يَا رَبَّنَا بِجَاهِ تَاجِ الْعَارِفِيْنَ ï وَجَاهِ حَامِلِ لِوَاءِ الْوَاصِلِيْنَ

Ya Allah, Ya Tuhan kami dengan pangkat kebesaran pemilik mahkota ahli ma'rifah dan pangkat pemegang bendera kelompok manusia yang telah wushul (sampai ke puncak keyakinan)


قُدْوَتِنَا وَشَيْخِنَا التِّجَانِي ï قَائِدِنَا لِمَنْهَجِ الْعَدْنَانِي

Panutan dan guru kami yakni Syekh Ahmad Tijani, seorang pemandu yang menyampaikan kami kepada tuntunan Nabi Muhammad

يَا رَبِّ ثَبِّتْنَا عَلَى اْلإِيْمَانِ ï وَاحْفَظْ قُلُوْبَنَا مِنَ الْكُفْرَانِ

Ya Tuhanku tetapkan kami atas iman dan jaga hati kami dari segala bentuk kekufuran

وَاحْمِ جَمِيْعَنَا مِنَ الشَّيْطَانِ ï وَحِزْبِهِ مِنْ إِنْسٍ أَوْ مِنْ جَانِّ

Lindungi kami dari kejahatan syetan dan kelompoknya dari bangsa manusia dan jin


نَسْأَلُكَ التَّوْبَةَ وَالتَّوْفِيْقَ ï وَالْعِلْمَ وَالْعَمَلَ وَالتَّحْقِيْقَ

Kami mohon kepada-Mu taubat dan mendapat kekuatan untuk melakukan kebaikan, ilmu dan pengamalan serta ketepatan dalam segala hal


وَالصَّبْرَ وَالنَّصْرَ عَلَى اْلأَعْدَاءِ ï وَالْجَمْعَ فِي الذِّكْرِ عَلَى الْوِلاَءِ

Berikan kami kesabaran dan kemenangan atas musuh-musuh. Dan jadikan kami selalu berkumpul bersama dalam melakukan dzikir


وَالْفَوْزَ بِالنَّعِيْمِ فِي الْجِنَانِ ï مَعَ النَّبِيّ وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Mendapat kesuksesan dengan mendapat ni'mat di surga bersama Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani


مَا لَنَا فِي الْكَوْنِ سِوَى الرَّحْمَانِ ï وَالْمُصْطَفَى وَشَيْخِنَا التِّجَانِي

Kami tidak memiliki harapan apa-apa di alam ini melainkan kepada-Mu Ya Allah (Yang Maha Pengasih), manusia terpilih Nabi Muhammad dan guru kami Syekh Ahmad Tijani

هَذِي هَدِيَّةٌ بِفَضْلِ اللهِ ï مِنَّا إِلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Dzikir ini merupakan hadiah untukmu Ya Rasulullah dari kami yang semata-mata merupakan pemberian Allah


هَدِيَّةً لِلْمُصْطَفَى الْعَدْنَانِي ï نِيَابَةً عَنْ شَيْخِنَا التِّجَانِي

Hadiah penghormatan buat manusia terpilih Nabi Muhammad keturunan Adnan juga sebagai mandate dari guru kami syekh Ahmad Tijani

آميْنَ آميْنَ اسْتَجِبْ دُعَانَا ï وَلاَ تُخَيِّبْ سَيِّدِي رَجَانَا

Terimalah, terimalah dan kabulkan Ya Allah, doa-doa kami. Jangan Kau kecewakan segala harapan kami

Doa ini merupakan Qashidah tawassul kepada Syekh Ahmad Tijani Radhiyallahu Anhu. qashidah ini biasanya dibaca setelah selesai membaca wirid lazimah dan wazhifah.

Dikutip dari kitab Ghayatul Muna Wal Murad Fima Littijaniy Minal Aurad halaman 27.

Senin, 20 Mei 2013

Bingkisan Rindu 5

KUNCI SUKSES BERTAREKAT Sungguh berbeda orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu. Banyak orang yang mengalami gagalan karena ketidaktahuannya. Orang yang tidak mengerti cara memasak ia akan gagal ketika memasak. Sebaliknya orang yang mengerti tentang memasak ia akan mampu memasak dengan baik. Namun, pengetahuan tentang memasak belum menjamin sukses dalam memasak, kalau tanpa latihan dan pengalaman yang berulang-ulang. Begitu pula orang yang ingin sukses bertarekat perlu mengetahui seluk-beluk ilmu tarekat yang ia pegang. Apa yang perlu dipersiapkan, apa yang harus dilakukan sehingga tidak mengalami kegagalan dalam bertarekat. Untuk memberikan motivasi agar kita sukses bertarekat dan tetap istiqamah dengan tarekat yang kita ambil, mari kita simak uraian berikut. Niat yang Benar Ada sebagian pengamat tarekat mempertanyakan tentang tingginya animo masyarakat memasuki tarekat. Sebagaimana kita baca dalam Tabloit Serambi Ummah no 165 halaman 7, yaitu : Apakah animo masyarkat itu terjadi karena mereka jenuh dengan kehidupan materialistis yang selama ini menggerogoti mereka? Apakah karena kegundahan jiwa akibat hiruk-pikuk kehidupan politik dan ekonomi yang membuat orang banyak stres? Apakah karena di dalam tarekat mereka menemukan sesuatu yang belum pernah mereka peroleh, berupa ketenangan, kedamaian, keceriaan dan keppuasan batin? Boleh jadi ada sebagian orang masuk tarekat karena stres menghadapi kehidupan dunia yang serba rusak dan mungkin juga karena keringnya dan gersangnya jiwa, lalu orang tersebut masuk tarekat untuk mengobati kegundahan dan kegersangan jiwanya. Keliru kalau mencari ketenangan jiwa dengan meminum obat-obat terlarang, keliru kalau mencari kedamaian di tempat maksiat, dan salah besar orang yang ingin jiwanya tenang jauh dari agama, dan lalai dari mengingat Allah. Bukankah agama mengajarkan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Qur`an : الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (الرعد :٢٨( Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”. Kita dukung animo masyarakat masuk tarekat. Karena mereka menentukan pilihan yang tepat, semua tarekat mengajarkan zikir kepada Allah, dengan zikir kepada Allah jiwa kita akan tenang. Ketenangan adalah hasil dari perjalanan tarekat. Sebenarnya hasil ini adalah janji Allah. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana meluruskan niat dan tujuan orang yang masuk tarekat sehingga mencapai hasil yang dijanjikan Allah tersebut. Terlepas dari apa yang melatarbelakangi orang yang masuk tarekat, seperti yang dipertanyakan oleh sebagian pengamat tadi. Kita perlu menyamakan persepsi tentang tarekat itu sendiri. Kalau tarekat hanya dipandang sebagai pelegkap atau bahkan dianggap bid`ah, berarti kita tidak sejalur, tidak sama dalam memahami tarekat. Bagi yang menganggap tarekat bid`ah, tidak perlu melanjutkan membaca tulisan ini. Kalau kita sepakat, bahwa tarekat adalah bagian dari ajaran agama Islam dan merupakan Sunnah Rasul, sebagaimana dikemukakan pada pembahasan terdahulu tentang macam-macam tarekat, bahwa syariat Rasul datang dengan membawa 313 atau 360 tarekat. Kalau sepakat dengan hal ini, berarti tarekat bukan lagi dipahami sebagai pelengkap yang hanya dibutuhkan ketika ada kepentingan. Kalau sudah tercapai kepentingannya, ia tinggalkan tarekatnya. Bukan seperti itu yang kita kehendaki di sini. Tetapi tarekat adalah kebutuhan setiap orang Islam. Kalau persepsi kita sudah sama. Maka pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pengamat tadi dapat kita terima sebagai peringatan bagi orang yang masuk tarekat. Bukan dikarenakan stres, bukan karena urusan dunia semata, tetapi karena memang tarekat adalah merupakan perintah agama, demi kemaslahatan dunia akhirat. Kita bersangka baik saja dengan tingginya animo masyarakat masuk tarekat. Berarti kesadaran masyarakat terhadap agama memang tinggi dan sudah mengerti betapa pentingnya ilmu tarekat. Orang masuk tarekat tidak mesti stres dulu, baru masuk tarekat, tetapi masuk tarekat adalah kebutuhan orang yang menginginkan keselamatan dunia dan akhirat, sebagai upaya menyempurnakan ikhtiar dalam mengarungi lautan hakikat dan makrifat untuk mendapatkan pengenalan yang hakiki dan meraih keridhaan Allah sebagai wujud dari ketaatan kepada Allah dan Rasul Nya. Kalau tarekat dikatakan sebagai sarana pembersihan batin, kearah itu niat dan tujuan kita dalam masuk tarekat agar sifat-sifat tercela keluar dari diri kita dan menghiasinya dengan sifat-sifat mahmudah. Kalau tarekat bertujuan untuk mencapai kemakrifatan yang hakiki, kearah itulah tujuan kita dalam memasuki tarekat. Kerangka dasar tujuan tersebut di atas adalah tujuan yang mengandung keridhaan Allah. Ini yang kita sebut dengan niat yang benar, yaitu niat karena Allah dengan pertolongan Allah dan untuk mencapai keridhaan Allah. Kalau orang yang masuk tarekat hanya ikut-ikutan teman, tidak tahu tujuan yang sebenarnya. Mungkin juga mendengar bahwa orang yang masuk tarekat akan diberikan kemudahan-kemudahan dan kelapangan penghidupan dunianya, lalu ia masuk tarekat tanpa dilandasi atas dasar perintah Allah dan tidak mengerti untuk apa bertarekat itu, maka akan lahir suasana hati dan tindakan yang mengandung kebencian Allah. Kalau ternyata penghidupan dunianya tidak berubah juga, buru-buru ia menyalahkan tarekat tersebut dan meninggalkan tarekatnya. Padahal bukan tarekatnya yang salah tetapi niat dan tujuannya yang belum benar. Tujuan dari tarekat bukan untuk mengejar dunia, tetapi tarekat bertujuan menuju Allah. Kalau ternyata orang yang bertarekat diberikan Allah penghidupan dunia yang sejahtera, itu tidak memalingkan dirinya dari Allah. Bahkan, dijadikannya sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Rasulullah mengingatkan kita dengan sabda beliau: « إنَّما الأَعمالُ بالنِّيَّات ، وإِنَّمَا لِكُلِّ امرئٍ مَا نَوَى ، فمنْ كانَتْ هجْرَتُهُ إِلَى الله ورَسُولِهِ فهجرتُه إلى الله ورسُولِهِ ، ومنْ كاَنْت هجْرَتُه لدُنْيَا يُصيبُها ، أَو امرَأَةٍ يَنْكحُها فهْجْرَتُهُ إلى ما هَاجَر إليْهِ » متَّفَقٌ على صحَّتِه (رياض الصالحين) Artinya : Setiap amal tergantung dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa hijrah karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya mendapati Allah dan Rasul Nya, dan barang siapa hijrah karena dunia yang diinginkannya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya pun mendapati apa yang diinginkannya. Jadi dalam segala amal, termasuk dalam mengambil dan mengamalkan tarekat, harus dilandasi niat karena Allah. Allah dan Rasulnya yang dikedepankan, bukan tujuan-tujuan yang lain. Dalam tarekat Tijani kita diajarkan, baik amaliah wajib maupun ikhtiariyahnya selalu disertakan niat-niatan yang harus dicamkan sebelum memulai beramal. Ketika kita beramal dengan niat karena Allah, merasakan sepenuhnya amal yang kita kerjakan adalah karunia Allah, kita pun melengkapi niatan itu dengan pengharapan kepada Allah untuk diberikan karunia penghidupan dunia yang sejahtera sampai kesejahteraan akhirat. Hal ini yang disebut dengan doa, dan doa ini pun dilandasi karena Allah, untuk kemudahan dan sarana mendekatkan diri kepada Allah, dan meraih ridha Allah. Misalnya minta dipanjangkan umur, untuk taat ibdah kepada Allah, minta diberikan rezeki yang halal luas lagi berkah itupun untuk digunakan ibadah kepada Allah, jadi lillah (karena Allah) billah (dengan Allah) kita bisa beramal dan berdoa, untuk meraih keridhaan Allah. Kalau kita cermati lebih lanjut hadits di atas, bahwa setiap orang mendapat apa yang ia niatkan. Dapat dipahami ketika seseorang berniat karena Allah dan Rasulnya, mendahulukan Allah dan Rasulnya dan ia pun berniat hijrah untuk mendapatkan dunia dan perempuan yang ia nikahi, Allah pun memberikan dunia dan wanita yang ia inginkan, dan iapun mendapatkan keridhaan Allah dan RasulNya. Lain halnya kalau ia hijrah semata ingin dunia dan wanita yang ingin dinikahinya, iapun lupa dengan Allah dan Rasul, maka ia hanya mendapat apa yang diniatkan (dunia dan wanita) namun tidak mendapatkan Ridha Allah dan Rasul, karena memang hijrahnya bukan karena Allah dan Rasulnya. Kekuatan Niat Setiap pekerjaan/amal tergantung dengan niatnya. Apabila pekerjaan atau amaliyah yang kita kerjakan didasarkan untuk ibadah kepada Allah, menjunjung perintah Allah, artinya mengedepankan, mengutamakan Allah, ini yang akan bernilai di sisi Allah. Ada beberapa kategori orang dalam bekerja atau beramal. Ada orang yang bekerja hanya untuk mencari sesuap nasi untuk mempertahankan hidupnya. Ia tidak tahu mana yang halal dan yang haram, yang penting ia bisa bertahan hidup. Ini tidak ubahnya seperti burung, dia mencari rezeki untuk menyambung hidup dan keturunannya. Cukup untuk dirinya dan keturunannya. Ada lagi tipe orang yang bekerja hanya untuk mengumpulkan dan menumpuk harta dan berbangga-bangga dan menyombongkan harta yang ia miliki. Menyombongkan diri dengan jabatan yang ia miliki. Ini tipe Firaun dan Qarun yang dengan harta dan kedudukannya itu menyebabkan keduanya binasa. Ada juga tipe orang yang bekerja mendapatkan harta, demi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, dan ia tahu betul bahwa itu meruapkan kewajiban dirinya dalam memberikan nafkah bagi anak isterinya. Agar ia tidak jatuh menjadi orang yang meminta-minta (pengemis), dan menghindarkan diri dari mencuri. Untuk itulah dia bekerja. Kerangka dasarnya adalah ia memandang bahwa inilah kewajiban yang diberikan Allah kepadanya. Ada juga orang bekerja mengumpulkan harta tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi ia juga berniat untuk menikmati nikmat yang diberikan Allah, sebagai tahadduts binni`mah, menikmati rezki yang halal, dan ia tahu betul bahwa yang memberikan nikmat adalah Allah. Selanjutnya ada juga orang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya dengan pekerjaan yang halal dan ia tahu nikmat itu datang dari Allah, dan ia menyadari bahwa harta yang ia miliki adalah titipan semata, dan dengan hartanya itu ia gunakan untuk berbagi dengan orang yang membutuhkannya. Ia napkahkan harta itu di jalan Allah. Dari tipe – tipe orang yang bekerja tadi, bisa kita kelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang bekerja bukan atas dasar ibadah, dan kelompok yang bekerja atas dasar ibadah kepada Allah. Ketika kita berpakaian pun harus dilandasi niat ibadah kepada Allah. Apabila tidak kita niatkan atas dasar niat menutup aurat dan memenuhi perintah Allah, maka apa yang kita lakukan tidak bernilai ibadah, Karena yang di nilai bukan pakaiannya tetapi niatnya. Begitu pula ketika kita melakukan hubungan suami isteri, apa yang kita lakukan adalah hal yang halal, walau halal kalau tidak niat untuk ibadah karena Allah kita hanya mendapatkan nikmatnya saja tetapi tidak mendapatkan nilai di sisi Allah. Coba kalau kita niat menunaikan kewajiban dan memberikan hak kepada isteri, dan apa yang kita lakukan itu atas dasar lillah. Maka kita pun akan mendapat nilai dan dapat pula kenikmatannya. Coba kita perhatikan hadits Nabi yang menggambarkan bagaimana kehebatan dan kekuatan niat. - وَعَنْ أبي يَزِيدَ مَعْنِ بْن يَزِيدَ بْنِ الأَخْنسِ رضي الله عَنْهمْ، وَهُوَ وَأَبُوهُ وَجَدّهُ صَحَابِيُّونَ، قَال: كَانَ أبي يَزِيدُ أَخْرَجَ دَنَانِيرَ يَتصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ في الْمَسْجِدِ فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا فَأَتيْتُهُ بِهَا . فَقَالَ : وَاللَّهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ ، فَخَاصمْتُهُ إِلَى رسول اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فَقَالَ: «لَكَ مَا نويْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخذْتَ يَا مَعْنُ » رواه البخاريُّ . Artinya : Dari Abu Yazid Ma`ni bin Yazid bin Al Akhnas radiallahu anhum, Dia, ayahnya dan kakeknya adalah sahabat Nabi Saw.Abu Yazid berkata: Ketika itu ayahku Yazid mengeluarkan beberapa uang emas untuk disedekahkan, lalu dipercayakan kepada seorang laki-laki yang berdada di dalam mesjid (untuk dibagi-bagikan) maka aku hampiri orang itu dan aku ambil uang itu dan kuperlihatkan kepada ayahku. Ayahku berkata : Demi Allah yang kuharapkan bukan untukmu. Maka aku adukan kejadian ini kepada Rasulullah SAW. Maka beliau bersabda : Engkau mendapatkan apa yang kamu niatkan hai Yazid. Dan kamu berhak memiliki apa yang kamu ambil, hai Ma`nu” Dari hadits tersebut dapat dipahami, karena dengan niat bersedekah, walaupun ternyata yang menerima adalah anak sendiri, karena dititip dengan orang lain, walaupun sebelumnya ayahnya bukan bermaksud bersedekah pada anaknya, tetapi bersedekah untuk orang lain. Orang tersebut (ayah) tetap mendapatkan ganjaran kebaikan. Dan anaknya tadi berhak memiliki apa yang sudah ia ambil. Ada hikayat, pada suatu masa terjadi kemarau panjang, dan terjadilah gagal panen, kelaparan terjadi di mana-mana. Disaat semua orang tidak memiliki apa-apa, ada salah seorang yang memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama berjalan-jalan di kampung itu. Ia menemukan setumpuk pasir, dan ia berkata dalam hati “ Ya Allah, seandainya pasir ini beras, niscaya aku sendiri yang akan mengangkut dan membagikannya kepada mereka yang membutuhkan”. Ketika orang ini meninggal dunia, ia pun bingung menerima ganjaran pahala yang begitu besar, padahal menurutnya, ia tidak pernah merasa berbuat kebaikan sebanyak itu. Lalu ia diingatkan ketika ia hidup di dunia pernah berandai-andai tentang tumpukan pasir menjadi beras dan akan dibagikannya untuk orang lain. Sungguh besar karunia dan anugerah Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendakinya. Setiap kebaikan yang dikerjakan dengan penuh keimanan akan diberikan balasan yang berlipat ganda mulai dari berbalas sepuluh, tujuh ratus, bahkan sampai tidak terhitung banyaknya, sesuai dengan kadar keimanan dan keikhlasan mereka yang beramal. Hal ini menunjukkan Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Penyayangnya Allah kepada hambanya yang beriman. Sebaliknya orang yang berbuat kejahatan akan dibalas juga oleh Allah dengan keadilanNya. Mari kita simak hadits qudsi berikut: - وَعَنْ أبي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَِّلب رَضِي الله عنهما، عَنْ رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، فِيما يَرْوى عَنْ ربِّهِ ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : «إِنَّ الله كتَبَ الْحسناتِ والسَّيِّئاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذلك : فمَنْ همَّ بِحَسَنةٍ فَلمْ يعْمَلْهَا كتبَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عِنْدَهُ حسنةً كامِلةً وَإِنْ همَّ بهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عَشْر حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمَائِةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كثيرةٍ ، وَإِنْ هَمَّ بِسيِّئَةِ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كامِلَةً ، وَإِنْ هَمَّ بِها فعَمِلهَا كَتَبَهَا اللَّهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً» متفقٌ عليه . Artinya : Dari Abu Al Abbas Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib radianllahu `anhuma, dari Rasulullah menjelaskan keterangan dari Tuhannya (hadits qudsi) : “ Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan dan kejelekan. Dijelaskan: Barangsiapa mencita-citakan berbuat kebaikan dan ia tidak mengerjakan kebaikan tersebut, Allah akan membalasnya untuk orang tersebut satu kebaikan yang sempurna. Dan jika ia berniat (mencita-citakan) berbuat kebaikan, lalu dia kerjakan kebaikan itu, Allah akan berikan ganjaran sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat bahkan sampai tidak terhitung banyaknya. Dan jika dia bercita-cita, berkeinginan berbuat kejahatan dan dia urungkan niatnya itu (tidak jadi berbuat kejahatan) Allah berikan satu kebaikan yang sempurna. Dan jika dikerjakannya kejahatan itu, Allah hitung baginya satu kejahatan. Ada banyak niat yang bisa kita pasang ketika kita beramal atau mengerjakan kebaikan sosial. Karena setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.( وإِنَّمَا لِكُلِّ امرئٍ مَا نَوَى) Misalnya, Ketika kita mendapat undangan hajatan tetangga. Saat kita akan berangkat, kita bisa memasang niat untuk mengabulkan hajat orang lain karena Allah, kita tambahkan lagi niatan silaturrahim dengan para tetangga, ditambah lagi niat menyenangkan hati orang lain, ditambah lagi niat berbagi ilmu atau pengalaman dengan orang lain, niat dakwah bilhal, niat saling berkasih sayang, karena pandangan orang yang berkasih sayang lillah wafillah, sangat luar biasa. Demikian besar keistemewaan dan keagungan dan kekuatan niat. Niat adalah amalan hati dan yang menilai adalah Allah SWT. Semoga kita semua diberikan keikhlasan oleh Allah SWT. Mengapa kita berdoa dan meminta diberikan keikhlasan, karena keikhlasan atau niat yang benar merupakan karunia atau anugerah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dipilih oleh Allah. Oleh karena itu hendaknya kita selalu berusaha, terus menerus beramal dan beramal kebaikan, sambil mengaharap diberikan keikhlasan yang sempurna. Janganlah kita meninggalkan amal karena merasa belum Ikhlas, atau karena takut dikatakan orang begini-begitu, karena menurut Imam Syafi`i untuk mencapai keikhlasan yang sempurna 100 persen itu sulit, karena syaitan selalu datang mengganggu. Karena tujuan dari Iblis adalah agar manusia menganggur alias tidak beramal kebaikan. Dalam kitab Al Azkar, Imam Nawawi ada disebutkan, meninggalkan amal karena manusia termasuk riya, dan beramal karena manusia syirik. Para ikhwan dan muhibin Tijaniyah, coba kita renungkan ajaran dan materi Tarekat yang kita terima, di sana kita dapati tarbiyah dan bimbingan Syekh, bahwa setiap amaliah yang kita kerjakan senantiasa dimulai dengan niat. Perhatikanlah...Niat wirid lazim pagi dan sore serta wazhifah. “Sangaja aku beribadah kepada Allah dengan membaca wirid pagi (sore) dalam tarekat Tijaniyah, tarekat puji syukur, karena Allah ta`ala”. Dari sini kita bisa memahami kandungan ajaran untuk senantiasa menilik hati kita dalam berbuat sesuatu baik amaliah agama, maupun amaliyah sosial. Agar kita semua mendapat keberuntungan fiddunya wal akhirah. Beramal sebagai realisasi dari rasa syukur kepada Allah, makanya Tarekat Tijaniyah disebut juga Tarekat Puji Sykur, sebagai mana Rasulullah senantiasa beristighfar, padahal Rasulullah sudah dijamin tidak berdosa. Saat beliau melaksanakan shalat malam sampai menjelang waktu shubuh, beliau berdiri, dalam keadaan menangis, ruku beliau menangis, sujud beliaupun menangis. Ketika ditanya oleh isteri beliau Saidatina Aisyah, mengapa Rasulullah sampai berbuat hal yang demiakian, padahal dosa yang lalu dan yang akan datang sudah diampuni. Beliau pun menjawab: Tidakkah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur. Dan mengapa aku tidak berbuat hal demikian itu padahal sudah diturunkan kepadaku ayat : إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ -١٩٠- الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ -١٩١- Artinya :Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau Menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (Q.S. Ali Imran : 190 -191) Jaga Syarat, Perhatikan Anjuran dan Pantangan dalam Tarekat Dalam dunia kesehatan, setiap pasien yang menginginkan kesembuhan, ia harus benar-benar memperhatikan pantangan-pantangan yang harus ia hindari selama menjalani pemngobatan. Disamping itu, ia juga harus mematuhi anjuran-anjuran dokter. Apabila anjuran dan pantangan dokter ia abaikan, pengobatan yang ia lakukan akan sia-sia. Dalam tarekat, kita diberikan resep atau amaliah tarekat dengan jumlah hitungan tertentu dan waktu yang ditentukan. Oleh karena itu kita sebagai pasien atau murid tidak dibenarkan menambah atau mengurangi jumlah yang sudah ditentukan. Kita tidak perlu menanyakan mengapa harus 100 kali mengapa harus 30 atau mengapa tidak ditambah saja? Karena itulah resep atau formula yang tepat yang harus dikonsomsi, sesuai anjuran dokter (Syekh). Kita harus mematuhinya. Yang tidak kalah pentingnya adalah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan menjaga agar jangan sampai melanggar larangan atau pantangan dalam tarekat. Karena dibalik larangan atau pantangan pasti mengandung hikmah yang akan terpulang bagi pengamal tarekat itu sendiri. Dalam tarekat Tijaniyah ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan, yaitu : Pertama :Tarekat Tijani tidak boleh digabung dengan tarekat yang lain Apabila sudah mengambil dan mengamalkan terekat Tijaniyah, kita dilarang mengambil atau mengamalkan tarekat yang lain. Pantangan ini tidak main-main. Berapa banyak orang yang tidak mengindahkan pantangan ini mengalami kehancuran kecuali ia kembali dan menetapi Tarekat Tijani. Begitu pula orang yang ingin mengambil tarekat Tijani, harus kosong dari tarekat yang lain. Artinya apabila sebelumnya memegang tarekat yang lain seperti Naqsyabandi maka tarekat itu harus dilepas, untuk selanjutnya menunggal mengamalkan satu tarekat saja. Misalnya, ababila kita tetap menggabung Tarekat Tijani dan Tarekat Naqsyabandi, maka kita tidak akan diakui sebagai orang Tarekat Tijani, dan tidak pula Tarekat Taqsyabandi. yang lain. Dan lepaslah kita dari tanggung jawab Syekh. Dan bersiaplah menerima bala dari Allah. Mengapa bisa demikian? Karena sebelum kita mengambil, Tarekat Tijani, para muqaddam mengajukan persyaratan dan pantangan yang harus kita penuhi, apabila kita bersedia, para muqaddam baru bisa mentalqinkan Tarekat Tijani. Jika kita masih menggabung berarti kita sudah khianat dengan janji yang kita ucapkan. Perlu dijelaskan di sini bahwa tidak boleh menggabung tarekat bukan berarti tidak boleh bergaul dengan pengikut yang lain. Yang tidak boleh digabung adalah tarekatnya bukan orangnya. Hal ini kita jelaskan karena ada tuduhan yang tidak pas tentang tarekat Tijani, seperti tuduhan Tarekat Tijani memcah belah umat, karena katanya Tijani tidak mau bergaul dengan orang yang bukan Tijani (memutus silaturrahim). Orang Tijani bikin Mesjid sendiri yang tidak terlalu jauh dengan mesjid yang lain, bahkan ada tuduhan setengah PKI. Masya Allah...! Begitu mudahnya memberikan tuduhan seperti itu, padahal belum tabayyun. Ternyata yang dimaksudkan mesjid itu adalah zawiyah sebagai majelis zikir dan ilmu yang dibangun tidak berjauhan dengan Mesjid. Benarkah ikhwan Tijani dilarang bergaul dengan orang yang bukan pengamal tarekat Tijani? Orang Tijani tidak dilarang dan tidak memutus silaturrahim dengan orang lain. Bahkan ikhwan Tijani disuruh menghubungkan tal silaturrahim dengan siapapun. Yang ada dalam Tijani adalah melarang ikhwannya bergaul dengan orang yang memusuhi atau i`tiradh dengan tarekat Tijani, karena bergaul dengan mereka justeru mengakibatkan lemahnya himmah kita dalam mengamalkan tarekat, yang pada akhirnya kita pun melepas tarekat Tijani, karena terpengaruh dengan kata-kata orang tersebut. Ini pun diperuntukkan bagi ikhwan yang hatinya belum terlalu mantap dengan Tarekat Tijani (ikhwan yang baru masuk tarekat). Kalau mampu memberikan pengaruh pada mereka yang memusuhi Tarekat Tijani, bahkan mampu mengajak mereka yang `itiradh itu tobat dan mau kembali kepada Allah dan Rasul, dan bergabung dengan tarekat Tijani, silahkan kita pergauli mereka. Kalau dirasa tidak mampu, lebih baik kita tingalkan orang yang sudah berani menjadi musuh Allah dan Rusul. Berteman dengan orang yang menjadi musuh Allah dan Rasul justeru mendatangkan bahaya buat diri kita sendiri. Hikmah tidak Menggabung Tarekat Ikhwan Tijani tidak menggabung tarekat, dalam arti ikhwan Tijani istiqamah dengan satu tarekat, sebagaimana kita umat Islam tidak dilarang bermuamalah dan bergaul dengan umat lain dan dengan siapapun, selama tidak berhubungan dengan akidah. Kalau tarekat kita ibaratkan sebagai sarana penyembuhan penyakit. Maka apa jadinya kalau pasien mendapatkan pengobatan dan resep dari dua orang dokter. Dokter yang satu memberi resep ini dan dokter yang lain memberi resep yang lain lagi. Kalau kita ambil dan kita minum semua obat tersebut, apa yang terjadi, bukan kesembuhan yang akan kita dapat, justeru memperparah penyakit yang ada, karena kita sudah keracunan obat. Inilah persolan yang banyak dilupakan, dikira dengan banyak mengambil tarekat akan memperbaiki keadaan, bahkan malah sebaliknya. Untuk itulah disini perlu kita pertegas dengan mengemukakan pendapat para ahli agar kita sukses dalam menempun tarekat. Imam As Sya`rani dalam kitab beliau Anwar Al Qudsiyah halaman 43 menyatakan : ومن شأ نه ألا يكون له الا شيخ واحد فلا يجعل له قط شيخين لأن مبنى طريق القيم على التوحيد الخالص “ Diantara persoalan seorang murid (adab murid), bahwa ia hanya boleh memiliki satu guru (syekh), tidak dibolehkan mengambil dua orang syekh (tarekat) karena tarekat itu dibangun atas dasar tauhid yang suci/murni”. Pernyataan di atas menegaskan bahwa pondasi dasar tarekat adalah tauhid murni, tidak bercampur, artinya memiliki Tuhan hanya satu, mempunyai Nabi hanya satu dan syekh murabbi juga satu (satu tarekat). Oleh karena itu apabila menggabung dua tarekat atau dua murabbi berarti tidak tauhid lagi (bersyarikat). Hal ini disenyalir oleh Syekh Abu Yazid dengan istilah musyrik dalam tarekat, sebagaimana pernyataan beliau yang tercantum dalam kitab Anwar Al qudsiyah halaman 43 baris ketujuh dari awah, yaitu : من لم يكن له استاذ واحد فهو مشرك فى الطريقة والمشرك شيخه الشيطان “Barangsiapa yang tidak menetapi satu syekh, maka ia musyrik dalam tarekat, dan orang yang musyrik syekhnya adalah syaitan”. Masih di halaman yang sama Syekh As Sya`rani mengutip pendapat Syekh Muhyiddin Ibn Arabi sebagai berikut : اعلم انه لا يجوز ان يتخذ له إلا شيخا واحدا لأن ذالك اعون له فى الطريق وما راين قط افلح على يد شيخين, فكما انه لم يكن وجود العالم بين إلهين ولا المكلف بين رسولين ولا امرأة بين زوجين فكذالك المريد لا يكون بين شيخين هذا كله فى مريد تقيد بشيخ بقصد سلوكه الطريق واما من لم يتقيد فهو متبرك بالشيخ فقط فمثل ذالك لا يمنع من الإجتماع بأحد Ketahuilah, tidak dibenarkan seorang murid mengambil guru, kecuali satu syekh. Karena yang demikian sudah ketentuandalam tarekat. Karena tidak pernah aku melihat seorang murid yang dapat keberuntungan di tangan dua orang guru, sebagaimana tidak mungkin ada alam dengan du Tuhan, dan tidak ada mukallaf dengan dua orang rasul, begitu pula dengan seorang perempuan dengan dua orang suami. Begitu pula seorang murid tidak mungin berada diantara dua orang syekh. Ini semua untuk murid yang bermaksud menggantungkan dirinya menempuh tarekat (sebagai murid tahkim/taqyid). Dan bagi murid yang tidak bermaksud menempuh tarekat disebut dengan murid Tabarruk kepada syekh saja. Murid seperti ini tidak dilarang bergabung dengan yang lain”. Dari ungkapan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa larangan menggabung dua tarekat atau memiliki syekh lebih dari satu dikhusukan bagi murid taqyid atau murid tahkim (murid yang benar-benar menginginkan masuk dalam ranhkuman / ikatan tarekat untuk mendapatkan bimbingan secara khusus dalam tarekat). Perlu diketahui bahwa murid taqyid dan murid tahkim ini ia tidak dilarang menuntut ilmu atau berguru kepada guru yang lain, mendengar nasehat guru yang lain, selama murid itu mantap hatinya pada syekh tarekatnya. Dan ia juga diperkenankan mengamalkan amaliah lain yang bukan rangkaian amaliah tarekat. Namun, perlu kita ketahui amaliah ikhtiariah yang ditawarkan dalam tarekat Tijani juga sudah banyak, seandainya mau mengamalakan keseluruhan, sungguh tidak cukup waktu 24 jam. Jadi sebagai murid tarekat (murid tahkim) ia harus mantap pada satu syekh (tarekat), sebagaimana ungkapan Syekh Muhyiddin dengan perumpamaan yang logis. Dapat pula kita analogikan seorang murid itu dengan seorang anak yang tidak mungkin memiliki dua orang ayah. Ibnu Hajar juga pernah mengemukaan persoalan ini seperti ungkapan beliau : من يريد التبرك يجوز له الأخذ عن مشايخ متعد دة ومن يرد السلوك والتربية يحرم له عليه الخروج عن شيخه “ Barang siapa ingin mencari berkah, dibolehkan ia mengambil dari beberapa guru. Dan barang siapa yang ingin Suluk /menempuh jalan menuju Allah dan menginginkan bimbingan, maka ia dilarang meninggalkan gurunya dengan maksud mengambil beberapa guru yang lain”. Selanjutnya Imam Asy Sya`rani menjelaskan kedudukan Salafus Saleh dari golongan shahabat, tabi`in, dan tabi`it tabi`in, menurut beliau bahwa mereka tidak tergantung dengan satu syekh saja, bahkan sampai seratus syekh. Alasannya karena mereka termasuk orang yang suci lagi sempurna hal ihwalnya hingga mereka tidak membutuhkan bimbingan tarekat. Manakala mereka ditimpa satu penyakit (batin) yang mengahjatkan pengobatan, para masyaekh tadi memerintahkan untuk menggantungkan atau mengikatkan dirinya pada satu syekh saja agar tidak terlepas dan tercerai serta jauh perjalannya. (Anwar Alqudsiah : 44). Dari keterangan di atas, logis kalau tarekat Tijani menjadikan larangan menggabung dua tarekat sebagai syarat bagi yang ingin mengambil tarekat Tijani. Hal ini dimaksudkan tidak lain untuk kesuksesan murid itu sendiri. Secara mendasar ada alasan mengapa tarekat Tijani tidak boleh digabung dengan tarekat yang lain, yaitu : Pertama, karena mematuhi anjuran Rasulullah, sebagaimana anjuran beliau kepada Syekh Tijani untuk melepas semua tarekat yang pernah diambil dari para Syekh untuk menetapi satu tarekat yang ditalqin oleh Rasulullah kepada beliau. Dan beliau menerima Tarekat dan anjuran Rasulullah untuk melepas semua tarekat yang pernah diambil sebelumnya itu, ketika beliau bertemu dengan Rasulullah secara jaga, bukan dalam mimpi. Ini yang disebut oleh ulama tarekat sebagai talqin Barzakhi, yang disepakati kebenaran atau keshahihannya. (lihat Faidhurrabbani halaman 14). Jadi larangan menggabung tarekat Tijani adalah syarat yang dikemukakan oleh Rasulullah sendiri. Kedua, Murid Tijani diakui oleh Rasulullah sebagai murid beliau, ini berarti ikhwan Tijani yang membimbing secara rohani adalah Rasulullah sendiri. sebagaimana dikemukakan Rasul kepada Syekh bahwa Murid-muridmu adalah muridku” (Faidhurrabbani : 28) Sebagai kesyukuran, adakah guru pembimbing yang melebihi Rasulullah, oleh karena itu Rasul sangat cemburu kalau kita lebih mencintai yang lain ketimbang beliau. Hal ini bukan berarti kita menghinakan Syekh yang lain. Artinya dengan kecintaan kita kepada Syekh Tijani dan Rasul melebihi yang lain akan melahirkan kecintaan dan memuliakan syekh yang lain atas dasar kecintaan dan memuliakan Rasul dan Syekh Tijani. Dari uraian di atas dapat dimaklumi bahwa persoalan menetapi satu tarekat atau pun menggabung beberapa guru tergantung dengan kedudukan kita berada pada posisi mana. Apakah kita sebagai murid tabarruk saja ataukah kita ingin menjadi murid taqyid, murid tahkim? Ataukah kita sudah mencapai tingkatan maqam seorang Syekh yang bersih hati dari cacat cela sebagaimana para shahabat Rasul, Tabi`in, dan tabi`ittabi`in. Ini bisa kita jawab masing-masing. Tarekat Tijani adalah tarekat yang menghendaki muridnya sebagai murid tahkim, murid taqyid atau murid shadiq, murid yang benar-benar bersedia memenuhi semua ketentuan tarekat. Konsekuensinya bila tidak bersedia memenuhi ketentuan berarti bukan pengikut tarekat Tijani. Tidak Ziarah untuk Meminta Madad Rohani kepada Wali Lain (diluar Tijani), Baik yang Hidup atau yang Sudah Wafat Syarat atau pantangan melakukan ziarah kepada para wali di luar Tijani merupakan syarat atau pantangan yang cukup berat bagi mereka yang biasa dan sering ziarah ke kubur para wali. Hal tersebut banyak dipersoalkan oleh mereka yang memang terbiasa melakukan ziarah. Namun, disini perlu kita pahami lebih dahulu, ziarah yang bagaimana yang dilarang dalam Tijani, adakah ziarah yang dibolehkan, kalau tidak ziarah apakah termasuk meremehkan atau bagaimana? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita ketahui pengertian ziarah. Kata ziarah berasal dari Bahasa Arab, isim mashdar dari kata Zaara – yazuru yang berarti mengunjungi, kunjungan. Jadi ziarah bisa kita artikan aktivitas seseorang mengunjungi tempat-tempat wisata (rekreasi), bisa pula diartikan mengunjungi orang lain, baik teman, orang tua, guru atau saudara kandung, dan masyarakat umum lainnya dengan tujuan tertentu. Apabila mengunjungi orang yang baru meninggal dunia disebut dengan takziah dengan tujuan menghibur keluarga yang ditinggal mati, saling mengingatkan untuk menetapi kesabaran. Mengunjungi orang sakit disebut juga menjenguk orang sakit (`adalmaridh), Ziarah atau mengunjungi orang lain dengan maksud silaturrahim dan ta`aun (saling tolong). Ada juga ziarah untuk mengingat akhirat atau kematian ketika ziarah kubur. Mendatangi atau mengabulkan hajat (undangan) orang lain. Atau dengan tujuan menuntut ilmu pengetahuan. Mengunjungi orang tua dalam rangka berbakti kepada keduanya. Semua ziarah yang dikemukakan ini merupakan anjuran syariat agama yang suci. Hal ini tidak termasuk larangan dalam tarekat Tijaniyah. Bahkan sangat dianjurkan. Ziarah yang dilarang dalam Tarekat Tijaniyah adalah ziarah khusus. Ziarah yang dilakukan oleh seorang murid tarekat baik secara zahir atau batin kepada syekh atau wali ( selain dari golongan Tijani) dengan tujuan untuk mendapatkan limpahan madad dan ta`alluqat batin (ketergantungan hati / mahabbah), baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia. Bisa diambil analogi terbalik, apabila kita dilarang menziarahi Syekh atau wali selain Tijani, berarti kita sebagai ikhwan Tijani sangat dan sangat dianjurkan menziarahi Syekh Tijani, lebih-lebih ziarah kepada Rasulullah, baik secara zahir maupun secara batin, untuk mendapatkan limpahan madad rohaniah. Sehingga kecintaan kepada Rasulullah dan Syekh melebihi dari yang lainnya. Limpahan Madad Rohaniah ini kalau kita analogikan dengan sebuah HP, ziarah adalah sarana untuk mengeces baterai HP yang kita pakai, sehingga bisa menyala dan bisa kita gunakan. Coba kita renungkan hal di atas, dan coba kita rasakan, semakin sering kita berkumpul dengan para ikhwan yang lain hati kita akan semakin cemerlang, karena kita saling nyetrum, saling ngeces hati kita, sehingga timbul kecintaan diantara kita, begitu pula apabila kita sering ziarah kepada muqaddam atau berkumpul dengan beliau minimal waktu hailalah Jum`at, tentu rohaniah kita akan berbeda dengan kita yang jarang berkumpul dengan beliau. Jadi, larangan ziarah kepada syekh yang lain dimaksudkan tidak lain untuk memberikan kemantapan kepada murid agar konsisten dalam menjalankan atau mengamalkan tarekatnya dan untuk penanaman rasa mahabbah terhadap syekh kita sendiri. (Dalam Bahada Banjar : Agar murid kada rambang mataan). Artinya agar murid tidak melirik kekasih yang lain. Kemantapan mahabbah inilah salah satu cara untuk mendapatkan kesuksesan dalam menempuh tarekat. Sebenarnya larangan ziarah seperti ini tidak hanya ada dalam tarekat Tijani. Seperti Tarekat Naqsyabandi juga melarang muridnya bergaul dengan murid yang lain, dan melarang ziarah kepada guru yang lain. Sebagai contoh, Ada seorang murid yang baru masuk tarekat, misalnya Tarekat Naqsyabandi, namun, murid itu belum mengenal betul seluk – beluk tarekat yang ia ambil. sementara kemantapan mahabbahnya kepada syekhnya juga masih diragukan. Kemudian si murid ini ziarah kepada murid tarekat yang lain, lalu terjadi mpembicaraan antara dua orang murid ini tentang tarekat masing-masing. Atau membicarakan keistemewaan Syekh masing-masing. Si murid itu pun membanding- bandingkan Syekh atau tarekatnya dengan syekh atau tarekat temannya itu. Akhirnya, karena si murid itu belum mantap dengan syekh atau tarekat yang pertama, dan belum sempurna perjalanan tarekatnya, ia pun tergoda ingin pindah pada tarekat yang dipegang temannya itu, karena melihat kemudahan-kemudahan atau keistemewaan syekh atau tarekat orang lain. Timbul keraguan terhadap syekh dan tarekat yang ia amalkan. Keraguan terhadap tarekat dan syekh inilah yang menyebabkan putusnya hubungan madadiah rohaniah dengan syekhnya. Atau bisa pula terjadi saling membanggakan tarekat masing-masing tanpa diiringi niat Tahaddus binni`mah hingga timbul kecenderungan meremahkan dan menghina tarekat orang lain, padahal semua tarekat bersumber dari Rasulullah. di sinilah terjadi kehancuran dan kegagalan murid tarekat. Karena meremehkan atau menghina tarekat yang lain sama halnya menghina Rasulullah sebagai sumber semua tarekat. Mengingat kegagalan atau kemudharatan itulah syekh tarekat melarang muridnya menziarahi murid atau syekh yang lain. Syekh Amin Kurdi An Naqsyabandi dalam kitab beliau Tanwirul Qulub halaman 527, beliau menyatakan bahwa: ان يمنع اصحابه ان يجلسوا اصحاب شيخ اخر فإ ن المضرة بذالك سريعة بالمريدين فإ ن رأ هم ثابتين فى محبته ولم يخف عليهم التزلزل فلا بأس Wajib bagi seorsang guru melarang para muridnya (sahabatnya) bergaul (sekedudukan ) dengan murid syekh yang lain, karena yang demikian itu mempercepat datangnya kemudharatan bagi murid. Maka, jika menurut pandangan guru, mereka memiliki kemantapan mahabbah kepada syekhnya dan guru tersebut tidak mengkhawatirkan muridnya ditimpa keraguan, maka tidak jadi persoalan (diperbolehkan ziarah). Selanjutnya Syekh Amin Kurdi dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 528, memberikan peringatan agar muridnya mantap mahabbahnya terhadap syekh, dan berkeyakinan bahwa ia akan berhasil mencapai tujuan dalam tarekat berkat bimbingan gurunya, sebagaimana ungkapan beliau berikut ini. ان يوقر المريد شيخه ويعظمه ظاهرا او باطنا معتقدا انه لا يحصل مقصوده إلا على يده وإذا تشتت نظره الى شيخ اخر حرمه وافسد عليه الفيض “Seorang murid hendaknya selalu menghormati dan memuliakan (mengagungkan) gurunya zahir dan batin serta berkeyakinan bahwa ia tidak akan berhasil mencapai tujuan tarekat melainkan atas bimbingan gurunya. Dan jika pandangananaya tercerai (tertujua) pada syekh yanag lain, haram dan rusaklah pemberian madad (karunia rohaniah) untuknya”. Hal senada juga dikemukakan oleh Syekh Dardir, katanya : ومنها ان لا يزور احدا من الصالحين مادم تحت التربية قبل الكمال خوفا من ان يرى كرامة او خلقا لم يره فى شيخه فيعتقد فى شيخه النقص فيحرم مدده (الفتح الربانى : -٣٣-) Dan sebagian adab murid ialah tidak ziarah pada seorang syekh selama ia dalam pendidikan yang belum mencapai kesempurnaan, karena dikhawatirkan apabila ia melihat kekeramatan atau akhlak yang tidak ia lihat pada syekhnya, lalu ia anggap syekhnya ada kekurangan , maka putuslah madadnya. Syekh Abdul Wahab Asy Sya`rani dalam kitab Anwar Al Qudsiah ada mengemukakan: ومن شأنه ان لا يزور احدا من أشياخ العصر إلا بإذن شيخه صريحا او تعريضا ولو كا ن ذلك المزور من اكبر اصدقاء شيخه فان شرط المريد ان لا يكون له إلا شيخ واحد “Dan sebagian adab murid yaitu tidak boleh ziarah kepada salah seorang syekh pada masanya melainkan setelah mendapat izin dari syekhnya secara terang dan jelas, walaupun syekh yang akan diziarahi itu teman gurunya yang paling besar karena syarat seorang murid hanya menetapoi satu orang guru” Kemantapan mahabbah pada gurunya jangan sampai diartikan boleh membenci dan menghina syekh yang lain, amit-amit, yang demikian jangan samapai terjadi. Oleh karena itu untuk mencapai kesempurnaan dalam bimbingan guru menuju hadhrah Allah diperlukan kemantapan mahabbah pada syekhnya. Karena itulah ada larangan ziarah bagi murid yang kemantapannya dalam bertarekat masih diragukan. Jadi ziarah yang dilarang dalam tarekat adalah ziarah yang menyebabkan ta`alluqat batin terhadap orang yang ia ziarahi. Ia tenggalam dan tergantung hatinya terhadap orang yang ia ziarahi sehingga melupakan atau membelakangi syekhnya sendiri. Sadar atau tidak sadar ia akan mengharapkan atau meminta limpahan madad pada orang yang ia ziarahi, padahal ia memiliki syekh yang bisa memberikan madad pada dirinya, lalu mengapa harus meminta pada orang lain. Inilah yang dimaksudkan para masyaekh dengan pernyataan seorang syekh disisi kaumnya seperti Nabi di sisi umatnya. Mari kita ikuti ungkapan yang ada dalam kitab Bughyatul Mustafid halaman 300 berikut: إن الشيخ فى قومه كالنبى فى امته فلا بد للمريد ان يتوجه الى شيخه بربط قلبه معه ويتحقق ان الفيض لا يجيء إلا بواسطته وان كان الأولياء كلهم هادين مهتدين يعتقد كلهم ويدعو لهم لكن استمداده الخاص واستفاضته تكون من روحانيته شيخه واحده ويعلم ان استمداد من شيخه استمداد من النبى ص م فان شيخه متعلق مستمد من شيخه وشيخه من شيخه ايضا وهكذا الى رسول الله ص م .(بغية المستفيد : ٣٠٠) “Seorang syekh di sisi kaumnya seperti Nabi di sisi umatnya, oleh karena itu mau tidak mau seorang murid harus bertawajjuh kepada syekhnya dengan jalan hatinya selalu bersama syekhnya (cinta dan rindu). Dan berkeyakinan bahwa karunia (limphan madad) tidak akan didapatnya melainkan dengan perantaraan syekhnya. Walau semua wali bisa memberikan petunjuk dan bimbingan, dan ia pun mempercayai mereka. Namun, curahan madad dan limphan karunia rohani secara khusus diterimanya dari syekhnya seorang. Dan ia tahu bahwa pemberian madad dari syekhnya itu adalah istimdad dari Nabi swa. Karena sesungguhnya syekhnya mendapat madad dari gurunya, dan gurunya itu mendapat madad dari gurunya juga, hingga sampai kepada Rasulullah Saw”. Tarekat dibangun atas dasar tauhid murni. Oleh karena itu tidak boleh musyrik dalam tarekat, sebagaimana ungkapan Syekh AsySya`rani dan Abu Yazid pada pembahasan terdahulu. Apa makna perkataan beliau itu? Bisa kita Pahami, apabila kita ziarah kepada syekh lain, lalu kita terhijab atau lupa kepada syekh kita sendiri, berarti kita sudah jatuh pada mensyarikatkan syekh. Jadi apapun yang kita teriman baik berupa kebaikan atau ilmu pengetahuan walau kita dapat dari guru yang lain, hendaknya tidak memalingkan pandangan kita dari syekh kita sendiri. Kita tidak dilarang ziarah silaturrahim dan menuntut ilmu pengetahuan kepada para ulama yang lain, namun ingat kemantapan terhadap tarekat atau syekh jangan sampai berkurang. Dalam kitab ar Rimah juz I halaman 145 kita temukan pernyataan sebagai berikut: ان شيخنا رضى الله عنه وارضاه وعنا به لم يعمم لأنه ما منع احدا من اهل طريقته من التعلم من جميع الأولياء والعلماء ولا من حضور مجالسهم ولا من اسماع موعظهم وكلامهم ولا من التواصل فى الله وفى الرحم “ Bahwasanya, Syekh Ahmad At Tijani RA. tidak melarang ziarah secara umum, oleh karena itu beliau tidak melarang seorang pengikut tarekatnya menuntut ilmu kepada semua wali dan ulama, tidak melarang menghadiri mejelis mereka, tidak melarang mendengarkan nasehat dan pembicaraan mereka dan tidak melarang menyambung tali silaturrahim karena Allah” Bahkan beliau Ra. menganjurkan: زوروا فى الله تعالى وواصلوا فى الله تعالى واطعموا فى الله تعالى مالستطعتم فى غير تعسير ولا كد “Ziarahlah kalian karena Allah, hubungkan tali silaturrahim karena Allah, berilah makan karena Allah, semampu kamu tanpa kesusahan dan kepayahan”. Sebenarnya ziarah tidaklah jadi persolan, yang dipersoalkan adalah keadaan hati si murid itu sendiri. Apakah ia memiliki kemantapan batin terhadap syekh Tijani atau tidak, karena walaupun ia tidak ziarah tetapi batinnya cenderung pada syekh lain, ini yang jadi persoalan. Pernah seorang murid Syekh Tijani membaca kitab karya Syekh Sya`rani, saat itu tersangkut hatinya pada syekh tersebut dan lupa terhadap Syekh Tijani. Hal ini diketahui oleh Syekh Tijani. Dari jarak perjalan ribuan kilo meter, beliau datangi murid beliau itu. Dan beliau memberi taguran “ Engkau ini Sya`rani ataukah Tijani”. Untuk keberhasilan dalam menjalani tarekat, bagi murid tazalzul, murid yang belum mengerti masalah ziarah yang boleh atau yang dilarang, hendaknya menghindari ziarah. Setelah mengetahui hikmah pantangan dalam tarekat , perlu juga kita juga kita uraikan anjuran-anjuran dalam tarekat atau syarat-syarat yang lain, sebagai kesempurnaan dalam menjalani tarekat. Bagi pemegang tarekat Tijani wajib salat lima waktu dan sangat dianjurkan dengan berjamaah. Memang agama kita sudah menganjurkan demikian. Tetapi dalam tarekat Tijani dijadikan syarat bagi yang ingin masuk tarekat Tijani. Ini adalah penguat untuk merialisasikan ajaran agama Islam itu sendiri. Artinya bagi Orang Tijani tidak ada istilah meninggalkan syariat, dan tidak ada istilah meninggalkan salat. Disamping salat lima waktu Syekh Tijani sangat menganjurkan murid-murid beliau mengerjakana salat tahajjud . Pernah suatu ketika murid beliau mengadu keopada beliau, bahwa ia sangat berat untuk bisa melakukan salat tahajjud, maka murid itu disuruh belian untuk melepas tarekat, karena tarekat Tijani tidak cocok dengan orang yang malas melaksanakan salat Tahajjud. Orang yang meninggalkan salat tahajjud saja sudah ditegur sedemikian rupa oleh syekh. Lebih-lebih orang yang meninggalkan salat fardhu. Ini berarti tarekat Tijani menghendaki murid-muridnya agar menjadi ahli ibadah. Dengan mengetahui hal ini, maka tertolak anggapan orang yang mengatakan bahwa orang tijani malas dalam beramal, karena terlena memandang fadhilah shalawat fatih. Permasalahan ini akan dibahas lebih lanjut pada topik bahasan “Jadikan Dhmanat dan Fadilah Terekat Sebagai Motivasi, Bukan Tujuan Akhir”. Sayarat dan anjuran yang lainnya adalah Takwa zahir dan batin sesuai dengan kemampuan. Jika terjadi pelanggaran syar`i wajib segera bertobat. Sebagaimana uraian di atas, syarat ini pun sebagai penguat dan pendorong umat islam untuk merealisikan ajaran Islam. Artinya dengan masuk tarekat Tijani, orang akan benar-benar memperhatikan anjuran takwa. Untuk mengetahui syarat yang lebih rinci bisa kita baca dalam kitab Addurarussaniyah. Kita temukan 29 syarat yang bisa kita kelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : Syarat calon pengamal tarekat, dan syarat setelah menjadi murid tarekat. Syarat setelah menjadi murid tarekat diantaranya membahas tentang hubungan murid dengan syek. Hubungan Murid dengan syekh lain, manusia umum, termasuk orang tua dan suami. Tata krama atau adab mengerjakan wirid dan kesempurnaannya. Dan adab terhadap diri sendiri. Jadi semua syarat dan pantangan dan tata aturan yang ada dalama tarekat yang kita pegang herus diperhatikan dengan sungguh-sungguh, kemudian dilaksanakan dengan penuh keyakinan. Dengan demikian insyaallah kita akan meraih kesuksesan bertarekat. wallahua`lam. Yakin dengan Tarekat Tiajani Akan Sampai pada Tujuan Banyak ayat al Qur`an menyebutkan iman dan amal saleh secara beriringan. Ini menunjukkan kepercayaan atau keyakinan adalah pondasi dasar yang kita miliki. Percaya dan yakin dengan tarekat yang kita ambil dan percaya dengan apa-apa yang berhubungan dengan tarekat, baik syarat, keutamaan tarekat, kedudukan syekh Tijani sebagai Saidul Aulia, dan hal-hal lainnnya. Kepercayaan dan keyakinan itu merupakan pondasi untuk meraih keutamaan dan keberhasilan dalam bertarekat. Yang tak kalah pentingnya adalah kita harus percaya dan yakin bahwa kita akan sampai pada tujuan tarekat, yaitu wushul ilallah. Dalam kitab Ar Rimah jilid I hal 23 disebutkan bahwa: الشيخ الواصل حبل الله فى ارضه فمن تعلق به وصل واما غير الواصل فمن تعلق به انقطع “Syekh washil adalah ibarat tali Allah di bumi, barang siapa bergantung kepadanya, niscaya ia akan washil juga. Adapun syekh yang tidak washil, siapa yang bergantung kepadanya akan terputus (tidak akan wushul ilalla).” Sebaliknya orang yang tidak percaya dengan tarekat atau ragu-ragu dengan tarekat yang ia ambil tidak akan memperoleh keutamaan tarekat yang ia ambil, karena masih dalam keragu-raguan. Bahkan ada diantara ikhwan kita ( termasuk ulama) yang tadinya masuk Tarekat Tijani, karena ada ungkapan-ungkapan dalam Tarekat yang menurutnya tidak lazim, menurut pemahamannya, sehingga timbul keraguan dan akhirnya menyatakan secara tertulis keluar dari Tarekat Tijani, bahkan sampai menggelar Dialog untuk memojokkan Tarekat Tijani. Na`uzubillah min zalik. Menurut KH. Fauzhan: Haram bagi ikhwan Tijani mengikuti imam (bermakmum) kepada orang yang pernah masuk Tijani kemudian keluar dari Tijani bahkan memusuhi Tarekat Tijani. Ada juga saudara kita yang tidak percaya dengan tarekat, bahkan tarekat dikatakan sebagai bid`ah. Tidak percaya dengan karamatnya para wali. Menganggap tarekat menjerumuskan manusia kepada perbuatan syirik, karena katanya orang tarekat senang memuji-muji wali, meminta kepada wali. Tidak percaya dengan tawasul. Langsung saja katanya meminta kepada Allah. Orang-orang yang beranggapan seperti ini jangankan mengambil Tarekat, mendengar nama Tarekat saja mereka elergi, bahkan memusuhi orang-orang tarekat. Yakinlah dengan bergabung pada salah satu tarekat muktabarah, kita akan sukses meraih keselamatan, kebahagiaan dunia akhirat, dan mendapatkan keridhaan Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar