PERMASALAHAN MAULID
Riwayat kapan dimulainya peringatan maulid Nabi saw
itu itu bermacam-macam. Ada riwayat yang mengatakan bahwa pertama
kali yang mengadakan acara peringatan hari kelahiran Nabi saw dan para keluarga
beliau saw, adalah pada pertengahan abad
kedua tahun Hijriyah yakni pada zamannya Imam Ja’far Shodiq atau Imam Musa
Al-Kadhim dan diteruskan para Khalifah Bani Fathimiyah di Kairo pada abad ke empat Hijriyah. Mereka memperingati dan
mengenang hari kelahiran dan kewafatan Nabi saw., Amirul mukminin Ali bin
Abi Thalib kw., Sayyidah Fatimah ra., Imam Hasan dan Imam Husin bin Ali bin Abu
Thalib r.a dan orang-orang sholeh lainnya, walaupun tidak dengan perayaan.
Ada lagi riwayat bahwa peringatan Maulid Nabi saw
pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin
al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah, sebagaimana yang
disebutkan Ibn Katsir dalam kitab Tarikh, beliau berkata: “Sultan
Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau
merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan,
alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.
Ada lagi yang dikatakan oleh golongan
pengingkar bahwa menurut riwayat
sejarah awal mula peringatan maulidin Nabi saw. diada- kan
oleh Al-Muiz-Liddimillah al-Abadi dan dia
ini memiliki nama yang jelek karena dekat dengan Yahudi, Nasrani jauh dari
Muslim dan sebagainya. Umpama saja riwayat dan mengenai pribadi orang ini
kita benarkan sebagaimana yang dikatakan golongan pengingkar, kita tidak perlu
melihat pribadi seseorang yang mengarang sesuatu, tapi yang penting lihat dan
bacalah isi dan makna yang ditulis atau diciptakan oleh orang tersebut.
Selama hal itu baik dan bermanfaat serta tidak keluar dari syari’at
Islam maka dibolehkan dan malah dianjurkan oleh Islam untuk
mengamalkannya! Sebagaimana ada kata-kata yang terkenal: ‘Janganlah kalian
melihat siapa yang berbicara tapi dengarkan apa yang dibicarakan’. Jadi
walaupun orang kafir tapi mempunyai ide/saran yang baik dan sarannya itu
tidak keluar dari syari’at Islam, malah kita dianjurkan untuk menerimanya, bila
hal itu bermanfaat bagi masyarakat.
Memang sifat kebiasaan golongan pengingkar yang sudah
terkenal yaitu bila mereka tidak menyenangi amalan sesuatu karena bertentangan
dengan pahamnya, mereka akan mencela, mencari macam-macam jalan untuk
menjelekkan pribadi orang-orang yang menulis atau yang menciptakan
sesuatu amalan tersebut.
Dengan demikian riwayat-riwayat tentang awal mulanya
peringatan maulidin Nabi saw. bermacam-macam, begitu juga mengenai tanggal
lahir beliau saw., tetapi semua ini bukan suatu masalah yang perlu kita bahas
disini. Yang sudah pasti bahwa berkumpulnya manusia secara massal
untuk menyelenggarakan peringatan-peringatan atau keagamaan ini terjadi setelah
zaman Nabi saw. dan para sahabat, tetapi dilakukan pada zaman tabi'in.
Peringatan maulid ini di selenggarakan oleh muslimin ,baik dari kaum ulama mau
pun kaum awam, diseluruh negara didunia antara lain: Mesir, Iran, Iraq,
Indonesia, Malaysia, Singapora, Saudi Arabia, Afrika, Yaman, Marokko, Pakistan,
India, serta dinegara-negara barat antara lain di Inggris, Belanda, Perancis,
Jerman dan lain sebagainya. Di Saudi Arabia walaupun disini
tempat lahirnya Muhammad Abdul Wahhab, imam golongan wahabi/salafi serta pengikutnya sudah bertahun-tahun
banyak diadakan peringatan maulid Nabi saw. dirumah-rumah atau flat-flat serta
dihadiri oleh orang banyak dan cukup berkedudukan penting dipemerintahan
Arab-Saudi. Mereka tidak dibolehkan menyolok mengadakan peringatan tersebut karena dikuatirkan akan terjadi keonaran yang
ditimbulkan oleh golongan yang fanatik dan anti peringatan tersebut.
Penulis pernah tinggal di Saudi Arabia
pada tahun tujuh puluhan dan sering menghadiri peringatan maulid disana.
Malah sekarang bisa kita lihat sendiri di YouTube 'Sayyid Abbas Maliki
in television art' atau 'Dhikr mawlid mouhadith Al-Alawi al Maliki
al-Makki' (ulama yang berdomisili di Saudi Arabia), peringatan maulid yang
diadakan di Saudi atau negara Arab lainnya.
Kira-kira mulai sepuluh-limabelas tahun yang
lalu di Madinah pun setiap musim haji, bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan
bulan mulia lainnya pada setiap malam jum’at mulai jam 22.00, ribuan orang sebagian besar dari golongan
madzhab Syiah dari Iran, Irak, Kuwait dan lainnya duduk berkumpul dimuka
kuburan Baqi’ (yaitu kuburan yang letaknya berhadapan dengan Kubah kuburan Nabi
saw di Masjid Nabawi Madinah) untuk membaca bersama do’a Kumail (do’anya
Kumail bin Ziyad) dengan pengeras suara, dan sekitar tempat itu dijaga
oleh tentara-tentara Saudi Arabia hanya untuk menjaga keamanan saja.
Kami, waktu
naik haji dan Umrah, kebetulan melihat dan menyaksikan hal tersebut serta
memotonya. Kami kira jama’ah Haji lainnya bila bertepatan malam jum’at berjalan
didaerah itu akan bisa menyaksikan sendiri hal tersebut.
Padahal dahulunya ulama-ulama Saudi sangat melarang
adanya kumpulan-kumpulan pembacaan do’a dimuka umum seperti itu, apalagi sambil
menggunakan pengeras suara. Mungkin dengan adanya dialog antara para ulama
Saudi dengan ulama madzhab lainnya mengenai hal tersebut, mereka tidak bisa
melarangnya karena tidak adanya dalil yang jelas dan tegas tentang larangan
tersebut malah sebaliknya banyak dalil yang mengarah kebolehan dan kesunnahan
berkumpul bersama untuk membaca dzikir. Begitu juga dahulu para muthowik
melarang orang memoto masjidil Haram walaupun dari luar, tetapi sekarang
didalam masjid Haram pun boleh orang memoto.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang
pada masa kehidupan Nabi saw., itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi rekayasa yang baik, karena sejalan dengan hukum syara’ dan sejalan
pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasanya/ bid’ahnya terletak
pada bentuk berkumpulnya jama’ah, bukan
terletak pada per-orangan (individu) yang memperingati hari kelahiran Nabi
saw. Sebab masa hidup beliau saw dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim
melakukannya meski pun tidak disebut ‘perayaan
atau peringatan’. Begitu juga tidak adanya contoh pada zaman Rasulallah saw
atau para sahabat, itu bukan sebagai dalil untuk melarang atau mensesatkan
peringatan maulidin Nabi saw. Tidak lain semua itu adalah ijtihad para pakar Islam untuk mengumpulkan muslimin guna
memperingati maulid Nabi saw. secara bersama/massal. Jadi bid’ah (rekayasa)
seperti itu adalah rekayasa yang baik sekali karena banyak hikmah dan manfaat pada majlis tersebut. .
Lupa adalah salah satu ciri kelemahan yang ada pada setiap
orang, tidak pandang apakah ia berpikir cerdas atau tidak. Kita sering
mendengar orang berkata : Summiyal-Insan
liannahu mahallul khatha’i wan-nisyan (dinamakan manusia/Insan karena ia
tempat kekeliruan dan kelupaan/nisyan). Dengan demikian lupa sering digunakan
orang untuk beroleh maaf atas suatu ke salahan atau
kekeliruan yang telah diperbuat. Bahkan di Al-Qur’an dalam surat Al-Kahfi : 63
terdapat isyarat bahwa lupa adalah
dorongan setan, yaitu ketika murid (pengikut) Nabi Musa as. menjawab
pertanyaan nabi Musa, dengan mengatakan: ‘Tidak
ada yang membuatku lupa mengingat (makanan) itu kecuali setan’.
Satu-satunya obat untuk dapat mencegah atau
menyembuhkan penyakit lupa yaitu peringatan.
Bila orang telah di-ingatkan atau diberi peringatan, ia tidak mempunyai alasan
lagi untuk menyalahgunakan lupa agar
beroleh maaf atas perbuatannya yang salah itu. Kata dzikir, dzakkara atau dzikra (ingat, mengingatkan, peringatan dan
seterusnya) adalah sempalan kata lain dari akar kata dzikir yang berulang-ulang ditekankan dalam Al-Qur’an.
Bahkan
para Nabi dan Rasul termasuk junjungan kita Nabi Muhammad saw disebut
juga sebagai Mudzakkir yakni Pemberi ingat. Dengan tekanan makna yang
lebih tegas dan keras, para Nabi dan Rasul disebut juga sebagai Nadzir yakni pemberi peringatan keras
kepada manusia yang menentang kebenaran Allah swt.
Dengan keterangan singkat diatas jelaslah betapa besar
dan penting masalah peringatan dan mengingatkan. Tujuannya adalah agar
manusia sebatas mungkin dapat terhindar dari penyakit lupa dan lalai
yang akan menjerumuskannya kedalam pemikiran salah dan perbuatan sesat. Itulah
masalah yang melandasi pengertian kita tentang betapa perlunya kegiatan
memperingati maulid Nabi Muhammad saw.. Peringatan maulid Nabi saw. ini
merupakan amal kebaikan yang sangat dianjurkan. Banyak sekali dalil naqli
maupun ‘aqli yang mendukung dan membenarkan kegiatan yang baik
itu. Bukan lain adalah Al-Qur’an sendiri telah mengisyaratkan betapa mulianya
dan betapa terpujinya kegiatan memperingati
kelahiran para Nabi dan Rasul.
Cara-cara memperingati hari-hari Allah
Allah swt.. berfirman: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat kami,
(dan Kami perintahkan kepadanya),
‘Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”.
Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak
bersyukur. ” (QS. Ibrahim [14] : 5).
Yang dimaksud dengan hari-hari
Allah pada ayat itu ialah peristiwa yang telah terjadi pada kaum-kaum dahulu
serta nikmat dan siksa yang dialami mereka. Umat nabi Musa disuruh oleh Allah
swt. untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah lalu ,baik itu yang
berupa nikmat atau berupa adzab, dari Allah swt.. Dengan
adanya peringatan maulid itu kita selalu di-ingatkan kembali kepada junjungan
kita Rasulallah saw. sebagai penghulu para Nabi dan Rasul!
Mengapa justru golongan
pengingkar melarang dan membid’ahkan munkar orang yang sedang memperingati hari
kelahiran Rasulallah saw.?
Tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat atau memperingati hari-hari Allah yang harus
diselenggarakan pada hari-hari tertentu. Juga tidak ditetapkan peringatan itu
harus dilakukan secara berjama’ah
ataupun secara individual. Begitu
juga halnya dengan peringatan maulid, dapat diadakan setiap waktu, boleh secara
individu atau berjama’ah. Sudah tentu waktu yang paling tepat ialah pada hari
turunnya nikmat Allah. Dalam hal memperingati maulid Nabi saw. waktu yang
paling sesuai adalah pada bulan Rabiul-awal (bulan kelahiran Rasulallah saw.).
Akan tetapi mengingat besarnya manfaat peringatan maulid ini dan mengingat pula
bahwa dengan cara berjama’ah lebih utama dan lebih banyak barakah, maka
peringatan maulid dapat diadakan pada setiap
kesempatan yang baik secara berjama’ah.
Misalnya pada hari-hari mengkhitankan anak-anak, pada
waktu hari pernikahan, pindah rumah, pelaksanaan nadzar yang baik, beroleh
rizki yang banyak dan lain sebagainya. Bagaimana pun juga setiap acara-acara
yang penting yang di-isi atau diselenggarakan maulid Nabi saw. menurut
pandangan Islam pasti jauh lebih baik dan lebih bermanfaat daripada
di-isi dengan acara-acara lain yang hanya bersifat bersenang-senang saja
tanpa makna.
Mengenai diselenggarakannya peringatan hari-hari Allah pada hari-hari ulang
tahun turunnya nikmat, terdapat hadits
shohih yang dapat dijadikan dalil, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim tentang puasa pada
hari ‘Asyura. Karena puasa sunnah ‘Asyura
dianjurkan oleh Rasulallah saw. setelah beliau saw melihat kaum Yahudi di
Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum
Yahudi mengapa mereka ini berpuasa pada hari itu? Mereka menjawab; ‘Pada hari
ini Allah swt. menyelamatkan Nabi mereka
dan menenggelamkan musuh mereka’. Kemudian Nabi saw. menjawab: ‘Kami lebih berhak
memperingati Musa dari pada
kalian’! (Nahnu aula bi muusaa
minkum).
Kecuali itu terdapat hadits lainnya, diketengahkan oleh
Ibnu Taimiyah dari hadits Ahmad bin Hanbal yang menuturkan sebagai berikut:
“Aku mendengar berita, pada suatu hari sebelum Rasulallah saw. tiba (disuatu
tempat di Madinah) diantara para sahabatnya ada yang berkata: ‘Alangkah baiknya
jika kita menemukan suatu hari dimana kita dapat
berkumpul untuk memperingati nikmat Allah yang terlimpah kepada kita’.
Yang lain menyahut: ‘Hari Sabtu!’. Orang yang lain
lagi menjawab; ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Yahudi’!
Terdengar suara yang mengusulkan; ‘Hari Minggu saja’! Dijawab oleh yang lain:
‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Nasrani’! Kemudian menyusul
yang lain lagi berkata; ‘Kalau begitu, hari ‘Arubah saja’! Dahulu mereka menamakan
hari Jum’at hari ‘Arubah. Mereka lalu pergi berkumpul dirumah Abu Amamah
Sa’ad bin Zararah. Dipotonglah seekor kambing cukup untuk dimakan bersama“.
(Iqtidha’us Shirathil Mustaqim).
Kecuali dua hadits tersebut diatas terdapat hadits
lainnya lagi yang juga di ketengahkan oleh Bukhori dan Muslim mengenai nyanyian
yang didendangkan oleh sekelompok muslimin, untuk memperingati hari bersejarah. Peristiwanya terjadi dikala
Rasulallah saw. masih hidup ditengah
ummatnya. Nyanyian itu justru didendangkan orang ditempat kediaman Rasulallah saw. sekaitan dengan datangnya hari raya ‘Idul Akbar. Peringatan
demikian itu dilakukan juga oleh sekelompok muslimin sekaitan dengan hari
bersejarah lainnya, yakni hari Biats
yaitu hari kemenangan suku-suku Arab
melawan Persia, sebelum Islam. Pada hari itu Abubakar dan ‘Umar [ra] berusaha
mencegah sejumlah wanita berkumpul dan
menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anshar. Melihat
Abubakar dan ‘Umar berbuat demikian itu, Rasulallah saw. menegor dua orang
sahabatnya ini. Beliau saw. minta agar kedua-duanya membiarkan mereka merayakan
hari besar dengan cara-cara yang sudah biasa dipandang baik menurut tradisi dan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Hadits yang berasal dari Ummul mukminin ‘Aisyah ra itu
lengkapnya sebagai berikut:
“Pada
suatu hari Abubakar Ash-Shiddiq ra datang kepada ‘Aisyah ra (putri nya). Pada
saat itu dikediaman ‘Aisyah r.a. ada dua orang wanita Anshar sedang menyanyikan
lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh kaum Anshar pada hari Bi’ats. Siti
‘Aisyah ra. memberitahu ayahnya, bahwa dua orang wanita yang sedang menyanyi
itu bukan biduanita. Abubakar menjawab: ‘Apakah
seruling setan dibiarkan dalam tempat kediaman Rasulallah?’ Peristiwa
tersebut terjadi pada hari raya. Menanggapi pernyataan Abubakar ra., Rasulallah
saw. berkata: ‘Hai Abubakar,
masing-masing kaum mempunyai hari raya, dan sekarang ini hari raya kita’
“. (Shohih Muslim III/210 dan Shohih Bukhori 1/170).
Yang
dimaksud dalam hadits kata hari raya kita
ialah hari terlimpahnya nikmat Allah
swt.kepada kita, oleh karenanya kita boleh merayakannya. Berdasarkan riwayat
yang berasal dari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. itu imam Bukhori dan Muslim
memberitakan, bahwa “didalam tempat kediaman Nabi saw. pada saat itu terdapat dua orang wanita
sedang bermain rebana (gendang)”.
Dalam shohih Bukhori 1/119 diriwayatkan sebuah hadits
dari ‘Aisyah ra yang berkata: “Pada suatu hari Rasulallah saw. datang kepadaku.
Saat itu dirumah terdapat dua orang wanita sedang menyanyikan lagu-lagu Bi’ats.
Beliau saw. lalu berbaring sambil memalingkan muka. Tak lama kemudian datanglah
Abubakar (ayah ‘Aisyah). Ia marah kepadaku seraya berkata; ‘Apakah seruling
setan dibiarkan berada dirumah Rasulallah ?’….Mendengar itu Rasulallah saw.
segera menemui ayahku lalu berkata: ‘Biarkan
sajalah mereka’! Setelah Abubakar tidak memperhatikan lagi keberadaan dua
orang wanita itu, mereka lalu keluar meninggalkan tempat”.
Riwayat lainnya memberitakan, bahwa “pada hari-hari perayaan Muna, Abubakar ra. datang
kepada Siti ‘Aisyah ra. Ketika itu dirumah isteri Nabi saw. terdapat dua orang
wanita sedang menyanyi sambil menabuh/memukul rebana. Saat itu Rasulallah saw.
sedang menutup kepala dengan burdahnya. Oleh Abubakar dua orang wanita itu dihardik. Mendengar itu Rasulallah saw.
sambil menanggalkan burdah dari kepalanya berkata : ‘Hai Abubakar, biarkan mereka, hari ini hari raya’ “!
Siti ‘Aisyah ra juga pernah menceriterakan
pengalamannya sendiri; “Aku teringat kepada Rasulallah saw.disaat beliau sedang
menutupi diriku dengan bajunya (yang dimaksud adalah hijab/kain penyekat), agar
aku dapat menyaksikan beberapa orang Habasyah (Ethiopia) sedang bermain hirab
(tombak pendek) didalam masjid Nabawi (di Madinah). Beliau saw. merentang
bajunya didepanku agar aku dapat melihat mereka sedang bermain. Setelah itu aku
pergi meninggalkan tempat. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab
yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.
Dalam shohih Muslim ketika itu ‘Aisyah ra mengatakan:
“Aku melihat Rasulallah saw. berdiri didepan pintu kamarku, pada saat beberapa
orang Habasyah sedang bermain hirab didalam masjid Nabawi. Kemudian beliau saw.
merentangkan baju didepanku agar aku dapat melihat mereka bermain. Setelah itu
aku pergi. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan Arab yang masih muda
usia dan gemar bersenang-senang”.
Dalam hadits yang lain lagi Siti ‘Aisyah
ra.menuturkan: “ Pada suatu hari raya beberapa orang kulit hitam negro
dari Habasyah bermain darq (perisai terbuat dari kulit tebal) dan hirab. Saat itu, entah aku yang minta
kepada Rasulallah saw. ataukah beliau yang bertanya kepadaku: ‘Apakah engkau ingin melihat’? Aku
menjawab: ‘Ya’. Aku lalu diminta berdiri di belakang beliau demikian dekat
hingga pipiku bersentuhan dengan pipi beliau. Kepada orang-orang yang bermain-main
itu Rasulallah saw. bersabda: ‘Hai Bani
Arfidah…teruskan, tidak apa-apa’! Kulihat mereka terus bermain hingga
merasa jemu sendiri. Kemudian Rasulallah saw. bertanya kepadaku; ‘Sudah cukup’? Kujawab; ‘Ya’. Beliau
lalu menyuruhku pergi, ‘kalau begitu
pergilah’ “!.
Dalam Shohih Muslim diriwayatkan juga sebuah hadits
berasal dari ‘Atha ra yang menuturkan bahwa yang bermain-main itu entah
orang-orang Persia, entah orang-orang Habasyah (Ethiopia). Mereka bermain hirab
didepan Rasulallah saw. Tiba-tiba ‘Umar Ibnul Khattab datang, ia lalu mengambil
beberapa buah kerikil dan dilemparkan kepada mereka. Ketika
melihat kejadian tersebut Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Umar, biarkan saja mereka’!
Sekarang telah kita ketahui, bahwa bentuk perayaan atau peringatan
,sebagaimana yang dituturkan oleh hadits-hadits tersebut diatas, ternyata
bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah
puasa, ada yang dengan cara memotong
kambing lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan nyanyian, dan mendeklamasikan syair-syair sambil memukul rebana dan ada pula yang
merayakan dengan bermain-main tombak
serta perisai. Semua ini diriwayatkan oleh para sahabat Nabi terdekat,
bahkan oleh isteri beliau saw. sendiri yang langsung menyaksikan. Semua riwayat
ini kemudian dicatat dan diberitakan oleh para Imam ahli hadits seperti Imam
Ahmad bin Hanbal, Bukhori dan Muslim radhiyallahu ‘anhum agar
diketahui oleh segenap kaum muslimin.
Dalam hadits-hadits itu telah diketahui pula bahwa
Rasulallah saw. membenarkan dan membolehkan diadakannya perayaan-perayaan atau
peringatan-peringatan hari bersejarah, terutama sekali hari-hari pelimpahan
nikmat Allah swt. kepada ummat manusia. Beliau saw. tidak pernah mengatakan perayaaan atau peringatan itu perbuatan kufur atau bid’ah dhalalah/sesat! Kita
mengetahui pula bahwa Abubakar ra menyebut nyanyian sebagai seruling setan dan ‘Umar ra melempari
orang-orang yang bermain tombak dengan kerikil. Akan tetapi kita pun mengetahui
juga bahwa Rasulallah saw. seketika itu juga menegor Abubakar dan ‘Umar karena dua orang sahabat Nabi itu
berusaha melarang nyanyian (yang baik, tentunya) ter-iring bunyi rebana, dan menghalangi orang-orang bermain tombak dalam merayakan
hari besar bersejarah itu.
Beliau
saw. menegor dua orang sahabat tersebut karena beliau tidak memandang
permainan-permainan atau perayaan-perayaan itu sebagai perbuatan kufur, ma’siyat dan tidak keluar dari
garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Dua sahabat Nabi saw. menerima tegoran Nabi saw. dengan jujur dan ikhlas.
Dalam shohih
Muslim halaman 168 juga memperkuat dalil-dalil keabsahan peringatan maulid
(kelahiran) Nabi saw. yaitu mengenai puasa
setiap hari Senin yang dilakukan oleh Nabi saw. Beberapa orang sahabat
beliau saw. bertanya apa sesungguhnya motifasi beliau berpuasa tiap hari Senin?
Beliau saw. menjawab: “Pada hari itu yakni
hari Senin adalah hari
kelahiranku dan hari turunnya wahyu (pertama) kepadaku”. Dengan adanya hadits ini kita memandang bahwa hari Senin sebagai hari yang bersejarah,
karena mencakup dua peristiwa besar. Jika Rasulallah saw sendiri berpuasa
setiap hari Senin untuk memperingati dan mensyukuri hari kelahiran beliau sendiri, bukankah sangat utama jika kita sebagai
ummat beliau saw. berbuat mengikuti jejak beliau yaitu giat
memperingati hari maulid beliau setiap tahun, bahkan tiap minggu (tiap hari
Senin)? Dalam hal ini mengapa harus di munkarkan atau disesatkan…?
Pernyataan
beliau saw. itu bisa dipandang sebagai dalil syar’i mengenai keabsahan
peringatan maulid Nabi saw. Jawaban beliau saw. yang menghubungkan hari
kelahiran beliau dengan hari turunnya wahyu
pertama (hari bi’tsah kenabian) kepada beliau, menunjukkan ketinggian
martabat hari kelahiran (maulid) nabi sebagai hari terlimpahnya nikmat Allah swt. Dengan demikian sudah semestinyalah
kita memandang hari maulid beliau saw. sebagai hari besar dan mulia yang
perlu diperingati sewaktu-waktu.
Dalil-dalil lain dan hikmah yang berkaitan dengan
kebolehan peringatan Maulid
Dengan adanya majlis-majlis peringatan maulid tersebut
meneguhkan iman kita serta membangkitkan kita lagi untuk selalu ingat dan cinta pada Allah dan
Rasul-Nya, karena kehidupan manusia dibumi ini senantiasa berubah dan
berkembang. Itu telah menjadi hukum kehidupan Sunnatulllah yang tidak mungkin dicegah oleh siapa pun. Kewajiban untuk meningkatkan
kecintaan dan penghormatan
terhadap Rasulallah saw. itu sejalan dengan sunnahnya dan firman Allah. Firman
Allah swt. yang mengingatkan ummat Muhammad yang mengakui mencintai Allah,
untuk mencintai Rasul-Nya Muhammad saw., sebagaimana firman-Nya:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ
فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ
Artinya:
"Jika kamu mencintai Allah, ikutlah (dan cintai
dan hormati) aku (Muhammad) , dan Allah akan mencintai kamu".(
Surat Aal-Imran : 31).
Dalam surat Ibrahim ayat 5, Allah swt. berfirman: "Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami
perintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya
terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari
Allah. Sesunguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang
penyabar dan banyak bersyukur". (QS Ibrahim 5).
Dalam surat Al-Maidah [5] :114, Allah swt.
berfirman: “ ’Isa putera Maryam berdo’a, ‘Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada
kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari Raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama
kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan
Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki yang paling Utama’ ”.
Turunnya makanan dari Allah swt. untuk ummat nabi ‘Isa saja sudah sebagai
suatu kenikmatan dan hari Raya untuk ummat ‘Isa dan untuk
yang datang sesudah mereka. Bagi
ummat Muhammad Allah swt. telah memberikan berbagai kenikmatan dan kemuliaan
karena lahirnya dan turunnya makhluk
yang paling mulia yaitu Habibullah Rasulallah saw. kedunia ini.
Kami ingin bertanya lagi 'Mengapa
golongan pengingkar selalu melarang kita menyambut dan merayakan hari yang
bersejarah yakni maulid beliau saw., sebagai suatu kenikmatan dan kebahagiaan
buat kita?
Dalam surat Yusuf ayat 111, Allah
swt. berfirman:
لَقَدْ كَانَ في قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ
لأوْلِى الألْبَابِ
Artinya: “Sungguh,pada
kisah-kisah mereka itu (para Nabi
dan Rasul) terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal”.
Dalam surat Hud: 120, Allah swt berfirman:
وَكُلاًّ نَقُصُّ
عَلَيْكَ مِنْ أنْبَاءِ الرُسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَك
Artinya: “Dan semua kisah para Rasul kami
ceriterakan kepadamu, yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu
“.
Dalam
surat Al-Hajj: 32, Allah swt berfirman: "Demikianlah (perintah
Allah) dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah
(lambang kebesaran) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa”
Dalam surat Al-Haj: 30, Allah swt berfirman : “Demikianlah
(perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia disisi
Allah, itulah yang terbaik baginya disisi Tuhannya”.
Allah swt. didalam kitab suci Al-Qur’an telah
menceriterakan riwayat-riwayat para
Nabi dan Rasul berulang–ulang dibeberapa Surah. Umpama riwayat Nabi Isa as.
dalam surah Maryam, disini kisah beliau mulai kelahirannya hingga dewasa,
bahkan dikisahkan juga da’wah dan mu’jizatnya. Juga riwayat Nabi Ibrahim as
banyak dalam Al-Qur’an, Nabi Yusuf as., Nabi Sulaiman as. dan nabi-nabi
lainnya. Allah mengisahkan bagaimana kehidupan, kemuliaan/kedudukan para Rasul
ini dan lain sebagainya. Tidak lain tujuan dan maksud Allah swt. untuk
mengisahkan riwayat para Nabi dan Rasul sebagaimana firman-Nya yang
telah dikemukakan tadi adalah jelas untuk dijadikan pelajaran dan
memperteguh iman dalam hati.
Jadi kalau
kisah para Nabi dan Rasul yang lain saja sudah sedemikian besar arti dan manfaatnya, apalagi kisah kelahiran dan kehidupan junjungan kita Nabi
besar Muhammad saw., yang telah diriwayatkan sebagai penghulu para Nabi dan
Rasul!
Begitu juga telah dikemukakan bahwa diantara tanda-tanda orang yang bertaqwa adalah
orang yang mau mengagungkan syi’ar Allah
swt. dan orang yang mengagungkan apa yang
mulia disisi Allah swt. itu adalah yang terbaik baginya disisi Allah swt. Tidak diragukan lagi Rasulallah
saw. adalah makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Ilahi, dengan
kenabian dan kerasulan-nya, dengan segala mu’jizat termasuk mu’jizat yang
terbesar yaitu Al-Qur’an yang dikaruniakan
Allah kepada beliau saw adalah lambang kebenar an dan kebesaran (syi’ar) serta lambang
kekuasaan Allah swt.. Memuliakan dan mengagungkan syi’ar Allah ini adalah bukti
dari hati yang bertakwa kepada Allah swt.
Didalam majlis
maulid ini selalu dikumandangkan sholawat, riwayat kisah Rasulallah saw. dan ceramah agama yang mana
semuanya ini sangat baik dan sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’
serta sejalan dengan kaidah-kaidah umum agama. Bahkan sholawat ini adalah
perintah Allah swt. sebagaimana firman-Nya :
إنَّ اللهَ
َمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِي
Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan para Malaikat sentiasa bersalawat kepada
Nabi" (QS 33:56). Seterusnya ayat ini disambung dengan perintah Tuhan,
يَآاَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنوْا صَلُّوا
عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Artinya: " Wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kamu
kepadanya ".
Arti
shalawat Allah swt.pada ayat ini menurut ahli tafsir berarti pujian Allah
swt. terhadap Nabi saw., pernyataan kemuliaannya serta maksud meninggikan dan
mendekatkannya, begitu juga sholawat para Malaikat kepada beliau saw. untuk
memuji dan memuliakan Rasulallah saw.. Dan orang
yang beriman disuruh juga bersholawat dan bersalam pada beliau saw.
Ayat ini saja sudah menjadi bukti bahwa iman seseorang
itu bergantung kepada dan dilahirkan melalui sholawat kepada Nabi saw. Ya Allah
! Limpahkanlah sholawat serta salam kepada Nabi, ahli keluarga beliau saw. dan
para sahabat.
Kita juga dianjurkan oleh Allah swt agar
ingat-mengingatkan sesama muslim karena hal ini sangat bermanfaat bagi kita
sebagaimana Firman-Nya:
وَذَكِّرْ فَإنَّ
الِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya
bermanfaat bagi orang orang yang beriman”. (Adz Dhariyat :
55)
Juga kita dianjurkan selalu berbuat kebaikan yang mana kebaikan itu
bisa menghapuskan dosa kita sebagaimana firman Allah swt:
اِنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّآتِ
Artinya: “Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan”. (QS.
Hud : 114)
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang membaca riwayat
maulidin Nabi saw. baik secara individu maupun berjama’ah adalah termasuk berbuat
kebaikan. Sekali lagi, menarik kesimpulan arti firman-firman Allah dan
hadits-hadits diatas ini bahwa kesempurnaan iman seseorang itu amat
bergantung pada kecintaannya terhadap Rasulallah saw.. Kecintaan, ketaatan
dan keimanan pada Allah swt. dan Rasul-Nya, ini akan bertambah tebal dan mantep dihati kita bila
selalu di-ingatkan berulang-ulang dengan membaca dan mendengar riwayat kisah
kehidupan Rasulallah saw. serta bersholawat pada beliau saw.!!
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulallah saw. telah
bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى اَكُونَ
اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلدِهِ وَ النَّاسِ اجْمَعِيْنَ.
Artinya: "Tidak sempurna iman kamu sehingga aku lebih
dicintainya daripada anak, ibu-bapa dan manusia seluruhnya."
Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Nabi saw. bersabda; "Tidak sempurna iman kamu sehingga aku kamu lebih
cintai daripada diri kamu sendiri." Umar bin Khattab ra berkata; "Ya
Rasulallah aku mencintaimu lebih daripada diriku sendiri”.
Dalam hadits Rasuallah saw. kita diperintahkan
untuk mencintai Rasulallah saw. melebihi dari anak-anak kita sendiri, orang tua
dan manusia seluruhnya. Keimanan kita tergantung dengan besarnya
kecintaan kita kepada beliau saw. dan cinta kepada beliau saw. berarti kita
cinta kepada Allah swt. yang mengutus Rasul-Nya ini. Dengan sering
memperingati hari kelahiran Rasulallah saw. akan menambah kecintaan
kita kepada Allah swt. dan kepada beliau saw. serta memantepkan hati kita untuk
bisa mencontoh pribadi dan perjalanan beliau saw.
Pendapat para ulama dan tokoh cendekiawan Muslim yang berkaitan dengan peringatan maulidin Nabi
saw
Ibnu Taimiyyah dalam kitab Iqtidha'us-Shriathil-Mustaqim, mengatakan: "Memuliakan hari
maulid Nabi dan menyelenggarakan peringat annya secara rutin banyak dilakukan
orang. Mengingat maksudnya yang baik dan
bertujuan memuliakan Rasulallah saw., adalah layak jika dalam hal itu
mereka beroleh ganjaran pahala besar.
Sebagaimana telah saya katakan kepada anda, bahwa bisa jadi sesuatu yang
dianggap buruk oleh seseorang mu'min yang lurus ada kalanya dianggap baik oleh
orang lain".
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‘ Fatawa Ibn
Taymiyyah,jld. 23, hal. 133, dan kitabnya Iqtidhâ’
al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 294-295, bab
“Perayaan yang diada-adakan pada waktu dan tempat tertentu, (Ma
Uhditsa min al-A‘yad al-Zamâniyyah wa al-Makaniyyah)” mengatakan; “Demikian halnya apa yang diada-adakan
oleh sebagian orang dengan menganalogikan pada orang-orang Nasrani yang
merayakan kelahiran Isa, atau karena rasa cinta kepada Nabi saw dan untuk
memujanya, Allah swt akan memberi mereka pahala atas cinta dan usahanya ini,
bukan atas kenyataan bahwa itu suatu bid’ah …".
Merayakan dan menghormati kelahiran Nabi
saw dan menjadikannya sebagai saat-saat yang dihormati, Ibn Taymiyyah tentang maulid sebagaimana diuraikan dalam kitabnya sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang
adalah baik, dan padanya ada pahala yang besar, karena niat baik mereka dalam
menghormati Nabi saw..
Dalam teks yang disebutkan diatas, Ibn
Taymiyyah juga menyebutkan fatwa Imam Ahmad ibn Hanbal, imamnya madzhab fikih
Ibn Taymiyyah, tatkala orang-orang bercerita kepada Imam Ahmad mengenai seorang
pangeran yang membelanjakan 1000 dinar untuk membuat hiasan Alquran, beliau
(Imam Ahmad) mengatakan: “Itulah tempat terbaik baginya untuk menggunakan
emas”.
Seorang editor majalah golongan Salafi
(baca: Wahabi) ,Iqtidha’, Muhammad al-Fiqqî, menulis dua halaman catatan
kaki untuk teks tersebut. Di dalamnya ia
berteriak keras, “Kayfa yakunu lahum tsawab ‘ala hadza? … Ayyu ijtihâd fi
hadza? (Bagaimana mungkin mereka
dapat memperoleh pahala untuk hal tersebut? … Ijtihad macam apa ini??)”.
Para ulama Salafi kontemporer bisa dikatakan berlebihan dan menyimpang
menyangkut peringatan maulid ini. Mereka
merubah sikap Ibn Taymiyyah tersebut dengan ketetapan hukum mereka sendiri, padahal
Ibn Taymiyyah adalah tokoh ulama panutan golongan ini.
Pengarang Salafi yang lain, Manshur
Salman, juga bersikap serupa diatas ketika menerangkan isi kitab al-Bâ‘its
‘alâ Inkâr al-Bida‘ karya Abû Syâmah. Karena Abû Syâmah bukannya
mengkritisi peringatan maulid,
tetapi justru menyatakan, “Sungguh itu (peringatan maulidin Nabi saw.) suatu
bid’ah yang patut dipuji dan diberkati”.
Pembolehan peringatan hari kelahiran Nabi saw. oleh Ibn Taymiyyah ini ─yang
oleh para pendukungnya telah diartikan secara keliru sebagai suatu kritikan
atas peringatan maulid─ telah
disebut-sebut oleh para ulama Sunni seperti Sa‘id Hawwa dalam al-Sîrah bi
Lughat al-Syi‘r wa al-Hubb; Ibn ‘Alawi al-Maliki dalam, Mafahim
Yajibu an Tushahhah; al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ‘î dalam Adillat Ahl
al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah; dan ‘Abd al-Hayy al-Amrunî dan ‘Abd al-Karîm Murâd
dalam Hawla Kitâb al-Hiwar ma‘a al-Mâlik.
Al-Hafidh
Al-Qasthalani dalam Al-Mawahibulladunniyyah
juz 1 hal. 148 cet. almaktab al-Islam berkata : 'Maka Allah akan menurunkan
rahmat-Nya kepada orang yang menjadikan kelahiran Nabi saw. sebagai hari
besar'.
Al-Hafidh
Assakhawiy dalam Sirah al-Halabiyah
berkata: 'Tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ketiga, tetapi
dilaksanakan setelahnya dan tetap ummat Islam diseluruh pelosok dunia
melaksanakann dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekat dan
memperhatikan bacaan maulid dan terlimpah terhadap mereka keberkahan yang
sangat besar'.
Imam Al-Hafidh
Ibnul Jauzi dengan kitab maulidnya yang terkenal al-aruus berkata tentang pembacaan maulid sebagai berikut; 'Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu,
dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang
membacanya dan merayakannya'.
Imam
Al-Hafidh Ibn Abidin dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata: ‘Ketahuilah
salah satu bid’ah hasanah adalah
pelaksanaan maulid dibulan kelahiran Nabi saw.’.
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam al-Durar
al-Kâminah fî ‘Ayn al-Mi’ah al-Tsâminah menyebutkan; bahwa Ibn Katsîr
–seorang ahli hadits pengikut Ibn Taymiyyah– pada hari-hari terakhir hayatnya
menulis sebuah kitab berjudul Mawlid Rasulallah yang tersebar luas.
Kitab tersebut menyebutkan kebolehan dan anjuran memperingati maulid Nabi saw.” (Ibn Katsîr, Mawlid
Rasulallah, editor Shalah al-Din Munajjad (cet. Dâr al-Kitâb
al-Jadîd, beirut 1961).
Dalam kitab Ibn Katsîr tersebut, ia mengatakan, “Malam
kelahiran Nabi saw. adalah malam yang agung, mulia, diberkati, dan suci, suatu
malam yang membahagiakan bagi orang-orang beriman, bersih, bersinar cemerlang,
dan tak ternilai harganya.” (Ibid., h. 19).
Jalal al-Dîn al-Suyûthî berkata: Syekh-Islam –seorang
tokoh hadits pada masanya, Ahmad ibn Hajar al-‘Asqalani– pernah ditanya
mengenai kebiasaan memperingati kelahiran Nabi saw.. Beliau memberikan jawaban
sebagai berikut:
"Sehubungan dengan asal muasal dari kebiasaan
memperingati kelahiran Nabi saw, itu merupakan suatu bid’ah yang kita tidak
menerimanya dari para saleh di antara kaum muslim terdahulu pada masa tiga abad
pertama Hijriah. Meskipun demikian, praktek tersebut melibatkan bentuk-bentuk
yang terpuji dan bentuk-bentuk yang tak terpuji. Apabila dalam praktek peringatan tersebut,
orang-orang hanya melakukan hal-hal terpuji saja, dan tidak melakukan yang
sebaliknya, maka itu bid’ah yang baik, tetapi bila tidak demikian, maka tidak
baik. Dalil dasar dari nas yang bisa dipercaya untuk merujuk keabsahannya telah
saya temukan, yaitu suatu hadits sahih yang dimuat dalam kumpulan Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Nabi saw. datang ke Madinah dan
menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal sepuluh Muharam (Asyura),
maka beliau bertanya kepada mereka tentang hari itu dan mereka menjawab: 'Hari
ini adalah hari Allah swt menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa a.s.,
maka kami pun berpuasa untuk menyatakan syukur kepada Allah Taala'.
Dalil ini menunjukkan keabsahan berterima kasih kepada
Allah swt atas karunia-Nya yang diberikan pada suatu hari tertentu, baik dalam
bentuk pemberian nikmat dan peng- hindaran dari bencana. Kita mengulang rasa
syukur kita dalam peringatan hari tersebut setiap tahun, dengan menyatakan
syukur kepada Allah swt dalam berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur,
puasa, memberi sedekah atau membaca Alquran… Lantas, karunia apa lagi yang
lebih besar daripada kelahiran Nabi saw., Nabi pembawa rahmat, pada hari ini?
Melihat kenyataan demikian, kita seharusnya memastikan untuk memperingatinya
pada hari yang sama, sehingga sesuai dengan cerita tentang Musa a.s. dan
tanggal sepuluh Muharam di atas. Akan
tetapi, orang yang tidak melihat persoalan ini penting, merayakannya pada hari
apa saja dalam bulan itu, bahkan sebagian meluaskannya lagi pada hari apa saja
sepanjang tahun, pengecualian apa pun
dapat diambil dalam pandangan semacam ini”.( Al-Suyûthî, al-Hâwî li
al-Fatâwî seperti disebutkan dalam The Reliance of the Traveller
karya al-Mishrî, terjemahan oleh Nuh Ha Mim Keller, bagian w58.0.).
Dalam pandangan mufti Mekah, Ahmad ibn
Zaini Dahlan, “Memperingati hari kelahiran Nabi saw. dan mengingat Nabi saw.
itu dibolehkan oleh ulama muslim.” (al-Sîrah al-Nabawiyyah wa al-Âtsâr
al-Nabawiyyah, hal. 51. Kutipan-kutipan selanjutnya kebanyakan diambil dari
karya ini).
Imam al-Subki mengatakan; “Pada saat kita
merayakan hari kelahiran Nabi saw, rasa persaudaraan yang kuat merasuk ke hati
kita, dan kita merasakan sesuatu yang khas”.
Imam Al-Jauzi (Al-Hafidz Jamaluddin
‘Abdurrahman Al-Jauzi) seorang imam
madzhab Hanbali wafat tahun 567 H mengatakan;
“Manfaat istimewa yang terkandung dalam peringatan maulid Nabi saw. ialah
timbulnya perasaan tenteram disamping
kegembiraan yang mengantarkan ummat Islam kepada tujuan luhur. Dijelaskan pula olehnya bahwa orang-orang
pada masa Daulat ‘Abbasiyah dahulu memperingati hari maulid Nabi saw. dengan berbuat kebajikan menurut
kemampuan masing-masing, seperti mengeluarkan shadaqah, infak dan lain-lain.
Selain hari maulid, mereka juga memperingati hari-hari bersejarah lainnya,
misalnya hari keberadaan Nabi saw. di dalam goa Hira sewaktu perjalanan hijrah
ke Madinah. Penduduk Baqdad memperingati dua hari bersejarah itu dengan riang
gembira, berpakaian serba bagus dan banyak berinfak.
Imam al-Syawkani dalam al-Badr
al-Thali‘. mengatakan, “Dibolehkan merayakan hari kelahiran Nabi saw.”.
Beliau pun mengatakan bahwa Mulah ‘Alî al-Qârî memiliki pandangan yang sama
dalam kitabnya, al-Mawrid al-Rawi fi al-Mawlid al-Nabawi, yang ditulis
secara khusus untuk mendukung perayaan hari kelahiran Nabi saw..
Imam Abu Syamah, guru Imam al-Nawawî,
dalam kitabnya tentang bid’ah, al-Ba‘its ‘ala Inkar al-Bida‘ wa al-Hawadits,
berkata: Bid’ah yang paling baik pada masa kita sekarang ini adalah
peringatan hari kelahiran Nabi saw..
Pada hari tersebut orang-orang memberikan banyak sumbangan, melakukan
banyak ibadah, menunjukkan rasa cinta yang besar kepada Nabi saw., dan
menyatakan banyak syukur kepada Allah swt. karena telah mengutus Rasul-Nya
kepada mereka, untuk menjaga mereka agar mengikuti sunah dan syariah Islam.
Imam al-Syakhawi mengatakan, “Peringatan
hari kelahiran Nabi saw. dimulai pada tiga abad setelah Nabi saw. wafat. Seluruh muslimin merayakannya dan seluruh
ulama membolehkannya, dengan cara beribadah kepada Allah swt, bersedekah, dan
membaca riwayat hidup Nabi saw.”.
Al-Hafidh Ibn Hajar al-Haitami mengatakan,
“Sebagaimana orang-orang Yahudi merayakan Hari Asyura dengan berpuasa untuk
bersyukur kepada Allah swt, kita pun mesti merayakan maulid”. Beliau pun
mengutip hadits yang telah disebutkan di depan, “Tatkala Nabi saw. tiba di
Madinah …”. Ibn Hajar kemudian
melanjutkan: (Selayaknya) orang bersyukur kepada Allah swt atas rahmat yang
telah Dia berikan pada suatu hari tertentu, baik berupa kebaikan yang besar
ataupun keterhindaran dari bencana. Hari
tersebut dirayakan setiap tahun setelah peristiwa itu. Ungkapan syukur terlahir
dalam berbagai bentuk peribadat an seperti sujud syukur, puasa, sedekah, dan
membaca Alquran. Lantas, kebaikan apa lagi yang lebih besar dari kedatangan
Nabi saw., seorang Nabi penyebar rahmat, pada hari maulid?
Ibunu zauzi (w. 579) menulis sebuah buku
kecil yang berisi syair dan riwayat hidup Nabi saw untuk dibacakan dalam
perayaan maulid. Buku itu berjudul Mawlid al-‘Arus,
(Ibn al-Jawzi, Mawlid al-‘Arus, Damaskus: Maktabat al-Hadharah,
1955) dan beliau membuka dengan kata-kata, “Al-hamd li Allah al-ladzi
abraza min ghurrat ‘arus al-hadhrah shubhan mustanirah (Segala puji bagi
Allah swt yang telah mengeluarkan dari pancaran cahaya hadirat-Nya pagi hari
yang semburat dengan sinar cemerlang)”.
Imam Nawawi (Al-Hafidz Muhyiddin bin
Syarat An-Nawawi) yang wafat dalam tahun 676 H bahkan mensunnahkan peringatan maulid Nabi saw.. Fatwa Imam Nawawi
tersebut diperkuat oleh Imam Al-Asqalani
(Al-Hafidz Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-‘Asqalani) yang wafat dalam tahun
852 H. Dengan berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam Al-‘Asqalani
memastikan bahwa memperingati hari maulid Nabi saw. dan mengagungkan kemuliaan
beliau merupakan amalan yang mendatangkan
pahala.
Soal bentuk dan
cara pelaksanaan peringatan maulid dapat selalu berubah, berbeda dan
berkembang sesuai dengan perubahan, perbedaan dan perkembangan masyarakat
setempat pada setiap zaman. Syari’at Islam hanya menetapkan kewajiban mengingat nikmat Allah swt., dan ini
dapat dilaksanakan pada tiap kesempatan dan tiap keadaan. Adapun bentuk dan
caranya boleh saja mengikuti kelaziman yang biasa berlaku dalam masyarakat,
asalkan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal yang demikian
ini banyak sekali contohnya yang dapat dikemukakan, misalnya:
> Soal thawaf, sa’yu,
wuquf dipadang ‘Arafah dan beberapa manasik haji yang lain, semuanya itu
adalah ketentuan-ketentuan yang tidak boleh diubah dan diganti, semuanya telah
ditetapkan oleh nash. Ibadah haji adalah suatu kewajiban bagi tiap muslim yang
mampu dan memenuhi syarat. Akan tetapi orang boleh memilih bagaimana cara dia berangkat kesana misalnya
dengan berjalan, berkendara- an mobil, dengan kapal laut, dengan pesawat
terbang dan sebagainya.
> Pembacaan
Al-Qur’an; orang boleh juga memilih apakah ia lebih suka
membaca ayat demi ayat yang tertulis dalam kitab suci itu, ataukah hendak
membacanya secara hafalan. Dia boleh memilih juga cara membacanya dengan
sendirian atau membaca bersama dengan jama’ah.
> Cara
pembacaan do’a; orang boleh mengutarakan
sendiri apa yang menjadi isi hati dan permohonannya atau dengan membaca
kumpulan-kumpulan kalimat tertentu yang telah disiapkan oleh para ahli penyusun
do’a.
> Dalam hal menunaikan
zakat dan shadaqah atau infak; orang boleh memilih cara yang
dipandangnya terbaik. Ia boleh menyerahkan langsung kepada orang-orang yang
berhak menerimanya, atau lewat panitia-panitia pengumpul zakat, badan-badan
amal atau lembaga lembaga social.
Demikian juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat
Muhammad saw.. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa
dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau
melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru
kendali, roket-roket dan persenjataan modern lainnya. Banyak sekali kewajiban
yang diperintahkan syari’at, yang pelaksanaannya kita sesuaikan dengan keadaan
masyarakat pada kurun waktu tertentu. Mengenai soal-soal itu banyak sekali
dalil dapat kita ketemukan.
Kesimpulan keterangan diatas ini ialah segala sesuatu
yang menghasilkan maslahat/kebaikan bagi dirinya atau masyarakat itu boleh dan
baik diamalkan dengan cara bagaimana pun, selama cara ini tidak keluar dari
garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Lebih utama lagi jika pilihan
kita itu sejalan dengan ijma’ (kesepakatan) para alim-ulama. Imam Syafi'i
menegaskan: "Hal ihwal baru yang
diadakan, jika itu menyalahi Kitabullah
atau Sunnah, atau ijma' atau hadits (atsar), itu adalah bid'ah dhalalah (bid'ah sesat). Hal ihwal baru berupa kebajikan, yang diadakan tidak menyalahi
ketentuan-ketentuan tersebut, itu terpuji”.
Imam Al-'Izz bin 'Abdi-Salam, Imam Nawawi demikian juga Ibnu Atsir semuanya
sependapat dengan apa yang ditegaskan oleh Imam Syafi'i.
Sebagaimana juga yang telah dikemukakan bahwa para
sahabat sering pada zamannya Nabi saw mengerjakan bid’ah/soal-soal baru
mengenai bacaan-bacaan didalam sholat
yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah dianjurkan atau diperintahkan
oleh Nabi saw.. Setelah dipertimbangkan masalah-masalah tersebut oleh beliau
saw. dan dipandang tidak menyalahi ajaran-ajaran pokok agama dan tidak
berlawanan dengan hukum-hukumnya, beliau saw. membiarkan dan malah meridhai
perbuatan-perbuatan mereka. Atas dasar itulah para ulama Figih (hukum Islam)
bersepakat menetapkan, ‘pada dasarnya segala sesuatu kaidah adalah mubah
atau halal, kecuali ada nash yang sah dan tegas dari Kitabullah dan Sunnah
Rasulallah saw. (hadits-hadits)
yang mengharamkan masalah itu’.
Untuk
lebih jelasnya silahkan baca keterangan apa yang dimaksud kata-kata
Bid'ah, yang tercantum dalam hadits Rasulallah saw. pada bab "Bid’ah
yang dipermasalahan" di website ini. Dengan demikian, insya
Allah kita bisa menilai sendiri mana yang disebut bid'ah dholalah/sesat dan
bid'ah yang dibolehkan oleh syari'at.
Doktor Abdul Ghaffar Muhammad Aziz, guru besar ilmu
da’wah pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, dalam makalahnya mengenai maulid yang dimuat di majalah Al-Islam antara lain sebagai berikut:
“Memang ada
sementara orang yang berpendapat terlampau keras dan secara mutlak tidak
membenarkan adanya peringatan-peringatan keagamaan dalam bentuk apa pun juga
dan menganggapnya bid’ah yang tidak
diakui oleh agama. Akan tetapi, saya berpendapat, peringatan–peringatan itu
tidak ada buruknya, asal saja diselenggarakan menurut cara-cara yang sesuai
dengan ajaran syari’at.
Tidak ada salahnya kalau peringatan Maulid, Isra Mi’raj
atau peringatan-peringatan keagamaan lainnya, dengan mengadakan pidato-pidato,
ceramah ceramah dan pelajaran khusus,
baik di masjid-masjid, balai-balai pertemuan maupun lewat segala macam mas
media. Peringatan akan dapat mengingatkan
kaum muslimin pada soal-soal yang bersangkutan dengan agama. Selama
peringatan-peringatan itu berlangsung, mereka sekurang-kurangnya memperoleh kesegaran jiwa dan melepaskan sementara
kesibukan sehari-hari mengenai urusan hidup kebendaan yang tiada habis-habisnya
dan terus-menerus. Mengenai
manfaat peringatan, Allah swt. telah berfirman sebagai berikut:
وَذَكِّرْ فَإنَّ الِّكْرَى تَنْفَعُ
المُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan
ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang-orang
yang beriman “. (Adz-Dhariyat : 55)
Peringatan keagamaan seperti ini, yang diselenggarakan
tanpa berlebih-lebihan atau pemborosan yang
tidak perlu, dapat dipandang sebagai sunnah
hasanah (perjalanan baik) yang diakui oleh hukum syara’ bahkan diterima
dengan baik dalam zaman kita sekarang. Zaman sekarang ini
seakan-akan Allah swt. hendak meratakan dan melestarikan berlangsungnya
per- ingatan-peringatan keagamaan itu sepanjang tahun. Seakan-akan Allah
menghendaki supaya setiap orang Muslim dari saat kesaat selalu berada di dalam
suasana Al-Qur’an, suasana sunnah Rasul-Nya dan suasana ke hidupan Islam, yang
dari suasana segar seperti itu Allah menghendaki kebaikan bagi umat manusia.
Mulai dari
bulan Muharram dengan segala kegiatan yang ada didalamnya sampai dengan bulan
Rabiul Awal yang penuh peringatan-peringatan Maulid Nabi saw, sampai bulan
Rajab dengan peringatan Isra Mi’raj, terus hingga bulan Sya’ban dan bulan
turunnya Al-Qur’an Ramadhan disambung lagi dengan tiga bulan musim haji yaitu
Syawal, Dzul Qi’dah dan Dzul Hijjah. Demikianlah suasana keagamaan berlangsung
terus menerus dan berulang-ulang setiap tahun”.
Seorang penulis Islam, Al-Ustadz Abdurrahim
Al-Jauhari dalam makalah-nya
antara lain menginginkan agar peringatan maulid Nabi saw. tidak hanya
berlangsung dalam waktu sehari saja, tetapi supaya berlangsung selama sebulan
penuh, agar para ulama memperoleh waktu yang cukup untuk menyebarluaskan
nilai-nilai abadi yang terdapat didalam kehidupan Nabi saw. Karena dilihat dari
besarnya pengaruh ajaran Rasulallah saw. didalam kehidupan bangsa-bangsa, baik
secara sosial mau pun secara individual, maka kelahiran Nabi Muhammad saw.
dapat dipandang sebagai suatu peristiwa
terbesar dalam sejarah. Oleh karenanya perayaan peringatan-peringatan
maulid Nabi saw. yang mulia itu harus disesuaikan dengan keagungan pribadi
beliau dan harus pula disesuaikan dengan kebesaran pengaruhnya di seluruh
dunia.
Ada pun
mengenai resepsi-resepsi resmi yang diadakan untuk memperingati maulid Nabi
saw. itu hanya dapat dianggap sebagai perayaan nasional bagi seluruh Negara
yang mengakui Islam sebagai agama resmi.
Doktor Muhammad Sayyid Ahmad Al-Musir,
gurubesar ilmu ‘Aqidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin, dalam wawancara
khusus dengan wartawan majalah Al-Liwa’ul Islami menerangkan
antara lain sebagai berikut:
“Perayaan
peringatan maulid Nabi saw. itu dengan jamuan/pesta makan dan minum sama sekali
tak ada kaitannya dengan teladan mulia yang telah di berikan oleh Rasulallah
saw. Akan tetapi perlu dimengerti, bahwa kami tidak melarang atau mengharamkan jenis-jenis tertentu dan makanan
dan minuman yang disuguhkan dalam peingatan tersebut, tetapi yang kami sesali
ialah ada sementara orang yang beranggapan bahwa bentuk-bentuk
peringatan yang bersifat kebendaan itu merupakan bagian daripada peringat an maulid Nabi saw.
Pendapat sementara orang yang memandang peringatan maulid
Nabi saw. atau peringatan keagamaan lainnya sebagai bid’ah, perbedaan kami dengan mereka (yang membid’ahkan
peringatan-peringatan keagamaan--pen) ialah mengenai pengertian atau ta’rif tentang bid’ah dan sunnah.
Mereka mengata kan bahwa ‘setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan
tempatnya di neraka’ sebagaimana yang terdapat di dalam hadits shahih.
Akan tetapi mereka itu melupakan sesuatu yang amat
penting yaitu bid’ah yang disebut sesat (dholalah) dan yang tempatnya di
neraka bukan lain adalah bid’ah yang
di-isyaratkan oleh Al-Qur’an, yakni firman Allah swt.: ‘Mereka mensyari’atkan sebagian
dari agama sesuatu yang tidak
diizinkan Allah ” (Asy-Syura:21).
Jadi bid’ah
yang terlarang itu ialah penambahan bentuk peribadatan (yang pokok--pen) didalam agama. Hal
ini sama sekali tidak terdapat dalam
peringatan keagamaan yang diadakan, seperti peringatan maulid Nabi saw. dan
peringatan keagamaan lainnya”.
Pendapat Al-Ustadz Mahmud Syaltut tentang
peringatan maulid Nabi saw. antara lain sebagai berikut:
“Setelah
abad-abad pertama Hijriyah (abad ke
tujuh Masehi) di kalangan kaum muslimin mulai berlangsung kebiasaan mengadakan
perayaan memperingati hari maulid Nabi saw. pada bulan Rabiul-Awal tiap tahun.
Cara mereka memperingati maulid ini berbeda-beda menurut keadaan
lingkungan dinegeri mereka masing-masing. Ada yang merayakan hari
kelahiran Nabi saw. dengan menyiapkan makanan-makanan
khusus yang pada umumnya tidak biasa dimakan sehari-hari, kemudian mereka makan
bersama keluarganya pada malam 12 Rabiul awwal dalam suasana riang gembira.
Ada yang merayakan dengan menyediakan beberapa macam
kue-kue manis yang khusus dibuat dalam aneka ragam bentuknya oleh para
pedagang. Kue-kue ini diletakkan secara teratur dan serasi didepan toko mereka
untuk menarik para pembeli. Ada juga yang merayakan dengan menyelenggarakan
pertemuan-pertemuaan yang dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Kebanyakan para qari membacakan
ayat-ayat yang sesuai dengan sifat peringatan maulid tersebut. Setelah itu
dibacakan kisah maulid Nabi saw. dengan mengetengahkan sifat-sifat dan akhlak
beliau saw., juga kisah lainnya yang menerangkan keadaan masyarakat pada masa
kelahiran beliau saw.. Pada zaman pertama generasi-generasi berikutnya, orang
mulai menulis buku dan menghimpun ucapan orang-orang yang menyampaikan berita-berita
riwayat dan hadits-hadits. Kemudian buku ini disebar luaskan kepada kaum
muslimin untuk mengingatkan mereka tentang kebesaran Nabi Muhammad saw. dan perangai mulia yang telah
menjadi fitrah beliau, yang telah
dikenal baik oleh keluarga, sanak kerabat dan kaumnya (yakni orang
Quraish--pen). Antara lain diriwayatkan berita dalam buku-buku tersebut:
‘Ketika
beliau masih sebagai anak penggembala kambing, ketika beliau masih remaja muda
turut bersama pamannya beliau dalam perang Fijjar (peperangan yang terjadi
setelah tahun Gajah antara orang-orang Quraish dan sekutunya orang-orang
Kinanah disatu pihak, melawan orang orang dari Bani Hawazin. Konon waktu
itu Rasulallah saw. umur 14 th. ada riwayat mengatakan umur beliau waktu itu 20
th.—red.) dan persekutuan Fudhul.
Juga dibuku tersebut meriwayatkan ketika beliau saw. telah mencapai kematangan
fitrah dalam hubungan dengan Allah dan masih banyak lagi keterangan-keterangan
riwayat beliau saw. yang tercantum dalam buku-buku tersebut. Demikian itulah
peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang lazim dilakukan oleh kaum muslimin
sebagai sunnah setelah abad-abad pertama Hijriyah’ ”!
Imam Abu Syamah gurunya Imam Nawawi ketika mengomentari
peringatan maulid Nabi saw. berkata sebagai berikut: “Diantara kegiatan terbaik
yang diada-adakan pada masa kita sekarang ini adalah kegiatan yang dilakukan
setiap tahun bertepatan dengan kelahiran Nabi kita Muhammad saw. yakni
memperbanyak sedekah, mengerjakan hal-hal yang baik serta menampakkan keriangan
dan kegembiraan. Karena demikian itu selain didalamnya terkandung perbuatan
yang baik terhadap fakir miskin juga mengesankan suatu kecintaan dan
pengagungan kepada Nabi saw. serta juga rasa syukur kepada Allah swt.atas
karunia-Nya yang telah menciptakan beliau saw. dan mengutusnya sebagai rahmat
bagi sekalian alam”.
As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani
rohimahullah, beliau adalah seorang ulama dan anak seorang ulama besar Al-Allamah Ustadz Alawi,
dikerajaan Arab Saudi yang berkedudukan sebagai Mufti Makkah. Sekali pun secara
format kerajaan Arab Saudi madzhab Wahabi/ Salafi tapi beliau tetap sebagai
ulama yang bermadzhab Maliki. (Akhir-akhir ini ada
golongan Salafi/Wahabi ,sebagaimana kebiasaannya, berani mengkafirkan seorang
ulama yang bertauhid ini yakni Ustadz Muhammad
al-Maliki ini karena tidak sepaham dengan mereka! Ya Allah janganlah
kami dimasukkan kegolongan yang mudah mengkafirkan sesama muslimin yang
meng-Esakan Engkau dan beriman kepada
Malaikat-Malaikat-Mu, Rasul-Rasul-Mu serta mempunyai kiblat yang sama dengan
kaum muslimin lainnya. Amin--pen.).
Maulid Nabi saw. yang tertulis dalam makalahnya Haulal–Ihtifal
Bil-Maulidin Nabawiyyisy-Syarif (Sekitar Peringatan Maulid Nabi yang Mulia)
tersebut merupakan salah satu karya tulis dari beberapa orang ulama dan penyair
Islam kenamaan, yang dimuat dalam buku koleksi pilihan tulisan para ulama
dan para penyair Islam berjudul Baaqah Ithrah, cetakan pertama tahun
1983, yang terbit di Makkah. Pendapatnya mengenai peringatan maulid Nabi saw.
dalam makalahnya itu antara lain:
Sebenarnya
sudah terlalu banyak orang berbicara tentang perayaan atau peringatan Maulid Nabi
saw. Sesungguhnya masih banyak soal lain yang lebih memerlukan pemikiran kita.
Pembicaraan masalah ini seolah-olah menjadi permasalahan rutin setiap tahun,
sehingga orang merasa jemu. Selama masih banyaknya pikiran yang secara
diam-diam menyalahkan –bahkan mengharamkan– perayaan atau peringatan maulid
Nabi saw., maka tidak ada jeleknya jika saya (sayid Muhamad Al-Maliki) berusaha
memenuhi harapan kaum muslimin awam, yang masih merasa butuh kepada penjelasan
mengenai jaiz atau bolehnya penyelenggaraannya.
Lebih baik
saya tekankan lebih dahulu bahwa bentuk peringatan Maulid Nabi saw.
seperti berkumpul untuk mendengarkan riwayat hidup beliau, menyatakan
pujian-pujian dan sholawat yang memang sudah menjadi hak beliau saw., kemudian
dilanjutkan dengan suguhan-suguhan makanan dan lain sebagainya guna
menyemarakkan/ menggembirakan kaum muslimin, semuanya itu boleh/jaiz, tidak
dilarang oleh syara’. Perayaan atau peringatan maulid ini dapat dan boleh
diselenggarakan kapan saja. Memang benar peringatan ini diadakan pada bulan kelahiran beliau saw. adalah
lebih baik, karena lebih menggugah ingatan orang kepada peristiwa besar yang
terjadi dalam bulan itu dimasa silam. Dengan demikian orang lebih mudah
mengkaitkan masa kini dengan masa lampau.
Tidak dapat disangkal bahwa mengumpulkan orang banyak
untuk memperingati Maulid ini merupakan salah satu cara terpenting untuk
menda’wahkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Dalam kesempatan
itupun para ulama dapat mengingatkan umat kepada junjungan kita Rasulallah saw.
Bagaimana sesungguhnya beliau itu, bagaimana keagungan dan keluhuran budi
pekerti serta akhlaknya, bagaimana kehidupan beliau saw. sehari-hari, bergaul
dengan para sahabatnya, bagaimana beliau menunaikan ibadah kepada Allah dan
sebagainya. Jadi kegiatan perayaan maulid ini adalah kegiatan yang sangat baik dan bermanfaat.
Peringatan
maulid Nabi saw. tidak lain memantulkan kegembiraan kaum muslimin menyambut
junjungan mereka Rasulallah saw.. Bahkan orang kafir pun beroleh manfaat dari sikapnya yang menyambut gembira
kelahiran beliau, seperti Abu Lahab,
misalnya.
Sebuah hadits dalam Shahih Bukhori menerangkan
bahwa tiap hari Senin Abu Lahab
diringankan siksanya, karena ia memerdekakan budak perempuannya, Tsuwaibah,
sebagai tanda kegembiraannya menyambut kelahiran putera saudaranya Abdullah bin
Abdul Mutthalib, yaitu Muhammad saw.. Jadi, jika orang kafir saja
beroleh manfaat dari kegembiraannya menyambut kelahiran Rasulallah saw., apalagi orang yang beriman!
(Begitu juga
Al-Hafidh Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin al-Dimasyqi berkata: “Jika orang
kafir yang nyata-nyata telah dicela oleh Allah melalui firman-Nya ‘Celakalah
dua tangan Abu Lahab’ serta dia kekal dalam neraka justru ada
keterangan bahwa selamanya disetiap hari
Senin dia memperoleh keringanan siksa lantaran kegembiraannya dengan
kelahiran Nabi Muhamad saw. Lalu bagaimanakah dengan orang yang sepanjang
hidupnya bergembira dengan kelahiran beliau dan diapun mati dalam keadaan
bertauhid?--pen.)”.
Selanjutnya Ustadz Muhammad Al-Maliki berkata: Rasulallah
saw. sendiri menghormati hari kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Allah atas
karunia nikmat-Nya yang besar itu. Beliau dilahirkan dialam wujud sebagai hamba
Allah yang paling mulia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Cara
beliau menghormati hari kelahirannya dengan berpuasa.
Hadits dari Abu Qatadah yang mengatakan, bahwa ketika Rasulallah saw. ditanya
oleh beberapa orang sahabat mengenai puasa beliau tiap hari Senin, beliau
menjawab:
ذَالِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ
بُعِثْتُ اَوْ اُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ
Artinya: ‘Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu juga Allah swt.
menurunkan wahyu kepadaku”. (HR Shahih Muslim)
Puasa yang beliau lakukan itu merupakan cara beliau memperingati
hari maulidnya sendiri. Memang
tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuannya adalah sama, yaitu peringatan. Jadi peringatan dapat
dilakukan dengan cara berpuasa, dengan memberi makan kepada pihak yang
membutuhkan, dengan berkumpul untuk berdzikir dan bershalawat atau dengan
menguraikan keagungan perilaku beliau sebagai manusia termulia dan sebagainya.
(Jawaban Rasulallah saw. waktu ditanya tentang puasa hari Senin: 'hari itu, hari
kelahiranku....', beliau saw. tidak menjawab misalnya : “Puasa hari senin
itu mulia dan boleh-boleh saja..”. Ini menunjukkan bahwa hari kelahiran
beliau saw. ada mepunyai nilai tambahan dari hari-hari lainnya, sekaligus
diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw. termasuk perhatian terhadap hari
kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya
islam---pen.).
Pernyataan
senang dan gembira menyambut kelahiran Nabi saw. merupakan tuntunan
Al-Qur’an. Allah swt. berfirman:
قُلِ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ
فَلْـيَفْرَحُوا
Artinya: “Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah
(dengan itu) mereka bergembira’ “. (QS.Yunus: 58)
Allah swt.
memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya dan Nabi Muhammad saw. jelas
merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam, sebagaiman
firman-Nya:
وَمَا أرْسَلـْنَاكَ
إلاَ رَحْمَةً لِلعَالَمِـيْنَ
Artinya: “Dan Kami
tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta”. (QS.Al-Anbiya:107)
Rasulallah saw. memperhatikan kaitan antara suatu masa dan peristiwa-peristiwa besar keagamaan yang
pernah terjadi dimasa silam (sebelum beliau). Manakala masa terjadinya
peristiwa itu berulang, itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengingatnya,
menghormati hari terjadinya dan suasana yang meliputinya. Mengenai itu beliau
telah menetapkan sendiri kaidahnya. Sebagaimana di riwayatkan dalam sebuah
hadits, setiba Rasulallah di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi
berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram). Ketika beliau saw. menanyakan hal itu,
dijawab: ‘Mereka (orang Yahudi) berpuasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi
mereka (Musa as) dan menenggelamkan musuh mereka’. Mendengar itu Nabi saw.
menjawab:
نَحْنُ أوْلَى
بِمُوسَى مِنْكُمْ
Artinya: ‘Kami lebih berhak memperingati Musa daripada kalian (orang-orang
Yahudi)’. Beliau kemudian berpuasa pada hari itu dan menyuruh
para sahabat berpuasa juga.
Peringatan maulid memang tidak pernah dilakukan orang
pada masa hidup nya Nabi saw. Itu memang bid’ah
(rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan
dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama.
Sifat bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya
jama’ah (secara massal), bukan terletak pada perorangan (individu) yang
memperingati maulid Nabi. Sebab masa hidup beliau, dengan berbagai cara dan
bentuk setiap muslim melakukannya, meski pun tidak disebut ‘perayaan atau
peringatan’.
Tidak semua
yang tidak pernah dilakukan oleh kaum Salaf (terdahulu) dan yang belum pernah
terjadi pada masa pertumbuhan Islam adalah bid’ah dholalah (sesat) dan
harus ditolak. Masalah demikian itu harus dihadapkan pada dalil-dalil syara’.
Yang mendatangkan maslahat bagi kaum
muslimin adalah wajib, yang membahayakan kehidupan Islam dan kaum
muslimin adalah haram. Adapun soal
cara hukumnya tergantung pada maksud dan
tujuannya (niatnya).
Dalam peringatan maulid ini pasti dikumandangkan ucapan-ucapan shalawat dan salam bagi
junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Shalawat dan salam, keduanya ini
dikehendaki oleh Allah swt. Dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya
Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat (melimpahkan rahmat dan ampunan) kepada Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kalian bershalawat (mendo’akan rahmat) baginya dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS.Al-Ahzab
: 56).
Betapa
banyak pahala kebaikan yang didapat
oleh orang yang banyak mengucapkan shalawat Nabi, sehingga Rasulallah saw.
sendiri menjanjikan sepuluh kali lipat balasan do’a beliau bagi orang dari
umatnya yang bershalawat kepada beliau. Dalam peringatan Nabi itu pasti mencakup uraian mengenai riwayat-riwayat beliau,
mu’jizat-mu’jizat beliau, sejarah kehidupan beliau dan pengenalan beliau akan
berbagai segi kemuliaan beliau. Bukankah kita diharuskan mengenal beliau dan dituntut supaya berteladan kepada
beliau serta mengimani Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang besar dan
membenarkannya? Dikitab-kitab maulid
banyak memaparkan semuanya itu.
Dengan selalu mengenal/mengingat keagungan perangai
beliau serta mu’jizat-mu’jizat dan pembinaan serta tuntunan beliau pasti akan
lebih menyempurnakan keimanan kita kepada
beliau saw.. Mengenal keadaan beliau dan menyakini tiada sesuatu (makhluk)
yang lebih indah, lebih sempurna dan lebih utama daripada semua sifat yang ada
pada beliau saw., pasti semuanya ini akan menambah
kecintaan kita dan lebih menyempurnakan keimanan kita pada beliau sebagai Nabi
dan Rasul. Kedua-duanya itu merupakan tuntunan syara’ dan upaya/jalan untuk
bisa mencapai dua hal itu wajib kita lakukan. Allah swt berfirman:
“Dan semua kisah dari para Rasul, Kami ceriterakan kepadamu, yang dengan
kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu”. (QS Hud : 120)
Dari firman tersebut tampak jelas banyak hikmah yang
terkandung dalam kisah para Nabi dan Rasul, dan menambah keteguhan hati Nabi
Muhammad saw. Sudah pasti, umat Islam terutama saat ini sangat memerlukan
keteguhan hati dalam menghadapi berbagai godaan dan cobaan hidup. Untuk itulah
kita sangat membutuhkan kisah kehidupan junjungan kita Nabi Besar Muhammad
saw..
Pada umumnya
semua ulama dan kaum muslimin berpendapat tidak
ada cara tertentu atau cara khusus
bagi peringatan maulid Nabi saw. yakni tidak ada cara tertentu yang harus
dilakukan orang. Sebab, tujuan pokok
peringatan ini mengajak orang kepada kebaikan yang bermanfaat bagi mereka
didunia dan diakhirat. Seumpama kita hanya menyatakan pujian-pujian dengan
menyebut-nyebut junjungan kita Nabi Muhammad saw., baik mengenai keutamaanya,
perjuangannya dan lain-ain sebagainya, itu sudah berarti terlaksanalah sudah peringatan maulid Nabi saw.
Menurut hemat kami pengertian demikian itu tidak akan dipertengkarkan orang dan
tidak pula menimbulkan pertikaian.
Masalah Berdiri waktu
Pembacaan Maulid.
Mengenai
soal berdiri dalam peringatan maulid, yaitu pada saat disebut detik-detik
kelahiran Nabi saw. dialam wujud ini, dikalangan sementara orang memang
terdapat dugaan-dugaan yang tidak benar
dan tidak berdasar. Sepanjang
pengetahuan kami sangkaan yang salah itu tidak terdapat di kalangan para ahli
ilmu (ulama). Bahkan dikalangan yang hadir dan turut berdiri didalam
peringatan maulid itu sendiripun tidak ada sangkaan batil itu.
Sangkaan batil itu adalah pada waktu berdiri itu percaya
bahwa Nabi saw. keluar dari kuburnya dengan jasad beliau hadir ditengah
jama’ah yang sedang asyik mendengarkan kisah kelahiran beliau. Sangkaan yang
lebih buruk lagi bahwa mereka beranggapan kemenyan,
ukup atau wewangian lainnya, dan air dingin yang terletak ditengah jama’ah
merupakan air minum yang disediakan khusus untuk beliau saw. Semua sangkaan dan
dugaan-dugaan demikian itu sama sekali
tidak pernah terbayang dalam
pikiran kaum muslimin, dan kita berlindung kepada Allah swt. jangan sampai
berpikir seperti itu. Sebab hal-hal semacam ini termasuk 'kekurang-ajaran' terhadap kedudukan Rasulallah saw.
Tidak ada
orang yang berani memastikan kehadiran Rasulallah saw. dengan jasadnya
kecuali orang mulhid (atheis, kafir)
dan pendusta besar. Anggapan seperti
itu adalah suatu kebohongan yang sengaja diada-adakan, suatu
kekurang-ajaran dan kejahatan yang tidak mungkin ada kecuali pada orang
yang benci, dungu dan menentang beliau saw.. Kita yakin bahwasanya Nabi
saw. hidup dialam barzakh yang sempurna dan sesuai dengan kedudukan beliau. Ruh
(bukan jasad) beliau berkeliling dialam malakut Allah swt., dapat pula menghadiri tempat-tempat
kebaikan dan tempat-tempat lain yang memancarkan cahaya ilmu dan pengetahuan.
Demikian juga ruh-ruh para pengikut beliau saw., orang-orang beriman yang setia
kepada beliau saw..
Imam Malik ra mengatakan: “Saya mendengar hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa ’ruh’
adalah lepas bebas dapat bepergian kemana saja menurut kehendaknya”.
Salman Al-Farisi ra (sahabat Nabi saw) berkata: Bahwa ia
mendengar dari Rasulallah saw; “bahwa arwah
(ruh-ruh) kaum mu’minin berada di alam barzakh (tidak jauh) dari bumi, dan dapat
bepergian menurut keinginannya”. Demikian itulah menurut
kitab ‘Mengenai Soal Ruh’ yang ditulis oleh Ibnul Qayyim, halaman 144.
(Lihat dua
hadits terakhir diatas ini, kalau bahwa seorang mu’min bisa bepergian
kemana saja menurut keinginannya, apalagi ruh suci junjungan kita Muhamad saw.!
Ini semua tidak lain kenikmatan dan rahmat yang diberikan Allah swt. terhadap
hamba-Nya yang mu’min. Memang soal alam ruh itu repot dijangkau oleh akal
manusia yang terbatas ini, sebagaimana yang Allah swt firmankan berikut ini: “Mereka
bertanya kepadamu (hai Muhamad)
tentang ruh, jawablah: ‘Itu termasuk urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit “.(Al-Isra : 85).. --pen--.)
Karenanya soal berdiri dalam peringatan maulid
Nabi bukan soal wajib dan bukan soal sunnah. Mempercayainya sebagai soal wajib
atau sunnah sama sekali tidak dapat
dibenarkan. Itu bukan lain hanya suatu harakah (gerak) yang mencerminkan
keriangan dan kegembiraan para hadirin dalam peringatan maulid. Pada saat
mereka mendengar kisah kelahiran Nabi saw. disebut, tiap pendengarnya ( yang
memahami maknanya) membayangkan seolah-olah pada detik-detik itu seluruh alam
wujud gembira menyambut ni’mat besar yang dikaruniakan Allah swt. Soal
kegembiraan adalah soal biasa, bukan soal keagamaan, bukan soal ibadah, bukan
syari’at dan bukan sunnah. Itu hanya merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan
orang, dan pernyataan sukaria demikian itu dipandang baik oleh para ulama pakar
dan dilakukan oleh kaum muslimin diberbagai negeri, kawasan dan daerah. Para
ulama di Timur mau pun di Barat juga memandangnya sebagai kebiasaan yang baik.
Hal itu dikatakan sendiri oleh pengarang kitab maulid terkenal yaitu Syeikh Al-Barzanji.
Beliau mengatakan: “Para Imam ahli riwayat dan ahli rawiyyah (ahli pikir) memandang baik orang berdiri
pada saat kisah kelahiran Nabi saw. disebut. Bahagialah orang yang memuliakan
beliau saw. dengan segenap pikiran dan perasaannya”.
Dalam sebuah
pantunnya/syairnya beliau juga menyatakan: ‘Para
ahli ilmu, ahlul-fadhl (orang-orang utama) dan ahli takwa mensunnahkan berdiri diatas kaki sambil berenung
sebaik-baiknya. Membayangkan pribadi Al-Mushthofa (Rasulallah saw.)
karena beliau senantiasa Hadir di tempat mana pun beliau disebut, bahkan beliau
mendekatinya’.
Jelaslah sudah bagi kita, bahwa Syeikh Al-Barzanjiy tidak mengatakan ‘Nabi saw. yang mensunnahkan, dan tidak
mengatakan para Khalifah Rosyidun
yang mensunnahkan. Beliau juga tidak mengatakan
pensunnahan mereka itu mutlak,
beliau hanya mengatakan bahwa para ahli
ilmulah yang mensunnahkan berdiri.
Syeikh
Al-Barzanjiy berkata: 'Soal berdiri itu hanya untuk membayangkan pribadi
Al-Mushthafa (Rasulallah saw.)
didalam imajinasi (dzihn). Membayangkan pribadi beliau saw. adalah suatu yang terpuji, diminta dari setiap muslim, bahkan perlu sering dilakukan oleh
setiap muslim yang mukhlish. Sering
membayangkan pribadi beliau akan menambah kepatuhan dan kecintaan kepada beliau
saw., yang pada akhirnya gemar sekali mengikuti ajaran dan teladan yang beliau
saw. berikan kepada ummatnya. Berdiri ini hanya soal kebiasaan, maka orang yang
tidak berdiri pun tidak apa-apa, ia tidak
berdosa dan tidak melanggar ketentuan syari’at '.
Memang
benar, sikap tidak mau berdiri itu dapat menimbulkan penafsiran atau kesan pada
orang yang melihatnya (para hadirin), bahwa sikap seperti itu dianggapnya tidak
sopan, tidak berperasaan. Jadi, persoalannya sama dengan orang yang
meninggalkan adat-istiadat yang sudah menjadi tradisi masyarakat.
Berdiri menghormati ahlul-Fadhl (manusia utama)
adalah disyari’atkan oleh agama. Dalil-dalil yang menetapkan hal itu banyak
terdapat didalam Sunnah. Mengenai masalah itu Imam Nawawi menulis bab khusus, diperkuat oleh Ibnu Hajar. Ia menjawab sanggahan ‘Ali Ibnul-Haj yang secara khusus
menolak pendapat Imam Nawawi dengan menulis
bab tersendiri yang berjudul Raf’ul-Mulam ‘Anil-Qail bin Istihsanil-Qiyam Min
Ahlil-Fadhl.
Sebuah
hadits Muttafaq ‘alaih ( HR.bukhori
nr.2878, Muslim hadits nr.1768) meriwayatkan bahwa Rasulallah
saw. dalam salah satu khutbahnya dihadapan kaum Anshor berseru: ‘Hendaklah kalian berdiri untuk menghormat
pemimpin kalian’.
Yang
dimaksud pemimpin kalian ialah Sa’ad ra.. Rasulallah saw. menyuruh
mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk
menolong Sa’ad turun dari kendaraannya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam
keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat
kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong
Sa’ad. Begitu juga mengenai berdirinya Thalhah ra untuk Kaáb bin
Malik ra.
Imam al-Khattabi berkata bahwa berdirinya orang bawahan
untuk majikannya, murid untuk kedatangan gurunya dan berdiri untuk kedatangan
Imam yang adil dan semacamnya itu, semuanya merupakan hal yang baik, berkata
Imam Bukhori yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk.
Imam Nawawi
berpendapat bila berdiri untuk penghormatan tidak apa-apa, sebagaimana Nabi
saw. berdiri saat kedatangan putrinya Fathimah ra., namun adapula
pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan (Fathul Baaari
Almasyhur juz 11 dan Syarh Imam Nawasi ala shohih Muslim juz 12 hal. 93)
Ada sementara golongan yang mengatakan bahwa peristiwa
tersebut diatas terjadi semasa beliau masih hidup, dan beliau sendiri
berada ditengah kaum Anshor, sedangkan dalam peringatan maulid, beliau saw.
tidak berada di tengah para hadirin. Sebagai jawaban mengenai ini ialah:
Sebagaimana yang telah saya kutip sebelumnya bahwa orang yang membaca kisah
maulid Nabi saw. membayangkan kehadiran beliau saw. dalam imajinasinya.
Meng-imajinasikan kehadiran beliau jelas akan menambah penghormatan dan
pemuliaan orang kepada beliau saw. Beliau datang ditengah alam jasmani dari
alam nurani jauh sebelum waktu kelahirannya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau
berupa kehadiran nurani (ruhani) beralasan kuat, karena beliau saw. seorang
Nabi dan Rasul yang menghayati sepenuhnya akhlak Robbani.
Dalam hadits Qudsi beliau saw. mengatakan:
اَنَا جَلِيْسُ مَنْ ذَكَرَنِي
Artinya: “Aku
duduk menyertai orang yang menyebutku”.
Menurut
sumber riwayat lain :
اَنَا مَعَ مَنْ ذَكَرَنِي
Artinya: “ Aku bersama orang yang menyebutku”.
Mengingat kepatuhan dan kecintaan beliau saw. kepada
Allah swt. dan kecintaan Allah swt pada Rasulallah saw. serta mengingat pula
akhlak Rabbani yang beliau hayati sepenuhnya, maka dengan ruh beliau
yang mulia dan agung itu beliau saw. bisa selalu menghadiri ditempat mana
saja beliau disebut.
Begitu pula hadits mengenai bacaan salam kepada
Rasulallah saw. dari Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulallah saw.
bersabda:
مَا مِنْ أحَدٍ
يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أرُدَّ عَلَيْهِ
السَّلاَمُ
Artinya:“Tiada seorang yang mengucapkan salam kepadaku melainkan
Allah mengembalikan ruhku hingga dapat menjawab salam “. (HR.
Abu dawud)
Juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari
Abu Hurairah bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Jangan kamu jadikan kubur (makam) saya sebagai tempat perayaan, dan
bacakan selawat untukku, maka bacaan selawatmu itu akan sampai
kepadaku dimana saja kamu berada”.
Dengan
adanya dalil-dalil diatas tersebut maka para ulama untuk membiasakan berdiri
dalam peringatan maulid pada detik-detik membaca kisah kelahiran Rasulallah
saw., memberi salam serta
selawat kepada beliau saw. Berdiri dalam acara maulid ini banyak dilakukan
oleh kaum muslimin baik dari golongan awam atau ulamanya dalam berbagai madzhab di berbagai negeri, kawasan dan daerah.
Ada orang yang menafsirkan hadits riwayat Abu Daud
terakhir diatas ini secara keliru, yang mana mereka berkata bahwa kita tidak
boleh (bid’ah) ziarah pada Rasulallah saw. karena cukup dengan
membaca selawat dan salam untuk beliau dimana saja akan sampai. Ini adalah
penafsiran yang salah. Sebenarnya yang dimaksud sabda Nabi tersebut adalah
“janganlah kita bersusah payah harus menempuh perjalanan jauh (ke Madinah) semata-mata
hanya untuk mengucapkan selawat dan salam dimuka makam Rasulallah saw.,
karena membaca selawat dan salam akan sampai pada beliau saw. dimana kita
berada, jadi tidak harus menunggu berada dimuka makam Rasulallah saw.”.
Sedangkan kalimat hadits ‘sebagai tempat
perayaan’ artinya ialah agar kita tidak bicara keras, ramai-ramai
(dimuka makam Rasulallah aw.) seperti halnya orang yang pergi berpesta,
tapi kita harus dengan tenang memberi salam dan selawat dimuka kuburan beliau
saw. dan berdo’a pada Allah swt. Karena ini termasuk anjuran Allah swt yang
mendidik tatakrama kepada ummat Islam terhadap Nabi saw..
Sebagaimana
firman-Nya pada surat Al-Hujurat:
2/3/4 (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu
lebih dari suara Nabi ...sampai akhir ayat).
Menurut
pandangan ulama ,antara lain Imam Malik bin Anas ra, firman Ilahi ini juga
berlaku baik dikala beliau saw. masih
hidup mau pun beliau setelah wafat.
Begitu juga bila kita ziarah kepada kuburan Rasulallah saw. di Madinah, di
masjid haram ini ada tertulis ayat Al-hujurat tersebut, dengan
demikian orang-orang yang membaca dan mengerti artinya akan tidak berisik
dimuka makam Nabi saw. tidak lain semuanya sebagai tata krama terhadap
junjungan kita Rasulallah saw.
Para hadirin pada
umumnya tidak memahami makna kitab maulid Barzanji atau kitab maulid
lainnya, yang dibaca dalam bahasa Arab. Mereka hanya menikmati irama, lagu
dan kemerduan suara. Itu memang merupakan kekurangan yang harus menjadi
perhatian kita. Tetapi walau pun adanya kekurangan tersebut, tidak mengurangi kekhusyu’an jalannya peringatan maulid,
mereka mengharap kan berkah dan pahala karena ikut hadir dalam
mengagungkan kebesaran Allah dan mencintai Rasul-Nya. Kegembiraan mereka
menyambut peringatan kelahiran Nabi besar Muhammad saw. adalah kebajikan, lebih-lebih lagi jika
kegembiraan itu disertai dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat ma’ruf dan ihsan, seperti menyediakan makanan dan minuman bagi kaum fakir
miskin, walimah-walimah, dan memanjatkan do’a kepada Allah swt. mohon diberi
kemantepan iman, mohon keselamatan bagi semua kaum muslimin dan lain
sebagainya. Semuanya ini merupakan kegiatan yang baik dan patut dipuji, karena
dalam jama’ah/ kumpulan tersebut terdapat barokah
(baca bab Tawassul/Tabarruk dibuku ini).
Dalam hadits yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra. mengatakan: bahwasanya Rasulallah saw.
pernah menyatakan: 'Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin baik dalam
pandangan Allah swt. dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin buruk
dalam pandangan Allah'. Hadits ini memperkuat fatwa jumhurul ulama (pada umumnya ulama) yang menganjurkan kaum
muslimin supaya melaksanakan peringatan-peringatan maulid Nabi saw. dengan
acara-acara yang sudah lazim berlaku. Yaitu; membaca uraian riwayat kehidupan
Nabi Muhammad saw., ucapan-ucapan sholawat, berdzikir, tilawatul Qur’an,
ceramah-ceramah agama dan lain sebagainya, yang semuanya ini disunnahkan
oleh syari’at, mathlub syar’iy (tuntutan syari’at).
Demikianlah
sebagian uraian para pakar Islam mengenai peringatan maulid Nabi
saw. Hanya orang-orang yang egois,
fanatik sajalah yang melarang hal-hal tersebut sampai berani mensesatkan,
membid’ahkan munkar dan lain sebagainya, dengan memasukkan dalil-dalil yang
semuanya itu tidak ada kaitannya dengan masalah tersebut.
Nama kitab-kitab yang
menulis riwayat hidup Rasulallah saw.
Menurut riwayat pada malam Rasulallah saw. dilahirkan
tidak seperti malam-malam manusia lain dilahirkan. Peristiwa yang tertulis
didalam hadits termasuklah getaran yang dirasakan di istana ‘Chosroes’ dan padamnya api yang telah
menyala selama 1000 tahun di Persi dan beberapa peristiwa lain yang ditulis
oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidaya
jilid 2 halaman 265-268.
Dalam kitab al-Madhkal
oleh Ibnu al-Hajj jilid 1 halaman 261 disebutkan: “Menjadi satu kewajiban bagi kita untuk memperbanyak kesyukuran kepada
Allah setiap hari Senin bulan Rabi’ul Awwal karena Dia (Allah swt.)
telah mengurniakan kepada kita nikmat yang besar yaitu diutus-Nya Nabi
saw. untuk menyampaikan Islam".
Sering kita
baca dalam kitab-kitab maulid yang ditulis oleh para pakar Islam setelah
zaman Nabi saw dan para sahabat. sejarah tentang kelahiran Nabi saw., keutamaan,
kebesaran dan mukjizat-mukjizat beliau saw. dan lain sebagainya. Diantara kitab-kitab maulid itu serta
nama penulisnya, yang kadangkala dibaca dimajlis-majlis atau
perkumpulan adalah sebagai berikut:
Dalam kitab Kasyfudz-Dzunun
dikemukakan bahwa orang pertama yang menulis kitab Maghazi (Manakib atau perilaku kehidupan Nabi Muhammad saw.) ialah Muhammad bin Ishaq terkenal
dengan nama Ibnu Ishaq wafat pada tahun 151 H (pada
zaman tabi’in). Dengan indah dan cemerlang ia menguraikan riwayat maulid Nabi serta menjelaskan berbagai manfaat yang dapat
dipetik dari bentuk-bentuk peringatan, seperti walimah, shadaqah dan
kebajikan-kebajikan lainnya yang semuanya bersifat ibadah.
Dapat
dipastikan masa hidupnya Muhammad bin
Ishaq ini pada zaman yang menurut sejarah Islam disebut zaman kaum Tabi’in. Karenanya dapatlah di
simpulkan, bahwa semua yang ditulis dan diterangkan olehnya berasal dari
orang-orang yang menyaksikan sendiri kehidupan para sahabat Nabi saw.. Hasil
penulisannya kemudian diteruskan pada zaman berikutnya oleh Ibnu Hisyam, wafat dalam tahun 213 H. Ia
menulis riwayat tentang perilaku kehidupan Nabi saw., dan berhasil menyelesaikannya
dengan baik, sehingga ia dianggap sebagai
penulis pertama riwayat kehidupan Nabi saw. Dengan menulis kitab mengenai
itu Ibnu Hisyam tidak bermaksud menghimpun semua nash yang pernah diucapkan
oleh Rasulallah saw. atau oleh para sahabat terdekat beliau saw.. Meski pun
demikian ternyata buah karyanya beroleh sambutan baik dan dibenarkan oleh para
ulama dan para pemuka masyarakat Islam. Tidak lain semuanya ini bertujuan
memelihara dan melestarikan data sejarah kehidupan Nabi saw.
Adapun orang pertama yang menulis kitab maulid Nabi dan
kemudian dibaca didepan umum
dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh para penguasa daulat ‘Abassiyah,
adalah Imam Al-Hafidz Hujjatul Islam
Al-Qadhi ‘Askar Amirul Mu’minin Muhammad Al-Mahdi Al-‘Abbasi wafat tahun
207 H. Imam ini adalah orang pertama yang menghimpun hadits-hadits para sahabat
Nabi saw. mengenai kebajikan dan pahala membaca riwayat maulid Nabi saw..
Sedangkan para imam lainnya dalam menulis kitab-kitab maulid banyak mengambil
dari Al-Waqidi, kitab rujukan yang
banyak dibaca dalam peringatan-peringatan maulid yang diadakan oleh para
Khalifah dan menteri-menterinya. Kecuali itu kitab tersebut
juga banyak dibaca didalam perguruan-perguruan agama Islam pada hari-hari
peringatan dan hari-hari raya, pada bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.
Sehingga kitab maulid karya Al-Waqidi
ini banyak dihafal oleh kaum muslimin dan anak-anak keturunan mereka.
Allamah Nuruddin ‘Ali dalam kitabnya yang berjudul Wafa-ul-Wafa bi Akhbari Daril-Mushtofa mengatakan
bahwa Siti Khaizuran, bunda Musa
Amirul Mu’minin, pada tahun 170 H sengaja datang ke Madinah, lalu menyuruh
penduduk menyelenggarakan peringatan maulid Nabi saw. di dalam masjid Nabawi.
Seorang ulama terkenal, Imam Taqiyyuddin ‘Ali bin ‘Abdul-Kafi As-Sabki wafat
tahun 756 H menulis kitab khusus
tentang kemuliaan dan kebesaran Nabi Muhammad saw. Bahkan ia menfatwakan,
barangsiapa menghadiri pertemuan untuk mendengarkan
riwayat maulid Nabi Muhammad saw. serta keagungan maknanya ia memperoleh barokah dan ganjaran pahala.
Imam Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Hajar
Al-Haitsami As-Sa’di Al-Anshari Asy-Syafi’i
wafat tahun 973 H menulis kitab khusus mengenai kemuliaan Nabi saw.. Ia memandang hari Maulid Nabi saw. sebagai hari raya
besar yang penuh barokah dan kebajikan.
Imam ‘Abdur-Rabi’ Sulaiman At-Thufi As-Shurshuri
Al-Hanbali terkenal dengan nama Ibnul-Buqiy wafat tahun
716 H. Ia menulis sajak dan sya’ir-sya’ir bertema pujian memuliakan keagungan
Nabi Muhammad saw., keagungan yang tidak ada pada manusia lain mana pun juga. Tiap hari maulid Nabi para pemimpin Muslim berkumpul dirumahnya. Ia lalu minta
salah seorang dari hadirin supaya mendendangkan sya’ir-sya’ir Al-Buqiy itu.
Dalam kitab Insanul-‘Uyun
Fi Siratil-Amin Al-Ma’mum bab 1, Imam ‘Ali bin Burhanuddin Al-Halabi
mengatakan: “Kebiasaan berdiri pada
saat orang mendengar pembaca riwayat maulid menyebut detik-detik kelahiran Nabi
saw., memang merupakan bid’ah hasanah/baik,
bid’ah mahmudah/terpuji, sama sekali bukan bid’ah dholalah atau bid’ah
madzmumah/tercela atau munkarah (bid’ah buruk yang tercela). Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. sendiri menamakan
shalat tarawih berjama’ah sebagai bid’ah
hasanah. Dengan demikian maka orang yang berdiri sebagai
tanda penghormatan pada saat mendengar detik-detik kelahiran Nabi saw.
disebut, apalagi jika peringatan maulid itu dibarengi dengan kegiatan infak dan shadaqah, semua nya itu jelas merupakan kegiatan terpuji.
Ibnu Bathuthah dalam buku catatan pengembaraannya
menceriterakan kesaksiannya sendiri tentang bentuk
dan cara memperingati maulid Nabi
saw. yang dilakukan oleh Sultan Tunisia, Amirul
Mu’minin Abul-Hasan, pada tahun 750 H. Ia mengatakan bahwa Sultan ini pada
hari maulid Nabi Muhammad saw. mengadakan pertemuan
umum dan terbuka dengan rakyat nya dan bagi semua yang hadir disediakan hidangan makan-minum secukupnya. Untuk itu Sultan menyediakan anggaran belanja beribu-ribu dinar (uang emas). Ia
membangun kemah-kemah raksasa untuk tempat pejabat pemerintahan dan
undangan-undangan lainnya. Dalam pertemuan itu di dengungkan sajak-sajak dan
sya’ir-sya’ir pujian kepada Nabi Muhammad saw. dan diuraikan pula riwayat
kehidupan beliau saw..Peringatan maulid dalam bentuk seperti ini juga
dituturkan oleh penulis kitab Murujudz-Dzahab.
Ia menyebut berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun 738 H.
Sultan Ibril, Mudzaffar wafat
tahun 620 H semasa hidupnya sangat menaruh perhatian terhadap peringatan-peringatan
maulid Nabi saw. yang di selenggarakan tiap tahun. Dua bulan sebelum bulan
Rabi’ul-awwal, ia sudah mulai sibuk mempersiapkan segala kegiatan guna
memeriahkan peringatan maulid. Tidak terhitung banyaknya ulama-ulama dari berbagai negeri Islam yang datang ke Ibril untuk menghadiri peringatan
maulid Nabi Muhammad saw.. Mereka mengharap beroleh keberkahan dengan datangnya
hari yang mulia itu. Konon biaya yang dihabiskan untuk keperluan peringatan
maulid seperti itu tidak kurang dari dua
ratus ribu dinar tiap tahun. Demikian juga menurut pengembara yang lain
lagi, Ibnu Khalkan. Dalam sebuah buku
yang ditulisnya ia mengetengahkan keanehan-keanehan Sultan Mudzaffar.
Nama para ulama lain dan kitabnya ialah:
1. Imam
Al-Hafidz Syihabul-Millah wa Ad-Din Ahmad bin Hajar wafat tahun 973 H;
2. Imam
Abul-Khattab ‘Umar bin Al-Hasan Dzun-Nasabain wafat tahun 604 H atas permintaan
Sultan Ibril ia menulis kitab maulid;
3. Imam
Al-Hafidz Abul-Faraj Ibnul-Jauzi nama kitabnya Al-Arus terkenal dengan nama Kitab Maulid Ibnul-Jazi ditulis
olehnya pada tahun 590 H ;
4.
Allamah Imam Yusuf An-Nabhani ;
5. Imam
Jamaluddin As-Sayuti ;
6. Imam
Rabi’ At-Thufi Ash-Shurshuri nama kitabnya Maulid
Ash-Shurshuriy, ia menulis kitab ini sekitar tahun 700 H ;
7. Imam
Al-Hafidz Abul-Hasan ‘Ali Al-Mas’udiy wafat tahun 346 H kitab
maulidnya terkenal dengan nama Kitab
Maulid Al-Mas’udi.;
8. Imam Ash-Shalih As-Sayyid Al-Bakri dikenal dengan
kitabnya Kitab Maulid Al-Bakri ;
9. Imam
Mar’i bin Yusuf Al-Maqdisi wafat tahun 1033 H nama kitab
maulidnya Kitab Maulid Al-Maqdisi
Al-Hanbali ;
10.
Allamah ‘Utsman bin Sind wafat tahun 205 H menulis
kitab maulid dalam bentuk sya’ir dengan tema memuji dan mengagungkan Rasulallah
saw.;
11.
Syeikh Hasan Asy-Syathi wafat tahun 1274 H dan 12.
Al-‘Allamah Abus-Surur Asy-Sya’rawi wafat tahun 1136 H
kedua-duanya telah menulis kitab maulid.
13.
Seorang ulama ahli tafsir dari madzhab Hanbali Muhammad bin ‘Utsman bin ‘Abbas Ad-Dumani Al-Manawi menulis kitab
maulid terkenal sangat indah;
14. Al-‘Allamah Al-Ustadz As-Sayyid Rasyid Ridha,
pemimpin majalah Al-Manar telah
menulis kitab maulid yang banyak dibaca oleh kaum Muslimin di Mesir ;
15. kitab
Attanwir fi maulid basyir an nadzir
oleh Imam Al-Hafidh al-Muhaddits Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhamad yang
terkenal dengan nama Ibn Dihyah alkalbi ;
16. kitab
urfu at ta’rif bi maulid assyarif oleh
Imam Al-Hafidh al-Muhaddits Syamsuddin Muhamad bin Abdullah aljuzri ;
17. kitab
maulid Ibn Katstir oleh Imam
Al-Hafidh Ibn Katsir ;
18. kitab
maurid alhana fi maulid asana oleh
Imam Al-Hafidh Al-‘Iraqy ;
19. kitab
al fajr al ulwi fi mauldi an nabawi
oleh Imam Assyakhawiy ;
20. kitab
al mawarid al haniah fi maulid kahiril
bariyyah oleh ‘Allamah al fagih Ali Zainal Abidin As Syamhudi ;
21. kitab
maulid Ad-diba’i oleh Al-Imam
Al-Hafidh Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhamad As-Syaibaniy terkenal
dengan nama ibn diba’ ;
22. kitab
itmam anni’mah alal alam bi maulid
sayyidi waladu adam oleh Iamam Ibn Hajar al-Haitsami ;
23. kitab
maurud arrowi fi maulid nabawi oleh
Al-‘Allamah Ali Al Qari’ ;
24. kitab
maulid Barzanji oleh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Ja’far bin Hasan
Al-Barzanji ;
25. kitab
Al yaman wal is’ad bi maulid khari al
ibad oleh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhamad bin Ja’far al Kattani ;
26. kitab
jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as
syafi’ oleh Al-‘Allamah Syeikh Yusuf bin Ismail An-Nabhaniy ;
27. kitab
al-maulid mushtofa adnaani oleh Imam
Ibrahim Assyaibaniy ;
28. kitab
Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi oleh
Imam Abdulghaniy Annablisiy ;
29. kitab
fath al latif fi syarah maulid assyarif
oleh Syihabuddin al-Halwani ;
30. kitab
Al kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar
fi maulid nadi al azhar oleh Imam Ahmad bin Muhamad Addimyati ;
31. kitab
nur as shofa’ fi maulid al mushtofa oleh Syeikh Ali Attanthowiy;
32. kitab
at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah oleh Syeikh Muhamad Al
maghribi ;
33. Imam
Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid Ibn Hajar dengan nama kitab tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar ;
34. Imam
Al-Hafidh Nasruddin Addimasyqiq telah mengarang beberapa kitab maulid yaitu
kitab Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al-lafad arra’iq fi
maulid khair al khalaq dan Maurud asshadi fi maulid al hadi.
35.
As-Sayyid Muhammad Shalih As-Sahruwardi judul kitabnya Tuhfatul-Abrar fi Tarikh Masyru’iyyatil-hafl Bi Yaumi Maulid
An-nabiyyil-Mukhtar. Dalam kitabnya ini dia mengemukakan dalil-dalil
meyakinkan tentang keabsahan peringatan maulid Nabi Muhamad saw. sebagai ibadah sunnah yang ditekankan (sunnah
mu’akkadah), agar kaum muslimin melaksanakannya dengan baik.
36. Al-államah
Sayyid Ali bin Muhammad Alhabsyi judul kitab maulidnya
Simtud Durar. Kitab maulid ini sering dibaca juga di pesantren atau
dimajlis-majlis, khususnya dinegara kita. Dan masih banyak lagi nama-nama para
ulama yang menulis kitab-kitab mengenai maulidin Nabi saw, yang tidak tercantum
disini.
Dengan adanya keterangan diatas ini kita bisa
bertanya-tanya: Mengapa golongan pengingkar berani mengharamkan, mensesat kan, membid'ahkan dan lain sebagainya peringatan maulidin Nabi saw. yang
mulia ini, tanpa berdalil dengan nash yang jelas, hanya sering berdalil bahwa
Nabi saw. dan para sahabatnya tidak pernah melakukan atau memerintahkannya?
Apakah para pakar Islam yang telah dikemukakan diatas itu tidak mengerti
hukum syari’at Islam dan hanya ulama golongan pengingkar ini saja yang
mengerti?
Insya Allah dengan adanya beberapa dalil dan pendapat
para ulama yang berkaitan dengan peringatan keagamaan itu, cukup jelas
bagi kita untuk menilai kebaikan dan manfaatnya. Ingatlah sekali lagi walau pun
pada zaman Nabi saw. atau para sahabat tidak menjalankan hal tersebut bukan
berarti tidak boleh dijalankan atau dilarang/haram oleh agama. Semua
yang dilarang oleh agama itu harus mempunyai nash/dalil yang jelas dan tegas
masalah tersebut.
Insya Allah
juga buat para pembaca lebih mantep dan jelas bahwa peringatan Maulid ini sudah
ratusan tahun yang lalu dikenal
dan diamalkan oleh para ulama, para Salaf serta
Khalaf. Peringatan-peringatan maulid
Nabi sudah biasa juga diadakan oleh raja-raja serta sultan-sultan di Turki,
Mesir, Iraq, India dan diberbagai negeri Islam lainnya, termasuk Indonesia.
Tentu saja dengan cara dan dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan adat
kebiasaan setempat, tetapi inti dan motifnya sama yaitu memperingati hari besar
yang bersejarah yakni lahirnya junjungan kita nabi besar Muhamad saw.
Begitu juga semua yang telah tercantum di website ini
mengenai keabsahan peringatan maulid Nabi saw., semuanya itu hanya berlaku jika
peringatan maulid yang diadakan itu sama sekali tidak bercampur-aduk dengan
kemungkaran-kemungkaran tercela yang harus ditolak. Jika peringatan maulid
mencakup hal-hal yang harus ditolak seperti bercampur baurnya lelaki dan wanita
tanpa dipisah tempat duduknya serta
diselingi dengan hal-ihwal yang diharamkan
agama, pengeluaran biaya yang berlebih-lebihan sehingga banyak makanan yang terbuang, semuanya itu tidak
disenangi Rasulallah saw. dan tentu saja penyelenggaraan peringatan maulid yang
demikian tersebut harus dicegah. Dalam hal seperti ini yang dilarang bukanlah peringatan maulidnya, tetapi sisipan dan cara penyelenggaraannya
yang salah itulah yang harus diperhatikan!!. Wallahu a’lam.
Sekelumit makalah
Pernah kami baca dari lembaran internet Salafi tanggal
25/01/2004 sebagai penulis Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz salah seorang ulama madzhab
Wahabi/Salafi, yang mengatakan pada majlis
peringatan maulid Nabi saw. tersebut berkumpulnya lelaki dan wanita-wanita yang
bukan muhrim sehingga itu semua
adalah munkar dan haram. Dan didalam
majlis maulid Nabi saw. tersebut banyak hal-hal yang haram dijalankan oleh kaum
muslimin tersebut diantaranya: minum khamar/alkohol, main judi, minum ganja
dan sebagainya. Ini fitnahan yang membuat kaum muslimin pecah dan saling
benci membenci.
Sayang sekali Syekh ini tidak menyebutkan pada majlis
maulid apa dan dimana yang pernah dihadiri oleh beliau, sehingga adanya minuman
alkohol, main judi dan sebagainya? Mungkin beliau ini hanya mendengar ceritera
dongengan dari kawan-kawannya yang anti pada majlis maulid tersebut. Syekh ini
mudah sekali menulis kata-kata bahwa majlis-majlis Maulid mungkar dan
sebagainya dengan berdalil pada ayat Ilahi dan hadits-hadits Nabi saw. yang
mana tidak ada kaitannya dengan majlis peringatan maulidin Nabi saw. Beliau dan
kawan-kawannya ini mudah sekali mensesatkan, mengkafirkan amalan-amalan yang
baru, yang tidak sependapat dengan faham mereka, walaupun amalan itu sejalan
dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Lebih mudahnya mari kita baca bukunya Ustadz Quraish
Shihabseorang ulama di Indonesia yang berjudul Fatwa-Fatwa
Seputar Ibadah dan Muamalah, disini menerangkan bahwa ajaran hukum Islam
ada dua macam haram;
Pertama; haram karena zatnya, misalnya babi itu haram dimakan,
karena zat daging babi itu sendiri najis dan haram. Demikian juga dengan
berzina.
Kedua; haram karena dia dapat mengantarkan ke sesuatu yang
haram karena zatnya, misalnya ; berkumpulnya dua orang berlainan jenis disuatu
tempat yang terpisah dari khalayak ramai (berduaan saja) adalah haram, ini
diharamkan karena dapat mengantarkan pada perzinaan.
Sedangkan berkumpulnya banyak orang pria dan wanita dalam
satu majlis terbuka, umpama dalam majlis peringatan keagamaan atau lainnya,
dimajlis terbuka ini tidak mungkin dapat mengantarkan perzinaan, apalagi bila
tempat duduk mereka terpisah. Dengan demikian hal tersebut tidak dinilai
sebagai sesuatu yang haram atau terlarang dalam agama. (Umpama dimajlis tersebut
ada orang yang bermaksiat atau perbuatan munkar, maka orang itulah yang
bertanggung jawab pada Allah swt., jadi bukan majlis dzikirnya yang harus
dilarang atau diharamkan karena perbuatan maksiat pribadi tersebut--pen).
Pada masa Rasulallah saw., kaum wanita pernah ikut bahu membahu dan bekerja sama dengan kaum
pria dalam berbagai aktivitas. Imam Bukhori dalam kitab haditsnya menjelaskan
betapa kaum wanita terlibat dalam pengobatan para korban perang atau ikut dalam
expedisi perang dilaut. Umar
bin Khattab ra. mengangkat Al-Syifa’ seorang wanita yang
pandai menulis untuk mengurus pasar di Madinah yang sudah tentu
disana bercampur baur antara lelaki dan wanita! Juga dalam Shahih
Bukhori dikemukakan banyak riwayat tentang dialog
wanita dengan pria. Tentunya dalam dialog tersebut wanita berbicara dengan lelaki.
Agama Islam pada hakekatnya hanya melarang pergaulan bebas, bukan menganjurkan
pergaulan yang terbatas (berlainan jenis hanya berduaan disatu ruang). Agama
melarang segala sesuatu yang dapat mengantarkan keperzinaan atau kedurhakaan.
Sedangkan berkumpulnya banyak wanita dan lelaki diruang terbuka, apalagi
tempatnya terpisah, tidak dapat
dinilai sebagai sesuatu yang terlarang. Demikianlah keterangan Ustadz
Quraish Shihab.
Sedangkan
mengenai suara wanita; Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits
‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi
saw. tidak berjabat tangan dengan
wanita ketika baiat, hanya dengan ucapan mengatakan; dalam hadits ‘Aisyah ini ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan muhrim, dan
suara mereka itu bukanlah aurat.....
(Fathul-Bari, 16/330)
Kalau sekiranya pendapat Syekh Abdullah bin Abdul Aziz
bin Baz ini benar yaitu haramnya berkumpul antara wanita dan lelaki yang bukan
muhrimnya di majlis terbuka, mengapa para
Muthawwi’ Saudi Arabia yang sepaham
akidahnya dengan Syeikh ini membiarkan para
wanita shalat berdampingan
dengan kaum lelaki yang bukan muhrimnya di Masjidil
Haram, Makkah pada musim haji, atau bulan-bulan Rajab, Sya’ban?, yang mana kami
alami sendiri pada waktu musim haji dan bulan-bulan suci lainnya. Padahal ada
riwayat hadits yang menganjurkan tempat wanita shalat bila berjama’ah
adalah di belakang lelaki, juga letak seorang ibu di belakang anak lelakinya.
Dan hal ini di setujui oleh jumhur ulama ahli Fiqih. Dalam hal ini ibadah sholat seharusnya malah lebih
diperhatikan daripada berkumpulnya lelaki dan wanita pada peringatan keagamaan
itu yang duduk mereka sering berpisah.
Bila
kejadian tersebut diatas mereka katakan darurat, tidaklah mungkin karena mereka
bisa mengatur untuk memisahkannya. Sebagaimana mereka bisa mengatur dan
memeriksa tas-tas ratusan ribu orang yang mau masuk ke Masjid Makkah ini dan
memisahkan tempat duduk para wanita serta menghalangi ratusan ribu orang masuk
ke masjid kalau didalam masjid sudah sangat penuh. Sedangkan di-masjidil Haram
Madinah sholat wanita berdampingan dengan lelaki yang bukan muhrim ini tidak
pernah kami alami, walau pun di Madinah waktu itu juga ribuan muslimin yang
sholat disana.
Begitu juga Rasulallah saw. memerintahkan agar orang
berthawaf di sekitar Baitullah (Ka’bah) yang mana dalam ibadah
ini dilakukan bersama-sama antara lelaki dan wanita, baik thawaf sunnah
atau thawaf wajib pada waktu haji atau lainnya. Pada waktu thawaf ini
sering terjadi perbuatan dosa yaitu tangan-tangan jahil lelaki yang tidak bertujuan
untuk ibadah waktu penuh sesak akan sengaja menyentuh aurat wanita
atau merapatkan tubuhnya pada wanita didepannya, mencuri dan lain
sebagainya. Syari'at Islam tidak melarang pelaksanaan thawaf
bersama lelaki dan wanita dalam ruangan terbuka, tetapi yang dilarang
oleh agama ialah perbuatan haram/dosa yang disengaja yaitu perbuatan
orang-orang jahil yang telah kami kemukakan tadi. Sebenarnya hal inilah
yang harus lebih diperhatikan oleh para ulama Saudi khususnya agar sebisa
mungkin memisahkan atau membatasi tempat-tempat thawaf antara wanita
dan lelaki, sehingga tidak mungkin akan terjadi pergesekan atau
persentuhan tubuh antara lelaki dan wanita pada waktu-waktu penuh sesak!!.
Bila thawaf bersamaan antara lelaki dan wanita
diruangan yang terbuka tersebut dilarang oleh agama, tidak mungkin Rasulallah
saw. makhluk Ilahi yang paling taqwa
memerintahkan thawaf kepada kaum lelaki dan kaum wanita baik
diwaktu menjalani manasik Haji maupun thawaf sunnah
lainnya. Begitu juga beliau saw. tidak memerintahkan agar wanita
diberi waktu-waktu khusus untuk mereka! Tidak lain karena beliau saw.
telah meneliti dan melihat pada tempat yang terbuka tersebut tidak mungkin akan
terjadi perzinaan, sedangkan bila ada
terjadi tangan-tangan jahil yang dilakukan perorangan yang tidak niat ibadah ditempat tersebut itu adalah
dosa besar yang ditanggung oleh pribadi itu sendiri. Jadi ibadah/amalan thawaf
tidak perlu dilarang atau
dimungkarkan karena perbuatan
perorangan tersebut, sebagaimana pendapat syekh Bin Baz yang memungkarkan
peringatan maulud karena disana terjadi bercampur nya lelaki dan wanita diruangan terbuka yang bukan muhrim.
Jadi sekali lagi bahwa agama Islam pada hakekatnya hanya
melarang pergaulan bebas, melarang segala sesuatu yang dapat mengantarkan
keperzinaan atau kedurhakaan. Sedangkan berkumpulnya banyak wanita dan lelaki
diruang terbuka (dimajlis-majlis dzikir, maulid, pengajian dan sebagainya),
apalagi tempat mereka terpisah, ini tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang
terlarang/ haram. Baik wanita maupun lelaki selalu dianjurkan oleh syariat
agama agar menutup auratnya seperti yang dianjurkan syari’at Islam.
Begitu juga dianjurkan kepada para pengurus/organisator majlis-majslis dzikir agar mengatur sebaik
mungkin tempat-tempat kaum lelaki dan kaum wanita, yang sejalan dengan syari'at
atau yang tidak mungkin akan terjadinya maksiat didalam majlis-majlis itu.
Bila masih ada orang yang melanggar syari’at baik ditempat majlis dzikir atau
lainnya, itu adalah berdosa dan tanggung jawab pribadi orang itu terhadap
Allah swt., jadi bukan majlisnya yang harus ditutup atau diharamkan.
Wallahu A’lam.
Semoga kita
semua diberi hidayah dan taufiq oleh Allah swt. dan tidak saling cela-mencela
sesama saudara muslimnya dikarenakan amalan-amalan sunnah tersebut.
Sekelumit tentang peringatan Isra dan Mi'raj Rasulallah saw.
Isra dan Mi’raj
termasuk hari-hari Allah yang layak diperingati, karena berkaitan langsung
dengan Nabi Besar Muhammad saw. ke alam jabarut atas kehendak dan kekuasaan
Allah swt. Kejadian Isra dan Mi’raj Rasulallah saw. ini telah disebutkan
dalam firman Allah swt. (QS.Al-Isra), sedangkan riwayat perjalanan Isra dan
Mi’raj Rasulallah saw. ini diriwayatkan dalam berbagai hadits diantaranya oleh
Imam Bukhori, Imam Muslim dan lainnya.
Peristiwa Isra dan
Mi’raj ternyata merupakan ujian tentang sejauh mana orang benar-benar mengimani
kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Diantara sejumlah kaum muslimin yang masih
sedikit pada masa itu, sebagian goyah dan goncang keimanannya. Bagi mereka yang
tidak beroleh hidayat dari Allah swt. bahkan keluar meninggalkan Islam, kembali
ke kepercayaan semula.
Bagi mereka ini
memang sulit sekali mempercayai sesuatu yang dirasa tidak masuk akal, bahkan
mereka ketika mendengar berita tentang peristiwa itu mengolok-ngolok Rasulallah
saw, bahkan menuduhnya ‘keranjingan
setan’. Ada lagi yang menganggap
peristiwa Isra dan Mi’raj itu perbuatan sihir. Memang demikianlah keadaan
manusia yang hanya mengenal nikmat lahiriyah (fisik-material), tetapi
terjauhkan dari nikmat bathiniah (mental-spritual), yaitu nikmat Iman dan
Islam.
Tidak dapat
dipungkiri, bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. merupakan
sebagian dari nikmat dan kebesaran Allah swt yang mengandung banyak hikmah
dan pelajaran bagi ummat manusia, khususnya bagi kaum Muslimin. Peristiwa Isra yang mendahului Mi’raj dan
terjadi pada malam yang sama, juga merupakan mu’jizat yang meyakinkan manusia
akan kebenaran Risalah dan agama yang dibawakan oleh junjungan kita Nabi
Muhammad saw., terutama mengenai pemberitaan bentuk bangunan Masjid Al-Aqsha di
Yerussalem yang disampaikan oleh beliau saw. kepada para sahabat.
Riwayat singkatnya:
Setelah beliau
saw. sholat dua rakaat didalam masjid Al-Aqsha, dan beliau saw. mengimami
sholat jama’ah para Nabi dan Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsha ini, Jibril as. membawa
beliau Mi’raj yakni naik kelangit pertama sampai ke langit ketujuh. Setiap
langit yang beliau saw. hampiri, beliau saw. disambut oleh para Rasul yang
terdahulu, misalnya Nabi Adam as berada dilangit yang pertama, Nabi Isa dan
Yahya –‘alaihimas salaam- berada dilangit yang kedua, Nabi Yusuf as. dilangit
yang ketiga, Nabi Idris as dilangit yang keempat, Nabi Harun as. dilangit yang
kelima, Nabi Musa as. dilangit yang keenam dan Nabi Ibrahim as. berada dilangit
yang ketujuh, sedang bersandar pada Al-Baitul-Makmur. Tiap hari tujuh puluh
ribu malaikat masuk kedalamnya (Baitul Makmur) tanpa keluar lagi. Kemudian
Rasulallah saw. naik ke Sidratul-Muntaha. Pada waktu peristiwa Mi’raj ini Allah
swt. mewahyukan kepada beliau saw. tentang ketetapan lima waktu sholat wajib
sehari semalam. Beliau saw. adalah manusia satu-satunya yang mengalami
kejadian itu, Ini tidak lain menunjukkan betapa luhur dan agungnya kedudukan
beliau saw..
Peristiwa ini bisa
kita ambil pelajaran beberapa soal penting umpamanya, setiap beliau saw. sampai
disatu lapis langit selalu disambut gembira oleh para Nabi dan Rasul terdahulu,
dan semua mendo’akan kebajikan bagi beliau saw.. Dalam perjalanan Isra ke
Palestina di Yerussalem beliau saw. mengimami sholat jama’ah para Nabi dan
Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsha. Tidak kurang pentingnya dari semuanya
itu ialah do’a kebajikan yang dipanjatkan oleh para Nabi dan Rasul di alam
baqa bagi junjungan Nabi kita Muhammad saw. Dengan demikian riwayat disini
menunjukkan bahwa arwah orang yang telah wafat bisa berdo’a dan terbang
kemana-mana menurut kehendaknya sebagaimana yang diriwayatkan oleh perawi
hadits (lebih mendetail baca kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat pada
bab Ziarah kubur dibuku ini).
Seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya bahwa tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat atau
memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari
tertentu, begitu juga bentuk perayaan atau peringatan sebagaimana yang
dituturkan dalam hadits-hadits ternyata
bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah puasa, ada yang dengan cara memotong kambing
lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan nyanyian, dan mendeklamasikan
sya’ir-sya’ir sambil memukul rebana dan ada pula yang merayakan dengan
bermain-main tombak serta perisai.
Begitu juga
halnya dengan peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad
saw., walaupun sementara orang
berpendapat bahwa tidak ada nash yang jelas menyebut pada malam apa, tanggal
berapa dan bulan apa Isra dan Mi’raj itu terjadi, itu sama sekali bukan
halangan atau larangan untuk memperingati peristiwa penting dan besar dalam
sejarah itu. Keabsahan peringatan Isra Mir’raj menurut syara’ sama dengan keabsahan
peringatan maulid. Alasan-alasan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan
untuk memperkokoh keabsahaan maulid, pada dasarnya memperkuat juga
keabsahan peringatan Isra dan Mi’raj. (silahkan rujuk dalil-dalil yang
telah kami kemukakan sebelumnya).
Peringatan Isra
Mi’raj ini dapat diselenggarakan kapan saja, tetapi yang lebih tepat dan afdhal
ialah pada waktu yang telah diisyaratkan dalam berita-berita riwayat
(yaitu pada bulan Rajab). Tujuan utama memperingati ini tidak lain sama halnya
dengan peringatan maulid Nabi saw. dan hari-hari Allah lainnya adalah
mensyukuri nikmat Allah swt. yang tidak terhingga besarnya. Hari hijrah
Rasulallah dari Makkah ke Madinah pun sangat banyak sekali hikmahnya. Banyak
sekali pelajaran yang dapat ditarik oleh kaum muslimin dari peristiwa besar
dalam sejarah Islam ini. Untuk mengetahui lebih mendetail mengenai perjalanan
Isra dan Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw.
silahkan
membaca kitab Shohih Bukhori atau dalam shohih Muslim dan kitab lainnya.
Demikianlah sekelumit tentang peringatan Isra dan Mi’raj Sayyidul Mursalin
Rasulallah saw.
Mengagungkan Nabi Muhammad
saw.
Sebenarnya dalil-dalil tentang kewajiban ummat
muslimin untuk mengagungkan Nabi
Muhammad saw. yang telah kami kemukakan, insya Allah jelas bagi kita
bahwa pengagungan pada Rasulallah saw. dan hamba-hamba yang sholeh itu termasuk
anjuran agama dan bukan sebagai
penyembahan atau perbuatan berlebihan. Tetapi selama masih ada kata-kata
yang sering kita dengar dari saudara-saudara muslimin yang melarang untuk mengagungkan Nabi saw.
sampai-sampai ada yang mensyirik kannya, maka tidak ada salahnya kami
tambahkan kuitpan berikut ini yang berkaitan dengan pengagungan/penghormatan
terhadap Rasulallah saw..
Pengagungan/penghormatan tinggi kita pada Rasulallah saw.
oleh golongan pengingkar dianggap sebagai penyembahan pada beliau saw..
Mereka melarang ini berdalil pada sabda Nabi saw. sebagai berikut:
لاَ تُطْرُوْنِى
كَمَا أطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ
Artinya: “Janganlah kalian mengagung-agungkan diriku seperti kaum
Nasrani mengagung-agungkan ‘Isa putra Maryam’ “.
Dengan beralasan hadits diatas ini mereka menganggap
mengagungkan beliau saw. merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang dapat membawa orang kepada perbuatan
syirik. Juga mereka berpendapat bahwa menyanjung beliau saw. lebih tinggi dari
manusia yang lain, dan memandang beliau saw. mempunyai kelebihan-kelebihan
lebih dari manusia biasa itu adalah bid’ah keagamaan dan perbuatan
yang menyalahi sunnah beliau saw..
Pengertian serta pemikiran mereka seperti itu adalah
sangat naif sekali. Kalau kita teliti hadits diatas tersebut yang dilarang oleh
Rasulallah saw. yaitu orang yang mengagungkan beliau saw.seperti orang Nasrani
yang mengagungkan nabi Isa as.
Pengagungan orang-orang Nasrani terhadap nabi Isa as. adalah melampui batas
yang mana mereka menganggap bahwa nabi Isa itu anak Tuhan apalagi orang-orang Katolik disamping menganggap nabi
Isa anak Tuhan juga beliau sebagai Tuhan dibumi/ didunia. Pengagungan seperti
inilah yang dilarang oleh agama agama Islam dan dianggap syirik karena
menyekutukan Allah swt..
Sedangkan
orang yang mengagungkan Rasulallah saw. dengan cara yang tidak melampaui batas
kedudukan beliau sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya yang paling mulia dan taqwa
serta tidak disertai kepercayaan seperti kaum Nasrani, maka cara itu tidak
bertentangan dengan Tauhid, malah diperintahkan oleh Allah swt. untuk
menghormat dan mengagungkan beliau saw.. Mari kita rujuk ,berikut ini,
firman-firman Allah swt. yang berkaitan dengan pribadi para Rasul dan khususnya
pribadi Rasulallah saw. :
firman Allah
swt. :
َالَّذِيْنَ آمَنُوْا
بِهِ وَ عَزَّرُوْهُ وَ نَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الذِّي اُنْزِلَ مَعَهُ
أوْلاَئِكَ هُـمُ الْمُفـْلِحُوْنَ
Artinya: Maka orang-orang
yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad
saw.) mengagungkannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
diturunkan bersamanya (yakni Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang
memperoleh keberuntungan”. (QS.Al-A’raf : 157)
Firman-Nya juga :
وَ قَالَ اللهُ
اِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ اَقَمْتُمُ الصِّلاَةَ وَاَتَيْتُمُ الزَّكَاةَ
وَاَمَنْتُمْ بِرُسُلِيْ وَعَزَّرْتُمُوْهُمْ وَاَقْرَضْتُمُ اللهَ
قَرْضًا حَسَنًا
َلاُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وََلاُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِى
مِنْ تَحْتِهَا الاَنْهَارُ
Artinya:
“Sesungguhnya Aku bersama kamu, jikalau kamu benar-benar mendirikan sholat,
menunaikan zakat, beriman terhadap para Rasul-Ku, mengagungkan mereka dan kamu memberikan pinjaman kepada Allah
dengan pinjaman yang baik, maka Aku akan bebaskan daripadamu sebagian dosa-dosa
kesalahanmu dan Aku akan masukkan kamu kedalam surga yang dibawahnya mengalir
sungai-sungai’”.
Menurut tafsir
Qurtubi jilid 6 halaman 151, arti daripada ‘azzartumuuhum’ adalah
‘memuliakan atau mengagungkan mereka’. Jadi memuliakan para Rasul
termasuk salah satu amalan yang dapat mendatangkan maghfirah/ ampunan
dan menurunkan rahmat. Terbukti dalam ayat diatas bahwa mereka yang
mengagungkan dan memuliakan para Rasul akan diampunkan sebagian dosanya
dan akan dimasukkan kedalam surga. Apalagi kalau yang kita agungkan dan
muliakan itu adalah Asyroful Anbiya wal Mursalin (yang paling mulia
antara para nabi dan Rasul) yakni junjungan kita Nabi besar Muhammad saw.
Allah swt. berfirman :
ذَالِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَاللهِ
فَإنَّهَا مِنْ تَقْوَى القُلًوْبِ
Artinya: “Demikianlah
(perintah Allah) dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar
Allah (lambang kebesaran) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang
takwa” (QS. Al-Hajj : 32)
Tidak diragukan lagi Rasulallah saw. dengan kenabian dan
ke Rasul-annya, dengan segala mu’jizat termasuk mu’jizat
yang terbesar yaitu Al-Qur’an yang dikaruniakan
Allah kepada beliau saw. adalah lambang kebenaran dan kebesaran (syi’ar) serta lambang kekuasaan Allah swt.
Memuliakan syi’ar Allah ini adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah
swt.
Dalam firman Allah swt. :
ذَالِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللهِ
فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِنْدَ رَبِّهِ
Artinya: “Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia
disisi Allah, itulah yang terbaik baginya disisi Tuhannya”. (
QS Al-Haj : 30)
Rasulallah saw. adalah yang paling mulia dan taqwa dari
semua makhluk Ilahi. Begitu juga para ahli taqwa termasuk juga makhluk
yang mulia disisi Allah swt.
Allah swt. berfirman :
إنَّ اللهَ
وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِي يَآاَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنوْا صَلُّوا
عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Artinya: "Sesungguhnya
Allah dan para Malaikat sentiasa bersalawat kepada Nabi,
Wahai orang-orang yang beriman
berselawatlah kamu kepadanya ". (QS 33:56).
Shalawat Allah swt. pada ayat diatas menurut ahli tafsir
berarti pujian Allah swt. terhadap Nabi saw.,
pernyataan kemuliaannya, serta maksud meninggikan dan mendekatkannya.
Dan orang-orang beriman disuruh juga bershalawat (memuji/meninggikannya) dan
bersalam pada beliau saw.
Firman Allah
swt. agar manusia bersikap sopan dan hormat dalam bercakap-cakap dengan beliau
saw. atau tidak memanggil beliau saw. sebagaimana memanggil sesama kita.
يَاأيَّهَالذِّيـنَ آمَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أصْوَاتَكُمْ فَوْقِ
صَوْتِ النَّبِي
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah mengeraskan suara kalian lebih
tinggi dari suara Nabi”. (Al-Hujurat: 2)
Juga firman-Nya sebagai berikut :
لاَ تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ
بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضَا
Artinya: “Janganlah kalian memanggil Rasul sebagaimana kalian memanggil satu sama
lain diantara kalian”. (An-Nur : 63)
Firman-Nya juga :
إنَّ الذِّيْنَ
يُنَادُوْنَكَ مِنْ وَرَاءِ الحُجُرَاتِ اَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
Artinya: “Orang-orang
yang memanggil-manggilmu (hai
Muhammad) dari luar kamarmu, mereka itu kebanyakan tidak mengerti". (Al-Hujurat
: 4)
Allah swt. memuji budi pekerti
Nabi saw dan kita juga dianjurkan mengagungkan beliau saw. :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِى رَسُوْلِ اللهِ إُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
لِمَنْ كَانَ يَرْجُ اللهَ
وَ اليَوْمِ الآخِر وَذَكَرَ اللهُ كَثِيْرًا
Artinya: “Sesungguhnya pada diri Rasulallah itu menjadi contoh utama bagi
orang-orang yang mengharapkan keridhaan Allah dan hari akhirat serta banyak
mengingat Allah”. (Al-Ahzab
: 21)
Firman-Nya sebagai berikut :
وَإنَّكَ لَعَلَى
خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Artinya:“Dan
sungguhlah bahwa engkau (hai Muhammad) berbudipekerti luhur”. (Al-Qalam : 4 )
Firman-Nya :
إنَّا أرْسَلْنَاكَ شَهِيْدًا وَمُبَشِّرًا
وَنَذِيْرًا لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
Artinya:“Sungguhlah Kami telah mengutusmu (hai Muhammad )sebagai saksi, sebagai
pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan, maka hendaklah kalian (manusia)
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memperkuat (agama) dan mengagungkannya”. (Al-Fath : 8-9)
Firman-Nya :
لَقَدْ جَاءَكُمْ
رَسُوْلٌ مِنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ
بِالمُؤْمِنِيْنَ رَؤُفٌ رَحِيْمٌ
Artinya:“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan (rouufun) lagi penyayang (rohimun) terhadap orang-orang
mu’min”. (At-Taubah : 128)
Ayat-ayat diatas ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa
Allah swt. memuji budi pekerti Rasulallah saw. dan siapa yang selalu memuji dan
mengagungkan beliau saw. berarti dia termasuk orang yang beriman, yang cinta
dan mengharapkan ridho Allah swt. dan Rasul-Nya serta termasuk orang ahli
takwa.
Dengan
adanya firman-firman Allah yang telah dikemukakan tadi, maka dengan jelas
bahwa Allah swt. sendiri dan para malaikat memuji dan mengagungkan beliau saw.
dan orang yang beriman disuruh mengagungkan, memberi salam pada beliau saw..
Allah swt. melarang kita memperlakukan beliau saw. dengan perlakuan yang biasa
kita berikan kepada sesama kita atau memanggil nama beliau dengan cara seperti
memanggil teman kita sendiri. Allah swt juga memerintahkan agar para sahabat
pergi ke Rasulallah saw agar dimintakan ampun atas kesalahan mereka
(An-Nisa:64).Dengan semuanya ini menunjukkan bahwa pribadi serta kedudukan
Rasulallah saw. adalah sangat tinggi sekali, yang pantas dipuji dan diagung-agungkan
dan bukan termasuk sebagai perbuatan
ghuluw!
Disamping itu banyak firman Allah swt. yang menyifatkan
Rasul-Nya sebagai sifat-Nya (Haalim, Kariim, dan sebagainya), sedangkan sifat
Allah Rouf hanya disifatkan untuk Rasulallah saw
(QS.At-Taubah:128) tidak kepada para Rasul-Nya lainnya. Sifat Allah saw yang
disifatkan kepada para Rasul-Nya ini mempunyai makna majazi/kiasan, sedangkan sifat yang ada pada Allah swt. adalah
sifat yang hakiki/sebenarnya. Jadi
pada saat Allah swt. berfirman Dialah yang mempunyai sifat Rahiim,
Haliim, Ghofuur, Qawi, Nashiir, Waliyyan dan sebagainya itu, maka
Rasulallah saw. dan para Rasul lainnya atas izin-Nya termasuk didalamnya (baca
keterangan dibab 2 pada bab Apakah Al-Qur’an hanya bisa diartikan secara
tekstual dan literal). Begitu juga dalam riwayat yang telah kami kemukakan
bahwa para sahabat memohon hujan dengan tawassul kepada Abbas bin Abdul Muttalib. Sewaktu
orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan
mengatakan: 'Selamat atasmu wahai Penurun hujan untuk Haramain'.
Para sahabat mengerti dan mengetahui bahwa Penurun hujan sebenarnya adalah
Allah swt. sedangkan Abbas ra. Penurun hujan secara kiasan. Dan tidak ada
seorang pun dari para sahabat mengatakan bahwa julukan seperti itu adalah ghuluw
dan bisa menjerumuskan orang kepada kesyirikan!!
Nah, apa salahnya kalau kita memuji dan mengagungkan
pribadi beliau saw. dengan menyebut beliau saw. sebagai penolong, pengampunkan dosa
dan sebagainya yang mana Allah swt. sendiri telah memerintahkan para sahabatnya
untuk datang kepada beliau saw. agar Rasulallah saw. memohonkan ampun kepada
Allah swt. untuk para sahabat ini (An-Nisaa:64)?. Hal tersebut masih dilakukan
oleh sahabat beliau saw. setelah wafatnya. (baca bab tawassul/tabarruk). Sudah
tentu semua orang tahu bahwa bukan Rasulallah saw. yang bisa mengampunkan dosa
para sahabat, tetapi dengan perantaraan beliau saw. dosa para sahabat yang
bersangkutan itu diampunkan oleh Allah swt. Dengan demikian Rasulallah saw.
bisa dijuluki secara kiasan sebagai Pengampunkan dosa.
Itulah juga yang dimaksud oleh pengarang-pengarang kitab Burdah, Barzanji, Dhiba’ dan
lain-lain yang ditulis oleh penyair dan
ulama terkenal ini yang sebagian besar isinya memuliakan, mengagungkan Allah
swt. dan Rasulallah saw. serta mensifati beliau saw. secara kiasan sebagai Penolong, Pengampunkan dosa dan lain
sebagai nya? Sudah tentu para ulama itu sadar dan yakin serta mengetahui bahwa
pemuliaan, pengagungan dan pensifatan terhadap Rasulallah saw. sebagai hamba
Allah (Makhluk) tidak setaraf dengan pemuliaan, pengagungan dan
pensifatan kita terhadap Allah swt. sebagai Pencipta (Al-Khalik). Bila ada
pikiran yang memandang secara hakiki/sebenarnya
makhluk setaraf dengan Sang Pencipta itulah baru dikatakan syirik ! Apakah mungkin para ulama dan penyair yang
terkenal itu menulis kitab yang mengandung atau berbau kekufuran, kesyirikan ?
Sudah tentu tidak mungkin! Apakah hanya
ulama golongan pengingkar saja yang paling mengetahui, paling pandai dan paling
hati-hati dalam syari’at Islam? Sudah tentu tidak!!
Golongan pengingkar ini mempercayai riwayat-riwayat yang telah kami kemukakan pada
bab 2, yang berkaitan dengan Tajsim/penjasmanian dan Tasybih/ penyerupaan Allah swt. kepada
Makhluk-Nya, umpamanya Allah swt. mempunyai tangan, jari kelingking, kaki,
nafas dan lain sebagainya secara hakiki/
sebenarnya, dan mereka melarang orang mentakwil atau mengartikan maknanya yang
sesuai dengan sifat ke Mahaagungan dan ke Mahasucian-Nya. Disatu sisi mereka
melarang orang mengagungkan Rasulallah saw. karena hal itu sebagai perbuatan
berlebih-lebihan yang dilarang oleh agama walau pun jelas banyak ayat
Ilahi yang menunjukkan kebolehannya tetapi disisi lain mereka sendiri mempercayai Tajsim dan
Tasybih Allah swt. kepada makhluk-Nya secara hakiki (baca keterangannya pada
bab 2 diwebsite ini), yang mana hal ini sudah
jelas dilarang oleh Allah swt. ! Ini pikiran yang sangat aneh sekali !
Syair-syair untuk Nabi saw.dan
para sahabat
Pada zaman Nabi saw terdapat banyak penyair yang terkenal
dan hebat datang kepada Rasulallah saw. dan mempersembahkan kepada beliau
berhalaman-halaman syair yang memuji dan mengagungkan beliau
saw.. Ini dibuktikan dengan banyaknya syair yang dikutip di dalam Sirah Ibnu
Hisham, al-Waqidi dan lain-lain.
Penyair-penyair tekenal mengagung-agungkan Rasulallah saw dihadapan beliau dan
para sahabat, tidak dilarang oleh Rasulallah saw. dan tidak ada para sahabat
yang mencela atau mengatakan hal tersebut berlebih-lebihan (ghuluw) dan sebagainya.
Rasulallah
saw. amat menyenangi syair yang indah seperti yang diriwayatkan Bukhari didalam al-Adab al-mufrad
dan kitab-kitab lain. Rasulallah saw. bersabda: "Terdapat hikmah
didalam syair". Paman Nabi saw. Al-'Abbas mengarang syair memuji
kelahiran Nabi saw. diantara bait terjemahannya sebagai berikut: ‘Dikala
dikau dilahirkan, bumi bersinar terang hingga nyaris-nyaris pasak-pasak bumi
tidak mampu untuk menanggung cahayamu,
dan kami dapat terus melangkah lantaran karena sinar dan cahaya dan jalan yang
terpimpin’ ( Imam as-Suyuti dalam Husn al-Maqsid : 5 dan Ibnu Katsir dalam
kitab Maulid : 30 dan juga didalam kitab Ibnu Hajar, Fath al-Bari).
Ibnu Katsir menerangkan
didalam kitabnya bahwa para sahabat ada meriwayatkan bahwa Nabi saw. memuji
nama dan nasabnya, serta membaca syair mengenai diri beliau semasa peperangan
Hunain untuk menambah semangat para sahabat dan menakutkan para musuh. Pada
hari itu beliau saw berkata: ‘Aku adalah
Rasulallah! Ini bukanlah dusta. Aku anak 'Abdal–Muttalib !’
Beliau saw. juga sering berkata:
أنَا خَيْرُ أصْحَابِ
اليَمِيْنِ , أنَا خَيْرُالسَّابِقِيْن, أنَا أتْقَى
وَلَدِ آدَمَ وَأكْرَمُهُمْ عَلَى اللهِ
وَلاَ فَخرْ
Artinya: Akulah ashabul-yamin yang terkemuka (dalam Dala’ilun Nubuwwah :5 , .....Akulah khairussabiqin (dalam
Syarhul Mawahib 1:62) ....dan akulah anak Adam yang paling bertakwa dan
paling mulia di sisi Allah dan aku tidak sombong....” (HR. At-Thabrani dan
Al-Baihaqi didalam Dala’ilun Nubuwwah),
Sabda beliau saw. :
أنَا سَيْدُ وَلَدِ
آدَمَ يَوْمِ القِيَامَةِ
Artinya: “Saya adalah sayyid (orang yang paling
mulia) anak Adam di hari Kiamat nanti’ (HR. Ahmad,
Ibnu Majah dan Turmudzi) atau sabda beliau saw. :
أنَا سَيْدُ النَّاس يَوْمِ القِيَامَةِ
Artinya:
‘Aku adalah sayyid semua manusia di hari kiamat’ (HR. Ahmad,
Bukhori dan Muslim).
Riwayat Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi hadits
dari Abu Hurairah ra: Nabi saw bersabda: ”Aku adalah penghulu putra Adam pada hari kiamat, dan aku adalah
orang pertama yang keluar dari kubur (jasadnya), dan aku adalah orang
pertama pemberi syafa’at dan orang pertama diberi syafa’at”.
Sedangkan dalam redaksi Tirmidzi disebutkan: “Aku adalah penghulu putra Adam
pada hari kiamat di tanganku terdapat Liwaaul Hamdi / panji pujian
dan aku tidak sombong.Tidak seorang Nabi pun pada hari itu baik Adam dan yang
lainnya terkecuali dibawah naungan panji-panjiku dan aku adalah
orang pertama yang keluar dari kubur dan aku tidak sombong”.
Masih banyak lagi kata-kata beliau saw. untuk dirinya.
Kalau pujian-pujian ini semuanya dilarang dan dikatakan ghuluw, maka tidak akan diucapkan dari lisan orang
yang paling taqwa dan mulia Rasulallah saw. serta dari lisan para sahabat yang
ditujukan kepada beliau saw.
Rasulallah
saw. sendiri sering menerangkan betapa mulia dan tingginya kedudukan
beliau saw. disisi Allah swt., ini tidak lain agar kita kaum muslimin sadar dan
dapat membedakan serta mengakui bahwa Allah swt. memberi kedudukan Rasulallah
saw.paling tinggi dan mulia daripada makhluk-makhluk Allah lainnya, dan sabda
beliau tersebut sejalan dengan firman Ilahi untuk pribadi beliau saw.
Dengan demikian kita tidak boleh menyamakan kedudukan dan kemuliaan beliau saw.
dengan manusia biasa!
Hasan bin Tsabit ia mendendangkan syair yang bunyinya
antara lain: ‘Anda lah (Rasulallah
saw.) makhluk suci
pilihan Allah... Andalah seorang Nabi dan keturunan terbaik Adam, keagungannya
bagaikan ombak samudra..dan seterusnya’. Hasan bin Tsabit ra. sering
melagukan dan membacakan syair-syairnya di depan Sayyidul Mursalin Muhammad
saw. dan didepan para sahabat beliau. Tidak ada satupun yang mencela atau
mengatakan berlebih-lebihan (ghuluw)!
Tertera di batu nisan Hasan ibnu Tsabit beliau menulis
mengenai Nabi saw.:
“Bagiku tiada siapa dapat mencari kesalahan didalam diriku, Aku hanya
seorang yang telah hilang segala derita rasa, Aku tidak akan berhenti
dari pada memujinya (nabi saw.), karena hanya dengan itu mungkin aku
akan kekal didalam syurga bersama-sama 'Yang Terpilih', yang
daripadanya aku mengharapkan syafa’at, dan untuk hari itu, aku kerahkan seluruh
tenagaku kearah itu”.
Hasan bin Tsabit waktu membaca syair di masjid Nabawi
ditegur oleh Umar bin Khattab ra., lalu Hasan bin Tsabit berkata kepada Umar
ra. : 'Aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yang lebih mulia
dari engkau wahai Umar (yakni Nabi saw.)', lalu Hasan berpaling kepada Abu
Hurairah ra dan berkata; 'bukankah engkau dengar Rasul saw. menjawab syairku
dengan doá 'Wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus'. Abu Hurairah ra.
menjawab; Benar. (HR.bukhori hadits nr. 3040, Muslim hadits nr. 2485).
Jadi tidak
semua syair yang dibaca didalam masjid semuanya haram, hadits yang meriwayatkan
keharaman baca syair didalam masjid yaitu syair-syair yang membawa kepada
ghaflah (kelupaan), hanya bersifat keduniaan. Tetapi syair yang
memuji Allah swt. dan Rasul-Nya itu diperbolehkan malah dipuji dan didoakan
oleh beliau saw.
Rasulallah saw. mendirikan mimbar khusus dimasjid agar ia
(Hasan bin tsabit ra) berdiri untuk melantunkan syair-syairnya (Mustadrak
ala shohihain hadits nr. 6058, sunan Attirmidzi hadits nr. 2846).
Menurut riwayat yang berasal dari Abu Bakar Ibnul Anbari, ketika Ka’ab bin Zuhair dalam mendendangkan
syair pujiannya sampai kepada sanjungan bahwa beliau saw. adalah sinar
cahaya yang menerangi dunia dan beliau
laksana pedang Allah yang ampuh terhunus. Sebagai tanda kegembiraan beliau
saw., maka beliau menanggalkan kain burdahnya
(kain penutup punggung) dan diberikan pada Ka’ab. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan
pada masa kekuasaannya berusaha membeli burdah itu dari Ka’ab dengan harga
sepuluh ribu dirham, tetapi Ka’ab menolaknya. Setelah Ka’ab wafat, Mu’awiyah
membeli burdah pusaka Nabi saw. itu dari ahli waris Ka’ab dengan harga dua
puluh ribu dirham.
Banyak
sekali hadits yang diriwayatkan para sahabat Nabi saw. tentang bagaimana
mereka membaca bait-bait syair untuk memuliakan dan mengagungkan Nabi saw.
seperti Amr bin ‘Ash, Anas bin Malik, Usamah bin Syarik dan lain-lain. Semua
pujian dan syair-syair ini tidak dilarang oleh beliau saw.! Juga syair-syair
tersebut boleh dilagu kan dan diiringi dengan bermain gendang.
Didalam kitab Madarij al-salikin, Ibnu Qayyim
menulis bahwa Nabi saw. memberi izin untuk menyanyi
pada hari perkawinan dan membenarkan
syair dipersembahkan untuk beliau saw.. Beliau mendengar Anas dan para
sahabat memujinya dan membaca syair ketika beliau saw. sedang menggali parit
semasa peperangan Khandaq dan mereka pernah berkata," Kamilah yang
telah memberi bai'ah kepada Muhammad untuk berjihad selama kami hidup."
Ibnu Qayyim juga telah menceritakan mengenai 'Abdullah
ibnu Rawaha membaca syair yang panjang memuji-muji
Nabi Muhammad saw. semasa penaklukan kota Makkah, dan Nabi pun berdo’a untuk
beliau ra. Rasulallah saw. juga pernah mendo’akan untuk Hasan ibnu Tsabit agar Allah senantiasa memberi bantuan kepadanya
dengan ruh suci (the holy spirit)
selama beliau memuji-muji Nabi saw melalui syairnya. Nabi juga pernah meminta Aswad
bin Sarih untuk mengarang syair memuji-muji Allah dan beliau saw.
Nabi saw. pernah meminta seseorang untuk membaca syair puji-pujian yang
memuat seratus halaman yang dikarang oleh Umayya ibnu Abi Halh.
Menurut Ibnu Qayyim lagi, 'Aisyah ra selalu membaca
syair memuji baginda saw. dan beliau amat menyenanginya." Ditulis juga
oleh Ibnu Qayyim di dalam kitabnya, Allah memberi keizinan kepada Nabi saw.
agar membaca Al-Qur’an dengan berlagu. Pada suatu hari Abu Musa al-Ash'ari
sedang membaca Al-Qur’an dengan berlagu dan suara yang merdu dan ketika itu
Nabi saw. sedang mendengar bacaan beliau .
Setelah
beliau selesai mengaji, Nabi saw. mengucapkan tahniah kepada beliau karena
bacaan beliau yang begitu merdu dan Nabi saw. bersabda: ‘Engkau mempunyai suara
yang merdu’ beliau saw. bersabda lagi bahwa: ‘Abu Musa al-Ash'ari
telah dikurniakan Allah 'Mizmar' (seruling)
diantara mizmar-mizmar Nabi Daud’. Abu Musa pun berkata, ‘Ya
Rasulallah jika aku tahu yang engkau sedang mendengarkan bacaanku niscaya aku akan
membaca dengan suara yang lebih merdu dan lagu yang lebih enak lagi yang engkau
belum pernah dengar’.
Ibnu Qayyim menulis lagi, Nabi saw. bersabda : ”Hiasilah
al-Qur’an dengan suara kamu’, dan siapa-siapa yang tidak melagukan
al-Qur’an bukanlah dari kalangan kami." Ibnu Qayyim mengatakan juga:
‘Untuk menyenangi suara yang merdu adalah dibenarkan seperti juga kita
menyenangi pemandangan yang indah, gunung-gunung, alam semesta ataupun
harum-haruman dan wangi-wangian ataupun hidangan yang lezat selama semua itu tidak melanggar batas-batas syari’at’.
Seorang ahli hadits, Ibnu
'Abbad telah memberikan fatwa tentang hadits Rasulallah saw. berikut ini: “Seorang wanita telah datang menemui Nabi di waktu beliau saw. baru
pulang dari medan peperangan, dan wanita itu pun berkata; ‘Ya Rasulallah, aku
telah bernadzar jika sekiranya, Allah menghantarkan engkau kembali dalam
keadaan selamat, aku akan bermain gendang
disebelahmu.’ Nabi pun bersabda; ‘Tunaikanlah nadzarmu’ ."
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Imam Ahmad)
Lihat hadits
terakhir diatas yang diriwayatkan oleh para rawi yang cukup terkenal bahwa
Rasulallah saw. mengizinkan wanita tersebut untuk melaksanakan nadrnya yaitu bermain gendang sebelah Rasulallah saw..
Bilamana hal tersebut dilarang maka akan dilarang pula oleh beliau saw., walau
pun hal itu sebagai nadr. Karena nadr tidak boleh dilaksanakan bila
bertentangan dengan syari’at Islam.
Riwayat-riwayat diatas mengenai syair-syair
pengagungan, permainan gendang dengan niat yang baik dihadapan
Rasulallah saw. dan para sahabatnya telah membuktikan bahwa beliau saw. gembira dan
mendo’akan serta memberi hadiah pada para penyair yang memuji-muji beliau saw
tersebut. Dengan demikian kita ingin bertanya lagi kepada golongan pengingkar
pengagungan kepada Rasulallah saw :
Alasan apa
orang menyalahkan dan mengharamkan pembacaan syair atau qosidah-qosidah pujian pada majlis
peringatan agama baik untuk Rasulallah saw. maupun untuk para ahli takwa
lainnya sambil di-iringi dengan suara gendang agar lebih menarik
bagi pendengarnya? Mereka semua mempunyai niat yang baik untuk membaca,
mendengar syair, qosidah pujian-pujian itu dan semuanya ini tidak
bertentangan dengan syari’at Islam! Bila menulis, membacakan dan melagukan
syair pujian itu, permainan gendang haram,
haram pula lah perkara-perkara yang telah disebutkan dalam hadits-hadits
Rasulallah saw..
Rasulallah saw. khususnya dan
para sahabat adalah para tokoh Salaf Sholeh begitu juga para hamba Allah yang
sholihin, mengapa golongan pengingkar yang mengaku madzhab dan pengikut Salaf
Sholeh justru melarangnya dan mengatakan sebagai perbuatan qhuluw?
Rasulallah saw bukan
manusia biasa tetapi Insan Kaamil (manusia sempurna)
Makalah-makalah yang
sederhana di website ini, cukup jelas sebagai bukti bahwa Nabi saw.
adalah bukan manusia biasa tapi beliau adalah manusia sempurna (Insan
Kaamil). Walau pun demikian masih ada saja golongan pengingkar yang mengatakan bahwa
Rasulallah saw. adalah manusi biasa seperti kita kita ini, bedanya hanya
beliau saw. menerima wahyu dari Allah swt..
Mereka dengan berdalil pada firman Allah
sebagai berikut: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu. Hanya
saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS. 18:110). Berdasarkan ayat ini dan
ditambah ayat-ayat senada, misalnya; “Katakan: ‘Mahasuci Tuhanku. Bukankah
aku hanya seorang manusia yang diutus?”. Golongan ini percaya bahwa Nabi
Muhammad saw. adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, oleh karena
itu golongan ini menganggap mengagungkan dan memuji Rasulallah saw. merupakan
sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dan pengkultusan
yang tidak perlu serta dapat membawa orang kepada perbuatan syirik.
Mereka menafsirkan firman Allah swt. diatas secara tekstual. Jika kita telusuri dengan
seksama semua ayat-ayat ilahi dibuku ini atau buku lainnya yang menyinggung
tentang Nabi saw. atau yang berkenaan dengan Nabi saw, maka dengan yakin kita
akan menganut pandangan para pakar islam yang menyimpulkan bahwa Nabi
Muhammad saw. memang bukan manusia biasa tapi Insan Kaamil. Beliau saw.
adalah manusia utama, “superman” yang
telah berhasil melewati tingkat umum manusia dan mencapai derajat keutamaan
yang tiada taranya.
Apa yang dimaksud ayat Ilahi diatas bahwa Rasulallah saw.
adalah manusia (basyar), seperti manusia lainnya? Apakah maksudnya bahwa
kedudukan beliau saw. di hadapan Allah sama dengan manusia lainnya?
Kami kira golongan pengingkar pemujian/pengagungan
kepada Rasulallah saw. pun tidak membenarkan anggapan seperti ini. Mereka juga
yakin bahwa Rasulallah saw. adalah seorang Rasul dan memiliki kedudukan yang
sangat khusus di sisi Allah. Kita coba mengkajinya, bagaimana kita harus
menyikapi Rasulallah saw.? Disatu sisi, beliau adalah Nabi dan Rasul dengan kemuliaan yang tiada tara dan kedudukan
beliau saw. dalam al-Qur’an sungguh luar biasa, tapi disisi lain al-Qur’an
menegaskan bahwa ia juga adalah manusia
seperti kita. Terdapat puluhan ayat didalam al-Qur’an yang memuji Rasulallah
saw., apakah dalam bentuk pujian langsung atau dalam bentuk penyebutan
sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi seperti yang telah kami kemukakan
sebelumnya. Beberapa contoh lagi mengenai keagungan Rasulallah saw. yang tidak
dimiliki oleh manusia biasa adalah sebagai berikut:
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap
kali Allah swt. mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya,
maka kepada nabi-nabi itu Allah swt. menuntut janji setia mereka bahwa jika
nanti Rasulallah saw. diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan
mengambil janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’.
Sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam surat
Aal- Imran : 81:
“Dan
ketika Allah mengambil janji dari para nabi: ‘Aku telah berikan kepada kalian
al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhammad saw.) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada
pada kalian, kalian benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah)
berkata: ’Apakah kalian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini’?
Mereka berkata: ‘Ya, kami berjanji untuk melakukan itu’. Dia berkata: ‘Kalau
begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian’ “.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa para penganut Ahlul-Kitab tahu
betul tentang kedatangan Rasulallah saw. sebagaimana mereka mengenal
anak-anak mereka sendiri. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang
kedatangannya itu (QS. 2: 89,146).
Dan itu pula yang dimohonkan Nabi Ibrahim as. dalam
do'anya:
“Tuhan kami,
utuslah pada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (Muhammad) yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan
menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS. 2:129).
Rasulallah saw. ditetapkan sebagai perantara (wasilah) antara dirinya
dengan manusia. Bahkan merupakan
salah satu syarat terkabulnya do’a. Firman Allah swt.:
وَمَا أرْسَلـْنَا
مِنْ رَسُـوْلٍ إلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلـَوْ أنَّهُـمْ إذْ ظَلَمُوااَنْفُسَهُمْ
جَاءوُكَ
فَاسْتَغْفِرُوْا
اللهَ وَاسْتَغْفَرَلَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوْا اللهَ تَوَّابًا
الرَّحِيْمًا
Artinya: “Kami tidak utus seorang Rasul kecuali untuk
ditaati, dengan seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka
berbuat dosa, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun
buat mereka, pastilah mereka
dapati Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih”. (QS. 4:64).
Bahkan sebagai perantara tawassul
kepada Rasulallah saw. ini sudah dilakukan para nabi dan orang-orang sholeh
jauh sebelum kelahiran beliau saw. (baca bab Tawassul dibuku ini). Kita dapat
membaca riwayat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawassul kepada Rasulallah saw. saat mereka
berdua dikeluarkan dari surga. Dikisahkan bahwa tatkala Nabi Adam as
dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada Allah atas perbuatannya.
Penciptaan Nabi saw.lebih dahulu daripada Nabi Adam
as. hanya beliau saw. masih dalam wujud “nur” atau cahaya. Ketika Allah
menciptakan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam as yang kemudian
berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi Abdullah, ayah
Nabi.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari
Jabir bin ‘Abdullah al-Anshari ra.
bahwasanya dia pernah bertanya kepada nabi saw.; “Demi ayah dan ibuku, ya
Rasulallah, beritahukanlah padaku tentang suatu yang di ciptakan Allah sebelum
segala sesuatu yang lain. Jawab beliau saw.; ‘Wahai Jabir, sesungguhnya Allah
sebelum menciptakan segala sesuatu yang lain, telah menciptakan Nur Nabimu,
Muhammad dari Nur-Nya’”. Dan hadits dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi saw.
telah bersabda: “Aku adalah yang pertama diantara para Nabi dalam penciptaan,
namun yang terakhir dalam kerasulan…”.
Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulallah saw bersabda: “Allah telah menciptakanku
dalam wujud nur yang bersemayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum
menciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu
pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami
baru berpisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi
Abu Thalib”.
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa sulbi-sulbi
orang-orang suci. Ini berarti bahwa orang-tua dan nenek-moyang Rasulallah sampai
ke Nabi Adam as. dalam Istilah al-Qur’anal- Sajidîn orang-orang patuh.
Sebagaimana firman-Nya: “Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Maha Perkasa
lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi
kesulbi orang-orang patuh”. (QS. 26 :217-219).
Rasulallah saw. adalah
manusia suci, tidak pernah berbuat dosa (ma’sum). Namun demikian, ia tetap
manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam secara biologis tidak ada
perbedaan antara Rasulallah saw. dengan yang lain. Allah berfirman dalam
Al-Ahzab:33: “Sesungguhnya yang di kehendaki Allah ialah menjauhkan kamu
wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”.
Rasulallah saw. adalah
teladan yang sempurna, uswatun hasanah (QS.33:21). Oleh karenanya;
“Apapun yang dibawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus
kamu jauhi.” (QS. 59:7)
Dibukakan rahasia kegaiban kepada
Rasulallah saw. sebagaimana firman Allah swt.; “Tuhan
Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan mem- bukakan kegaibannya itu
kepada seorang pun, kecuali kepada Rasul
yang di kehendaki”. (QS. 72: 26-27). Tentu saja Rasulallah
saw. berada di urutan paling atas di antara para Rasul, beliau penghulu
dari semua Nabi dan Rasul yang menerima anugrah utama ini.
Allah memuji Rasulallah saw. dengan berbagai pujian,
karena keluhuran akhlaknya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih sayangnya kepada
umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak mementingkan
diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu Allah swt. memberi
perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika ada sedikit saja “masalah”
yang dihadapinya (QS. 93:1-3 & QS 94:1-4).
Siapa saja yang berhadapan dengan Rasulallah saw. maka berhadapan dengan Allah swt..
Sebaliknya, siapa saja yang membelanya, Allah berada di belakangnya (QS. 9:61).
Orang-orang beriman diperintahkan untuk
tidak memperlakukan Rasul- Allah saw. sebagaimana perlakuan mereka terhadap
sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasulallah saw. harus
dengan suara yang pelan, tidak boleh teriak-teriak, karena hal itu akan meng-
hapus pahala amal mereka (QS. 49:2-3).
Allah akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati
Rasulallah saw.: “Dan Tuhanmu akan memberimu
sehingga membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini
menunjukkan betapa Allah swt. amat mencintai Rasul-Nya. Ia akan memberikan apa
saja yang di-inginkan Rasulallah saw. dan akan melakukan apa saja demi
menyenangkan hati Rasulallah saw. Dan salah satu anugerah Allah swt. yang
paling besar kepada Rasulallah saw. ialah wewenang memberi syafa’at
kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia, yaitu
dalam bentuk pengabulan do’a yang di sampaikan oleh Rasulallah saw. untuk umatnya,
baik ketika Rasulallah saw. masih hidup mau pun sesudah wafatnya (baca bab
Tawassul/Tabarruk).
Dari sekian ayat yang telah kami kemukakan didalam bab
ini tidak dapat disangkal bahwa Rasulallah saw bukan manusia biasa,
dalam arti bahwa kedudukannya paling mulia di sisi Allah swt.. Ia telah
diciptakan Allah swt. sebelum menciptakan yang lainnya. Rasulallah saw. telah
dipersiapkan membawa amanat-Nya jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan
utusan-utusan itu diperintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat
manusia tentang kedatangannya. Rasulallah saw. ditetapkan sebagai perantara
antara manusia dengan Tuhan, dan sebagainya. Akan tetapi semua ini tidak harus
membuat kita menempatkan beliau saw. sebagai anak Tuhan atau Tuhan
dibumi/didunia, bukan dari golongan manusia, seperti yang dilakukan
kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as.
Rasulallah
saw. tetap manusia sebagaimana manusia lainnya, sebagaimana isyarat al-Qur’an
dalam beberapa ayatnya di atas. Pada diri Rasulallah saw. terdapat segala
sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi
biologis manusia. Karena itu Rasulallah saw. makan, minum,
sakit, tidur, berdagang, berkeluarga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti
umumnya manusia. Al-Qur’an sengaja menegaskan bahwa Rasulallah saw. adalah
manusia/basyar seperti manusia lainnya untuk membantah penolakan kaum
musyrikin terhadap Rasulallah saw. bahwa ia bukan dari golongan malaikat atau
paling tidak bekerjasama dengan malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan kaum
Muslimin supaya tidak membuat kesalahan seperti yang dilakukan kaum
Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as yang menganggapnya sebagai anak Tuhan
atau Tuhan dibumi! Akan tetapi ketika kita mengatakan bahwa Rasulallah saw.
adalah manusia biasa seperti manusia lainnya tidak berarti bahwa kita harus menganggap
beliau salah, keliru, melanggar, atau berakhirlah segalanya sesudah beliau saw.
wafat. Sama sekali tidak demikian.
Kesucian, keterpeliharaan dari dosa ma’sum
hidup abadi bersama Allah sesudah kematian atau
kemampuan berhubungan dengan-Nya sesudah kematian adalah perkara ruhani
yang dapat saja dicapai oleh manusia mana pun jika ia telah mencapai kedudukan
ruhani yang tinggi, apalagi dengan ruhani Rasulallah saw. yang paling mulia
dari segala orang yang bertaqwa.
Allah swt. memang menciptakan manusia dari unsur
tanah, yang menghasilkan dimensi biologisnya, akan tetapi pada manusia,
Allah swt. ciptakan juga unsur lainnya, yakni ruh Allah swt. yang justru
dapat membuat manusia lebih tinggi dari makhluk mana pun, termasuk malaikat
karena melalui ruh itu manusia mampu mengatasi unsur biologisnya. Oleh karena
itulah mengapa malaikat dan jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud
(penghormatan tinggi) kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi
Muhammad saw. dapat menembus Sidratul-Muntaha (waktu peristiwa Isra
Mi’raj), sementara Jibril as akan hangus terbakar jika berani mencoba
melangkah- kan kaki meski un hanya setapak. Padahal Jibril adalah
penghulu para malaikat. Tidak lain karena Nabi Muhammad saw. telah mencapai
derajat kesempurnaan mutlak insani
(Insan Kaamil).
Kesalahan terbesar golongan yang menolak mengakui
kesempurnaan Rasul saw. dan menolak memujinya, bahkan menganggap pelakunya
sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan! Golongan
ini tidak lain melihat Rasulallah saw. dengan kacamata materi. Mereka
hanya melihat Rasulallah saw. sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa
manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis
atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan jati diri manusia yang
sesungguh- nya. Melihat seorang hanya dari dimensi biologisnya adalah logika
orang-orang kafir, bukan logika orang-orang beriman. Orang-orang kafir
menolak mengakuinya sebagai Nabi atau Rasul dengan alasan bahwa para utusan
Allah itu hanya manusia seperti mereka.
Sebagaimana firman Allah swt.: “Dan tidak ada
sesuatu yang menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman tatkala datang kepada mereka petunjuk kecuali
perkataan mereka: ‘Apakah Allah mengutus Rasul dari golongan manusia?’ ”.(QS.
17:94). Tapi orang-orang beriman berkata: “Kami mengimaninya. Semuanya dari
sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7).
Peagungan dan penghormatan terhadap Rasulallah
saw. adalah tuntutan Allah swt. untuk menghormati dan mengagungkan
Rasul-Nya. Coba perhatikan ayat shalawat. Adakah perintah yang sama
dengan perintah shalawat, selain shalawat kepada Rasulallah saw.? Tidak ada!
Ayat sholawat ini didahului dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya
telah melakukannya terlebih dahulu, oleh karena itu kitapun diperintahkan untuk
melakukannya.
Perintah itu berarti kita harus selalu melihat
Rasulallah saw. dengan penuh ta’dhim (hormat) dan agar kita selalu
membalas jasa-jasanya. Oleh karena itu pula, Rasulallah saw. selalu
mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil
atau kikir. Bahkan orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke
Madinah untuk berziarah kepada beliau saw. telah memutus hubungan silatur-rahmi
dengannya.
Sebenarnya
ini semua bukan kultus; karena kultus ialah melebih-lebihkan sesuatu yang tidak
pada tempatnya. Pengagungan Rasulallah saw. justru mendudukkan posisi
Rasulallah saw. sebagaimana mestinya, seperti yang di perintahkan Al-Qur’an.
Justru jika kita tidak melakukan itu, dikhawatirkan telah mendzalimi
beliau. Ingat firman Allah swt.: “Sesungguhnya orang-orang yang menggangu
Allah dan Rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan Allah
siapkan baginya siksa yang menghinakannya”. (QS. 33:57).
Penghormatan, pengagungan pada Rasulallah
saw., mustahab baik semasa hidup beliau saw. maupun setelah
wafatnya. Karena pujian dan perintah Allah swt. yang tercantum pada
ayat Al-Ahzab:56, al-Haj 30- 32, Al-Hujuraat 2 dan lain-lainnya itu tetap
berlaku, begitu juga tawassul/ tabarruk (baca bab tawassul/tabarruk) setelah
wafatnya beliau saw. diamalkan juga oleh para sahabat, para salaf (orang-orang
terdahulu) dan para khalaf (orang-orang belakangan) serta para pakar Islam
lainnya sepanjang zaman. Kalau hal tersebut menyalahi syari’at, sudah
tentu diketahui oleh para sahabat, para salaf dan para ulama itu dan tidak
mungkin juga akan dilakukan oleh mereka.
Sudah
tentu kita semua sadar, yakin dan mengetahui bahwa pemuliaan dan pengagungan
terhadap Rasulallah saw. sebagai hamba Allah (Makhluk) tidak setaraf dengan
pemuliaan dan pengagungan kita terhadap Allah swt. sebagai Pencipta
(Al-Khalik). Bila ada pikiran yang memandang makhluk setaraf dengan
Khalik itulah baru dikatakan syirik!
Lalu mengapa kita harus menentang Allah dan Rasul-Nya hanya karena takut
jatuh dalam hantu “kultus” yang
kita ciptakan dan karang-karang sendiri?
Pada ayat tawassul (QS 4:64) yang telah
dikemukakan, kita bahkan diperingatkan oleh Allah swt. jika ingin
dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya harus bertawassul kepada beliau saw. Jika
tidak, Allah tidak akan mengabulkan permohonan ampun kita. Allah juga mengingatkan
agar kita tidak memperlakukan beliau saw. sama dengan kita, sebab hal itu dapat
menghapus pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3). Selain
itu, kita juga diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau
diucapkan beliau saw. lahir karena emosi atau hawa nafsunya. Tapi
semuanya atas bimbingan Allah yang menjaga beliau saw. dari dosa dan kesalahan
serta menjadikan manusia yang sempurna. “Ia (Muhammad) tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan
berdasarkan wahyu yang diterimanya”. (QS. 53:3-4). Namun
demikian, beliau tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam secara
biologis tidak ada perbedaan antara Rasulallah saw. dengan yang lain.
Abdullah bin Amr berkata: “Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulallah saw., aku
bermaksud menghafalnya. Tapi orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata:
‘Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulallah saw.? Padahal
beliau hanyalah seorang manusia yang berbicara saat marah dan senang’.
Aku berhenti menulis. Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulallah
saw. Beliau kemudian menunjuk kepada mulutnya dan berkata: ‘Tulis saja! Demi
yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang keluar dari sini (sambil
menunjuk mulut beliau saw.) kecuali kebenaran’ “!!
Dari sekelumit ayat dan hadits yang kita baca diatas,
kita tidak akan menyangkal atau meragukan lagi bahwa Rasulallah saw. bukan manusia biasa melainkan manusia
sempurna (Insan Kaamil), dalam arti bahwa kedudukannya paling tinggi
dan mulia di sisi Allah swt.? Akan tetapi semua ini, sekali lagi, tidak harus
membuat kita memposisikan beliau saw. sebagai anak Tuhan atau Tuhan
dibumi/didunia, bukan dari golongan manusia, seperti yang dilakukan kaum
Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as.
Insya Allah
dengan kutipan dalil-dalil diatas yang berkaitan dengan
Maulid/hari kelahiran beliau saw. ini
atau berkaitan dengan pribadi junjungan
kita Nabi besar Muhammad saw. sebagai manusia sempurna/insan Kaamil yang
diciptakan Allah swt. para pembaca bisa menilai sendiri apakah semuanya ini
perbuatan berlebih-lebihan sebagaimana yang dikultuskan oleh golongan
pengingkar atau memang perintah Ilahi untuk mengagungkan beliau saw. ?
Semoga Allah swt. memberi hidayah dan taufiq kepada kita semua. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar