencian dan permusuhan, dan bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk debat yang melahirkan prilaku jidal. Tentu saja tidak akan menemukan rumus-rumus dari hidayah Allah dalam memahami apa yang dibaca. Karena niat yang salah akan melahirkan pemahaman salah pula.
          Kita kemukakan permasalahan ini  bukan berarti membatasi gerak umat Islam untuk mempelajari kitab-kitab tasauf, silakan saja, siapa pun bisa mempelajarinya. Namun, sempurnakanlah dengan mencari guru pembimbing dan bukalah mata hati dengan mengosongkan diri dari rasa memiliki, rasa berpangkat dan berkedudukan. Seperti yang dilakukan Nabi Musa ketika berguru kepada Khaidir, padahal pangkat dan kedudukan Nabi Musa adalah sebagai Nabi dan Rasul.
            Ilmu Tasauf, disamping sebagai ilmu, perlu diaplikasikan (diamalkan). Konsep tasauf mudah dibicarakan, tetapi sulit dalam praktik. Untuk praktik inilah tarekat (syekh murabbi) berperan di dalamnya.
            Sungguh tarekat dan Tasauf bersumber dari al Qur`an dan Hadits. Kalau ada orang yang beranggapan  tarekat dan tasauf tidak bersumber dari Islam, tinggalkan  saja anggapan itu.
            Jelasnya, tarekat dan tasauf  tidak dapat dipisahkan. Keduanya adalah warisan  Nabi dan ulama-ulama muhaqqiqin yang harus kita wariskan pada anak cucu kita. amin.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar