Masalah Taqlid (ikut-ikutan) kepada
Imam Madzhab
Daftar isi bab 3 ini diantaranya:
|
- Dalil kewajiban bertaqlid
ketika tidak mampu berijtihad
- Pembelaan al-Albani pada
Syeikh Khajandi
- Dialog antara Dr.Sa'id
Ramdhan al-Buuti dengan anti madzhab
- Tidak boleh mencari-cari
keringanan ajaran yang paling mudah dan ringan dari Ulama
|
|
Sebagian
golongan muslimin ikut-ikutan melarang, membid’ahkan, mencela keras bahkan
sampai berani mengkafirkan orang-orang muslim yang mengikuti salah satu dari
madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali [ra] ) atau imam
madzhab lainnya. Ulama golongan ini berkata:
“Sesungguhnya
ilmu figih dan syariat Islam yang anda ajarkan selama ini dengan susah payah
itu, sebenarnya hanyalah buah pikiran para imam madzhab tentang masalah
hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Empat madzhab itu adalah suatu bid’ah yang diadakan dalam
agama Islam serta mereka ini sama sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab empat
imam ini ialah kitab-kitab yang bisa membawa kehancuran (Kutub al-Mushaddiah)”.
Ulama yang melarang taqlid ini telah membikin heboh dunia
Islam karena dia telah mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti
salah satu dari empat madzhab. Nama ulama yang melarang ini adalah Syekh
Khajandi yang menulis dalam kitabnya Halil Muslim Multazamun
Bittibaa’i Madzhabin Mu’ayyan Minal Madzaahibil Arba’ah. Dia ini juga
mengatakan bahwa orang-orang yang taqlid kepada imam-imam mujtahid adalah orang
yang bodoh, tolol dan sesat. Mereka ini telah memecah belah agama sehingga
menjadi beberapa golongan dan mereka inilah yang dimaksudkan firman Allah swt.
dalam surat At-Taubah : 31 : “Mereka menjadikan orang-orang alim dan para
rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”. Dan firman Allah pada surat
Al-Kahfi : 103-104 : “Katakanlah (wahai Muhammad); Maukah kalian Kami tunjukkan tentang
orang-orang yang merugi amal ibadahnya..? Yaitulah orang-orang yang sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka bahwa merekalah
yang berbuat sebaik-baiknya.”
Syekh Khajandi dan orang-orang yang sepaham dengannya sangat
keterlaluan didalam upaya merendahkan dan menjatuhkan martabat para imam
madzhab yang sudah diakui sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang
oleh para pakar islam dunia. Syekh ini sama halnya dengan golongan
wahabi/salafi merasa dirinya yang paling pandai, suci dan paling mengerti
tentang hukum-hukum Islam sehingga mudah mensesatkan atau mengkafirkan
orang-orang muslimin yang mengikuti suatu amalan yang tidak sepaham dengan
mereka.
Berikut ini sebagian isi kitab Syeikh Khajandi yang sangat berbahaya dan
membingungkan ummat Islam
yang kami kutip dari kitab Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ustadz
Mujiburrahman. Begitu juga dalil-dalil Syeikh ini yang mengarahkan sesat, bodoh
perilaku orang yang bertaqlid terhadap salah satu dari imam empat itu, walaupun
yang taqlid itu tergolong orang awam. Setiap dalil yang Syeikh Khajandi
tulis kami akan kutip jawabannya sekali menurut yang ditulis
Dr.Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buuti dalam kitabnya ‘Al-laa madzhabiyyah
Akhthoru bid’ah tuhaddidus syari’atal Islamiyyah’ .
l. Syekh Khajandi
berkata; bahwa Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana, yang
dengan mudah dapat dimengerti oleh orang arab atau muslim manapun. Beliau
membuktikan kebenaran pernyataannya ini dengan mengetengahkan beberapa dalil
berikut ini :
Pertama; hadits Jibril as. ketika bertanya kepada Rasulallah saw.
tentang makna Islam. Kemudian Rasulallah menjawab dengan menyebutkan
rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih dari itu !
Kedua; hadits tentang seseorang yang mendatangi Rasulallah saw.
seraya berkata : ‘Wahai Rasulallah, tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang
apabila aku kerjakan, maka aku akan masuk surga’. Lalu Rasulallah saw. bersabda
; ‘Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah…sampai akhir hadits’ “.
Ketiga; hadits tentang seseorang yang datang dan mengikat ontanya
dimasjid Rasulallah saw., kemudian masuk menghadap Nabi saw. dan bertanya
tentang rukun Islam yang paling penting.
Selanjutnya berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh
ini menegaskan bahwa Islam itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa
hukum yang sederhana yang bisa dipahami oleh setiap muslim, arab ataupun non
arab. Hal ini karena setelah Nabi saw.menyebutkan tentang rukun Islam yang
lima, lelaki yang bertanya itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi.
Ini membuktikan bahwa rukun-rukun Islam itu adalah satu permasalahan yang
mudah dan penjelasannya tidaklah perlu sampai taqlid kepada seorang
imam atau menetapi seorang mujtahid. Madzhab-madzhab yang ada tidaklah lebih
dari sekedar pemahaman para ulama terhadap beberapa masalah. Allah serta
Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan seorangpun untuk mengikutinya.
Jawaban :
Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuti mengomentari ucapan Syeikh
Khayandi diatas sebagai berikut :
“Seandainya benar bahwa hukum-hukum Islam itu terbatas pada
masalah-masalah yang telah disampaikan oleh Rasulallah saw. kepada orang arab
badui (pedusunan), lalu pergi dan tidak memerlukan penjelasan lagi, niscaya
tidaklah kitab-kitab shohih dan musnad-musnad itu dipenuhi oleh ribuan
hadits yang mengandung berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kehidupan
kaum muslimin. Begitu juga Rasulallah pun tidak akan berlama-lama berdiri
hingga keletihan untuk memberi pelajaran kepada utusan Tsaqif tentang hukum-hukum Allah swt. dan itu terjadi selama
beberapa hari.
Penjelasan Rasulallah tentang Islam dan rukun-rukunnya
adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang bagaimana melaksanakan
rukun-rukun tersebut. Yang pertama membutuhkan waktu tidak lebih dari beberapa
menit sedangkan yang terakhir membutuhkan kesungguhan dalam belajar dan juga
disiplin. Oleh karena itulah, maka utusan yang hanya membutuhkan waktu beberapa
menit untuk memahami rukun Islam itu selalu saja diikuti oleh seorang sahabat
yang khusus dipersiapkan guna tinggal bersama dan mengajari mereka berbagai
hukum Islam dan kewajiban-kewajibannya. Maka diutuslah Khalid bin Walid ke
Najran, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Muaz bin Jabal Ke Yaman,
Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif. Mereka [ra] ini diutus kepada orang-orang yang
sekelas (sederajad ilmunya) dengan orang Arab badui yang oleh Syeikh Khajandi
dijadikan sebagai dalil bahwa mereka ini dapat memahami Islam dengan cepat.
(Tidak lain) tujuan para sahabat (yang diutus ini) adalah untuk mengajari
mereka rincian hukum-hukum Islam sebagai tambahan dari pengajaran dan
penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulallah saw.
Memang pada masa awal Islam permasalahan-permasalahan yang
menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum-hukumnya masih sangat sedikit. Hal
ini karena daerah kekuasaan Islam dan jumlah kaum muslimin saat itu masih
sedikit. Akan tetapi masalah/problem ini bertambah banyak seiring dengan
meluasnya daerah kekuasaan Islam dan banyaknya adat-istiadat yang tidak ada
sebelumnya. Terhadap semua masalah ini haruslah ditemukan hukumnya, baik yang
bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ataupun Qiyas (analogi). Inilah dia
sumber-sumber hukum Islam. Karenanya tidaklah ada hukum Islam kecuali yang
dinyatakan oleh salah satu dari sumber-sumber ini.
Bagaimana mungkin memisahkan antara Islam dengan apa yang
telah disimpulkan oleh ke empat imam madzhab dan orang-orang setaraf (selevel)
mereka dari sumber-sumber hukum Islam yang pokok ini…? Bagaimana Syeikh
Khajandi itu bisa mengatakan ; ‘Adapun
madzhab-madzhab yang ada hanyalah pendapat para ulama dan ijtihad mereka
terhadap suatu masalah. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun
untuk mengikuti pendapat, ijtihad
serta pemahaman-pemahaman mereka itu‘. Ucapan Syeikh ini sama persis dengan
ucapan seorang orientalis Jerman yang bernama Sheckert dimana dengan sombong dan kasar mengatakan; ‘Figih Islam yang
ditulis oleh para imam madzhab adalah hasil dari produk pemikiran hukum yang
istimerwa yang diperindah dengan mengait-ngaitkannya kepada Al-Qur’an dan
Sunnah’.
Rasulallah saw. telah mengutus para sahabat yang memiliki keahlian dalam
menghafal, memahami dan menyimpulkan suatu hukum kepada beberapa kabilah dan negeri serta menugaskan mereka
untuk mengajarkan hukum-hukum Islam, haram-halal kepada ummat. Telah menjadi
kesepakatan bahwa mereka akan ber-ijtihad jika mereka kesulitan menemukan dalil
yang jelas dari Al-Qur’an dan Hadits. Rasulallah saw. pun menyetujui
kesepakatan mereka itu.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dari Syu’bah ra. bahwa
ketika Nabi saw. mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman, beliau saw.bersabda : ‘Apa
yang akan kamu perbuat jika kamu menghadapi satu perkara ?’. Mu’az
menjawab: ‘Saya akan memutuskan dengan
apa yang terdapat dalam Kitabullah’. Rasulallah saw. kembali bertanya ; ‘Jika
tidak ada dalam Kitabullah..?’. Mu’az menjawab :’Saya akan putuskan dengan
Sunnah Rasulallah’. Rasulallah bertanya lagi : ‘Jika tidak ada dalam Sunnah
Rasulallah…?’. Mu’az menjawab : ‘Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan
saya tidak akan melebihkannya’. Mu’az berkata :’Rasulallahpun akhirnya
menepuk-nepuk dada saya dan bersabda : ‘Segala puji bagi Allah yang telah
menjadi- kan utusan Rasul-Nya sesuai dengan apa yang diridhoi olehnya’.
Inilah ijtihad dan pemahaman ulama dari kalangan sahabat.
Mereka menggunakannya untuk memutuskan hukum dan menerapkannya ditengah-tengah
masyarakat. Langkah mereka ini telah disetujui bahkan dipuji oleh Nabi kita
Muhammad saw. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa madzhab-madzhab itu adalah
ijtihad dan pemahaman-pemahaman yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah
mewajibkan siapapun untuk mengikutinya ?
Dengan demikian, maka hukum Islam itu tidaklah sesederhana
yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi, yang hanya berargumentasi dengan
beberapa dalil yang sudah kami kemukakan itu. Hukum Islam itu meluas dan
mencakup hal-hal yan berkenaan dengan sisi-sisi kehidupan, baik itu pribadi
maupun sosial dalam berbagai situasi dan kondisi. Semua hukum-hukum itu kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunnah, baik secara langsung melalui dilalah ddhahirnya
yakni kandungan hukumnya yang memang sudah jelas dan tidak memerlukan
penafsiran lagi maupun melalui perantara penelitian, ijtihad dan istinbath.
Mana saja diantara dua cara ini yang ditempuh oleh kaum muslimin untuk memahami
hukum, maka itulah hukum Allah yang terbebankan pada dirinya dan dia haruslah
tetap pada hukum tersebut. Itulah pula hukum yang harus diberikan kepada siapapun
yang datang meminta fatwa kepadanya.
Kalau benar
bahwa hukum Islam itu adalah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi,
maka apalah artinya Rasulallah saw. mengutus para sahabat pilihan ke berbagai
kabilah dan negeri…?
2. Syeikh Khajandi berkata; bahwa dasar berpegang teguh
kepada Islam adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya
inilah yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Adapun mengikuti imam-imam
madzhab, maka samalah artinya dengan kita telah merubah diri. Semula kita
mengikuti yang ma’shum yakni Qur’an dan Sunnah kemudian pindah mengikuti yang
tidak ma’shum yakni imam-imam madzhab itu. Syeikh Khajandi juga mengatakan
bahwa kedatangan madzhab-madzhab yang empat itu hanyalah untuk menyaingi
madzhab Rasulallah saw.
Jawaban:
Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi menjawab atas ucapan-ucapan
Syeikh ini sebagai berikut : “Ma’shumnya Al-Qur’an adalah apabila sesuai dengan
yang dimaksudkan oleh Allah melalui firman-Nya itu. Dan ma’shumnya sunnah atau
hadits adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi saw. melalui
haditsnya itu. Adapun pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an dan hadits itu
sangatlah jauh dari sifat ma’shum, walaupun itu dari golongan mujtahid apalagi
dari golongan orang awam. Kecuali nash-nash Al-qur’an dan hadits yang termasuk
dalil-dalil qath’i (pasti) dan yang membahasnya adalah orang-orang arab yang
mengerti kaidah-kaidah bahasa arab, maka kema’shuman pemahamannya itu lahir
dari kegath’iyyan (kepastian) dalil tersebut.
Apabila sarana untuk mengambil hukum dari Al-Qur’an dan
Hadits adalah pemahaman, sementara pemahaman terhadap keduanya adalah satu
usaha yang tidak mungkin terlepas dari kesalahan selain yang sudah dikecualikan diatas maka pemahaman mereka yang termasuk
mujtahid pun tidak bisa dikatakan ma’shum, apa lagi pemahaman orang-orang awam.
Lalu apa artinya seruan kepada orang awam untuk meninggalkan taqlid dengan
alasan bahwa Al-Qur’an dan Hadits bersifat ma’shum..? Apakah jika pemahaman
terhadap nash yang ma’shum diberikan kepada golongan awam, maka itu akan sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya..? Padahal diketika
hal itu diserahkan kepada yang mujtahid pun kema’shuman pemahaman tetap tidak
akan pernah terjadi.
Syeikh Khajandi juga melalui ucapannya itu jelas memiliki
persangkaan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para imam madzhab itu tidak
berasal dari sumber Al-Qur’an dan Hadits sehingga dikatakan bahwa
madzhab-madzhab tersebut berseberangan dengan madzhab Rasulallah saw., dan
kemunculannya hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasulallah tersebut. Sebuah
persangkaan yang sangat keterlaluan…!
3. Syeikh
Khajandi berkata; Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa jika seseorang
wafat dia akan ditanya didalam kuburnya tentang madzhab dan aliran !
Jawaban :
Mengomentari ucapan ini Dr.Sa’id
Ramdhan al-Buuthi berkata: Ucapan ini menunjukkan adanya anggapan beliau
bahwa kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada ummat manusia
hanyalah perkara-perkara yang akan menjadi pertanyaan dua malaikat didalam kubur.
Apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat tersebut, maka itulah
kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dan apa yang tidak akan ditanyakan,
maka itu bukan termasuk kewajiban yang disyari’atkan. Itulah konsekwensi dari
ucapan Syeikh yang gegabah. Padahal dalam referensi akidah Islam, tidak ada
penegasan bahwa malaikat akan bertanya didalam kubur nanti tentang hutang-piutang, jual-beli dan beberapa
bentuk muamalah yang lain. Walau pun demikian masalah tersebut dan juga
masalah-masalah lain yang tidak masuk dalam materi pertanyaan kedua malaikat
tersebut, tetap menjadi permasalahan agama yang banyak dibahas oleh para ulama
kita. Jadi walaupun masalah taqlid kepada salah satu madzhab diantara
madzhab-madzhab yang empat tidak akan dipertanyakan oleh kedua malaikat didalam
kubur nanti, bukanlah berarti dia harus
disingkirkan dari pembahasan. Hal ini karena dalil-dalil tentang keharusan
orang awam bertaqlid kepada seorang imam sangatlah valid dan logis sebagaimana
nanti akan diuraikan secara lebih rinci.
Dengan demikian maka sebagaimana dikatakan oleh seluruh
ulama dan kaum muslimin bahwa kewajiban duniawi yang digantungkan dileher kaum
muslimin jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang akan ditanyakan oleh
kedua malaikat didalam kubur mereka.
Kalau Syeikh Khajandi itu menghujat madzhab, maka mengapa
yang menjadi sasarannya hanya madzhab yang empat…? Apa bedanya madzhab imam
yang empat ini dengan madzhab Zaid bin
Tsabit, Mu’az bin Jabal, Abdullah bin ‘Abbas dan yang lainnya dalam hal
memahami beberapa hukum Islam ? Apa perbedaan madzhab yang empat ini dengan
madzhab ahlu al-ra’yi di Irak dan madzhab ahlu al-hadits di Hijaz
dan pelopor berdiri- nya dua madzhab ini adalah para sahabat nabi dan tabi’in
yang terbaik ?
Bukankah mereka yang mengikuti imam madzhab yang empat dan
madzhab-madzhab yang tersebut diatas adalah juga termasuk para mukallid…?
Apakah Syeikh Khajandi itu akan mengatakan bahwa jumlah madzhab itu puluhan,
bukan hanya empat dan semuanya bertentangan dan menyaingi madzhab Rasulallah
saw....? Ataukah Syeikh ini akan berkata bahwa madzhab-madzhab yang keluar dari
agama dan memecah-belah madzhab Rasulallah hanyalah madzhab yang empat
itu, sedangkan madzhab-madzhab yang sebelum mereka, semuanya adalah benar dan
dapat berdampingan bersama madzhab Rasulallah saw…..?
Kita tidak tahu mana diantara dua pertanyaan terakhir ini
yang dipilih oleh Syeikh Khajandi. Namun yang jelas dari kedua-dua pernyataan
terakhir diatas ini, yang paling manisnya adalah satu kepahitan dan yang paling
utamanya adalah satu kedustaan. (Ahlaahuma murrun wa afdhaluhuma kazibun
waftiro’un).
Dalil kewajiban bertaqlid ketika tidak mampu berijtihad
a. Firman Allah swt.
dalam surat Al-Anbiya’ : 7 yang artinya :
“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak
mengetahui”.
Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini memerintahkan kepada
orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya agar mengikuti orang-orang
yang mengetahui hal tersebut. Para ulama ushul fiqih menjadikan ayat ini
sebagai dasar utama bahwa orang yang tidak mengerti (awam) haruslah bertaqlid
kepada orang yang alim yang mujtahid. Senada dengan ayat diatas adalah firman
Allah swt. dalam surat At-Taubah : 122 yang artinya :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu untuk pergi
semuanya (kemedan
perang). Mengapakah tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka
dapat menjaga diri”.
Dalam kitab Tafsiirul Jaarmi’ Li Ahkaamil Qur’an
jilid 8/293-294 diterangkan bahwa Allah swt. melarang manusia pergi
berperang dan berjihad secara keseluruhan tetapi memerintahkan kepada sebagian
mereka meluangkan waktunya untuk memperlajari ilmu-ilmu agama sehingga ketika
saudara-saudara mereka yang berperang itu telah kembali, maka mereka akan
menemukan orang-orang yang dapat memberi fatwa kepada mereka tentang perkara
halal dan haram dan dapat pula memberikan penjelasan kepada mereka tentang
hukum-hukum Allah swt.
b. Ijma’ ulama bahwa para sahabat Nabi saw. sendiri
berbeda-beda dalam tingkat keilmuan dan tidak semuanya mampu untuk memberikan
fatwa. Ibnu Khaldun berkata : ‘Ilmu-ilmu agama tidaklah diambil dari mereka
(para sahabat) semua”. Memang, para sahabat itu terbagi dua : Ada yang termasuk
mufti (yang mampu melakukan ijtihad) dan mereka ini termasuk golongan
minoritas dibandingkan seluruh sahabat. Ada juga diantara para sahabat yang
termasuk golongan mustafti yakni peminta fatwa yang bertaqlid dan mereka
ini termasuk golongan mayoritas dari para sahabat. Dan tidak ada bukti sama
sekali bahwa para sahabat yang menjadi mufti ketika menyebutkan hukum satu
perkara kepada mustafti
pasti menjelaskan dalil-dalil hukum itu.
Rasulallah saw. pernah mengutus para sahabat yang ahli dalam
ilmu agama kesatu daerah yang penduduknya tidak mengetahui Islam kecuali
perkara yang bersifat akidah beserta rukun-rukunnya. Maka para penduduk didaerah
itu mengikuti setiap fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat tersebut, baik itu
yang berkaitan dengan amal ibadah, mu’amalah maupun perkara-perkara halal dan
haram. Terkadang, para sahabat itu menghadapi satu permasalahan yang tidak
ditemukan dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, maka terhadap perkara
itu mereka melakukan ijtihad kemudian
memberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya dan penduduk didaerah itupun
mengikuti ijtihad tersebut.
c. Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mushtashfa jilid 11/385
pada bab Taqlid dan Istifta’ bahwa orang awam itu tidak
memiliki jalan lain kecuali bertaqlid, berkata sebagai berikut : “Kami
berdalil terhadap yang demikian itu dengan dua dalil. Salah satunya adalah
ijma’ sahabat dimana mereka selalu memberikan fatwa kepada orang-orang awam dan
tidak memerintahkan mereka untuk mencapai derajad ijtihad. Ijma’ tersebut telah
diketahui secara mutawatir baik dari ulama mereka maupun kalangan rakyat
biasa”.
d. Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam jilid 3/171 berkata
: ‘Ijma’ dimaksud adalah keadaan orang-orang awam dimasa
sahabat dan tabi’in sebelum
munculnya orang-orang yang menyimpang yang selalu meminta fatwa kepada para sahabat yang termasuk
mujtahid dan mengikuti fatwa kepada para sahabat hal hukum-hukum agama. Para ulama
dikalangan sahabat selalu menjawab pertanyaan mereka dengan segera tanpa
menyebutkan dalil. Tidak ada yang mengingkari kebiasaan orang-orang awam
tersebut. Maka terjadilah ijma’ dalam hal bolehnya orang awam mengikuti orang
yang mujtahid secara mutlak. Dizaman sahabat, mereka yang tampil memberikan
fatwa hanyalah sebagian kecil yang memang telah dikenal keahliannya dalam
bidang fiqh, riwayat dan istinbath. Yang paling terkenal diantara mereka
adalah; Khulafa’ur Rasyidin yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa
al-‘Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan
para sahabat nabi yang bertaqlid kepada madzhab dan fatwa mereka ini jauh lebih
banyak.
e. Pada zaman tabi’in, daerah ijtihad bertambah luas dan kaum
muslimin pada zaman itu menggunakan cara yang sama seperti cara yang dipakai
oleh para sahabat Rasulallah saw. Hanya saja ijtihad dimasa tabi’in dapat
digolongkan kepada dua madzhab utama yaitu Madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak dan
madzhab Ahlu al-Hadits.
Diantara tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak ialah
Alqamah bin Qais an-Nakha’I; Sa’id bin Jubair; Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamdani
dan Ibrahim bin Zaid an-Nakha’i. Orang-orang awam Irak dan sekitarnya selalu
bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada yang mengingkari. Adapun tokoh-tokoh
madzhab Ahlu al-Hadits di Hijaz adalah; Sa’id bin al-Musayyab al-Makhzumi;
‘Urwah bin Zubair; Salim bin Abdullah bin Umar; Sulaiman bin Yasar dan Nafi’
Maula Abdullah bin Umar. Penduduk Hijaz dan sekitarnya senantiasa bertaqlid
kepada madzhab ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari.
Antara tokoh-tokoh kedua madzhab diatas ini sering juga
terjadi diskusi dan perdebatan, akan tetapi orang-orang awam dan kalangan
pelajar tidaklah ikut campur dalam hal tersebut karena urusan mereka hanyalah
bertaqlid kepada siapa saja diantara mereka yang dikehendaki dengan tanpa ada
seorangpun yang melakukan pengingkaran terhadap mereka. Begitu juga perdebatan
yang terjadi diantara para mujtahidin tidaklah menjadi beban dari tanggung
jawab orang-orang awam atau kalangan pelajar.
f. Syekh Abdullah Darras berkata: “Dalil logika untuk masalah
ini adalah bahwa orang yang tidak punya kemampuan dalam berijtihad
apabila terjadi padanya satu masalah fiqih, maka ada dua kemungkinan
caranya bersikap :
Pertama, dia tidak
melakukan ibadah sama sekali. Dan ini tentu menyalahi ijma’. Kedua, dia
melakukan ibadah. Dan ibadah yang dilakukannya itu adakalanya dengan meneliti
dalil yang menetapkan hukum atau dengan jalan taqlid. Untuk yang pertama
(meneliti dalil hukum) jelas tidak mungkin karena dengan melakukan penelitian
itu berarti ia harus meneliti
dalil-dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari
(karena banyaknya dalil yang harus diteliti) yakni meninggalkan semua pekerjaan
yang mesti dia lakukan dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya.
Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Dan itulah yang
menjadi kewajibannya apabila bertemu dengan masalah yang memerlu kan pemecahan
hukum”.
Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu
dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan
juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan ijtihad
tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid kepada seorang mujtahid
yang mampu memahami dalil, maka berkatalah ulama: “Sesungguhnya fatwa seorang
mujtahid untuk orang-orang awam adalah seperti halnya dalil-dalil Al-Qur/an dan
Sunnah untuk orang mujtahid, karena Al-Qur’an sebagaimana dia mengharuskan
seorang yang mujtahid untuk berpegang teguh dengan dalil-dalil dan bukti yang
terdapat didalamnya, begitu juga Al-Qur’an itu mengharuskan orang-orang yang
awam untuk berpegang teguh dengan fatwa seorang yang mujtahid “.
Dalam hal ini As-Syatibi berkata:
“Fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang-orang awam adalah
seperti dalil-dalil syar’i bagi para mujtahid. Alasannya adalah karena bagi
orang-orang awam yang taqlid, ada atau tidaknya dalil adalah sama saja karena
mereka tidak mampu mengambil pengertian darinya. Maka masalah meneliti dalil
dan melakukan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka memang tidak
diperkenankan melakukan yang demikian itu. Dalam Al-Qur’an Allah swt. berfirman
: ‘Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui’
(Al-Anbiya’:7). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karenanya,
tidaklah sah baginya kecuali bertanya kepada ahli ilmu. Dan kepada mereka- lah
kembalinya urusan orang-orang awam dalam masalah hukum secara mutlak. Dengan
demikian, maka kedudukan ahli ilmu begitu pula ucapan-ucapannya bagi
orang-orang awam adalah seperti kedudukan syara’ “.
Syekh Khajandi dalam upayanya untuk membenarkan pendapat tentang haramnya
bertaqlid kepada salah seorang dari imam-imam madzhab yang empat telah menjadikan ucapan Imam
ad-Dahlawi, Izuddin bin Abdussalam dan ibnul Qayyim al-Jauziyyah
sebagai dalil yang betul-betul telah memperkuat pendapatnya dan beliaupun tanpa
ragu-ragu menyebar luaskan ucapan-ucapan yang dianggapnya sebagai ucapan dari
ketiga imam itu. Padahal menurut penelitian Syeikh Dr. Sa’id Ramdhan
al-Buuthi ucapan-ucapan yang disangkanya dari ketiga imam itu tidaklah
demikian adanya.
Berikut ini kami sampaikan kutipan-kutipan Syeikh Khajandi yang beranggapan bersumber dari
ketiga imam tersebut diatas dan sanggahan/ jawaban Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuti
terhadap ucapan Syeikh Khajandi.
1). Syeikh Khajandi mengatakan bahwa beliau telah mengutip
ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf yang menyebutkan sebagai
berikut:
فَمَنْ أَخَذَ بِجَمِيعِ أَقْوَالِ أَبِي حَنِيْفَة اَوْ جَمِيْعِ أَقْـوَالِ مَالِكٍ
اَوْ جَمِيْعِ أَقْوَالِ الشَّافِعِى اَوْ جَمِيْعِ أَقْوَالِ أحْمَدَ
اَوْ غَيـْرِهِمْ
وَلَمْ يَعْـتَمِدْ عَلَى مَا جَاءَ فِى الْكِتَـابِ وَ السُّنَّةِ فَقَدْ خَالَفَ
إِجْمَاعَ الأُمَّـةِ كُلِّهَا وَالتَّبَعَ غَيْـرَ سَبِـيْلِ المُؤْمِنِـيْنَ
Artinya : “Barangsiapa mengambil semua ucapan Abu
Hanifah atau semua ucapan Imam Malik atau semua ucapan Imam Syafi’i atau semua
ucapan Imam Ahmad atau yang selain mereka dan dia tidak berpegang kepada
penjelasaan Al-Qur’an dan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menyalahi ijma’
seluruh ummat dan telah mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang-orang
mukimin “. Demikianlah kutipan Syeikh Khajandi yang menurutnya bersumber kepada
Imam ad-Dahlawi.
Jawaban :
Terhadap kutipan tersebut, Dr. Sa’id Ramdhan
mengatakan sebagai berikut: Ucapan tersebut tidak ada dalam kitab
Al-Inshaaf maupun kitab-kitab lain karangan Imam ad-Dahlawi. Bahkan apa
yang dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi justru berlawanan dengan apa
yang dikatakan Syeikh Khajandi. Dalam kitabnya Al-Inshaaf dan Hujjatulloohil
Baalighah 1/132 Imam ad-Dahlawi berkata :
إِعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ المَذَاهِبَ الأَرْبَعَةَ الْمُدَوَّنَةَ
الْمُحَرَّرَةَ قَدِ اجْتَمَعَتِ الأُمَّةُ
اَوْ مَنْ يُعْـتَدُّ بِهِ مِنْهَا عَلَى جَوَازِ تَقْلِيْدِهَا اِلَى
يَوْمِنَا هَذَا وَ فِي ذَلِكَ
مِنَ الْمَصَالِحِ مَالاَ يَخْفَى لاَ سِيَّمَا فِى هَذِهِ الأَيَّامِ
الَّتِى قَصُرَتْ فِيْـهَا
الهِمَمُ جِدًّا وَ أُشْرِبَتِ النُّـفُوْسُ الْهَوَى وَ اَعْجَبَ
كُلُّ ذِى رَأْيٍ بِرَأْيِهِ
Artinya : “Ketahuilah ! Sesungguhnya ummat
Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah
sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan
secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti
empat madzhab tersebut terdapat maslahat yang jelas terlebih lagi dimasa kita
sekarang ini dimana semangat (mendalami
ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan
masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri “
Inilah yang sebenarnya dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi yang
membolehkan orang-orang yang tidak mampu berijtihad untuk mengikuti salah
satu dari keempat madzhab tersebut. Karenanya Syeikh Sa’id Ramdhan
menantang Syeikh Khajandi untuk menjunjukkan satu baris saja dalam kitab ad-Dahlawi tentang kutipan yang telah
ia (Khajandi) buat-buat/karang-karang itu.
2) Syeikh
Khajandi mengatakan bahwa Izuddin bin Abdussalam meng- haramkan orang
berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung
dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam keimam yang lain
tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.
Jawaban:
Terhadap ucapan Syekh Khajandi ini Dr.Sa’id Ramdhan
mengatakan bahwa ucapan Khajandi ini berlawanan dengan
faktanya. Hal ini karena beliau (Izuddin bin Abdussalam) justru menjadi
pengikut dari salah satu imam madzhab yang empat, yaitu pengikut madzhab Syafi’i. Berikut ini penjelasan beliau dalam
kitabnya Qowaa’idul Ahkam 11/135 :
وَيُثْتَـثْنَى
مِنْ ذَلِكَ العَامَّةُ فَإِنَّ وَظِيْفَتَهُمْ التَّقْلِيْد لِعَجْزِهِمْ
عَنِ
التَّوَصُّلِّ اِلَى مَعْرِفَةِ الأَحْكَام بِالإِجْتِهَادِ بِخِلاَفِ
الْمُجْتَهِدِ فَإِنَّهُ قَادِرٌ عَلَى النَّظْرِ الْمُؤَدِّى إِلىَ الحُكْمِ.
وَمَنْ
قَلـَّدَ إِمَامًا مِنَ الأَئِمَّـةِ ثُمَّ اَرَادَ غَيْرَهُ فَهَلْ لَهُ ذَلِكَ ؟
..
فِيْهِ خِلاَفٌ, وَالْمُخْـتَارُ التَّفْصِيْلُ فَإِنْ كَانَ الْمَذْهَبُ
الَّذِى
اَرَادَ الإِنْتِـقَالَ إِلَيْهِ مِمَّا يَنْقُـضُ فِيْهِ الْحُكْمَ فَلَيْسَ
لَهُ
الإِنْتِقَالُ إِلَى حُكْمٍ يُوْجِبُ نَقْضَهُ فَإِنَّهُ لَمْ يَجِبْ نَقْضُهُ
إلَى
لِبُطْـلاَنِهِ, فَإِنْ كَانَ الاَخْذَانِ مُتَـقَارِبَِيْنِ جَازَ
التَّقْلِيْدُ
وَ
الإِنْتِقَالُ لأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوْا مِنْ زَمَنِ الصَّحَابَةِ إِلَى
أَنْ
ظَهَرَتِ الْمَذَاهِبُ الأَرْبَعَـةُ يُقَلِّدُونَ مِنِ التَّفَقَ مِنَ
العُلَمَاءِ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرِ أَحَدٍ يُعْتَـبَرُ إِنْكَارُهُ وَلَوْ كَانَ
ذَلِكَ
بَاطِلاً َلاَنْكَرُوهُ.
Artinya : “Orang-orang awam dikecualikan dari orang
yang mampu berijtihad. Maka tugas mereka adalah taqlid karena mereka tidak
mampu mengetahui hukum dengan jalan ijtihad. Berbeda dengan seorang mujtahid
yang memang memiliki kemampuan analisis untuk melahirkan satu hukum. Orang yang
taqlid kepada seorang imam (dalam satu
madzhab) kemudian dia ingin taqlid kepada imam yang lain, apa boleh yang
demikian ? Dalam hal ini terdapat khilaf (perbedaan). Dan yang terpilih adalah
melakukan pemilahan (tafshil) yakni :
a). Jika madzhab tempat dia hendak pindah itu termasuk madzhab
yang menolak hukum dalam masalah tersebut, maka tidaklah boleh
pindah kepada hukum yang menolak tersebut karena penolakan itu pastilah
disebabkan kebatalannya.
b) Jika dua madzhab itu
berdekatan ( keputusan hukumnya dalam masalah itu), maka boleh taqlid dan boleh
pula berpindah-pindah. Hal ini karena sejak zaman sahabat hingga munculnya
empat imam madzhab, kaum muslimin senantiasa bertaqlid kepada setiap ulama yang
mereka temui. Dan sikap mereka yang seperti itu tidak pernah diingkari oleh
seseorang yang patut dijadikan panutan. Andai yang demikian itu batal (tidak
boleh) niscaya mereka akan mengingkarinya”.
Demikianlah yang sebenarnya dikatakan oleh Izuddin bin
Abdussalam yakni mewajibkan orang-orang awam untuk bertaqlid. Bukan seperti
Syeikh Khajandi yang mewajibkan semua orang untuk mengikuti yang ma’shum dan
meninggalkan yang tidak ma’shum. Dengan kata lain dia mewajibkan semua orang
untuk mengeluarkan sendiri hukum-hukum agama, baik itu dari Al-Qur’an maupun
Hadits.
Imam Izuddin menetapkan bahwa pada prinsipnya orang yang
taqlid harus menetapi seorang imam tertentu. Tetapi mengenai berpindah kepada
imam madzhab selain madzhabnya dalam masalah hukum, hal ini masih
diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Namun demikian beliau ini condong
kepada pendapat yang membolehkan (bukan mewajibkan) dengan syarat-syarat
tertentu. Sedangkan Syeikh Khajandi mewajibkan seseorang
untuk berpindah-pindah madzhab. Syeikh Khajandi menyebarkan pandangannya ini
dengan menyampaikan dalil kata-kata Izuddin bin Abdussalam, padahal pendirian
Izuddin bin Abdussalam adalah kebalikan dari pandangan Khajandi
3) Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim
memiliki pendapat yang sama dengan Izuddin bin Abdussalam yakni mengharamkan
orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil
hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam
ke imam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus
menerus.
Jawaban:
Syeikh Sa’id Ramdhan telah membantahnya karena sangatlah
tidak mungkin Ibnul Qoyyim akan berpendapat seperti yang tersebut diatas.
Karena beliau (Ibnul Qoyyim) sendiri adalah pengikut salah satu dari imam
madzhab yang empat yakni madzhab Hanbali.
Berikut ini adalah pernyataan dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid
111/168 :
ذِكْرُ تَفْصِيْلِ الْقَوْلِ فِى التَّقْلِيْدِ وَ انْقِسَامُهُ إلَى
مَا
يَحْرُمُ الْقَوْلُ فِيهِ وَالإِفْتَاءُ بِهِ وَأَلَى مَا يَجِبُ
الْمَصِيْرُ اِلَيْهِ وَاَلَى مَا يُسَوِّغُ مِنْ غَيْرِ إِيْجَابٍ.
فَأَمَّا النَّوْعُ الأَوَّلُ فَهُوَ ثَلاَثَـةُ اَنْوَاعٍ اَحَدُهُمَا
اَْلإِعْرَاضُ عَمَّا اَنْزَلَ اللهُ وَعَدَمُ الإِلْتفَاتِ إِلَيْهِ
إِكْتِفَاءً بِتَقْلِيْدِ الآبَاءِ, اَلثَّانِى : تَقْلِيْدُ مَنْ لاَ يَعْلَمُ
الْمُقَلِّدُ اَنَّهُ اَهْلٌ لأَنْ يُؤْخَذَ بِقَوْلِهِ, اَلثَّالِثُ :
اَلتَّـقْلِيْدُ بَعْدَ قِيَامِ الحُجَّةِ وَ ظُهُورِ الدَّلِيْلِ عَلَى
خِلاَفِ قَوْلِ الْمُقَلَّدِ ثُمَّ أَطَالَ إبْنُ الْقَيِّم فِى سَرْدِ
وَ شَرْحِ اَضْرَارِ وَ مَسَاوِئِ التَّقـْلِيْدِ الْمُحَرَّمِ
اَلَّذِى حَصَرَهُ فِى هَذِهِ الأَنْوَاعِ الثَّلاَثَةِ.
Artinya : ( “Rincian pendapat tentang taqlid dan
pembagiannya kepada ijtihad yang haram, wajib dan mubah. Jenis pertama yakni
taqlid yang haram terdiri dari tiga macam:
a). Berpaling dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah dan
tidak mau memperhatikannya karena telah merasa cukup dengan taqlid kepada nenek
moyang. b). Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia itu
orang yang pantes diambil pendapatnya atau tidak. c). Taqlid sesudah
tegaknya hujjah dan telah jelas dalil-dalil yang menyalahi pendapat orang yang
ditaqlid”. Kemudian Ibnul Qoyyim
dengan panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan keburukan dari taqlid yang
diharamkan yang telah disimpulkan pada tiga macam tersebut ).
Dengan demikian, maka pembicaraan Ibnul Qoyyim yang panjang
lebar tentang pengingkaran dan ketidak-setujuannya terhadap taqlid hanyalah
berkisar pada tiga macam taqlid yang merupakan bagian dari bentuk taqlid yang
pertama yakni taqlid yang diharamkan. Bahkan pada bagian yang lain Ibnul Qoyyim
mengatakan sebagai berikut :
“Apabila dikatakan bahwa Allah swt. hanya mencela
orang-orang kafir yang taqlid kepada nenek moyang mereka yang tidak mempunyai
akal dan tidak pula mendapat petunjuk dan allah tidak mencela orang-orang yang
taqlid kepada para ulama yang mendapat petunjuk bahkan Allah memerintahkan
mereka untuk bertanya kepada ahlu al-dzikir (An-Nahl : 43) yakni para
ulama (dan itu berarti taqlid kepada mereka).
Ayat An-Nahl : 43 ini merupakan perintah kepada orang yang
tidak mengetahui agar taqlid kepada orang yang mengetahui yakni para ulama.
Jawaban terhadap pernyataan diatas adalah bahwa yang dicela oleh Allah swt.itu
adalah berpaling dari apa yang telah diturunkan oleh Allah swt. dan lebih
memilih taqlid kepada nenek moyang mereka. Taqlid seperti ini adalah taqlid
yang dibenci dan diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama salaf dan imam
madzhab yang empat. Adapun taqlidnya orang yang telah mencurahkan tenaga dan
pikiran untuk mengikuti apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah namun
sebagiannya belum bisa dia mengerti dengan jelas lalu dia taqlid kepada orang
yang lebih alim darinya, maka taqlid yang seperti ini adalah terpuji, bukan
tercela dan akan mendapat pahala, bukan mendapat dosa “.
Pembelaan Nashiruddin al-Albani pada Syeikh Khajandi
Pendapat Syekh Khajandi tersebut diatas mengenai
pengharamannya untuk taqlid pada satu imam tertentu dan sebagainya yang
tersebut diatas ini dibenarkan oleh Nashiruddin al-Albani (baca keterangan
mengenai al-Albani pada halaman sebelumnya) dan dibela mati-matian, suatu hal
yang mengherankan sekali. Pembelaan Syeikh Al-Albani tidak lain
karena Syeikh Khajandi ini sepaham
dan satu kelompok golongan dengannya dan al-Albani sengaja mentakwil
kata-kata Khajandi yang salah ini agar tidak terus menerus menjadi sorotan
ummat muslimin.
I. Al-Albani mengatakan : “Sanggahan
dan alasan yang dikemukakan Dr. Sa’id Ramdhan terhadap pendapat Syekh Khajandi
itu tidak benar. Dia (Albani)
pembela Syeikh Khajandi ini
mengatakan juga bahwa para sahabat
dan ulama selama tiga abad tidak pernah menetapi satu madzhab
tertentu”
Jawaban :
Dr. Sa’id Ramdhan membuktikan bahwa alasan yang
dikemukakannya itu adalah benar. Syeikh Sa’id ini mengutip ucapan Ibnul Qoyyim
dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 1/21 :
وَالدِّيْنُ وَالفِقْهُ وَالْعِلْمُ إِنْتَشَرَ فِى الأُمَّةِ عَنْ أَصْحَابِ
ابْنِ مَسْعُودٍ
وَ أَصْحَابِ زَيْدِ ابْنِ ثَابِتٍ وَ أَصْحَابِ عَبْدِالله ابْنِ عَبَّاسٍ.
فَعِلْمُ النَّاسِ عَامَّةً عَنْ أَصْحَابِ هَؤُلآءِ الأَرْبَعَةِ .
فَأَمَّا أَهْلُ الْمَدِيْنَةِ فَعِلْمُهُمْ عَنْ أَصْحَـابِ زَيْدِ ابْنِ
ثَابِتٍ
وَ عَبْدِالله ابْنِ عُمَرَ,وَاَمَّا اَهْلُ مَكَّةَ فَعِلْمُعُمْ عَنْ
أَصْحَابِ
عَبْدِالله ابْنِ عَبَّاس(ر) وَاَمَّا اَهْلُ الْعِرَاقِ فَعِلْمُـعُمْ عَنْ
أَصْحَابِ عَبْدِالله ابْنِ مَسْعُودٍ
Artinya : “Agama, figh dan ilmu tersebar
ketengah-tengah ummat ini melalui para pengikut Ibnu Mas’uud, Zaid bin Tsabit,
‘Abdullah bin Umar dan ‘Abdullah bin ‘Abbas. Secara umum ummat Islam ini
memperoleh ilmu agama dari mereka yang empat ini. Penduduk Madinah memperoleh
ilmu dari para pengikut Zaid bin Tsabit dan ‘Abdullah bin Umar. Penduduk Mekkah
memperoleh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Abbas dan penduduk Iraq
memperoleh ilmu dari para pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud “.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Bahkan dalam
sejarah perkembangan syari’at Islam telah pula diketahui bahwa ‘Atho’ bin Abi
Robah dan Mujahid pernah menjadi mufti di Mekkah dalam waktu yang cukup lama.
Dan penduduk Mekkah saat itu hanya mau menerima fatwa dari kedua Imam ini
sampai-sampai khalifah yang memerintah saat itu sempat menyerukan agar
orang-orang tidak mengambil fatwa kecuali dari dua Imam tersebut. Dan para
ulama dari golongan tabi’in tidak ada yang mengingkari seruan khalifah itu.
Begitu pula tidak ada yang menyalahkan sikap kaum muslimin saat itu yang hanya
menetapi madzhab kedua imam tersebut.
II. Syekh al-Albani membela beberapa pendapat Syeikh Khajandi
yang aneh dan telah menyimpang jauh dari kebenaran. Dia memberi takwil
(perubahan arti) beberapa pendapat Syekh Khajandi berikut ini :
a. Kata-kata Syekh Khajandi; “Adapun madzhab-madzhab itu dia
hanyalah pendapat para ulama, dan cara mereka memahami sebagian masalah serta
bentuk dari ijtihad mereka. Dan pendapat serta ijtihad-ijtihad seperti ini,
Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikutinya”.
Menurut al-Albani yang dimaksud ‘seseorang’ diatas adalah
orang-orang yang memiliki keahlian untuk berijtihad, bukan semua orang.
b. Kata-kata Syekh Khajandi; “Menghasilkan ijtihad tidaklah
sulit, cukup dengan memiliki kitab Muwattho’, Bukhori Muslim, Sunan Abi Daud,
Jaami’ at-Turmudzi dan Nasa’i. Kitab-kitab ini tersebar luas dan mudah
diperoleh. Anda haruslah mengetahui kitab-kitab ini “.
Menurut al-Albani ucapan Syeikh Khajandi ini juga khusus
untuk orang-orang yang telah mencapai derajad mujtahid dan mampu mengistinbath
hukum dari nash. Jadi bukan ditujukan kepada semua orang.
c. Kata-kata Syeikh Khajandi; “Jika telah didapatkan nash dari
Al-Qur’an, Hadits dan ucapan para sahabat, maka wajiblah mengambilnya, tidak
boleh berpindah kepada fatwa para ulama”.
Menurut al-Albani ucapan Syekh Khajandi ini khusus untuk
orang yang telah mendalami ilmu syari’at dan memiliki kemampuan untuk
menganalisa dalil dan madlulnya.
Jawaban :
Pembelaan al-Albani kepada Syeikh Khajandi selalu diberikan
takwil agar tetap dikesankan berada diatas kebenaran. Sedikitpun Nashiruddin
al-Albani tidak mau menyalahkan Syeikh Khajandi. Bahkan ketika Dr. Sa’id
Ramdhan berkata kepada al-Albani dalam satu pertemuan singkat dengannya bahwasanya seorang ulama tidak akan
menggunakan satu pernyataan yang sifatnya umum, lalu dia menghendaki maksud
lain yang tidak sejalan dengan dzhohir pernyataannya itu. Nashiruddin al-Albani
menjawab bahwa Syeikh Khajandi itu adalah lelaki
keturunan Bukhara yang menggunakan bahasa non arab. Karenanya dia tidak memiliki kemampuan mengungkapkan
sesuatu sebagaimana layaknya orang-orang arab. Dia sekarang sudah wafat. Dan karena dia seorang muslim maka haruslah kita membawa
ucapan-ucapannya itu kepada sesuatu yang lebih tepat dan pantes dan kita haruslah
selalu ber-husnuz dhon (bersangka
baik) kepadanya.
Seperti inilah Syeik al-Albani berdalih Husnuz dhon
kepada seorang muslim dia selalu menakwil ucapan-ucapan Khajandi walaupun sudah jelas dan nyata menyimpang dari kebenaran. Tidak lain karena Syeikh Khajandi
adalah orang yang sepaham dan satu
kelompok dengan al-Albani. Kalau yang punya pendapat itu bukan dari kelompoknya, maka tentulahseperti sifat kebiasaan al-Albaniakan dibantahnya, dicela dan didamprat habis-habisan !!.
Menurut Syekh Sa’id Ramdhan , andai saja al-Albani itu
mau menakwil ucapan-ucapan para tokoh Sufi seperti Syeikh Muhyiddin bin Arobi seper empat saja dari takwilan yang diberikan kepada Syeikh
Khajandi maka tidaklah dia akan sampai mengkafirkan dan menfasikkan
mereka (para sufi)!
Syeikh Khajandi yang mengatakan bahwa Jika telah
didapatkan nash…… sampai fatwa para ulama (baca keterangan pada II c diatas) walaupun sudah dibela sama al-Albani namun Dr. Sa’id tetap
membantahnya.
Dr. Sa’id Ramdhan berkata: Coba saja berikan kitab Bukhori
Muslim kepada semua kaum muslimin lalu suruh mereka memahami hukum-hukum agama
dari nash-nash yang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian lihatlah kebodohan,
kebingungan dan kekacauan yang akan terjadi ! Selanjutnya Syeikh Sa’id ini
mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘I’laamul Muwaqqi’in 4/234
telah mengatakan sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang diucapkan
oleh Syeikh Khajandi yang telah didukung oleh al-Albani itu. Ibnul Qoyyim
berkata :
(الفَائِدَةُ الثَّامِنَةُ وَالأَرْبَعُوْنَ) إِذَا كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ
الصَّحِيْحَانِ
اَوْ اَحَدُهُمَا اَوْ كِتَابٌ مِنْ سُنَنِ رَسُولِ اللهِ (ص) مُوْثَقٌ
بِمَا فِيْهِ,
فَهَلْ لَهُ أَنْ يُفْتِيَ بِمَا يَجِدُهُ فِيهِ ؟..... وَالصَّوَابُ فِى
هَذِهِ
المَسْأَلَةِ التَّفْصِيلُ فَإِنْ كَانَتْ دَلاَلَـةُ الحَدِيْثِ ظَاهِرَةً
بَيِّنَةً لِكُلِّ مَنْ سَمِعَهُ لاَيَحْتَمِلُ غَيْرَ الْمُرَادِ فَلَهُ
أَنْ يَعْمَلَ
بِهِ وَيُفْتِيَ بِهِ وَلاَ يَطْلُبُ التَّزْكِيَةَ لَهُ مِنْ قَوْلِ
فَقِيْهٍ اَوْ
إِمَامٍ بَلِ الْحُجَّــةُ قَوْلُ رَسُولِ اللهِ (ص). وَ إِنْ كَانَتْ
دَلاَلتُهُ خَفِيَّةً لاَ يَتَبَيَّنُ الْمُرَادُ مِنْهَا لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ
يَعْمَلَ
وَلاَ يُفْتِيَ بِمَا يَتَوَّهَّمُهُ مُرَادًا حَتَّى يَسْأَلَ وَ يَطْلُبَ
بَيَانَ
الْحَدِيْثِ وَوَجْهَهُ ...)
Artinya : “(Faidah ke 48) : Apabila seseorang memiliki dua
kitab shohih (Bukhori & Muslim) atau salah satunya atau satu kitab dari
sunnah-sunnah Rasulalillah saw., yang terpercaya, bolehkan ia berfatwa dengan
apa yang dia dapatkan dalam kitab-kitab tersebut ? Jawaban yang benar dalam
masalah ini adalah melakukan perincian (tafshil).
Bila makna yang dikandung oleh hadits itu sudah cukup jelas dan gamblang bagi
setiap orang yang mendengarnya dan tidak mungkin lagi diartikan lain, maka dia
boleh mengamalkannya serta berfatwa dengannya tanpa harus meminta rekomen- dasi
lagi kepada ahli figih atau seorang imam. Bahkan hujjah yang harus diambil
adalah sabda Rasulalillah saw. Akan tetapi bila kandungan hadits tersebut masih
samar dan kurang jelas maksudnya (bagi setiap orang ), maka dia tidaklah boleh
mengamalkannya dan tidak boleh pula berfatwa dengannya atas dasar perkiraan pikirannya
sehingga ia bertanya terlebih dahulu dan meminta penjelasan tentang hadits itu
“.
Selanjutnya Ibnul Qoyyim berkata :
وَهَذَا كُلُّهُ إِذَا ثَمَّةَ نَوْعُ أَهْلِيَّةٍ وَلَكِنَّـهُ قَاصِرٌ فِى
مَعْرِفَةِ
الفُرُوْعِ وَ قَوَاعِدِ الأُصُوْلِيِّيْنَ وَالْعَرَبِيَّةِ. وَإِذَا لَمْ تَكُنْ
ثَمَّةَ أَهْلِيَّة قَطُّ فَفَرْضُهُ مَا قَالَهُ اللهُ تَعَالَى
فَاسْأَلُوْا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya : “Semua yang dibicarakan diatas hanyalah apabila
orang itu memiliki sedikit keahlian namun pengetahuannya dalam ilmu figih,
kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu bahasa belum mencukupi. Akan tetapi apabila
seseorang tidak memiliki kemampuan apa-apa, maka ia wajib
bertanya, sebagaimana firman Allah swt. : ‘Maka bertanyalah kamu kepada
orang-orang yang mempunyai ilmu jika memang kamu tidak mengetahui’
(An-Nahl :43) “.
III. Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya Syeikh Khajandi mengatakan telah mengutip
ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf: Barang siapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah….dan seterusnya (baca
keterangan sebelumnya) dan Dr. Sa’id Ramdhan telah membuktikan bahwa ucapan
yang dikatakan Khajandi dari Imam ad-Dahlawi itu adalah tidak benar.
Tujuan Syeikh Sa’id Ramdhan membongkar ketidak benaran ucapan yang diatas namakan ad-Dahlawi ini adalah
agar mereka (para pembela Syeikh Khajandi) merenungkan masalah ini dan
memeriksa kembali apa yang telah beliau buktikan ini. Dan seharusnya mereka
(pembela-pembela Syeikh Khajandi) berterima kasih dan menerima adanya kebenaran
yang dibuktikan oleh Dr. Sa’id Ramdhan dan kesalahan yang dilakukan oleh
mereka.
Namun yang terjadi justru sebaliknya sebagaimana kebiasaan golongan
ini [Syeikh Khajandi dan kawan-kawannya] mereka tidak senang dengan pelurusan-pelurusan yang Syeikh
Sa’id Ramdhan lakukan yakni menyingkap kebohongan yang mereka atas namakan
kepada Imam ad-Dahlawi. Mereka (kelompok Syeikh Khajandi) bersusah-payah
membuka lembar demi lembar kitab Ad-Dahlawi yang kira-kira cocok atau mendekati
kebenaran dengan kutipan Syeikh Khajandi itu. Pada akhirnya mereka ini berkata
:
“Kami telah memeriksa risalah al-Inshaaf karangan
Imam ad-Dahlawi rahima hullah dan ternyata didalamnya terdapat sebagian ucapan
yang disebut Syeikh Khajandi. Bunyi ucapan itu adalah : ‘Ketahuilah bahwa kaum
muslimin di abad pertama dan kedua hijriah tidak menyepakati taqlid kepada satu
madzhab tertentu. Abu Thalib al-Makki dalam kitanya Quutul Qulub
mengatakan bahwa kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan tulisan tentang Islam
merupakan hal yang baru. Dan pendapat yang berdasarkan ucapan orang banyak dan
fatwa yang berdasarkan satu madzhab kemudian mengambil ucapan itu dan dan
menyampaikannya menurut madzhab tersebut, baik dalam urusan apa saja ataupun
urusan figih, semua itu tidak pernah terjadi pada dua abad yang pertama dan
kedua. Melainkan manusia diketika itu hanya dua kelompok yaitu ulama dan
orang-orang awam. Berdasarkan informasi, orang-orang awam itu dalam masalah-masalah yang sudah
disepakati yang tidak ada lagi perbedaan diantara kaum muslimin dan mayoritas
mujtahidin tidaklah
mereka itu taqlid kecuali kepada pemegang syari’at yakni Nabi Muhammad saw..
Jika mereka menemui satu masalah yang jarang terjadi, maka mereka meminta fatwa
kepada mufti yang ada tanpa menentukan apa madzhabnya “.
Namun demikian apabila kita perhatikan dengan seksama maka
ucapan Imam ad-Dahlawi yang mereka kutip, tidak ada kaitannya sama sekali
dengan ucapan Syeikh Khajandi yang mengatas namakan mengutip kitab Imam
ad-Dahlawi !!.
Untuk memperkuat pembelaaan terhadap Syeikh Khajandi mereka
juga mengatakan: Adapun ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya terdapat dalam kitab
Hujjatulloohil Baalighah jilid1/154-155. Dimana Imam ad-Dahlawi mengutip ucapan
Ibnu Hazmin :
قالَ إِبْنُ حَزْمٍ : إِنَّ التَّقْلِيْدَ حَرَامٌ وَلاَ يَحِلُّ لأَِحَدٍ
اَنْ يَأخُذَ قَوْلَ أَحَدٍ
غَيْرِ رَسُوْلِ اللهِ (ص) بِلاَ بُرْهَانٍ
Artinya : “Ibnu Hazmin berkata : ‘ Taqlid itu haram dan
seseorang dengan tanpa dalil tidak boleh mengambil ucapan orang lain
selain dari ucapan Rasulallahillahi saw.’ ”.
Berikutnya mereka membeberkan ucapan-ucapan Imam ad-Dahlawi
lainnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin dengan cukup panjang.
Jawaban :
Padahal ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu
Hazmin bukanlah
seperti itu . Perhatikanlah keterangan Imam ad-Dahlawi berikut ini :
إِعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ الْمَذَاهِبَ الأَرْبَعَةَ المُدَوَّنَةَ المُحرَّرَةَ
قَدِ اجْتَمَعَتِ الأُمَّةُ اَوْ مَنْ يُعْتَـدُّ بِهِ مِنْهَا عَلَى
جَوَازِ تَقْلِيْدِهَا إِلَى يَوْمِنَا هَذَا وَ فِي ذَلِكَ مِنَ
المَصَالِحِ مَالاَ يَخْفَى لاَ سِيَّمَا فِى هَذِهِ الاَيَّامِ الَّتِى
قَصُرَتْ فِيْهَا الهِمَمُ جِدًّا وَ أُشْرِبَتِ النُّفُوسُ الهَوَى
وَ
اَعْجَبَ كُلُّ ذِى رَأْيٍ بِرَأْيِهِ.
Artinya : “Ketahuilah ! Sesungguhnya ummat Islam atau
ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang
bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik
hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab
tersebut terdapat maslahat (kebaikan)
yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami
ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan
masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri. “
Selanjutnya Imam ad-Dahlawi langsung berkata :
فَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ إِبْنُ حَزْمٍ حَيْثُ قَالَ : إِنَّ التَّقْلِيْدَ
حَرَامٌ وَلاَ يَحِلُّ لأَِحَدٍ اَنْ يَأخُذَ قَوْلَ أَحَدٍ غَيْرِ
رَسُوْلِ اللّهِ (ص) بِلاَ بُرْهَانٍ ..... إِنَّمَا يَتِمُّ
فِيمَنْ لَهُ ضَرْبٌ مِنَ الإِجْتِهَادِ وَلَوْ فِي مَسْأَلَةٍ وَاحِدَةٍ.
Artinya : “Maka pendapat Ibnu Hazmin yang mengatakan :
‘Sesungguhnya taqlid itu haram dan tidak boleh bagi seseorang dengan tanpa dalil mengambil
ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulillah saw….barulah bisa tepat dan
sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan ber- ijtihad walaupun pada satu
masalah”.
Demikianlah sebenarnya kelengkapan ucapan Imam ad-Dahlawi dalam
Hujjatulloohil Baalighah. Maka kita bisa bandingkan sendiri kutipan para
pembela Syeikh Khajandi itu dengan ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya.
Mereka hanya mengutip sampai kata-kata ….Tidak boleh mengambil ucapan orang
lain selain ucapan Rasulillah saw. dan mengenyampingkan/membuang terusan
kalimat itu justru yang paling penting dan inti dari sebuah pendapat yaitu …barulah
bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan berijtihad
walaupun pada satu masalah. Begitulah sifat kebiasaan golongan ini sering
membuang/mengenyampingkan kalimat-kalimat aslinya atau kalimat-kalimat lain
yang berlawanan dengan faham mereka (baca keterangan akidah golongan
salafi/wahabi dalam makalah ini ).
Beginilah kefanatikan golongan ini terhadap imam-imam mereka
sampai-sampai mereka berani merekayasa dan membuang ucapan para imam lainnya
demi untuk menegakkan dan membenarkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur
dikeluarkan/ditulis oleh imam-imam mereka atau oleh mereka sendiri. Sifat
mereka seperti ini jelas telah menunjukkan kefanatikan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan kefanatikan para pengikut madzhab empat terhadap
imam-imamnya. Yang mana kefanatikan para pengikut madzhab yang empat ini selalu
dicela oleh golongan ini.
Para pengikut madzhab yang empat betapapun fanatiknya mereka tidaklah
akan berani merekayasa atau membuang ucapan-ucapan para imam lainnya demi untuk
mempertahankan pendapat mereka atau pendapat imam-imam mereka. Renungkanlah !
IV. Nashiruddin al-Albani dalam rangka menyalahkan pendapat
Syeikh Sa’id Ramdhan yang hanya membagi manusia menjadi kelompok yaitu Mujtahid
dan Mukallid tanpa menambahkan adanya kelompok ketiga yakni Muttabi’,
mengetengahkan dalil dari kutipan ucapan Imam as-Syatibi dalam kitab beliau
Al-I’tishom. Al-Albani mengutip sebagai berikut:
اَلْمُكَلَّفُ بِأَحْكَامِ الشَّرِيْعـَةِ لاَ يَخْلُوا مِنْ أَحَدٍ أُمُوْرٍ
ثَلاَثَةٍ
اَحَدُ هَا أَنْ يَكُونَ مُجْتَهِدًا فِيهَا فَحُكْمُهُ مَا أَدّاَهُ إِلَيْهِ
إِجْتِهَادُهُ فِيهَا.وَالثَّانِي أَنْ يَكُونَ مُقَلِّدًا صِرْفًا خَلِيًّا
مِنَ العِلْمِ الحَاكِمِ جُمْلَةً فَلاَ بُدَّ لَهُ مِنْ قَائِدٍ يَقُـودُهُ.
وَالثَّالِثُ أ َنْ يَكُونَ غَيْرَ بَالِغٍ مَبْلَغَ المُجْتَهِدِينَ
لَكِنَّهُ
يَفْهَمُ الدَّلِيْلَ وَمَوْقِعَهُ وَيَصْلُحُ فَهْمُهُ لِلتَّرْجِيْح
Artinya : “Orang yang terkena beban hukum syari’at
(mukallaf) tidaklah terlepas dari tiga perkara ; Pertama, ia
adalah seorang mujtahid dalam bidang syari’at, maka hukumnya adalah
melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihadnya. Kedua, ia adalah
mukallid murni yang sama sekali kosong dari ilmu, maka hukumnya harus ada orang
yang membimbingnya. Ketiga, ia tidak mencapai tingkatan para
mujtahidin namun ia memahami dalil dan kedudukannya serta pemahamannya pantas
untuk melakukan tarjih”.
Jawaban :
Sampai disini al-Albani dan kawan-kawannya menulis/menyudahi
keterangan Imam as-Syatibi padahal masih ada kelanjutannya yang justru bagian terpenting dari keterangan
Imam as-Syatibi menyangkut kedudukan orang yang masuk bagian ketiga yakni Muttabi’.
Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ini mempersilahkan semua orang
untuk memeriksa kitab Al-I’tishom jilid 111 halaman 253 guna melihat
bagian terpenting yang sengaja dibuang oleh al-Albani dan kawan-kawannya.
Berikut keterangannya :
“(Untuk muttabi’ ini) kemampuan
tarjih dan analisanya pun tidaklah lepas daripada diterima atau tidaknya. Jika
tarjihnya itu diterima, maka jadilah ia seperti mujtahid dalam masalah itu dan
mujtahid hanyalah mengikut kepada ilmu yang dapat menjadi pemberi putusan
(hakim). Dia haruslah memperhati kan ilmu itu dan tunduk kepadanya. Maka siapa
yang menyerupai mujtahid jadilah dia seorang mujtahid. Lalu jika kita tidak
menerima tarjihnya itu, maka mestilah dia kembali kederajat orang awam
(mukallid). Dan orang awam hanyalah mengikuti mujtahid dari segi ketundukannya
kepada kebenaran ilmu yang dapat memberi putusan. Begitu juga halnya
orang-orang yang menduduki posisinya “.
Dengan keterangan diatas jelaslah bahwa menurut pandangan
Imam as-Syatibi kedudukan Muttabi’ pada akhirnya akan sama
seperti Mujtahid kalau ia telah mencapai derajatnya dan ia akan
kembali seperti orang awam kalau ia belum mampu mencapainya. Akan tetapi sayang
sekali al-Albani dan kawan-kawannya justru memotong/ membuang bagian terpenting
dari penjelasan Imam as-Syatibi itu.
Akhirnya Dr. Sa’id Ramdhan berkomentar : “Bagaimana
seorang muslim dapat mempercayai agama seseorang yang memutar balikkan
fakta suatu tulisan bahkan mengubah kalimat dari tempatnya yang
semula sebagaimana anda sendiri telah melihatnya ? Bagaimana seorang muslim
harus percaya kepadanya untuk mengambil hukum syari’at dan mempercayai
ucapannya yang telah banyak membodoh-bodohkan para imam mujtahid ?
Beginilah sebagian wejangan dan bantahan Syekh Said Ramdhan
terhadap ucapan Syeikh Khajandi yang semuanya ini saya kutip dari buku Argumentasi
Ulama Syafiiyyah oleh Ustadz Mujiburrahman.
Dialog antara Syeikh Sa'id Ramdhan degan anti madzhab
Dibuku itu masih ada kutipan dialog antara Syeikh Sa’id
Ramdhan dengan kelompok anti madzhab yang terdiri dari seorang pemuda dan
kawan-kawannya yang sengaja datang mengunjungi Syeikh Sa’id Ramdhan.. Saya
hanya akan mengutip beberapa bait yang penulis anggap penting untuk diketahui
oleh si pembaca diantaranya adalah :
Syeikh Sa’id berkata : Bagaimana cara anda memahami hukum
Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda
mengambilnya dari para imam mujtahid ?
Anti madzhab menjawab : Saya akan menelisti pendapat para
imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang
dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.
Syeikh Sa’id : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira
Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya
membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta
perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu
tahun ? (Rupanya Syeikh Sa’id ingin mengetahui apakah pemuda ini langsung bisa
menjawab atau Syeikh ini ingin tahu bagaimana cara pemuda itu mencari dalil-dalilnya,
karena dirumah Syeikh ini ada perpustakaan, pen.).
Anti madzhab : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu
wajib dizakati ?
Syeikh Sa’id : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda
menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu
terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam
mujtahidin.
Anti madzhab : Wahai Tuan ! Ini adalah masalah agama, bukan
soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya
dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah
yang lain ! (Rupanya pemuda ini kerepotan menjawab dan mencari dalil-dalilnya
atas pertanyaan Syeikh ini walaupun didepan mereka ada perpustakaan., pen.)
Syeikh Sa’id : Baiklah..! Apakah setiap muslim wajib
menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih
cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?
Anti madzhab : Ya benar !
Syeikh Sa’id : Kalau begitu semua orang harus memiliki
kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka
harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu
memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang
tentu lebih pandai dari semua imam itu.
Anti madzhab : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam :
Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab
kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah
Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.
Syeik Sa’id : Apa kewajiban Mukallid ?
Anti madzhab : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok
dengannya.
Syeikh Sa’id : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang
imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?
Anti madzhab : Ya, hal itu hukumnya haram
!
Syeikh Sa’id : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya
?
Anti madzhab : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang
tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.
Syeik Sa’id : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang
anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?
Anti madzhab : Qiro’at imam Hafash .
Syeik Sa’id : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan
qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan
qiro’at yang berbeda-beda ?
Anti madzhab : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan
qiro’at imam Hafash saja.
(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam
qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?,
sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu
madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu
membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak
sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .
Syeikh Sa’id : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat
yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan
anda untuk membaca Al-Qur’an !
Anti madzhab : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at
yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah
bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !
Syeik Sa’id : Demikian pula halnya dengan orang yang
mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam
mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari
hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya
untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun
wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka
begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa
alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari
madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah
mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti
satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan
untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !
Anti madzhab : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau
seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk
terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Syeikh Sa’id : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada
perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti
imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang
demikian kepadanya ?
Anti madzhab : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa !
Syeikh Sa’id: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari
itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi
secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku
itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus
mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !
Anti madzhab : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang
tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti
seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang
fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang
telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”.
Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti
secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang
demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.
Syeikh Sa’id: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu
bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu
telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab
itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena
didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)
Dr. Sa’id melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda
memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni
kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara
terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa
karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam
madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan
orang itu sendiri.
Anti madzhab: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar
dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan
secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan
tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !
Syeikh Sa’id : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu
orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian
!
(Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab
itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan
dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya
sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah
madzhab.).
Selanjutnya Syeikh Sa’id mengatakan : Anda tidak akan
menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah
diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan
kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau
memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.
Demikianlah sebagian isi dialog antara Syeik Sa’id Ramdhan
al-Buuti dengan anti madzhab. Setelah itu mereka melanjutkan dialog tentang
masalah yang lain. Bila pembaca berminat membaca semua isi dialog silah- kan
membaca buku Argumentasi Ulama Syafi’iyyah ini yang dijual di Surabaya dan lain
kota di Indonesia..
Penjelasan dari Syeikh Sa’id mengenai taqlid
kepada imam madzhab jelas sekali buat kita, bahwa mengikuti fatwa salah satu
empat imam madzhab adalah mengikuti tuntunan syariat yang benar, yang berjalan
dengan hukum dari alqur’an dan sunnah Rasul saw. Karena para imam madzhab
disamping telah dikenal pribadi dan ilmu mereka sebagai mujtahidin oleh para
ulama, mereka sangat berpegang teguh dalam mengamalkan sunnah Nabi saw, mereka
telah menjadikan al-qur‘an dan hadits sebagai sumber rujukannya.
Para imam madzhab ini telah meninggalkan warisan
yang besar sekali, yaitu ilmu dan madzhab mereka. Orang-orang awam mengambil
warisan ilmu-ilmu mereka seolah-olah seperti bertanya lansung kepada Imam yang
empat, dengan begitu jauhlah mereka dari kesesatan dan menyesatkan orang. Dari zamannya
empat imam ini sampai zaman sekarang, belum ada seorang imam yang menandingi
ilmu mereka ini. Malah banyak ulama pakar yang masih berpegang pada salah satu
madzhab dari madzhab yang empat ini. Hal ini telah dinyatakan oleh Syeikh Sa’id
pada keterangan yang lalu.
Sebagian orang salah memahami perkataan para
imam Mujtahid, seperti Imam Syafi‘i, beliau berkata: ‘Apabila kamu dapati
perkataanku menyalahi perkataan Rasulullah saw, maka tinggalkanlah perkataanku
dan ambillah hadits Rasul’. Makna ini tidak lain berarti, bahwa kita boleh
mengikuti pendapatnya, selama pendapatnya ini tidak bertentangan dengan hadits
Rasulullah. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak akan mungkin mendahulukan
pendapatnya dari pada hadits Rasul, kecuali apabila hadits tersebut tidak
dianggap shahih, dan memiliki beberapa sebab sehingga tidak boleh
mengamalkannya. Jadi bukan berarti beliau melarang orang untuk
mengikutinya.
Juga perlu kita ketahui, bila setiap orang harus mengambil
dalil langsung dari al-qur’an dan sunnah Rasul saw, tanyalah pada diri kita
masing-masing antara lain; Apakah kita
telah menghafal al-qur‘an keseluruhannya dan mengerti ayat-ayat Ahkam, sebab-sebab
turunnya ayat, apakah ayat tersebut tergolong Nasikh atau Mansukh,
apakah ayat tersebut Muqayad atau Muthalaq, atau ayat itu Mujmal
atau Mubayan, atau ayat tersebut Umum atau Khusus, ke
dudukan setiap kalimat didalam ayat dari segi Nahu dan ‘Irabnya, Balaghah
nya, Bayan-nya, dari segi penggunanaan kalimat Arab secara ‘Uruf
dan dan hakikatnya,atau majaznya dan lain sebagainya?
Begitupun juga dengan hadits, kita harus mengetahui seluruh
hadits-hadits Ahkam, kemudian mengetahui sebab-sebab terjadinya
hadits tersebut, mana yang mansukh dan mana yang nasikh, mana
yang Muqayad dan mana yang Muthlaq, mana yang Mujmal dan Mubayan,
mana yang ‘Am dan Khas.Dan harus mengetahui bahasa arab dengan
sedalam-dalamnya, agar tidak menyalahi qaidah-qaidah dalam bahasa, hal ini
menyangkut masalah Nahu, Balaghah, Bayan, ilmu usul Lughah dan
sebagainya. Dan juga harus mengetahui fatwa-fatwa ulama yang terdahulu,
sehingga tidak mengeluarkan hukum yang menyalahi ijmak ulama, mengetahui shahih
atau tidaknya hadits yang akan digunakan, hal ini meliputi dari pengetahuan
tentang sanad, Jarah dan Ta‘dil, Tarikh Islami dan ilmu musthalah
hadits secara umum dan mendalam. Sebab tidak semua hadits shahih dapat
dijadikan dalil secara langsung, karena mungkin saja telah dimansukhkan, atau
hadits tersebut umum dan adalagi hadits yang khusus, maka mesti mendahulukan
yang khusus dan lain sebagainya. Nah sekali lagi kita bertanya, sudahkah kita
mempunyai syarat-syarat yang telah kami sebutkan diatas? Apakah kita bisa mengambil langsung
dalil dari alqur’an dan hadits? Renungkanlah.
Tidak boleh mencari-cari keringanan ajaran yang paling mudah
dan ringan dari Ulama
(dikutip dari buku yang berjudul Shalat bersama Nabi saw.
oleh Ustadz Hasan bin ‘Ali As-Saqqaf, Dar-al Imam an-Nawawi, Amman, Jordania)
Ada golongan muslimin yang mencari-cari keringanan dari para
ulama atau mencari ajaran Islam yang paling mudah dan paling ringan serta cocok
dengan keinginan hawa nafsunya dan
tujuan pribadinya tanpa didasarkan pada keterangan yang benar menurut syari’at
Islam. Mereka sering berdalil bahwa suatu masalah dalam agama (yang mereka
hadapi itu) masih belum disepakati para ulama, oleh karenanya mereka tidak
dapat disalahkan secara mutlak.
Ada beberapa orang yang pura-pura mengikuti pendapat para
ulama, tetapi dia kemudian berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain
atau dari satu pendapat ke pendapat lain untuk memenuhi keinginan hawa
nafsunya. Meskipun dia menutup-nutup dirinya dengan pengamalan
syariat dan mengikuti para ulama, tetapi sebetulnya mereka hanya mengikuti (bah
kan menyembah) hawa nafsunya sendiri.
Orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya ini telah
disindir dan dicela oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya :
Dalam QS Shad : 26 : “..dan janganlah kamu mengikuti hawa
(nafsu), karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah “.
Dalam QS An-Nisa : 135 : “...maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala ap yang kamu kerjakan”
Dalam QS Al-Jatsiyah : 18 : “Kemudian Kami jadikan kamu
diatas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka
ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang
dzalim”.
Dalam QS Al-Furqan : 43-44 : “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?. Atau, apakah
kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu
tidak lain, hanyalah seperti binatang ternah, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (daripada binatang ternak itu)”.
Dalam QS Al-Maidah : 70 : “Setiap datang seorang Rasul kepada mereka dengan membawa apa yang
tidak di-ingini oleh hawa nafsunya, maka sebagian dari para Rasul itu mereka
dustakan dan sebagiannya lagi mereka bunuh “.
Didalam Al-qur’an Allah swt. mencela seseorang yang ‘alim
(pandai) diantara kaumnya (tetapi suka mengikuti hawa nafsunya). Dia berfirman
dalam QS Al-A’raf : 176 :
“Dan kalau Kami
menghendaki, sesungguhnya (pasti) Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat
itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa
nafsunya yang rendah..”.
Dan masih banyak lagi firman Allah swt. mencela orang yang
sering mengikuti hawa nafsunya untuk melakukan kepentingan pribadinya sendiri.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an diatas kita mengetahui secara
pasti bahwa tidak mengikuti kehendak hawa
nafsu termasuk inti dan pokok ajaran agama Islam. Sedangkan mencari-cari
keringanan suatu masalah agama tidak lain adalah mengikuti keinginan hawa
nafsunya terhadap suatu masalah tersebut.
Para ulama pakar telah sepakat bahwa memberikan fatwa secara
sembarangan (seenaknya sendiri) apalagi jika hal itu menyimpang dari ajaran yang benar
adalah perbuatan haram.
Atas dasar itulah, setiap mujtahid (orang yang benar-benar mencari kesimpulan
hukum) wajib mengikuti dalil, sedangkan orang yang akan bertaklid (mengikuti)
pendapat ulama wajib mengikuti pendapat yang shohih dan kuat dalam madzhab imam (mujtahid) nya.
Pendapat
sebagian ulama yang berkaitan dengan masalah diatas ini :
1. Al-Hafidh Ibn Abd.Al-Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm Wa Fadhlih II :112, telah meriwayatkan perkataan Sulaim
At-Taimy ; “Jika kamu mengambil rukhsah atau keringanan setiap orang ‘alim,
maka terkumpullah padamu segala kejahatan (dosa)”. Kemudian lanjutnya : “Ini
kesepakatan atau ijma’, dan (saya) tidak mengetahui ada orang yang
menentangnya”.
2.
Imam Nawawi dalam kitab Syarh
Al-Muhadzdzab nya mengatakan : “Jika seseorang dibolehkan mengikuti madzhab
apa saja yang dikehendakinya, maka akibatnya dia akan terus-terusan mengutip
(mengambil) semua rukhsah (keringanan) yang ada pada setiap madzhab demi
memenuhi kehendak hawa nafsunya. Dia
akan memilih-milih antara yang mengharam- kan (sesuatu masalah) dan yang
menghalalkannya, atau antara yang wajib dan yang jawaz (boleh atau sunnah). Hal
demikian akan mengakibatkan terlepasnya (dia) dari ikatan taklif
(beban)”.
Senada dengan pendapat Imam Nawawi
ini disampaikan juga oleh Al-Hafidz Ibn Al-Shalah dalam kitabnya Adab Al-Mufty wa Al-Mustafty I :46.
3. ‘Allamah Al-Syathiby dalam Al-Muwafaqat-nya mengatakan : “...maka
sesungguhnya perbuatan itu mengakibatkan (kebiasaan) mencari-cari keringanan
atau rukhsah dari para ulama madzhab tanpa
bersandar pada dalil syara’. Menurut Ibn Hazm, para ulama sepakat bahwa
kebiasaan itu merupakan kefasikan (kedurhakaan) yang tidak halal (untuk
dilakukan). Maksud Al-Syatiby kata-kata tanpa
bersandar pada dalil syara’ ialah tanpa dalil syara’ yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan atau dalil yang muktabar. Jika tidak begitu maksudnya,
maka ada orang yang meninggalkan sholat wajib dengan berdalil pada firman Allah
swt. Al-Ma’un : 5 ; ‘Maka kecelakaanlah
bagi orang-orang yang sholat’.
4. Al-Hafidh Al-Dzhaby
dalam Sayr A’lam Al-Nubala’
mengatakan : “Siapa yang mencari-cari keringanan (ulama) berbagai madzhab dan
(mencari-cari) kekeliruan para mujtahid, maka tipislah agamanya”. Hal seperti
ini juga dikatakan oleh Al-Awza’iy dan yang lainnya: “Siapa yang mengambil pendapat orang-orang Mekkah
dalam hal nikah mut’ah, orang-orang
Kufah dalam hal nabidz (anggur),
orang-orang Medinah dalam hal ghina (lagu-laguan) dan orang-orang Syam dalam
hal ‘Ishmah (keterpeliharaan dari
dosa) para khalifah, maka sungguh dia telah mengumpulkan kejahatan (pada
dirinya)”.
Demikianlah pula orang-orang yang
mengambil pendapat ulama yang mencari-cari siasat untuk menghalalkan jual-beli
yang berbau riba atau yang mempunyai keleluasaan dalam masalah thalaq serta
nikah tahlil dan lain sebagainya. Orang-orang seperti itu sesungguhnya telah
mencari-cari alasan untuk melepaskan diri dari ikatan taklif (beban).
5. Imam Al-Hafidh
Taqiyyduddin Al-Subky dalam Al-Fatawanya
I : 147 menjelaskan tentang orang-orang yang suka mencari-cari keringanan dari
berbagai madzhab. Dia mengatakan: “Mereka menikmati (dirinya), karena dalam
kondisi seperti itu mereka mengikuti hawa
nafsunya dan bukan mengikuti agamanya”.
Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang suka memilih pendapat yang paling
cocok buat dirinya dan mengikuti dari satu madzhab yang sesuai dengan
pilihannya.
Sebagian orang pada zaman sekarang membolehkan seseorang
mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan
berdalilkan pada hadits dari Siti ‘Aisyah ra yang menyatakan: “Setiap kali Rasulallah saw. dihadapkan
kepada dua pilihan, beliau selalu mengambil yang paling mudah diantara
keduanya”.
Pengambilan dalil seperti ini adalah tidak tepat sekali.
Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Al-Fath
Al-Bari VI : 575 dalam syarh-nya
mengatakan : Dua perkara (dua pilihan pada hadits tersebut) yang berhubungan
dengan urusan duniawi. Hal itu di-isyaratkan oleh kata-kata selanjutnya (dalam
hadits ‘Aisyah): ‘Jika bukan
perbuatan yang (mengandung) dosa’. Jika yang dimaksud (dua pilihan) adalah
urusan agama, maka tidak ada dosanya.
Allah swt. mewahyukan kepada Rasul-Nya: Sesungguhnya Allah
menyuruh mu untuk melakukan ini atau melarang melakukan ini. Sama sekali tidak
disebutkan terdapat dua atau tiga pendapat dalam suatu masalah, atau mengambil
yang paling mudah dan ringan saja.
Rasulallah saw. pernah bertamu pada seseorang. Lalu
seseorang ini berkata kepada Rasulallah saw. : Apakah aku harus menyediakan cuka (makanan asam) atau daging ? Dalam keadaan seperti
itulah (urusan duniawi) Rasulallah saw. akan memilih dan mengatakan ; Berikanlah kepadaku yang paling mudah
bagimu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa mengikuti pendapat yang
membolehkan untuk memilih-milih pendapat yang paling ringan dan mudah
berdasarkan hadits Siti ‘Aisyah itu tidak menggunakan dalil yang tepat. Atau,
mungkin dia berkeinginan untuk memasukkan kerancuan dan keraguan kepada hati
orang-orang awam (biasa), bahwa apa yang dibawa dan dilakukannya itu boleh
menjadi dalil bagi apa saya yang dia kehendaki.
Kita muslimin tidak akan mengingkari samahat (keluwesan, kemudahan dan kelapangan) dalam syari’at Islam.
Yang dimaksud samahat dalam syari’at Islam ini ialah keringanan yang diberikan
oleh Allah swt., umpamanya: a) Orang
yang sakit diperbolehkan melakukan sholat dengan duduk, sambil berbaring, atau
dengan cara lain sesuai dengan kemampuannya. b). Orang yang akan bersuci baik untuk menghilangkan hadats atau menghilangkan najis tetapi dia tidak mendapatkan air
atau takut berbahaya jika menggunakan air, maka dia diberi keringanan untuk
menggunakan tanah (tayammum) sebagai ganti air. Dengan demikian, hal itu tidak
berarti bahwa seorang Muslim dengan dalih adanya kemudahan, keluwesan dan
keringanan dalam Islam ini, lantas boleh mencari-cari yang paling mudah atau
paling ringan menurut
pikirannya
dari sekian banyak pendapat ulama, bahkan pendapat yang paling lemah sekalipun.
Ada sebagian orang yang membolehkan seseorang mencari-cari
keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan sebuah
hadits: Ikhtilaf ummatku adalah rahmat. Hadits ini disebutkan oleh
Al-Hafidh Al-Muhaddits Sayyid Ahmad bin Al-Shiddiq Al-Ghimari dalam kitabnya Al-Mughayyir Al-Ahadits Al-Maudhu’ah .
Dia menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (dibuat-buat). Juga hadits yang lain: Sesungguhnya Allah menyukai untuk diterima
rukhsah atau keringanan-Nya sebagaimana Dia suka dipenuhi ketetapan (yang) wajib-Nya. Hadits ini diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Baihaqy dan lain-lainnya.
Jika diperhatikan secara seksama, tidak ada alasan untuk
menggunakan hadits-hadits itu sebagai dalil bolehnya mencari-cari keringanan
atau kekeliruan para ulama. Walaupun umpamanya hadits-hadits itu shohih, kita
tidak bisa mensamakan maksud rukhsah/samahat Allah swt. tentang ber-
tayammum bila tidak ada air atau ketika tidak boleh menggunakan air karena akan
menimbulkan bahaya. Juga tidak sama maksudnya dengan bolehnya berbuka puasa
dibulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian, (dan tidak sama
maksudnya dengan bolehnya atau rukhsah/samahat tentang qashar/penyingkatan
sholat wajib bila dalam perjalanan,-- pen.) .
Hal-hal seperti itu berbeda dengan mencari-cari dan
mengikuti segala keringanan dan perkataan atau pendapat dari para ulama. Boleh
jadi para ulama itu benar pendapatnya dalam suatu masalah, tetapi salah dalam
masalah yang lain.
Sudah tentu kita harus menghargai pendapat para ulama yang
dalam ijtihadnya tidak mendahulukan kehendak hawa nafsunya dan tidak terlalu fanatik buta, meskipun pendapat
para ulama ini bertentangan dengan pendapat kita. Secara lahiriah, para
mujtahid yang
telah memenuhi syarat sebagai mujtahid sesungguhnya ingin mencari
keridhaan Allah swt. dan berkeinginan untuk mendapatkan yang hak atau
benar, asalkan pendapatnya itu jauh dari hal-hal yang syadz atau aneh atau dengan kata lain tidak bertentangan dengan
ijma’ (kesepakatan) kebanyakan ulama.
Sedangkan orang-orang yang melakukan ijtihad mengenai
hal-hal yang semestinya tidak perlu di-ijtihad, atau hal-hal yang bertentangan
dengan ijma’ ulama, tidak sejalan dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus
kita jauhi. Apalagi orang-orang yang ijtihad ini menganggap dirinya seorang
mujtahid yang jika ia salah tetap mendapat satu pahala dan jika ia benar
mendapat dua pahala, seraya mengaku atau
menyamakan dirinya sebagai kelompok ulama besar. Orang-orang ini kadang-kadang
memperlihatkan keberaniannya/ tanggung jawabnya dalam mengambil kesimpulan
hukum Islam. Mereka ini sering juga mengaku dirinya sebagai seorang reformer
(pembaharu) atau juga sebagai seorang innovator (seorang ahli pikir), padahal
sesungguhnya dia tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Maka bila kita berhadapan
dengan orang-orang semacam ini, tidak perlu dipertimbangkan dia sudah pasti
berdosa karena telah sesat bahkan menyesatkan orang lain. Segala perkataannya
harus ditinggalkan sejauh-jauhnya. Hanya milik Allah-lah segala
urusan. Demikianlah sebagian kutipan dari buku Shalat bersama Nabi saw.
tentang haramnya orang yang sering mencari-cari keringanan untuk suatu
masalah hukum Islam. Semoga semua kaum muslimin diberi hidayah oleh
Allah swt.dan diampunkan olehNya dosa-dosa kita. amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar